LOGINSejak kabar pemanggilan Risman oleh pengadilan beredar, suasana kantor utama perusahaan berubah drastis.
Ruang yang biasanya dipenuhi tawa dan percakapan ringan kini terasa dingin dan berhati-hati. Semua orang seolah menahan napas, menunggu perkembangan berikutnya.
Afie menjadi pusat perhatian. Setiap langkahnya diperhatikan, setiap kata-katanya ditimbang. Para karyawan yang dulu hanya menyapanya sekadar basa-basi, kini menatapnya dengan rasa hormat bercampur kagum.
Mereka tahu, badai besar sedang melanda perusahaan dan Afie berdiri di tengahnya, menjadi jangkar yang menahan semuanya agar tidak tenggelam.
Namun di balik semua kekacauan itu, satu sosok selalu hadir di sisinya yaitu Kaisan.
Ia bukan hanya konsultan keuangan yang datang untuk membantu mengurai benang kusut laporan perusahaan, tetapi juga teman yang tenang. seseorang yang selalu muncul di saat Afie hampir kehilangan pijakan.Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut melalui tirai t
Sejak kabar pemanggilan Risman oleh pengadilan beredar, suasana kantor utama perusahaan berubah drastis.Ruang yang biasanya dipenuhi tawa dan percakapan ringan kini terasa dingin dan berhati-hati. Semua orang seolah menahan napas, menunggu perkembangan berikutnya.Afie menjadi pusat perhatian. Setiap langkahnya diperhatikan, setiap kata-katanya ditimbang. Para karyawan yang dulu hanya menyapanya sekadar basa-basi, kini menatapnya dengan rasa hormat bercampur kagum.Mereka tahu, badai besar sedang melanda perusahaan dan Afie berdiri di tengahnya, menjadi jangkar yang menahan semuanya agar tidak tenggelam.Namun di balik semua kekacauan itu, satu sosok selalu hadir di sisinya yaitu Kaisan.Ia bukan hanya konsultan keuangan yang datang untuk membantu mengurai benang kusut laporan perusahaan, tetapi juga teman yang tenang. seseorang yang selalu muncul di saat Afie hampir kehilangan pijakan.Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut melalui tirai t
Rumah besar peninggalan kakek dari pihak ayah Afie sore itu terasa berbeda.Biasanya rumah itu hanya ramai pada acara-acara tertentu seperti lebaran, ulang tahun, atau arisan keluarga. Namun kali ini, suasananya dipenuhi keseriusan yang kental.Dari ruang tamu hingga halaman belakang, kursi-kursi tambahan disusun rapi untuk menampung seluruh anggota keluarga yang hadir.Afie berdiri di ambang pintu, menatap sekeliling dengan perasaan bercampur aduk. Ia sempat ragu ketika menerima undangan dari Om Bayu dan Om Radit untuk hadir dalam pertemuan mendadak ini.Sejujurnya, ia tak tahu harus bersikap seperti apa. Selama ini, ia merasa berjuang sendirian dalam menghadapi tekanan Risman.Kini, setiap tatapan tertuju padanya. Ada rasa gugup, haru, sekaligus lega yang sulit dijelaskan.“Afie, duduklah di sini. Ryan mana?” panggil Tante Agnes, kakak perempuan ayahnya, sambil menepuk kursi kosong di sampingnya.Afie tersenyum kecil dan
