Mag-log inDapur di pagi menjelang siang lebih sibuk dari biasanya. Semua tangan tidak menganggur, mengerjakan bagiannya masing-masing. Termasuk Serena yang saat ini tengah membantu Lety mengiris buah-buahan.
"Kalian tahu, apa yang terjadi pagi tadi?" Suara Lety menarik perhatian beberapa pelayan yang ada di dapur. Sambil mengerjakan tugas, mereka pun memasang telinga baik-baik. "Tuan Max, yang biasanya dingin dan senggol dikit bacok itu tiba-tiba melunak di depan Serena," infonya penuh kegirangan. "Maksudnya gimana?" tanya pelayan lain menimpali. "Waktu aku sama Serena touring mansion, nggak sengaja gadis bodoh ini." Lety menunjuk Serena yang masih sibuk di sebelahnya. "malah menabrak Tuan Max. Aku pikir dia akan dimaki, nggak tahunya Tuan Max membantu dia berdiri sambil bilang 'ada yang sakit' ajaib kan?" "Masa sih?" Berbagai macam reaksi terlihat dari wajah para pelayan di sana. Ada yang ikut kehebohan seperti Lety, ada juga yang mencibir. "Alah, itu mah karena dia sedang beruntung saja," komentar pelayan lain yang sedang membersihkan piring. "Iya, mungkin mood Tuan Max lagi bagus," timpal lainnya. Tak terkecuali Nina, yang terus memasang wajah masam saat Lety bercerita. Dia menatap sengit ke arah Serena yang terlihat masih diam saja seraya memotong buah. "Nggak! Aku tebak Tuan Max punya perasaan khusus sama si bodoh ini!" bantah Lety, sambil melirik sebal Serena. Dia masih kesal karena pelayan itu tidak peduli dengan sarannya. Helaan napas berat Serena terdengar. Dia tidak berkomentar apa pun. Terlalu lelah untuk mengoreksi pemikiran Lety. "Apa mulut kalian tidak bisa diam saat sedang bekerja?" Keributan di dapur sontak hening saat Jessica datang. Dengan mata tajamnya kepala pelayan itu memperhatikan anak buahnya di dapur. "Fokus dan kerjakan tugas kalian. Sebentar lagi memasuki jam makan siang. Jangan sampai Tuan Max marah karena kalian telat menyajikan makanan!" seru Jessica lagi dengan lantang. "Baik, Bi!" Kompak mereka semua menjawab. Kemunculan Jessica menyelamatkan Serena dari bahan gibah. Entah gibah macam apa yang dilakukan di depan orangnya langsung? "Apa Serena Gilbert ada di sini?" Semua serentak menoleh saat mendengar suara seorang pria. Kecuali Jessica dan Serena semua mata di sana tampak berbinar melihat kemunculan pria itu. Pria bermata biru yang selalu mengumbar senyum menawan, Calvin. Jessica maju dan tersenyum. "Anda ada perlu dengan Serena, Tuan Calvin?" "Ya!" Mata Calvin hampir lepas melihat para pelayan berpenampilan menarik di depannya. Saat itulah dia menemukan Serena di antara mereka. "Serena! Come here!" Yang jadi objek tidak langsung menuruti perintah asisten Max itu. Serena malah melirik Jessica, seolah meminta persetujuan. Jessica yang paham sinyal itu lantas mengangguk. Mengizinkan Serena ikut dengan Calvin. "Selamat bekerja kembali, Wanita-wanita cantik," ucap Calvin sambil mengedipkan mata genit sebelum menjauh bersama Serena. ** "Anda yakin Tuan Calvin?" Serena masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Mata cokelatnya terbelalak. Calvin memberinya formulir untuk mendaftar ke perguruan tinggi. Sejak lulus sekolah, bermimpi untuk melanjutkan kuliah saja tidak berani. Pria bermata biru di depan