LOGINSiang itu, rumah terasa lebih lengang dari biasanya. Sinar matahari masuk melalui jendela dapur, jatuh tepat di meja persiapan yang sudah rapi.Diana berdiri di sana sambil menatap kosong ke arah talenan, pikirannya sibuk memutar satu hal yang sama berulang kali: makan malam untuk Daniel.Jam di dinding menunjukkan hampir pukul dua belas siang. Terlalu pagi untuk memasak, namun terlalu sore untuk tidak mulai merencanakan.Diana menghela napasnya dengan pelan. Sejak pagi tadi, dia terus bertanya-tanya, apakah Daniel akan pulang tepat waktu malam ini? Atau seperti sering terjadi, pulang larut tanpa kabar?Belum sempat dia memutuskan apa pun, langkah kaki terdengar dari lorong. Sari muncul sambil membawa dua kantong belanja berisi bahan makanan segar.“Ini bahan yang Lino siapkan kemarin,” ujar Sari sambil meletakkan kantong-kantong itu di atas meja. “Katanya buat makan malam Tuan.”“Oh,” Diana tersentak kecil. “Terima kasih, Mbak.”Sari melirik Diana yang terlihat sedikit melamun. “Kamu
Pukul tujuh pagi, dapur sudah hidup oleh aroma kopi dan bumbu-bumbu segar. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar, memantul di meja stainless dan rak-rak yang tertata rapi.Diana berdiri di dekat meja persiapan bersama Lino, koki rumah yang sejak tadi sibuk menjelaskan dengan penuh semangat.“Tuan Daniel itu sebenarnya sederhana kalau soal sarapan,” ujar Lino sambil menunjuk beberapa bahan. “Dia suka yang bersih rasanya. Tidak terlalu banyak bumbu, tapi harus tepat.”Diana mengangguk dan memperhatikan dengan saksama. “Berarti telur orak-arik dengan sedikit mentega, roti panggang, dan sup ringan?” tanyanya memastikan.“Betul,” jawab Lino sambil tersenyum. “Tapi jangan lupa, dia suka lada hitamnya baru ditumbuk. Jangan yang bubuk lama.”Diana tersenyum kecil. “Noted,” katanya sambil menirukan gerakan menulis di udara.Lino tertawa sambil memperhatikan Diana yang terus menulis. “Satu lagi. Kalau hari-hari tertentu, biasanya setelah malam panjang itu dia suka makanan hangat yang biki
Waktu sudah menunjuk angka sembilan malam. Diana Baru saja selesai mengganti baju tidurnya ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka perlahan. Suara derit engsel itu membuatnya sontak menoleh. Jantungnya berdetak lebih cepat.“Tu-Tuan Daniel?” Kedua matanya membulat menatap lelaki itu yang kini berdiri tegak di ambang pintu dengan napas yang terdengar berat.Daniel tidak langsung menjawab. Tatapan matanya menusuk, penuh sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Perlahan dia menutup pintu di belakangnya, membiarkan keheningan menggantung di antara mereka.“Kenapa Tuan Daniel ada di sini? Saya akan ke kamar Tuan setelah selesai mandi,” tanya Diana terbata, lalu tubuhnya mundur selangkah karena gugup dan bingung sekaligus takut.Namun, bukannya menjelaskan, Daniel malah melangkah cepat dan menarik tangan Diana.Dalam satu tarikan yang kuat tapi tidak menyakitkan, dia menarik tubuh wanita itu ke pelukannya dan langsung mencium bibirnya dengan penuh nafsu dan desakan.Ciumannya pa
Pukul sebelas siang, Diana akhirnya turun kembali ke lantai bawah setelah hampir lima jam berada di rooftop.Tangannya terasa pegal, bajunya sedikit lembap oleh keringat, dan rambutnya diikat asal karena beberapa helai terus jatuh menutupi wajahnya. Ia baru saja menaruh alat kebersihan ketika langkahnya terhenti di tengah lorong.Angela sudah berdiri di sana menunggunya.“Diana,” panggil wanita itu dengan nada heran. “Lama sekali kamu di rooftop. Aku pikir kamu ke mana tadi.”Diana refleks menundukkan kepala. “Maaf, Mbak Angela,” ucapnya sopan. “Iya. dari jam enam subuh tadi Tuan Daniel meminta saya membersihkan rooftop.”Angela mengernyit. “Aneh,” gumamnya pelan.“Iya,” lanjut Diana cepat, sedikit gugup. “Mungkin … Tuan Daniel berencana menerima tamu dan berkumpul di sana.”Angela terdiam sejenak. Ia menatap Diana dengan sorot mata yang sulit dibaca. Lalu perlahan, ia menghela napas panjang, seolah baru saja mendengar sesuatu yang mengingatkannya pada masa lalu.“Tamu?” ulang Angela p
Pukul delapan pagi.Diana membuka matanya perlahan, disambut cahaya lembut yang menyelinap dari sela tirai. Kepalanya masih terasa berat, seperti ada denyut tumpul yang menetap di pelipis.Ia mengerjap beberapa kali, lalu menghela napas panjang sebelum menyandarkan punggungnya ke headboard ranjang."Ssst. Kepalaku berat sekali," keluhnya dengan suara seraknya. Saat kesadarannya mulai utuh, jantungnya mendadak berdegup kencang.Ini bukan kamarnya.Diana menoleh cepat ke kanan, lalu ke kiri. Seprai berwarna gelap, aroma maskulin yang begitu khas, lemari besar dengan pintu kaca, semuanya terlalu familiar, namun bukan miliknya. Matanya membola. Ia masih berada di kamar Daniel.“Ya Tuhan …,” gumamnya pelan.Ia langsung beranjak duduk lebih tegak dan kedua kakinya turun dari ranjang. Tangan Diana meremas rambutnya sendiri, frustasi. Ia memaki dirinya dalam hati.Bodoh. Ceroboh. Bagaimana bisa ia tertidur di kamar tuannya? Bagaimana jika ada yang melihat? Bagaimana jika ini menimbulkan masal
Diana menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Bu-bukan begitu, Tuan. Saya hanya khawatir Anda kecewa pada saya dan Anda … Anda meminta uang itu lagi. Sementara uangnya sudah saya pakai semua.”Daniel menyunggingkan senyum lalu menyesap wine-nya lagi. “Kamu terlalu polos.”Diana menelan saliva mendengarnya. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. Mencaritahu yang sebenarnya atau diam saja mengikuti perintah lelaki itu.“Maaf, Tuan,” ucapnya dengan pelan.Daniel tidak merespon apa pun. Tatapannya tertuju pada pemandangan malam di balik jendela yang masih terbuka tanpa berkata sedikit pun.Beberapa waktu kemudian, gelas-gelas wine di atas meja kecil itu kini sudah berkurang isinya.Cairan merah tua berkilau di bawah lampu temaram, memantulkan bayangan tangan Daniel yang perlahan memutarnya.Diana masih duduk di sampingnya, punggungnya bersandar kaku pada sofa, napasnya terasa lebih pendek dari biasanya.Kepalanya mulai ringan, bukan karena lelah, melainkan karena efek alkohol







