Beranda / Romansa / Pelayan Cantik Tuan Arogan / BAB 4 - Tidak Jadi Pergi

Share

BAB 4 - Tidak Jadi Pergi

Penulis: Pelangi Jelita
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-21 08:18:59

Gian melipat tangan di dada, rahangnya mengeras dan menatap wajah gadis cantik di depannya dengan perasaan tidak terima.

“Saya belum tua,” ulangnya dengan nada lebih rendah, tapi sarat ancaman. "Saya... dewasa. Matang dan Berkelas.”

Afie mendengus, lalu tertawa pelan. “Berkelas ... Tapi kok nyebelin ya? Dan, sorry banget, Pak Gian yang dewasa, matang, dan berkelas, tapi sampai umur segini masih jomblo. Heran juga sih... wanita mana yang tahan?”

Gian menyipitkan mata. “Bukan karena nggak laku. Saya pilih-pilih.”

“Ah, iya. Aku lupa. Itu juga kata kebanyakan jomblo senior,” Afie menimpali sambil mengangkat kedua alisnya, menyeringai.

“Selalu bilang belum ketemu yang cocok’. Padahal kenyataannya... mereka yang nggak cocok buat siapa-siapa.”

Gian mengerjap pelan. Tersentak. “Kamu bilang saya nggak cocok buat siapa pun?”

Afie mengangguk santai. “Yes. Tuan arogan, keras kepala, suka ngatur, dan... overconfident. Ngomong aja seakan semua wanita di dunia ini ngantri buat nikah sama bapak.”

Gian menyunggingkan senyum dingin. “Well, memang begitu kenyataannya. Saya CEO muda, sukses, punya jaringan bisnis internasional, tampan, charming, dan berkarisma. Wanita mana yang nggak jatuh cinta?”

Afie memutar bola mata. “Kalau semua itu udah cukup buat bikin orang jatuh cinta, kenapa kamu masih tidur sendirian di kasur king-size-mu yang dingin tiap malam, Pak?”

Gian terdiam.

Sesaat.

Lalu tertawa kecil. “Kamu pintar juga, ya. Mulutmu tajam kayak silet. Tapi tetap... kamu salah.”

Afie menaikkan alis. “Salah gimana?”

“Karena bukan saya yang nggak laku. Saya yang memang belum mau. Dan soal tidur sendirian... lebih baik tidur sendiri daripada tidur dengan orang yang bisanya cuma bisa masak telur gosong dan ninggalin bekas gigi di lengan orang.”

Afie mendekat, menantang. “Itu tadi, barusan .. mau minta maaf atau mau nyerang balik?”

Gian menunduk, berbisik lirih. “Keduanya.”

Afie mendengus. “Nyebelin.”

“Memang.”

“Aku pergi aja, deh.”

“Silakan.”

Afie menatapnya sejenak. Lalu mulai mendorong koper lagi. Tapi Gian, sekali lagi, berdiri di depannya. “Tapi, kamu harus ingat ya? Meski kamu keras kepala, bikin ribut, dan suka nyindir... kamu tetap harus mengurus saya seperti permintaan mama.”

Afie berhenti.

“Walaupun saya terpaksa, karena kamu berisik dan buat saya kesal,” lanjut Gian, datar.

Afie menyipitkan mata. "Bapak... bisa nggak sih ngomong manis lebih dari satu kalimat sebelum kesal lagi?”

“Suka suka saya.”

“Dan justru itu kenapa bapak susah banget dicintai.”

Gian terkekeh, meski suaranya dingin. “Saya nggak butuh dicintai orang lain. Saya.. udah cukup mencintai diriku sendiri.”

Afie menggertakkan gigi. “Itu dia masalahnya. Bapak terlalu sibuk menyembah ego sendiri.”

Gian mendekat lagi, nyaris menempel. “Dan kamu terlalu gampang baper.”

Afie menunjuk dadanya. “Karena aku punya hati.”

Gian menunjuk kepala. “Dan aku punya otak.”

