Mag-log inGosip Serena kuliah dengan cepat menyebar. Sejak kedatangannya, gadis itu kerap menjadi topik hangat di kalangan pelayan mansion Max Evans.
Tanggapan mereka bermacam-macam. Ada yang hanya sekedar iri, ada juga yang benci karena merasa tersaingi.
Kening Serena mengerut ketika datang ke area dapur dan melihat para seniornya menatapnya tajam. Dia berusaha mengabaikan dan lanjut berjalan menuju sink untuk membersihkan peralatan makan bekas Max Evans.
"Oh, jadi ini pelayan yang katanya menarik hati Tuan Max?"
Serena baru saja meletakan piring kotor di sink saat salah seorang pelayan menegurnya dengan nada sinis. Gadis itu hanya bisa menghela napas berat lalu menyalakan kran air. Tidak menghiraukan.
Namun baru satu piring dia cuci, seseorang menarik bahunya sehingga piring itu terlepas dan jatuh ke sink. Menimbulkan bunyi peraduan piring yang nyaring.
"Ups, jatuh ya? Sori, sengaja." Lalu tawa mengejek mereka terdengar.
Namun Serena tetap tidak bereaksi. Dia kembali meraih piring itu. Tapi...
"Kamu tuli ya!" Seorang pelayan yang Serena tahu bernama Nina mencengkeram bahunya tiba-tiba. "Jangan berlagak sombong kamu di sini! Kamu itu nggak ada bedanya dengan kita. Bahkan lebih murahan! Kami datang ke sini karena mengikuti seleksi ketat. Sementara kamu di sini karena dibeli oleh Tuan Max. Menjijikan sekali!" Nina mendorong Serena hingga pinggang gadis itu membentur pinggiran dapur.
Serena meringis nyeri. Dia lelah harus menghadapi perundungan seperti ini lagi. Tidak bisakah sekali saja hidupnya bisa bernapas tenang?
Selain Nina ada tiga pelayan lain berwajah seram mengelilingi dirinya.
"Dan sekarang kamu mau kuliah?! Yang benar saja! Gadis seperti kamu nggak pantas menerima kebaikan Tuan Max! Dengar, mulai hari ini kamu harus mengerjakan tugas kami berempat!"
Mata cokelat Serena menatap tajam mereka berempat. Tidak terima dengan perlakuan semena-mena itu. "Aku nggak mau."
"Berani melawan kamu?! Kami di sini lebih senior, jadi kamu harus patuh apa kata kami!"
Rahang Serena mengetat. Dia memang tidak berdaya dan tidak berani melawan perbuatan jahat ayahnya, tapi di luar dia tidak selemah itu.
"Memang kenapa kalau kalian senior? Status kalian tetap sama denganku. Sama-sama pelayan!"
Kemarahan Nina makin memuncak saat Serena berani melawannya. Dia segera mengangkat tangan, dan tak segan menarik rambut Serena. Hingga gadis itu terpekik.
"Kamu benar-benar minta dikasih pelajaran! Biar aku kasih tahu bagaimana cara menghormati senior!"
Serena menjerit ketika rambutnya ditarik. Nina, disoraki pelayan lain, menyeret Serena keluar dari dapur. Mereka merasa aman berbuat sesuka hati karena Jessica, si kepala pelayan sedang tidak ada di mansion. Namun mereka lupa bahwa Max Evans masih ada di sana.
"Sedang apa kalian?!"
Suara berat dan dingin itu mengejutkan mereka yang membuat kegaduhan. Nina kontan melepas jenggutannya dari rambut Serena. Sementara tiga pelayan lain yang bersorak kehebohan langsung bungkam dan menunduk melihat kemunculan Max Evans bersama Calvin.
"Kalian sedang membuat pertunjukan ya?" sindir Calvin tersenyum lebar. Namun tidak ada yang berani menyahutinya.
Mata tajam Max memindai situasi. Terutama keadaan Serena. Lalu pelayan lain yang bersama gadis itu. "Kekacauan apa yang kalian buat?" tanya Max dengan rahang mengetat.
"Tuan Max, maaf kalau kami mengganggu Anda. Kami hanya sedang menegur Serena karena dia tidak mau mendengar arahan kami," sahut Nina dengan suara yang dibuat lemah lembut. Wanita itu tampak begitu percaya diri dan sama sekali tidak terlihat merasa bersalah setelah membuat kegaduhan.
Ujung mata Serena melirik perempuan itu. Jika di depannya tidak ada Max Evans mungkin dia sudah memutar bola mata mendengar kebohongan Nina.