Pagi itu, udara Jakarta terasa berat, seolah masih menyimpan sisa hujan semalam. Jalanan yang biasanya riuh kini tampak lebih muram, dengan kabut tipis yang menggantung rendah, menutupi pandangan dari kejauhan.Bukan hanya langit yang mendung, badai yang lebih besar sedang bergemuruh di dunia bisnis dan media.Afie duduk di ruang kerjanya yang tenang, hanya suara lembut hujan yang menetes dari talang air menemani. Ia menatap layar laptop di depannya dengan sorot mata serius.Beberapa portal berita bisnis menampilkan headline besar yang membuat jantung siapa pun bisa berdegup kencang.“Dugaan Penyalahgunaan Dana: Nama Risman Mulai Disebut.”“Kebocoran Data Keuangan Perusahaan: Apa Peran Direksi Senior?”Setiap huruf terasa berat. Afie membaca perlahan, satu per satu, memastikan tak ada detail yang terlewat.Wajahnya tetap tenang, tapi di balik ketenangan itu ada debar yang keras bukan karena takut, melainkan kar
Pagi itu, udara di ruang rapat utama terasa berat, nyaris menyesakkan. Dinding kaca tinggi yang biasanya memancarkan kesan modern dan megah kini justru memantulkan bayangan-bayangan cemas para penghuni ruangan.Pendingin ruangan berdengung pelan, tapi hawa panas seperti menempel di kulit, menekan dari dalam.Beberapa anggota direksi sudah duduk di kursi masing-masing. Wajah mereka menegang, sebagian sibuk menunduk menatap dokumen, sebagian lain melirik ke arah pintu.Bisik-bisik kecil terdengar, seolah mereka tengah menebak arah angin akan berembus dari mana hari ini.Pintu terbuka perlahan. Afie melangkah masuk.Langkahnya mantap, tidak tergesa, tapi cukup kuat untuk mengubah suasana ruangan. Jas putih krem yang ia kenakan memberi kesan elegan sekaligus tegas.Rambutnya disanggul rapi, hanya menyisakan beberapa helai yang jatuh lembut di sisi wajah. Namun, di balik kelembutan itu, matanya menyimpan badai yang siap meledak kapan saja.
Langkah Gian terdengar mantap menyusuri koridor hotel mewah di pusat kota. Lantai marmer memantulkan kilau lampu gantung besar, menambah kesan megah sekaligus hampa.Malam itu, jas hitamnya terpasang rapi, rambutnya tertata, dan wajahnya serius. Ia bukan sedang menghadiri pesta glamor, bukan pula jamuan bisnis biasa.Ia punya misi lain, jauh lebih berisiko: menyusup ke lingkaran rekan bisnis Risman, mencari celah untuk menguak rahasia gelap yang tersembunyi selama bertahun-tahun.Sejak perpisahannya dengan Afie, hatinya diliputi penyesalan. Setiap kali mengingat wajah Afie, ada rasa bersalah yang terus menggerogoti.Ia tahu, saat itu ia terlalu lemah, terlalu takut untuk bersikap.Kini, saat badai bisnis dan reputasi tengah melanda, Gian menyadari satu hal: perjuangan Afie bukan hanya soal bisnis, tapi juga hidup dan masa depan.Jika ia masih memiliki kesempatan untuk menebus kesalahan, malam ini adalah awalnya.Ia berhenti sejenak di
Afie menutup laptopnya perlahan, sorot matanya masih tertuju pada layar yang kini gelap. Undangan rapat mendadak yang ia terima semalam masih menimbulkan rasa curiga di hatinya.Bagaimana mungkin sebuah rapat direksi yang begitu penting tidak pernah dijadwalkan sebelumnya? Perasaan itu membuatnya gelisah, meskipun ia mencoba tetap tenang di depan semua orang. Pagi itu, ia sengaja datang lebih awal ke kantor.Jalanan masih lengang, udara sejuk, dan cahaya matahari belum terlalu terik. suasana hatinya tetap berat.Bayangan tentang Gian yang masih berkeliaran di pikirannya, gosip-gosip buruk yang mulai menyebar, dan kini rapat direksi mendadak, semua itu seperti menumpuk menjadi beban baru. Afie sedang merapikan dokumen-dokumen di meja kerjanya ketika sebuah suara bariton menyapanya dari ambang pintu. “Sepertinya pagi ini kamu terlalu serius, Afie.” Afie mendongak cepat. Sorot matanya membulat kecil







