Gian melipat tangan di dada, rahangnya mengeras dan menatap wajah gadis cantik di depannya dengan perasaan tidak terima.
“Saya belum tua,” ulangnya dengan nada lebih rendah, tapi sarat ancaman. "Saya... dewasa. Matang dan Berkelas.” Afie mendengus, lalu tertawa pelan. “Berkelas ... Tapi kok nyebelin ya? Dan, sorry banget, Pak Gian yang dewasa, matang, dan berkelas, tapi sampai umur segini masih jomblo. Heran juga sih... wanita mana yang tahan?” Gian menyipitkan mata. “Bukan karena nggak laku. Saya pilih-pilih.” “Ah, iya. Aku lupa. Itu juga kata kebanyakan jomblo senior,” Afie menimpali sambil mengangkat kedua alisnya, menyeringai. “Selalu bilang belum ketemu yang cocok’. Padahal kenyataannya... mereka yang nggak cocok buat siapa-siapa.” Gian mengerjap pelan. Tersentak. “Kamu bilang saya nggak cocok buat siapa pun?” Afie mengangguk santai. “Yes. Tuan arogan, keras kepala, suka ngatur, dan... overconfident. Ngomong aja seakan semua wanita di dunia ini ngantri buat nikah sama bapak.” Gian menyunggingkan senyum dingin. “Well, memang begitu kenyataannya. Saya CEO muda, sukses, punya jaringan bisnis internasional, tampan, charming, dan berkarisma. Wanita mana yang nggak jatuh cinta?” Afie memutar bola mata. “Kalau semua itu udah cukup buat bikin orang jatuh cinta, kenapa kamu masih tidur sendirian di kasur king-size-mu yang dingin tiap malam, Pak?” Gian terdiam. Sesaat. Lalu tertawa kecil. “Kamu pintar juga, ya. Mulutmu tajam kayak silet. Tapi tetap... kamu salah.” Afie menaikkan alis. “Salah gimana?” “Karena bukan saya yang nggak laku. Saya yang memang belum mau. Dan soal tidur sendirian... lebih baik tidur sendiri daripada tidur dengan orang yang bisanya cuma bisa masak telur gosong dan ninggalin bekas gigi di lengan orang.” Afie mendekat, menantang. “Itu tadi, barusan .. mau minta maaf atau mau nyerang balik?” Gian menunduk, berbisik lirih. “Keduanya.” Afie mendengus. “Nyebelin.” “Memang.” “Aku pergi aja, deh.” “Silakan.” Afie menatapnya sejenak. Lalu mulai mendorong koper lagi. Tapi Gian, sekali lagi, berdiri di depannya. “Tapi, kamu harus ingat ya? Meski kamu keras kepala, bikin ribut, dan suka nyindir... kamu tetap harus mengurus saya seperti permintaan mama.” Afie berhenti. “Walaupun saya terpaksa, karena kamu berisik dan buat saya kesal,” lanjut Gian, datar. Afie menyipitkan mata. "Bapak... bisa nggak sih ngomong manis lebih dari satu kalimat sebelum kesal lagi?” “Suka suka saya.” “Dan justru itu kenapa bapak susah banget dicintai.” Gian terkekeh, meski suaranya dingin. “Saya nggak butuh dicintai orang lain. Saya.. udah cukup mencintai diriku sendiri.” Afie menggertakkan gigi. “Itu dia masalahnya. Bapak terlalu sibuk menyembah ego sendiri.” Gian mendekat lagi, nyaris menempel. “Dan kamu terlalu gampang baper.” Afie menunjuk dadanya. “Karena aku punya hati.” Gian menunjuk kepala. “Dan aku punya otak.” “Duh, Tuhan,” Afie memutar mata. “Gimana sih orang ini bisa punya perusahaan besar, ya?” “Mungkin karena Saya lebih banyak mikir daripada drama.” Afie menarik napas dalam. “Dan mungkin karena Bapak nggak pernah bener-bener sayang sama siapa pun.” Gian terdiam. Dan untuk pertama kalinya... ia tidak langsung membalas. Afie melangkah mundur, menatap Gian dengan ekspresi yang tak terbaca. " Aku capek. Aku pikir... Bapak ini cuma kasar di luar. Tapi ternyata... di dalam juga.” Hening menyelimuti ruangan. Gian masih diam. Menatap Afie dengan pandangan yang tak biasa. Lebih dalam. Lebih... kosong. “Kalau aku pergi, Bapak senang, kan?” tanya Afie pelan. “Rumah Bapak jadi tenang lagi. Nggak ada yang masak telur gosong, nggak ada yang ganggu pantry pribadinya, dan sandal Hermes-bapak bisa nangkring tenang di dalam rak kaca.” Gian membuka mulut. Tapi tak ada kata keluar. Afie menghela napas. “Ya udah. Makasih ya pak sudah ngizinin aku nginep 2 hari di rumah bapak... Ternyata nggak semua tempat yang kelihatan mewah itu bisa jadi rumah.” Ia menarik kopernya, berjalan melewati