Afie menunduk sopan sambil menggenggam pegangan kopernya. “Aku permisi dulu Pak. Sepertinya bapak ada tamu penting.”
Gian mengangguk pelan tanpa memandangnya. Matanya masih tertuju pada siluet di depan pintu. “Silakan.” Afie menarik napas pendek, lalu mendorong kopernya ke arah tangga. Suara roda yang bergesekan dengan lantai terdengar pelan tapi tetap terasa mengganggu di tengah keheningan yang mendadak tegang. Di bawah, Gian menatap tamunya dalam diam. Wajah itu masih sama. Perempuan yang pernah ada di masa lalu. Dan kini, entah mengapa, berdiri lagi di depannya, seolah waktu lima tahun tak pernah terjadi. Nadia tersenyum kecil. “Hai, Gian.” Gian tidak langsung menjawab. Matanya tajam, rahangnya mengeras. “Kenapa kamu ke sini Nad?” “Aku pulang Gi,” jawab Nadia singkat. “Dan... aku butuh bicara denganmu.” “Bicara soal apa? Bukankah semua sudah selesai?” Nadia menatapnya, lama. “Kamu mungkin selesai. Tapi aku belum.” Gian menghela napas. "Silakan duduk.” Nadia masuk, langkahnya ringan tapi penuh perhitungan. Ia duduk di sofa seperti dulu, seolah segalanya belum berubah. Tapi ruangan itu sudah tidak sama. “Rumah ini... masih seperti yang kuingat,” ucapnya lirih. Gian tidak menanggapi. Nadia memandangnya dengan mata yang mencoba membaca. “Aku dengar kamu sekarang CEO perusahaan besar. Hebat, ya.” Gian tetap berdiri. “Kamu datang buat basa-basi atau...?” “Aku datang karena aku ingin minta maaf kepada kamu Gi.” Suasana menjadi hening. Gian menatap perempuan itu lama, kemudian duduk di kursi seberang. “Maaf kamu bilang? Setelah pergi tanpa penjelasan apapun?” “Aku punya alasan Gi.” “Kebanyakan orang yang meninggalkan juga bilang begitu.” Nadia menunduk. “Aku tidak bangga dengan caraku waktu itu. Tapi sekarang aku ingin memperbaiki semuanya Gi.. meski mungkin agak sedikit terlambat.” Gian menyandarkan tubuhnya, tangan disilangkan di dada. “Lima tahun sudah berlalu Nad, sudah sangat terlambat. aku sudah mengubur semuanya” Sementara itu di lantai atas, Afie baru saja membuka pintu kamarnya. saat ia melangkah keluar, bermaksud pergi ke dapur, langkahnya terhenti. Ia melihat ke bawah. Dari tangga yang ditapakinya, ia bisa melihat sebagian ruang tamu. Dan saat itu ia melihat.... Nadia mendekat ke arah Gian. Afie mematung. Wajah perempuan itu penuh emosi. Tangannya menyentuh lengan Gian, dan sebelum sempat menarik diri, Nadia mencoba mencium pipi Gian. Namun reaksi Gian cepat, ia mendorong tubuh Nadia menjauh. Kasar, tanpa ragu. “Nadia, cukup.” Nadia menatapnya, terkejut dan terluka. “Kamu... benar-benar sudah berubah Gi.” “Tidak. Aku hanya belajar untuk menghindar.. Kau juga harus menjaga batasan Nad, kau sudah bertunangan .” Afie merasa serba salah, akhirnya ia putuskan segera kembali ke dalam kamarnya. Ia tidak bermaksud mengintip, tapi semuanya tadi terjadi terlalu cepat. Pintu ditutup pelan. Tapi pikirannya tidak. Di bawah, Nadia berdiri. “Kalau begitu... aku pamit. Tapi aku harap kamu tahu, aku tidak akan pergi begitu saja kali ini, aku akan berjuang mendapatkan cintamu kembali Gi.” Gian tidak menjawab. Saat Nadia melangkah keluar, suara pintu tertutup terasa lebih berat dari biasanya. Lalu kesunyian kembali menyelimuti rumah itu. Beberapa menit kemudian, Gian naik ke lantai atas. Ia berhenti dan berdiri di depan kamar Afie, ragu sejenak, lalu mengetuk pelan. “Afie?” Tak ada jawaban. “Afie, ini saya.” Masih sunyi. Ia memutar kenop pelan tidak