Serena tersenyum. "Ya. Tuan Max berbaik hati menyekolahkan kamu lagi." Meski sangat senang keraguan masih mengusik hati Serena. Banyak pertanyaan yang berjejalan di kepala. Baginya nasib baik ini terasa janggal. "Ada apa? Kamu tidak ingin lanjut kuliah?" tanya Calvin saat melihat keraguan di mata cokelat Serena. Menekan sedikit rasa bahagianya, Serena menatap tenang pria itu. "Tuan Calvin, kenapa Tuan Max ingin saya bersekolah lagi? Bukankah saya hanya gadis yang dia beli? Apa dia—" "Jangan terlalu berpikir buruk tentang Tuan Max. Dia memang sudah membelimu, tapi bukan berarti kamu akan dijadikan wanitanya," potong Calvin seakan tahu isi hati gadis itu. Dia memutar badan lantas berjalan ke arah jendela ruangan. "Tuan Max tidak sekejam itu menjadikan gadis di bawah umur sebagai wanitanya." Pernyataan itu tidak membuat hati Serena lega. Masih saja ada hal yang mengganjal hatinya. "Apa ... Apa ada yang harus saya berikan sebagai timbal baliknya?" Ya, Max Evans seorang pebisnis. Tidak mungkin dia rela melakukan hal tanpa imbalan yang sesuai. Siapa pebisnis yang mau rugi dan membakar uang secara percuma? Kecurigaan Serena seolah terjawab saat Calvin berbalik menghadapnya lagi dengan senyum yang sulit diartikan. "Tentu saja, Serena. Ada harga yang harus kamu bayar mahal untuk setiap kebaikan yang Tuan Max beri padamu." Gadis itu sedikit tertegun. Di dunia ini tidak ada yang gratis. Tatapannya bergulir ke kertas di tangannya. Ini kesempatan bagus, setidaknya dia bisa menaikkan level dirinya, meskipun ujung-ujungnya jatuh juga ke tangan Max Evans. "Isi formulir itu pelan-pelan. Kalau sudah selesai, kamu bisa kembali temui saya," tutup Calvin sebelum beranjak pergi. Kembali Serena membaca deretan huruf di selembar kertas tersebut. Tidak tanggung-tanggung, Calvin memilih perguruan tinggi yang terkenal bergengsi di kota ini. Yang uang masuknya membuat Serena menelan ludah seketika. "Kertas apa itu?" Badan Serena agak terdorong ke depan ketika Lety tiba-tiba datang dan menyenggol lengannya lalu mengintip kertas di tangan Serena. "Apa? Formulir pendaftaran kuliah?" Mata Lety membola, tidak percaya apa yang dia baca. "Siapa yang kasih itu ke kamu?!" Suara keras Lety bisa mengundang perhatian penghuni mansion. Cepat-cepat Serena menutup mulut wanita itu dengan tangan dan mendorongnya memasuki tempat yang agak sepi. Lety jelas tak terima. Dia mengempaskan tangan kurang ajar Serena dan mendelik. "Kamu—" "Kak Lety, please, bisa tenang nggak?" potong Serena menekan nada suaranya. "Nggak bisa. Itu—" Lety menunjuk kertas itu. "Kamu mau kuliah? Gimana bisa? Kamu itu cuma pelayan di sini, Tuan Max nggak akan mengizinkan kamu keluar, dia—" "Dia yang memintaku kuliah," jawab Serena memangkas ocehan perempuan seksi itu. Mulut Lety ternganga. Pangkal alisnya menyatu. "Jangan bercanda!" Serena mengangkat bahu, lantas kembali menatap kertas yang dia pegang. "Heh, bocah!" Lety memicingkan mata, memajukan wajahnya. "Kamu melakukan apa sampai Tuan Max bisa baik begini?" "Aku nggak melakukan apa-apa." "Jangan bohong! Aku yang sudah bekerja di sini tahunan saja nggak sekali pun Tuan Max melirikku. Sementara kamu?" Mata Lety memindai Serena dari bawah ke atas. "Bahkan badan kamu