Mag-log in
“Hanya dua ratus juta, Tuan! Dua ratus juta, dan putriku yang per awan ini akan jadi milik Anda!”
Seruan Jack Gilbert terdengar lantang, menyebut harga untuk Serena, putri kandungnya yang menampakkan wajah ketakutan selagi dipaksa berlutut di lantai. Sebagai seorang pemabuk, penjudi, dan pembuat onar, Jack Gilbert menumpuk utang dan sering melakukan tindakan kriminal. Sikapnya yang keji kepada sang putri semakin menjadi-jadi saat istrinya meninggal dua tahun lalu karena penyakit. Karena harta benda sudah habis terjual dan tidak ada aset lain yang dia miliki, layaknya pria tak berhati, demi bisa kembali berjudi, Jack rela menjual putrinya sendiri! “Berapa usianya?” Suara berat terdengar berucap, membuat Jack tersentak dan langsung menatap pria yang terduduk di tengah ruangan. Mengenakan pakaian serba hitam yang senada dengan warna sepasang manik abunya, tatapan pria tersebut sungguh mengintimidasi Jack dan membuatnya terpaku. “Tuan Max sedang bertanya padamu! Cepat jawab!” bentak seorang pria lain dengan kacamata yang berdiri di sebelah pria itu—asistennya. Jack pun tersentak dan langsung tersenyum lebar selagi menjawab, “Serena baru tujuh belas tahun, Tuan! Dia masih segar, tidak pernah tersentuh. Saya yakin dia bisa memuaskan Anda!” Mendengar kalimat Jack, alis Max tampak menukik. Lalu, dia pun menutup mata tanpa sedikit pun memberikan balasan. Melihat ekspresi tuannya, sang asisten pun langsung mengerti maksud tuannya. Dia menatap Jack dan berkata, “Tuan Max tidak berminat. Bawa gadis itu pergi. Daripada menjualnya, lebih baik kamu rawat putrimu itu dengan baik! Masih begitu muda, tapi sudah harus menerima ketidakadilan sampai terlihat kumal seperti itu, ayah macam apa dirimu!?” Penolakan itu membuat Jack langsung menyeret paksa putrinya lebih dekat. “Tapi, Tuan Calvin, Tuan Max, lihatlah!” Gadis itu meringis saat rahangnya dicengkeram paksa, wajahnya didongakkan agar terlihat jelas. “Putri saya memang kumal, tapi dia cantik! Anda hanya perlu memolesnya sedikit sebelum dinikmati agar puas!” Namun, melihat Calvin dan Max hanya diam. Jack yang tidak berniat menyerah kembali berkata, “K-kalau dua ratus juta tidak bisa, s-seratus juta saja! Seratus juta dan putriku ini menjadi milikmu, Tuan!” Kalimat Jack membuat Calvin memasang ekspresi jijik. Dia pernah melihat berbagai macam orang yang bersikap rendah, tapi yang secara gamblang tidak tahu malu dan memperlakukan sang putri seperti barang jualan seperti ini … baru Jack saja! Mengangkat tangan untuk mengusir, Calvin membentak, “Pergi! Jangan buang waktu kami!” Merasa tidak lagi ada harapan, Jack pun menggeram. Dia menatap Serena dan menyesali keputusannya tidak mendandani putrinya lebih dulu sebelum datang. Tidak terima tapi tidak bisa menyalahkan dua pria di hadapan, Jack pun beralih melampiaskan pada gadis di sampingnya. “Dasar anak tidak berguna! Bahkan di saat begini pun kamu hanya bisa menyusahkan!” umpatnya selagi memukuli punggung Serena beberapa kali, sebelum kemudian menyeret sang putri keluar ruangan. “Karena Tuan Max tidak bersedia membelimu, akan kujual kamu ke rumah bordil!” Mendengar kalimat sang ayah, Serena terperanjat dan langsung