dikunci. Afie sedang duduk di tepi ranjang, membelakanginya. Punggungnya tegak, tapi jelas ada ketegangan yang ia tahan. Gian berdiri di ambang pintu, tidak masuk lebih jauh. “Kamu dengar tadi?” Afie mengangguk. “Tidak sengaja, tapi cukup untuk tahu kalau aku datang di saat yang salah.” “Dia masa lalu saya.” “Aku nggak tanya, Pak.” Gian mendekat satu langkah, tapi masih menjaga jarak. “Saya hanya ingin menjelaskan.” Afie menoleh, ekspresinya datar. “Tidak perlu. Aku bukan siapa-siapa di rumah ini. Cuma orang titipan untuk melayani bapak.” “Mama yang menitipkan kamu. Dan saya... tidak terbiasa ada orang lain di rumah.” “Aku tahu pak. Karena itu aku juga tidak pernah berniat mengganggu.” Gian menatapnya, tapi sulit membaca apa yang ia pikirkan. “Kalau kamu merasa tidak nyaman... saya minta maaf.” Afie terdiam. Beberapa detik kemudian, ia berkata pelan, “Aku cuma tidak ingin ikut terseret ke dalam urusan masa lalu bapak.” Gian mengangguk. “Tidak akan.” Afie menarik napas panjang. “Besok aku akan cari tempat lain.” “Kamu bisa tetap di sini kalau kamu mau.” “Aku nggak yakin itu ide yang bagus pak.” Gian tidak memaksa. “Terserah kamu.” Ia membalikkan badan, hendak pergi, tapi sebelum benar-benar keluar, ia berhenti di ambang pintu. “Satu hal lagi, Afie.” "Jangan Panggil Bapak" sambil membelalakkan mata tanda tak terima dengan panggilan itu. "Harus panggil apa, Tuan????" "Lebih baik, jadi tidak kelihatan tua" "Hah ...Orang yang aneh, menolak tua" "Saya belum tua Amanda Nawalfie" teriak Gian. Afie melirik sambil tertawa. "Iya, bawel, bagus apanya dipanggil tuan, dasar norak" "Biarin!!" “Oh ya, kalau masak untuk makan siang nanti, jangan masak telur gosong lagi.” Afie mengerjap, hampir tertawa. Tapi hanya tersenyum kecil. “Noted, Tuan Gian.” Gian mengangguk, lalu pergi. Pintu tertutup. Dan Afie kembali duduk, menatap koper yang belum sempat dibuka. Entah kenapa, hatinya masih terasa berat. "Semoga kali ini aku sepenuhnya bisa beradptasi, dan tidak mengecewakan ibu Clara, dan Tuan Gianpun tidak se Arogan biasanya." ***Afie menunduk sopan sambil menggenggam pegangan kopernya. “Aku permisi dulu Pak. Sepertinya bapak ada tamu penting.” Gian mengangguk pelan tanpa memandangnya. Matanya masih tertuju pada siluet di depan pintu. “Silakan.” Afie menarik napas pendek, lalu mendorong kopernya ke arah tangga. Suara roda yang bergesekan dengan lantai terdengar pelan tapi tetap terasa mengganggu di tengah keheningan yang mendadak tegang. Di bawah, Gian menatap tamunya dalam diam. Wajah itu masih sama. Perempuan yang pernah ada di masa lalu. Dan kini, entah mengapa, berdiri lagi di depannya, seolah waktu lima tahun tak pernah terjadi. Nadia tersenyum kecil. “Hai, Gian.” Gian tidak langsung menjawab. Matanya tajam, rahangnya mengeras. “Kenapa kamu ke sini Nad?” “Aku pulang Gi,” jawab Nadia singkat. “Dan... aku butuh bicara denganmu.” “Bicara soa
Gian melipat tangan di dada, rahangnya mengeras dan menatap wajah gadis cantik di depannya dengan perasaan tidak terima.“Saya belum tua,” ulangnya dengan nada lebih rendah, tapi sarat ancaman. "Saya... dewasa. Matang dan Berkelas.”Afie mendengus, lalu tertawa pelan. “Berkelas ... Tapi kok nyebelin ya? Dan, sorry banget, Pak Gian yang dewasa, matang, dan berkelas, tapi sampai umur segini masih jomblo. Heran juga sih... wanita mana yang tahan?”Gian menyipitkan mata. “Bukan karena nggak laku. Saya pilih-pilih.”“Ah, iya. Aku lupa. Itu juga kata kebanyakan jomblo senior,” Afie menimpali sambil mengangkat kedua alisnya, menyeringai. “Selalu bilang belum ketemu yang cocok’. Padahal kenyataannya... mereka yang nggak cocok buat siapa-siapa.”Gian mengerjap pelan. Tersentak. “Kamu bilang saya nggak cocok buat siapa pun?”Afie mengangguk santai. “Yes. Tuan arogan, keras kepala, suka ngatur, dan... overconfident. Ngomong aja seakan semua wanita di dunia ini ngantri buat nikah sama bapak.”Gi