nggak ada bagus-bagusnya. Sangat kurus." Serena tersenyum geli. Meskipun mulutnya menyebalkan, tapi Lety bukan wanita jahat. "Mungkin karena aku kurus, jadi Tuan Max kasihan padaku," sahut Serena asal, lalu berbalik badan meninggalkan Lety. "Hei, Serena! Tunggu." Serena membiarkan pelayan seksi itu mengejarnya. Dia yakin sebelum mendapat jawaban yang memuaskan Lety akan terus menghujaninya dengan berbagai macam pertanyaan."Keputusanku kembali berkerjasama dengan Evans Group, membuat kita bisa bertemu, Serena." Senyum manis Jeff terkembang. Dia berdiri di belakang sang kakak, lalu menepuk bahu wanita itu. "Serena, apa kamu mau memaafkan kakakku?" tanya pria itu lembut. Serena tidak langsung menjawab. Tidak seperti ketika di Paris, wanita itu sama sekali tidak bisa menangis meskipun matanya terasa panas. Sekali lagi dia menatap tunangannya yang belum bersuara. Pria itu tersenyum kecil, pandangan matanya yang lembut membuat perasaan Serena sedikit tenang. Serena menarik napas panjang. Mungkin sedikit berat, tapi kalau tidak ingin hal ini membebaninya terus menerus, Serena harus bisa melepasnya dengan hati lapang. Semua yang terjadi padanya bukan sepenuhnya kesalahan Helen. Mungkin memang takdir mengharuskan dirinya melalui jalan yang berliku sebelum menemui kebahagiaan. Sungguh tidak mudah bagi Serena, tapi jika dia tidak belajar memaafkan, hatinya mungkin tidak akan pernah tenang. Seperti ketika dirin
"Apa kalian sudah selesai mengobrol?" Max bukannya tidak tahu Serena dan lelaki yang dulu tinggi kurus itu tengah berbisik-bisik. Menyebalkan, tapi Max tidak bisa berbuat apa-apa demi menjaga image. Dia pura-pura sibuk dengan ponsel begitu duduk di pojokan sofa. Bibir Serena melengkung dan menatap tunangannya itu. "Ini sudah selesai kok. Asher bilang dia mau pergi, masih ada urusan," ucapnya, melirik Asher dengan ujung mata sambil tetap mempertahankan senyum. Alis Asher mengeriting mendengar itu. Matanya memelotot kesal. "Kapan aku bilang begitu? Aku punya banyak wak--" Dia menghentikan kalimatnya ketika Serena mendelik dan memperingatkan lelaki itu untuk tutup mulut. Bibir Asher manyun seketika. Dengan sangat terpaksa dia pun pamit. Meski sejujurnya sangat tidak rela membiarkan Serena dan Max hanya berduaan. Max hanya menggeram tak acuh ketika pria itu pamit. Setelah memastikan Asher keluar dari ruangan, dia segera menghampiri Serena dan duduk di kursi yang tadi Asher duduki. "K
Max duduk menyilangkan kaki di atas kursi kebesarannya. Wajahnya tampak dingin, dan rahangnya mengeras. Tatap tajamnya menyorot tiga wanita yang berlutut di depannya dengan wajah ketakutan. Max tidak menyangka akan melakukan ini lagi setelah beberapa tahun lamanya. Menghukum orang yang membuat masalah dengannya. Di ruang negosiasi khusus, tempat pertama kali dirinya bertemu dengan Serena remaja. Dia tidak akan membiarkan polisi dengan mudah menangkap tiga wanita yang berani mengusik Serena, sebelum menerima hukuman darinya, tentu saja. Mereka harus siap menerima konsekuensi atas perbuatan yang mereka lakukan. Max sudah terlalu memanjakan mereka selama ini sehingga ketiganya berani melampaui batas. "Apa kalian pikir Tuan Max tidak akan tahu perbuatan kalian?" Calvin yang biasa bersikap ramah pada ketiga wanita itu ikut melempar tatapan dingin dan muak. "Benar-benar tidak tahu diri. Kalau bukan karena kebaikan Tuan Max, kalian tidak akan bisa menikmati hidup. Dan jadi seperti sekar