“Duh, Tuhan,” Afie memutar mata. “Gimana sih orang ini bisa punya perusahaan besar, ya?”

“Mungkin karena Saya lebih banyak mikir daripada drama.”

Afie menarik napas dalam. “Dan mungkin karena Bapak nggak pernah bener-bener sayang sama siapa pun.”

Gian terdiam.

Dan untuk pertama kalinya... ia tidak langsung membalas.

Afie melangkah mundur, menatap Gian dengan ekspresi yang tak terbaca. " Aku capek. Aku pikir... Bapak ini cuma kasar di luar. Tapi ternyata... di dalam juga.”

Hening menyelimuti ruangan.

Gian masih diam. Menatap Afie dengan pandangan yang tak biasa. Lebih dalam. Lebih... kosong.

“Kalau aku pergi, Bapak senang, kan?” tanya Afie pelan. “Rumah Bapak jadi tenang lagi. Nggak ada yang masak telur gosong, nggak ada yang ganggu pantry pribadinya, dan sandal Hermes-bapak bisa nangkring tenang di dalam rak kaca.”

Gian membuka mulut. Tapi tak ada kata keluar.

Afie menghela napas. “Ya udah. Makasih ya pak sudah ngizinin aku nginep 2 hari di rumah bapak... Ternyata nggak semua tempat yang kelihatan mewah itu bisa jadi rumah.”

Ia menarik kopernya, berjalan melewati Gian.

Langkahnya berat.

Gian masih berdiri diam.

Tapi sebelum Afie mencapai pintu...

“Afie.”

Langkahnya terhenti.

“Saya.. minta maaf.”

Afie menoleh pelan. Matanya berkabut.

Gian mengangkat wajah. “Saya bukan manusia sempurna yang semua orang kira nggak pernah salah.”

Afie terdiam. Tatapannya melunak.

“Dan... mungkin, Saya memang terbiasa sendiri, dan tidak terbiasa ada orang lain di dekat saya. Sekali lagi maaf telah bersikap tidak seharusnya”

Afie menunduk. Hatinya terasa sedikit melunak.

Lalu ia tersenyum kecil.

“Bapak ini kalau lagi sombong...nggak ketulungan. Tapi... ya udah lah, lumayan,” ucapnya lirih, menahan tawa.

Gian membalas senyum itu. “Kamu tidak jadi pergikan?”

Afie menatapnya lama. “Boleh. Tapi aku nggak suka di bentak bentak.”

Gian tersenyum miring. "Tapi Saya juga nggak janji buat berubah.”

Mereka saling pandang. Dua orang keras kepala. Dua dunia yang tabrakan.

Tapi mungkin, itu justru yang mereka butuhkan.

Drama yang awalnya akan berakhir, ternyata masih menyisakan warna lain.

"Afie, Satu lagi .."

"Apa lagi sih pak, perasaan dari tadi satu lagi, satu lagi" sambil menggerakkan bola matanya sembari mengerucutkan bibir indahnya.

Sambil menatap, Gian berjalan sambil meletakkan tangan di saku celananya "Jangan panggil saya bapak!!!

"Lah, menolak tua, kenyataannya memang sudah Bapak Bapak kok, "

"Saya bukan bapak bapak, dan saya bukan bapak kamu "

"Mau di panggil apa Om Om, atau Tuan Arogan, atau ......"

Tepat saat suasana mulai mencair...

“TING-TONG.”

Bel pintu depan berbunyi.

Mereka berdua menoleh bersamaan.

Afie mengerutkan dahi. “Siapa ya, pagi pagi sudah namu”

Gian berjalan lebih dulu ke arah pintu, menekan tombol kamera interkom. Tapi layar monitor hanya menunjukkan siluet.

Ia membuka pintu pelan.

Dan di sanalah... seseorang berdiri.

Seorang perempuan muda, rambut panjang sebahu, mengenakan mantel coklat tua, dengan wajah cantik yang penuh nostalgia.