"Menegur? Dengan menarik rambut rekanmu seperti tadi?" Max Evans menyipitkan mata, terlihat muak. Urusannya begitu banyak dan dia harus melihat adegan para pelayan mengacaukan mansion.
Nina di tempatnya tidak berani buka suara lagi. Wajah Max Evans cukup membuatnya paham bahwa pria itu sedang menahan kesal. Dia memilih cari aman dengan menundukkan kepala.
"Aku paling tidak suka ada yang membuat keributan di mansion ini apalagi sampai melakukan tindakan kekerasan seperti tadi. Jika sudah tidak betah di sini, kalian berempat bisa angkat kaki."
Wajah Nina sontak mendongak mendengar ancaman itu. Hatinya merasa tak terima karena tuannya lebih membela orang baru di sini. "Kami tidak berani, Tuan. Kami hanya—"
"Jika aku melihat kejadian seperti ini lagi, kalian tidak akan aku maafkan," potong Max tanpa basa-basi. Ujung matanya melirik Serena yang sejak dirinya muncul, tidak bersuara. "Serena, kamu ikut aku," perintahnya lalu kembali mengayunkan langkah bersama Calvin. Serena pun tanpa bertanya segera mengekorinya.
"Tapi Tuan Max!"
Suara lantang milik Nina menghentikan langkah pria jangkung itu. Tanpa menoleh, dia menunggu kelanjutan ucapan pelayan itu.
"Apa hebatnya perempuan itu sehingga bisa menarik perhatian Tuan dibandingkan kami yang sudah lama ikut dengan Tuan?"
Calvin di sisi Max Evans menyeringai geli mendengar ucapan konyol pelayan itu. Iri hati membuatnya lancang melempar kalimat sembarangan.
Sementara tiga pelayan lain di sisi Nina mendadak panik. Ucapan Nina barusan akan menjadi musibah bagi mereka. Mereka mengumpat dalam hati.
"Calvin." Suara berat Tuan Max memanggil. "Kamu urus sampah tidak berguna itu," ucapnya sebelum kembali melangkah.
***
"Ada yang luka?"
"Saya nggak apa-apa, Tuan."
Hanya jambakan kecil tidak ada artinya bagi Serena. Dia bahkan sering mendapat kekerasan lebih dari ini dari ayahnya.
Dalam hati dia meringis pilu jika mengingat penderitaannya selama ini.
Max menarik napas panjang seraya menatap gadis di depannya. Dia baru tahu jika kedatangan Serena memicu ketidak-sukaan para pelayan lain.
"Lain kali jangan diam saja saat orang lain menindasmu."
"Saya nggak diam. Kalau Tuan Max tadi nggak datang, saya bisa melawan mereka," jawab Serena terdengar percaya diri.
Namun Max Evans yang kini berdiri di balik meja kerjanya menyeringai kecil, seolah mengejek. "Terdengar pemberani. Kenapa keberanianmu tidak digunakan untuk melawan ayahmu? Kamu tidak akan berakhir di sini kalau berani melawan dia."
"Itu—"
Serena kehilangan kata-kata. Ucapan Tuan Max memangkas habis rasa percaya dirinya. Dia akui tidak bisa melawan Jack Gilbert. Tiap kali ingin melawan, Serena akan teringat ibunya.
Melawan artinya menambah penderitaan sang ibu. Tanpa sadar Serena meremas tangan. Dadanya mendadak sesak mengingat selama hidup, ibunya tidak pernah mengecap kebahagiaan. Namun yang mengherankan dulu ibu sama sekali tidak mau meninggalkan ayahnya. Bahkan cenderung menasehati Serena agar tidak membenci pria jahat itu.
Entah apa yang wanita itu harapkan dari suami pemabuk dan penjudi itu. Jika ibu bisa menyaksikan langsung Jack Gilbert menjualnya ke pria kaya, mungkin dia tidak akan pernah memberi nasehat itu.
"Bagaimana persiapan kuliah kamu?" tanya Max, mengalihkan topik pembicaraan saat melihat ketidaknyamanan di wajah bersih Serena.
Bibir Serena melengkung samar. "Saya sudah menyerahkan formulir pendaftaran ke Tuan Calvin. Tapi saya perlu mengikuti ujian masuk lebih dulu."
