Wajah pelayan itu merona, jelas canggung melihat ada pria asing, terlebih dalam kondisi telanjang dan hanya ditutupi selimut tipis seperti ini.Aku refleks menunduk, menarik selimut lebih tinggi.Sial, aku merasa dilecehkan.Andini yang sejak tadi mengawasi, menautkan alis. Nada suaranya tajam. “Kenapa diam? Cepat selesaikan, lalu pergi.”Pelayan itu tersentak, buru-buru menunduk lebih dalam dan kembali mengerjakan tugasnya.Tangannya cepat menyelesaikan penataan, lalu ia mundur dengan sopan, meski wajahnya masih memerah, sebelum keluar dari ruangan dan menutup pintu rapat.Andini tetap berdiri, matanya masih dingin menatap ke arah pintu yang baru saja tertutup, seakan tidak suka bahwa ada orang lain yang sempat melihatku dalam keadaan seperti ini.Setelah pintu tertutup, aku cepat-cepat berdiri, “Andini … aku izin ke kamar mandi dulu. Di mana kamar mandinya?” tanyaku dengan canggung.Andini menoleh, lalu menunjuk ke satu arah. “Lurus ke arah sana, lalu belok ke kanan. Pakai baju bers
Matahari siang menjelang sore menembus kaca besar penthouse, sinarnya jatuh miring ke sofa dan tubuh kami, membuat ruangan yang mewah itu terasa semakin panas dan lengket. Tirai tipis hanya bergoyang pelan, tapi bukannya menyejukkan, justru menambah sesak atmosfer yang sudah dipenuhi napas terengah dan kulit berkeringat. Dalam cahaya keemasan itu, setiap lekuk tubuh Andini tampak lebih menonjol, membuat kendaliku benar-benar tergerus.Tubuhku bergerak seperti kesetanan. Tak ada lagi kata-kata, hanya nafsu yang memimpin. Borgol yang tadi menahan kini sudah lepas, dan setiap dorongan membuat sofa bergeser, berderit seakan tak mampu menahan beban ledakan gairah kami.Andini terhuyung, punggungnya melengkung indah di bawah tekananku. “Ahhh! Dion—nghh! Jangan— terlalu cepat…!” lenguhnya, suaranya patah-patah diiringi helaan napas tersengal.Namun aku tidak berhenti. Setiap hentakan semakin dalam, semakin buas, membuat tubuhnya bergetar hebat.Tangannya mencakar punggungku, meninggalkan
Kepalaku terkulai ke belakang, napas tersengal-sengal, tubuhku sudah seperti bukan milikku sendiri.Entah sudah berapa kali Andini menghentikan tepat di ujung, membuatku meronta tanpa bisa berbuat apa-apa. Borgol di pergelangan tanganku berderit setiap kali kutarik, tapi tetap tak goyah.“Andini…” suaraku parau, hampir seperti erangan. “Aku… nggak kuat lagi…”Dia hanya tersenyum, senyum tipis yang dingin sekaligus menggoda, jemarinya kembali menyapu perlahan sepanjang batangku yang berdenyut keras. “Begitu lemah hanya karena ini?” bisiknya pelan, lalu menunduk mendekat, bibirnya menyentuh leherku sekilas, hangat dan basah. “Aku … mohon ….” Kalimat itu keluar dari bibirku. Gila memang, tapi aku sungguh tidak lagi tahan!Di saat mendengar kalimatku, Andini tampak terhibur. Dia menatapku, lalu berkata, “Aku bisa memberikanmu izin untuk keluar, tapi … ada syaratnya.”Dadaku naik turun. Keringat dingin bercampur panas nafsu, dan di posisi sekarang—terikat, tak berdaya, dengan tubuhku di
Melihat bagaimana kancing-kancing blus Andini sudah terbuka hingga bagian atas dadanya, sembulannya yang padat dan montok mulai terlihat jelas. Lekuk putih itu menyembul keluar dari belahan kain, hanya tertahan tipis oleh bra hitam yang kontras dengan kulit mulusnya. Pemandangan itu terlalu frontal untuk diabaikan, membuatku refleks menahan napas, seakan tubuhku menegang tanpa izin.Refleks, aku langsung menahan tangannya sebelum kancing berikutnya terlepas. “Andini, tunggu… apa yang kamu lakukan?” suaraku terdengar serak, penuh kebingungan.Ia berhenti sejenak, menatapku dengan alis kanan terangkat. Senyum dingin tersungging di sudut bibirnya. “Apa masih perlu dijelaskan?” balasnya datar. “Tentu saja aku ingin tidur denganmu.”Aku terbelalak, tak menyangka bibirnya bisa mengatakan hal semacam itu dengan begitu … frontal. “Tapi… kamu sudah punya tunangan.”Andini mendengus, matanya sama sekali tidak bergeming. “Lalu? Itu tidak menghentikanku untuk melakukan apa pun yang kumau.” Ke
Tiba-tiba saja, teleponku berdering, memecah hening di dalam mobil. Suara getarnya menggema di cup holder, membuatku spontan melirik layar. Nama itu jelas tertulis: Bunga.Sebelum sempat kuraih benda pipih itu, Andini cepat berkata, "Matikan ponselmu." Nadanya datar, tapi penuh tekanan.Aku terperanjat, tidak menyangka perintah seperti itu akan keluar dari bibirnya. "Ini klienku, Din. Bisa saja penting dan—""Aku bilang matikan. Sekarang!" Andini menatapku lekat-lekat, matanya dingin bagai pisau.Aku mengerjap, bingung antara dua sisi. Di satu sisi, aku tidak mau mengecewakan Bunga. Dia murid pertamaku, yang selama ini selalu percaya padaku. Dia bahkan sering menelepon hanya untuk memastikan aku baik-baik saja, membuatku merasa utang budiku kepadanya semakin menumpuk.Tapi di sisi lain, ada Andini, murid baru yang Bu Rani titipkan padaku dengan jelas, ‘jangan sampai dia keluar dari kelab’, katanya.Menarik napas dalam, aku meraih ponselku dengan tangan kanan selagi berkata, “Maaf, t
Andini menatap Adrian lurus-lurus, suaranya dingin tapi tegas. “Pun kamu tunanganku, itu tidak berarti aku harus melaporkan setiap hal padamu, Adrian Pranata.”Mendengar nama itu, aku mematung. Adrian Pranata? Itu benar!Aku baru ingat di mana aku melihat pria ini!Dia adalah Adrian Pranata, nama pewaris tunggal Pranata Holdings, konglomerat raksasa yang merajai sektor keuangan, media, dan properti. Seorang pria yang terkenal luas sebagai filantropis muda dan pebisnis cerdas berwibawa, hingga digadang-gadang sebagai teladan generasi elit. Kini, melihatnya langsung di depan mata dengan setelan mahal, postur percaya diri, dan tatapan tajam, aku bisa merasakan sendiri aura itu.Akan tetapi, entah kenapa … dari sorot matanya menuju Andini … ada sesuatu yang tidak sesuai dengan imagenya. Sesuatu yang mengerikan.Di saat itu, terdengar Andini bertanya dengan mata menyipit, “Selain itu kenapa kamu di sini? Kamu memata-mataiku?”“Aku—” Adrian sempat ingin membalas, tapi rahangnya mengeras,