Suara pintu pantry dibanting keras menggema di seluruh rumah. "KRAK-DHUM!" Gian terdiam membeku di tempat. Tangannya masih memegang map berisi jadwal kerja yang belum sempat ia serahkan. Napasnya sedikit tercekat, bukan karena suara bantingan pintu itu, tapi karena...tatapan terakhir Afie sebelum pergi. Tatapan itu... bukan hanya marah. Tapi juga kecewa, terluka dan menyerah. Tatapan seseorang yang lelah berjuang di medan yang tak memberinya tempat. Gian menatap pintu pantry yang kini tertutup rapat. Ada sesuatu dalam dadanya yang sesak, meski ia belum mau mengakuinya. Ponselnya tiba-tiba berdering di saku celana. Layar menunjukkan satu nama: “MAMA.” Dengan berat hati, Gian mengangkat. “Halo, Ma…” Suara di ujung telepon langsung meledak seperti badai. 'GIAN REZA RAHARDIAN" Gian terpaksa menjauhkan ponsel dari telinga. “Mama, bisa tenang dulu—” "APA YANG KAMU LAKUKAN KE AFIE?!” Suara Ibu Clara terdengar marah dan penuh kekecewaan. “Anak itu menelepon ibunya sambil menangis
"CING!!" Bunyi panci jatuh. Afie melambaikan tangan sambil batuk-batuk. “Selamat pagi, Pak. Sarapannya hampir jadi. Telurnya agak… gosong aja. tapi enak kok !” Gian memandang wajan teplon yang jatuh setelah menggoreng telur hangus dengan mata tajam. Afie menunjuk panci. “Itu black egg. Jepang banget, Pak. Antikanker" Gian menatap Afie seolah ingin melemparnya saat itu juga. “Matikan alarmnya,” desisnya, menekan pelipis. Afie panik. “Aku nggak tahu tombolnya yang mana! Semua tombol ini aku nggak faham apa fungsinya!” Gian mendekat, menekan satu tombol, dan voilá ....sunyi. Suara alarm mati, tapi kemarahan Gian jelas masih berkobar. “Afie, kamu pelayan atau pemadam kebakaran?” Afie mengangkat tangan, ekspresi serius. “Multitalenta, Pak. Hari ini aku pelayan, pemadam kebakaran, besok besok bisa saja kan aku jadi astronot. Siapa tahu.” Gian memejamkan mata sejenak, lalu membuka lemari dan mengambil kopi sendiri. “Keluar dari dapur. Sekarang.” Afie mengangguk.
“Siapa kamu?!” Bentak suara bariton itu menggelegar. Afie hampir menjatuhkan cangkir kopi. Rasanya jantungnya ikut tumpah bersama cairan hitam itu. Tangannya gemetar, menahan diri untuk menjawab. Ia berusaha menahan diri untuk tidak terpeleset menjawab. " Sial. " Baru beberapa jam di rumah ini, Afie sudah ingin kabur. Kalau cangkirnya beneran mendarat ke muka gantengnya itu, dia juga yang pasti kena imbasnya. Afie merasa menjadi gadis malang yang hidupnya jungkir balik gara-gara satu kesepakatan untuk menjadi pelayan pribadi pria menyebalkan bernama Gian Reza Rahardian. Semua demi ibunya karena biaya rumah sakit ditanggung oleh Mamanya Gian, dengan syarat Afie “mengabdi” di rumah ini. “Halo pak! Aku Amanda Nawalfie, panggil saja, Afie. Singkatnya sih, aku disuruh ibu Clara buat melayani bapak. Dan ta..da ....., aku mendarat di rumah megah ini.” katanya tersenyum cerah “Pak, ini panas. sempet tumpah sih tapi dikit. Aku nggak bisa lari-lari sambil bawa kopi. ” prot