Max bisa melihat semangat besar di netra cokelat gadis itu. Dia mengangguk. "Good. Aku beri kamu kesempatan untuk mempersiapkan diri. Setelah pukul lima sore kamu tidak perlu bekerja lagi. Untuk sementara Jessica yang akan mengurus keperluanku."
Mendengar itu Serena terdiam. Masih bingung dengan sikap Max Evans padanya. Setelah membelinya bahkan pria itu menyekolahkannya. Belum lagi soal tempat tinggal. Dia diperbolehkan tinggal di mansion, sementara pelayan lain tidak. Serena tidak mengerti.
Perbedaan itu Serena sadari dengan jelas. Tidak heran jika para pelayan lain menaruh iri dan kebencian padanya.
Namun seperti apa yang Calvin katakan padanya bahwa ada harga yang harus dia bayar mahal untuk setiap kebaikan yang Tuan Max beri padanya.
"Tuan...." Serena ingin menanyakan kegundahan hatinya. "Terima kasih karena Anda sudah memberi saya kesempatan bersekolah lagi," ujarnya sembari menautkan tangan, lalu meremasnya. Dia mengumpulkan keberanian yang tersisa untuk bertanya satu hal. "Tapi Tuan, apakah ... apakah setelah lulus nanti saya ... saya akan jadi milik Anda?"
Dua alis tebal Max naik mendengar pertanyaan konyol itu. Ingin rasanya tertawa geli, tapi bibirnya menolak bergerak.
Pria itu keluar dari rongga antara meja dan kursi lantas berjalan mendekati Serena yang saat ini tampak tegang.
Ketika berdiri tepat di hadapan gadis itu, tangannya terangkat, meraih dagu runcing milik Serena hingga tatapan mereka bertemu pada satu titik.
"Sejak ayahmu menerima uangku, kamu memang sudah menjadi milikku, Serena."
"Keputusanku kembali berkerjasama dengan Evans Group, membuat kita bisa bertemu, Serena." Senyum manis Jeff terkembang. Dia berdiri di belakang sang kakak, lalu menepuk bahu wanita itu. "Serena, apa kamu mau memaafkan kakakku?" tanya pria itu lembut. Serena tidak langsung menjawab. Tidak seperti ketika di Paris, wanita itu sama sekali tidak bisa menangis meskipun matanya terasa panas. Sekali lagi dia menatap tunangannya yang belum bersuara. Pria itu tersenyum kecil, pandangan matanya yang lembut membuat perasaan Serena sedikit tenang. Serena menarik napas panjang. Mungkin sedikit berat, tapi kalau tidak ingin hal ini membebaninya terus menerus, Serena harus bisa melepasnya dengan hati lapang. Semua yang terjadi padanya bukan sepenuhnya kesalahan Helen. Mungkin memang takdir mengharuskan dirinya melalui jalan yang berliku sebelum menemui kebahagiaan. Sungguh tidak mudah bagi Serena, tapi jika dia tidak belajar memaafkan, hatinya mungkin tidak akan pernah tenang. Seperti ketika dirin
"Apa kalian sudah selesai mengobrol?" Max bukannya tidak tahu Serena dan lelaki yang dulu tinggi kurus itu tengah berbisik-bisik. Menyebalkan, tapi Max tidak bisa berbuat apa-apa demi menjaga image. Dia pura-pura sibuk dengan ponsel begitu duduk di pojokan sofa. Bibir Serena melengkung dan menatap tunangannya itu. "Ini sudah selesai kok. Asher bilang dia mau pergi, masih ada urusan," ucapnya, melirik Asher dengan ujung mata sambil tetap mempertahankan senyum. Alis Asher mengeriting mendengar itu. Matanya memelotot kesal. "Kapan aku bilang begitu? Aku punya banyak wak--" Dia menghentikan kalimatnya ketika Serena mendelik dan memperingatkan lelaki itu untuk tutup mulut. Bibir Asher manyun seketika. Dengan sangat terpaksa dia pun pamit. Meski sejujurnya sangat tidak rela membiarkan Serena dan Max hanya berduaan. Max hanya menggeram tak acuh ketika pria itu pamit. Setelah memastikan Asher keluar dari ruangan, dia segera menghampiri Serena dan duduk di kursi yang tadi Asher duduki. "K