Belum ada kabar atau petunjuk apa pun ketika Max dan Jeff sampai di selatan kota. Satu-satunya proyek pembangunan jalan tol baru yang berdekatan dengan proyek apartemen—entah milik perusahaan mana—sudah mereka datangi. Tapi tidak ada sesuatu yang mereka temukan. Semalaman suntuk Jeff dan Max berkeliling daerah itu hingga kelelahan. Keduanya memutuskan menginap di sebuah penginapan kecil untuk beristirahat sebelum melanjutkan pencarian. Namun rasa cemas berlebih tidak bisa membuat Max terpejam barang sejenak. Pikirannya kalut, kepalanya penuh dengan praduga. Entah pukul berapa dia jatuh tertidur, yang pasti ketika kembali terjaga dia melewatkan panggilan tak terjawab sebanyak tiga kali dari nomor yang tak dikenal. Refleks pria itu bergerak bangun, dan segera menghubungi balik nomor tersebut. Dia sangat berharap Serena-lah yang menghubunginya. Namun, ketika panggilan tersambung, yang dia dengar adalah suara seorang pria. "Benar ini Tuan Max Evans?" Hati Max mencelus mendengar naman
Serena membuka mata saat tubuhnya merasakan sakit luar biasa. Dia mengerjap pelan menyesuaikan cahaya terang di ruang serba putih itu. Selain atap putih bersih, hal pertama yang dia lihat adalah botol infus beserta selangnya yang tergantung di sisi kiri tempatnya berbaring. Serena menyadari dirinya berada di rumah sakit. Seketika dia bernapas lega lantaran selamat dari bahaya. Wanita itu memicingkan mata ketika merasakan sakit lagi. Dia mendengar suara pintu dibuka tidak berapa lama. Tatapnya menemukan pria yang sudah menolongnya semalam. Asher. Serena ingat semunya. Jika bukan karena kemunculan pria itu mungkin dirinya sudah tidak tertolong lagi. "Serena, kamu sudah bangun! Aku panggil dokter dulu!" seru Asher yang langsung keluar lagi. Serena yang akan membuka mulut urung. Padahal pria itu hanya perlu menekan bel emergency call untuk memanggil dokter. Tidak lama, Asher kembali masuk lagi bersama dokter dan perawat. "Keadaan pasien makin membaik, tapi dia masih perlu banyak istir
Di ruang tamu besar mansion, Max Evans mondar-mandir dengan gelisah. Bolak-balik dia menghubungi nomor ponsel Séréna tapi tidak berhasil tersambung. Ponsel wanita itu tidak aktif. Bukan hanya dia yang cemas, Jeff dan Helen yang sekarang ada di mansionnnya juga tampak khawatir. Sejak terakhir Max menghubunginya, ponsel Serena tiba-tiba tidak aktif. Satu jam, dua jam, hingga Jeff dan Helen datang, Serena belum juga pulang. Lokasi terakhir GPS menunjukkan wanita itu berada di perpus. Setelah itu dia tidak bisa melacaknya lagi. Calvin bahkan sudah ke perpus dan menghubungi petugas yang berjaga hari ini. Namun penjaga perpus mengatakan Serena sudah pulang menggunakan taksi dari beberapa jam lalu. "Ponsel Serena masih belum aktif, Max?" tanya Helen yang merasakan kecemasan sama. Max menggeleng. Raut khawatir tercetak jelas di wajahnya. Hatinya tidak tenang. Sudah pukul tujuh lebih, tapi masih belum ada kabar dari Serena. "Bagaimana kalau kita lapor polisi saja?" usul Helen. "Polisi ti