Gian. Langkahnya berat. Gian masih berdiri diam. Tapi sebelum Afie mencapai pintu... “Afie.” Langkahnya terhenti. “Saya.. minta maaf.” Afie menoleh pelan. Matanya berkabut. Gian mengangkat wajah. “Saya bukan manusia sempurna yang semua orang kira nggak pernah salah.” Afie terdiam. Tatapannya melunak. “Dan... mungkin, Saya memang terbiasa sendiri, dan tidak terbiasa ada orang lain di dekat saya. Sekali lagi maaf telah bersikap tidak seharusnya” Afie menunduk. Hatinya terasa sedikit melunak. Lalu ia tersenyum kecil. “Bapak ini kalau lagi sombong...nggak ketulungan. Tapi... ya udah lah, lumayan,” ucapnya lirih, menahan tawa. Gian membalas senyum itu. “Kamu tidak jadi pergikan?” Afie menatapnya lama. “Boleh. Tapi aku nggak suka di bentak bentak.” Gian tersenyum miring. "Tapi Saya juga nggak janji buat berubah.” Mereka saling pandang. Dua orang keras kepala. Dua dunia yang tabrakan. Tapi mungkin, itu justru yang mereka butuhkan. Drama yang awalnya akan berakhir, ternyata masih menyisakan warna lain. "Afie, Satu lagi .." "Apa lagi sih pak, perasaan dari tadi satu lagi, satu lagi" sambil menggerakkan bola matanya sembari mengerucutkan bibir indahnya. Sambil menatap, Gian berjalan sambil meletakkan tangan di saku celananya "Jangan panggil saya bapak!!! "Lah, menolak tua, kenyataannya memang sudah Bapak Bapak kok, " "Saya bukan bapak bapak, dan saya bukan bapak kamu " "Mau di panggil apa Om Om, atau Tuan Arogan, atau ......" Tepat saat suasana mulai mencair... “TING-TONG.” Bel pintu depan berbunyi. Mereka berdua menoleh bersamaan. Afie mengerutkan dahi. “Siapa ya, pagi pagi sudah namu” Gian berjalan lebih dulu ke arah pintu, menekan tombol kamera interkom. Tapi layar monitor hanya menunjukkan siluet. Ia membuka pintu pelan. Dan di sanalah... seseorang berdiri. Seorang perempuan muda, rambut panjang sebahu, mengenakan mantel coklat tua, dengan wajah cantik yang penuh nostalgia. Afie mendekat dari belakang Gian, penasaran. Gian terdiam. Matanya membesar. “Halo, Gian...”suara perempuan itu pelan, tapi penuh emosi. Gian membuka mulut, suaranya tercekat. “...Nadia?” Afie menoleh cepat. “Siapa?” Perempuan itu melangkah masuk, menatap Gian tanpa berkedip. “Kamu berubah...” katanya, lirih. “Tapi... aku masih ingat semuanya. tentang kita” Afie mundur setengah langkah. Tatapannya berganti bingung. Dan Gian... Wajahnya kini tegang. Beku. “Kenapa kamu ke sini?” gumamnya pelan. Nadia tersenyum tipis. “Karena aku... pulang. Masih ada yang belum selesai di antara kita.” ***Setelah pertengkarannya di ruang rapat, siang itu di kantor Venus Enterprise terasa makin panas meski AC menyala. Cahaya matahari menyembul di sela-sela korden, membuat debu terlihat menari di udara. Suara ketukan keyboard, dan bunyi printer mengeluarkan bunyi kecil seakan menghancurkan ketenangan hati Afie, tapi ia tetap duduk di kursinya, menunduk, menahan semua yang ingin keluar. Di balik ketegangan dan kemarahan yang ada selama ini, sesungguh hatinya sangat merindukan Gian. Bukan hanya sebagai bos, tapi sebagai pria yang dulu membuatnya merasa aman. Dia rindu ketika Gian tersenyum, menatap nya dengan penuh cinta, mencium tangannya ketika mereka pulang lembur bersama. semua itu seakan hancur oleh sikap Gian yang makin hari makin kasar.Sikap cemburunya makin diluar nalar, . padahal kalau di fikir fikir dia sendiri yang telah memulai segalanya. Sikap egois yang merasa dirinya tidak bersalah dengan manta
Di dalam ruang kaca Venus Enterprise , hati dua insan di saput mendung, bahkan siap meledak. Afie sedang duduk di mejanya, menggenggam mug kopi yang mulai dingin. Laporan klien dari Bali terbengkalai karena revisinya sudah tiga kali ditolak. "Apa maunya dia, atau dia sengaja menyiksaku. Revisi beulang ulang, aku dibuatnya seperi orang bodoh" Tangan kiri Afie mengetik, sementara pikirannya terus melayang ke beberapa hari terakhir. kata-kata yang dilontarkan Gian, tatapannya yang menusuk, kata “tidak becus” yang menggema hingga ke dalam tulang sakitnya. Karena kesal, Afie lalu menutup laptopnya. Ia berusaha meredam amarahnya dengan meneguk kopi, mencoba mengumpulkan ketenangan. Tak lama, ia melihat Gian berjalan cepat melewati lorong. Langkahnya berat, dan sepertinya ia sedang menahan emosi. "Apalagi yang membuatnya kesal. Apa sebentar lagi akan terjadi ledakan" Setelah m