Max duduk menyilangkan kaki di atas kursi kebesarannya. Wajahnya tampak dingin, dan rahangnya mengeras. Tatap tajamnya menyorot tiga wanita yang berlutut di depannya dengan wajah ketakutan. Max tidak menyangka akan melakukan ini lagi setelah beberapa tahun lamanya. Menghukum orang yang membuat masalah dengannya. Di ruang negosiasi khusus, tempat pertama kali dirinya bertemu dengan Serena remaja. Dia tidak akan membiarkan polisi dengan mudah menangkap tiga wanita yang berani mengusik Serena, sebelum menerima hukuman darinya, tentu saja. Mereka harus siap menerima konsekuensi atas perbuatan yang mereka lakukan. Max sudah terlalu memanjakan mereka selama ini sehingga ketiganya berani melampaui batas. "Apa kalian pikir Tuan Max tidak akan tahu perbuatan kalian?" Calvin yang biasa bersikap ramah pada ketiga wanita itu ikut melempar tatapan dingin dan muak. "Benar-benar tidak tahu diri. Kalau bukan karena kebaikan Tuan Max, kalian tidak akan bisa menikmati hidup. Dan jadi seperti sekar
Belum ada kabar atau petunjuk apa pun ketika Max dan Jeff sampai di selatan kota. Satu-satunya proyek pembangunan jalan tol baru yang berdekatan dengan proyek apartemen—entah milik perusahaan mana—sudah mereka datangi. Tapi tidak ada sesuatu yang mereka temukan. Semalaman suntuk Jeff dan Max berkeliling daerah itu hingga kelelahan. Keduanya memutuskan menginap di sebuah penginapan kecil untuk beristirahat sebelum melanjutkan pencarian. Namun rasa cemas berlebih tidak bisa membuat Max terpejam barang sejenak. Pikirannya kalut, kepalanya penuh dengan praduga. Entah pukul berapa dia jatuh tertidur, yang pasti ketika kembali terjaga dia melewatkan panggilan tak terjawab sebanyak tiga kali dari nomor yang tak dikenal. Refleks pria itu bergerak bangun, dan segera menghubungi balik nomor tersebut. Dia sangat berharap Serena-lah yang menghubunginya. Namun, ketika panggilan tersambung, yang dia dengar adalah suara seorang pria. "Benar ini Tuan Max Evans?" Hati Max mencelus mendengar naman
Serena membuka mata saat tubuhnya merasakan sakit luar biasa. Dia mengerjap pelan menyesuaikan cahaya terang di ruang serba putih itu. Selain atap putih bersih, hal pertama yang dia lihat adalah botol infus beserta selangnya yang tergantung di sisi kiri tempatnya berbaring. Serena menyadari dirinya berada di rumah sakit. Seketika dia bernapas lega lantaran selamat dari bahaya. Wanita itu memicingkan mata ketika merasakan sakit lagi. Dia mendengar suara pintu dibuka tidak berapa lama. Tatapnya menemukan pria yang sudah menolongnya semalam. Asher. Serena ingat semunya. Jika bukan karena kemunculan pria itu mungkin dirinya sudah tidak tertolong lagi. "Serena, kamu sudah bangun! Aku panggil dokter dulu!" seru Asher yang langsung keluar lagi. Serena yang akan membuka mulut urung. Padahal pria itu hanya perlu menekan bel emergency call untuk memanggil dokter. Tidak lama, Asher kembali masuk lagi bersama dokter dan perawat. "Keadaan pasien makin membaik, tapi dia masih perlu banyak istir
Di ruang tamu besar mansion, Max Evans mondar-mandir dengan gelisah. Bolak-balik dia menghubungi nomor ponsel Séréna tapi tidak berhasil tersambung. Ponsel wanita itu tidak aktif. Bukan hanya dia yang cemas, Jeff dan Helen yang sekarang ada di mansionnnya juga tampak khawatir. Sejak terakhir Max menghubunginya, ponsel Serena tiba-tiba tidak aktif. Satu jam, dua jam, hingga Jeff dan Helen datang, Serena belum juga pulang. Lokasi terakhir GPS menunjukkan wanita itu berada di perpus. Setelah itu dia tidak bisa melacaknya lagi. Calvin bahkan sudah ke perpus dan menghubungi petugas yang berjaga hari ini. Namun penjaga perpus mengatakan Serena sudah pulang menggunakan taksi dari beberapa jam lalu. "Ponsel Serena masih belum aktif, Max?" tanya Helen yang merasakan kecemasan sama. Max menggeleng. Raut khawatir tercetak jelas di wajahnya. Hatinya tidak tenang. Sudah pukul tujuh lebih, tapi masih belum ada kabar dari Serena. "Bagaimana kalau kita lapor polisi saja?" usul Helen. "Polisi ti