memohon, “Tidak, Ayah! Jangan! Aku tidak mau ke sana. Aku tidak—” “Apa kamu punya hak menolak?!” Jack kembali menyeret paksa gadis itu keluar dari ruangan besar Tuan Max. “Kalau tidak mau aku memukulimu lagi, cepat berdiri!” “Tidak, Ayah! Kumohon, aku bersedia melakukan apa pun asal jangan ke rumah bordil!” Merasa semakin kesal, Jack pun berbalik dan mengangkat tangannya. “Gadis sialan! Berani melawan kamu sekarang ya?! Rasakan in—!” “Cukup!” Suara berat yang bergema itu membuat seisi ruangan hening. Semua pasang mata langsung beralih menatap sosok Max yang terduduk di tengah ruangan dengan ekspresi sedingin es. “Satu, dua kali aku menahan diri melihat sikapmu,” ucap Max dengan sepasang mata gelap yang tajam. “Tapi kali ketiga, percaya atau tidak aku akan menyingkirkanmu?” Tubuh Jack langsung bergetar. “M-maaf, Tuan Max!” serunya lantang seraya menundukkan kepala. “S-saya akan segera pergi dari sini!” ucapnya lagi, sebelum kemudian sedikit berlutut untuk meraih lengan Serena. “Cepat pergi, atau kamu mau mati di sini dengan mengenaskan!?” tegurnya. Namun, baru saja Serena berdiri setengah diseret paksa sang ayah, tiba-tiba suara Max kembali terdengar. “Tinggalkan gadis itu di sini.” Serena dan Jack tersentak, begitu pula dengan Calvin yang langsung menatap ke arah Max. Terlihat dari singgasananya, Max menatap lurus ke arah Serena yang masih bergetar ketakutan. “Aku akan membelinya.” Semua orang terkejut, terutama Calvin. “Tuan?!” Max menatap Calvin. “Berikan yang dia mau.” “T-tapi, Tuan—” Mata Max menyipit. “Kamu tahu aku tidak suka mengulangi perintahku, Calvin.” Tidak lagi berani membalas, Calvin pun berakhir hanya bisa menghela napas. Dia langsung mengeluarkan buku cek kosong, menuliskan nominal yang terakhir disebutkan oleh Jack, lalu melemparkan kertas tersebut ke arah pria itu. “Ini! Ambil dan enyahlah!” seru Calvin. “Ah! Terima kasih, Tuan Max!” seru Jack setelah menerima cek tersebut.. “Saya jamin putri saya tidak akan mengecewakan Anda! Selama diajarkan, dia pasti mampu memuaskan Anda dengan baik!” Memerhatikan sosok Jack, Max mendengus dingin sebelum kemudian berdiri dari kursinya. “Setelah ini, jangan pernah tunjukkan wajahmu lagi di hadapanku, maupun putrimu itu.” Dia menambahkan, “Kalau tidak, aku akan melenyapkanmu saat itu juga.” Tubuh Jack bergidik, takut. Akan tetapi, mengingat bahwa dia sudah mendapatkan uangnya, dia juga tidak ingin berhubungan lagi dengan pria mengerikan di depan mata. “Tentu saja, Tuan! Saya pergi, saya pergi sekarang!” Tanpa menyempatkan diri untuk melirik putrinya lagi, Jack pun menghilang dari tempat tersebut. Ditinggalkan sang ayah, Serena berdiri di tempat itu dengan ekspresi bingung dan kehilangan. Dia … sudah benar-benar dijual sang ayah …. “Kamu ….” Serena tersentak mendengar panggilan itu, tapi dia memberanikan diri menoleh ke arah sumber suara. Yang memanggilnya tidak lain dan tidak bukan adalah pria yang baru saja membelinya, Max. “Tunggu di sini,” perintah pria tersebut seraya berbalik untuk meninggalkan ruangan, “seseorang akan segera menjemputmu.” Kemudian, pria itu berjalan pergi. Di belakangnya, Calvin mengikuti. Walau pelan, tapi samar bisa Serena