Sore tiba dengan langit berawan. Lampu-lampu di kantor mulai menyala satu per satu. Udara lembap, suara AC berdengung halus, mewarnai berbagai aktivitas padat di meja kerja karyawan. Afie masih duduk sembari menyelonjorkan kaki yang mulai terasa lelah. tak sengaja indra penglihatannya tertuju pada layar laptop. pesan masuk, presentasi untuk klien luar negeri sudah harus dikirim besok pagi. "Untungnya materi presentasi telah rampung ku buat. terkadang Klienpun membuat orang jadi jungkir balik, sesuka sukanya mereka. ." Afie hampir selesai merampungkan laporan bulanan, tinggal merapikan grafik dan memastikan data final. Kantor sudah sepi kecuali beberapa staff yang lembur. Di ruang rapat , Gian berdiri lalu mengatur dokumen-dokumen proyek, memikirkan ulang rencana kerja selanjutnya. Afie hari ini absen tidak mengikuti rapat internal. Setelah karyawannya keluar, Gian menyand
Venus Enterprise pagi ini nampak sangat ramai, tapi tidak untuk Gian dan Afie, ada beban tak terlihat yang memenuhi fikiran masing masing. Afie masuk dengan berjuta pikiran yang berkecamuk, rapat eksternal, revisi proposal, timeline yang terus melebar. semua menunggu, dan harus di selesaikan dengan sempurna dan maksimal.. Gian sudah menunggu di ruang rapat, dokumen sudah di tangan, ekspresinya nampak sangat serius. Gian mengangkat kepala ketika Afie masuk. “Afie, duduk di sini,” katanya sambil menunjuk kursi di samping mejanya. Afie ragu, namun tak urung sebagai sekretaris, ia tahu harus menjalankan tugas. Dengan langkah pasti, ia duduk di kursinya dalam diam. Gian membuka laptopnya dan menunjuk ke slide presentasi yang belum selesai. “Kita punya proyek baru untuk klien Borneo, mendesak, nanti aku mau kamu masuk ke tim inti,” katanya na
Pagi itu udara di Venus Enterprise terasa makin berat bagi Afie. Cahaya lampu ruang kerja dan tumpukan kertas yang menggunung tak cukup mengusir rasa sesak di dadanya. Seolah setiap bunyi keyboard adalah ketukan yang mengingatkan pada bayangan Gian. Afie berjalan menuju mejanya dengan setelan rapi, kopi di tangan kiri, tas kerja di sisi kanan. Wajahnya diam tapi hati berdengung. Di ruangannya Gian duduk menatap layar monitor, rapat sudah menunggu, tapi semua data yang tampak di layar hanya bayangan karena pikirannya tertuju hanya pada Afie. Afie keluar dari ruang sekretariat dengan map terbaru di tangannya. Laporan revisi sudah selesai. Ia hendak menuju ruang rapat untuk menyerahkannya. Tiba‑tiba dari sisi koridor, Kaisan muncul, membawa secarik catatan kecil dari tim klien. “Kau sepertinya betul betul sibuk hari ini Fie” sapanya menyodorkan catatan itu.
Pagi di kantor Venus Enterprise terasa berat. Suara ketukan keyboard, gelas kopi beradu, tawa ringan di sudut ruangan, semua terdengar biasa. Tapi tidak bagi Gian, setiap suara adalah pengingat bahwa Afie ada di sana, bekerja, bergerak, tapi tak pernah memberi ruang yang dulu pernah ia miliki. Gian melirik jam di dinding. Lima menit menuju jam istirahat. Ia sudah menyiapkan strategi. hari ini, ia akan mencoba lagi beinteraksi. bukan dengan sapa manis, melainkan dengan sedikit tekanan. Afie sedang mengimput data dalam file Excel, dahinya berkerut karena laporan klien memperlihatkan selisih kecil antara proyeksi dan realisasi. Suara pintu diketuk. Gian berdiri di depan mejanya, membawa tumpukan map. “Afie, ini data tambahan dari klien kita. Aku butuh kamu validasi semua angka dan kirim kembali ke mereka hari ini juga plus revisi grafik pendukung.” Nada Gian terdengar biasa, tapi matanya penuh arti. Ia tahu Afie tidak akan menolak dan akan menyelesaikan tugas darinya.