dengar Calvin berucap, “Tuan, kenapa Tuan membelinya?! Terlepas dari harganya yang tidak sesuai, dia juga terlalu muda!” “Dia hanya akan menjadi pelayan, Calvin. Tidak lebih,” jawab Max, sebelum kemudian melirik Serena sesaat, menyebabkan gadis itu tersentak dan menunduk dalam. “Lagi pula, dia masih terlalu hijau untuk menjadi wanitaku.”"Keputusanku kembali berkerjasama dengan Evans Group, membuat kita bisa bertemu, Serena." Senyum manis Jeff terkembang. Dia berdiri di belakang sang kakak, lalu menepuk bahu wanita itu. "Serena, apa kamu mau memaafkan kakakku?" tanya pria itu lembut. Serena tidak langsung menjawab. Tidak seperti ketika di Paris, wanita itu sama sekali tidak bisa menangis meskipun matanya terasa panas. Sekali lagi dia menatap tunangannya yang belum bersuara. Pria itu tersenyum kecil, pandangan matanya yang lembut membuat perasaan Serena sedikit tenang. Serena menarik napas panjang. Mungkin sedikit berat, tapi kalau tidak ingin hal ini membebaninya terus menerus, Serena harus bisa melepasnya dengan hati lapang. Semua yang terjadi padanya bukan sepenuhnya kesalahan Helen. Mungkin memang takdir mengharuskan dirinya melalui jalan yang berliku sebelum menemui kebahagiaan. Sungguh tidak mudah bagi Serena, tapi jika dia tidak belajar memaafkan, hatinya mungkin tidak akan pernah tenang. Seperti ketika dirin
"Apa kalian sudah selesai mengobrol?" Max bukannya tidak tahu Serena dan lelaki yang dulu tinggi kurus itu tengah berbisik-bisik. Menyebalkan, tapi Max tidak bisa berbuat apa-apa demi menjaga image. Dia pura-pura sibuk dengan ponsel begitu duduk di pojokan sofa. Bibir Serena melengkung dan menatap tunangannya itu. "Ini sudah selesai kok. Asher bilang dia mau pergi, masih ada urusan," ucapnya, melirik Asher dengan ujung mata sambil tetap mempertahankan senyum. Alis Asher mengeriting mendengar itu. Matanya memelotot kesal. "Kapan aku bilang begitu? Aku punya banyak wak--" Dia menghentikan kalimatnya ketika Serena mendelik dan memperingatkan lelaki itu untuk tutup mulut. Bibir Asher manyun seketika. Dengan sangat terpaksa dia pun pamit. Meski sejujurnya sangat tidak rela membiarkan Serena dan Max hanya berduaan. Max hanya menggeram tak acuh ketika pria itu pamit. Setelah memastikan Asher keluar dari ruangan, dia segera menghampiri Serena dan duduk di kursi yang tadi Asher duduki. "K
Max duduk menyilangkan kaki di atas kursi kebesarannya. Wajahnya tampak dingin, dan rahangnya mengeras. Tatap tajamnya menyorot tiga wanita yang berlutut di depannya dengan wajah ketakutan. Max tidak menyangka akan melakukan ini lagi setelah beberapa tahun lamanya. Menghukum orang yang membuat masalah dengannya. Di ruang negosiasi khusus, tempat pertama kali dirinya bertemu dengan Serena remaja. Dia tidak akan membiarkan polisi dengan mudah menangkap tiga wanita yang berani mengusik Serena, sebelum menerima hukuman darinya, tentu saja. Mereka harus siap menerima konsekuensi atas perbuatan yang mereka lakukan. Max sudah terlalu memanjakan mereka selama ini sehingga ketiganya berani melampaui batas. "Apa kalian pikir Tuan Max tidak akan tahu perbuatan kalian?" Calvin yang biasa bersikap ramah pada ketiga wanita itu ikut melempar tatapan dingin dan muak. "Benar-benar tidak tahu diri. Kalau bukan karena kebaikan Tuan Max, kalian tidak akan bisa menikmati hidup. Dan jadi seperti sekar
Belum ada kabar atau petunjuk apa pun ketika Max dan Jeff sampai di selatan kota. Satu-satunya proyek pembangunan jalan tol baru yang berdekatan dengan proyek apartemen—entah milik perusahaan mana—sudah mereka datangi. Tapi tidak ada sesuatu yang mereka temukan. Semalaman suntuk Jeff dan Max berkeliling daerah itu hingga kelelahan. Keduanya memutuskan menginap di sebuah penginapan kecil untuk beristirahat sebelum melanjutkan pencarian. Namun rasa cemas berlebih tidak bisa membuat Max terpejam barang sejenak. Pikirannya kalut, kepalanya penuh dengan praduga. Entah pukul berapa dia jatuh tertidur, yang pasti ketika kembali terjaga dia melewatkan panggilan tak terjawab sebanyak tiga kali dari nomor yang tak dikenal. Refleks pria itu bergerak bangun, dan segera menghubungi balik nomor tersebut. Dia sangat berharap Serena-lah yang menghubunginya. Namun, ketika panggilan tersambung, yang dia dengar adalah suara seorang pria. "Benar ini Tuan Max Evans?" Hati Max mencelus mendengar naman
Serena membuka mata saat tubuhnya merasakan sakit luar biasa. Dia mengerjap pelan menyesuaikan cahaya terang di ruang serba putih itu. Selain atap putih bersih, hal pertama yang dia lihat adalah botol infus beserta selangnya yang tergantung di sisi kiri tempatnya berbaring. Serena menyadari dirinya berada di rumah sakit. Seketika dia bernapas lega lantaran selamat dari bahaya. Wanita itu memicingkan mata ketika merasakan sakit lagi. Dia mendengar suara pintu dibuka tidak berapa lama. Tatapnya menemukan pria yang sudah menolongnya semalam. Asher. Serena ingat semunya. Jika bukan karena kemunculan pria itu mungkin dirinya sudah tidak tertolong lagi. "Serena, kamu sudah bangun! Aku panggil dokter dulu!" seru Asher yang langsung keluar lagi. Serena yang akan membuka mulut urung. Padahal pria itu hanya perlu menekan bel emergency call untuk memanggil dokter. Tidak lama, Asher kembali masuk lagi bersama dokter dan perawat. "Keadaan pasien makin membaik, tapi dia masih perlu banyak istir
Di ruang tamu besar mansion, Max Evans mondar-mandir dengan gelisah. Bolak-balik dia menghubungi nomor ponsel Séréna tapi tidak berhasil tersambung. Ponsel wanita itu tidak aktif. Bukan hanya dia yang cemas, Jeff dan Helen yang sekarang ada di mansionnnya juga tampak khawatir. Sejak terakhir Max menghubunginya, ponsel Serena tiba-tiba tidak aktif. Satu jam, dua jam, hingga Jeff dan Helen datang, Serena belum juga pulang. Lokasi terakhir GPS menunjukkan wanita itu berada di perpus. Setelah itu dia tidak bisa melacaknya lagi. Calvin bahkan sudah ke perpus dan menghubungi petugas yang berjaga hari ini. Namun penjaga perpus mengatakan Serena sudah pulang menggunakan taksi dari beberapa jam lalu. "Ponsel Serena masih belum aktif, Max?" tanya Helen yang merasakan kecemasan sama. Max menggeleng. Raut khawatir tercetak jelas di wajahnya. Hatinya tidak tenang. Sudah pukul tujuh lebih, tapi masih belum ada kabar dari Serena. "Bagaimana kalau kita lapor polisi saja?" usul Helen. "Polisi ti