Afie mendekat dari belakang Gian, penasaran.

Gian terdiam. Matanya membesar.

“Halo, Gian...”suara perempuan itu pelan, tapi penuh emosi.

Gian membuka mulut, suaranya tercekat. “...Nadia?”

Afie menoleh cepat. “Siapa?”

Perempuan itu melangkah masuk, menatap Gian tanpa berkedip.

“Kamu berubah...” katanya, lirih. “Tapi... aku masih ingat semuanya. tentang kita”

Afie mundur setengah langkah. Tatapannya berganti bingung.

Dan Gian...

Wajahnya kini tegang. Beku.

“Kenapa kamu ke sini?” gumamnya pelan.

Nadia tersenyum tipis. “Karena aku... pulang. Masih ada yang belum selesai di antara kita.”

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pelayan Cantik Tuan Arogan   Extra Part 3 – Happy Ending

    Pagi itu, cahaya matahari masuk lembut melalui jendela rumah mereka. Suara tawa anak-anak memenuhi ruang tamu, berbaur dengan aroma bubur hangat dan roti panggang yang sedang disiapkan Gian. Afie duduk di sofa, perutnya yang sudah membesar akibat kehamilan pertama menonjol lembut. Ia menatap pemandangan itu, hatinya terasa hangat seperti musim semi yang lembut. “Mas Gian… kau benar-benar hebat,” bisik Afie, matanya menatap suaminya penuh cinta. Gian sedang sibuk menyiapkan sarapan, mengenakan celemek bergambar karakter kartun favorit anak-anak mereka, tampak serius tapi lucu. “Hebat? Ah, aku lebih dari hebat! Aku adalah kepala keamanan keluarga sekaligus koki profesional rumah tangga!” Gian menjawab dengan nada bangga sambil menuang jus jeruk ke gelas.

  • Pelayan Cantik Tuan Arogan   Extra Part 2– Pelangi Baru

    Pagi itu, sinar matahari masuk lembut melalui jendela kamar mereka. Afie bangun perlahan, tangan terletak di perutnya yang mulai membulat, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Ah… aku masih tidak percaya,” gumamnya sendiri. “Benar-benar… ada kehidupan kecil di sini.” Gian, yang sudah berada di dapur, menoleh begitu mendengar suara Afie. Matanya berbinar, senyum tak bisa disembunyikan. Segera ia melangkah cepat ke kamar, tangan mengambil piring sarapan yang baru selesai ia buat. “Kau bangun, sayang?” tanya Gian sambil meletakkan piring di meja samping tempat tidur. “Aku buatkan sarapan favoritmu, telur orak-arik, roti gandum, dan jus jeruk.” Afie terkekeh. “Gian… kau benar-benar protektif sejak aku bilang aku hamil, ya?” Gian mengangkat bahu dengan senyum polos, tapi tatapannya penuh arti. “Protektif? Tentu saja! K

  • Pelayan Cantik Tuan Arogan   Extra Part 1 – Akhirnya Setelah Badai

    Pagi itu, udara di sekitar rumah keluarga Afie terasa hangat dan damai.Matahari memantul lembut di kaca jendela, menembus tirai tipis yang sedikit bergoyang karena angin pagi. Aroma bunga segar memenuhi ruang tamu, berpadu dengan wangi kue dan kopi yang baru diseduh. Semua terasa biasa, tapi bagi Afie, hari itu istimewa.Ia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih sederhana dengan hiasan renda halus di lengan dan leher. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi sedikit bunga lily putih. Setiap kali ia menatap bayangannya sendiri, ada rasa hangat yang mengalir di dada campuran antara gugup, bahagia, dan lega.Badai panjang itu sudah berlalu, batinnya. Semua luka masa lalu, semua kesalahan yang membuatnya rapuh, semua ketidakpastian yang menahan hatinya selama ini, kini terasa jauh.Di ruangan lain, Gian juga bersiap dengan jas hitam rapi. Tangan kanannya menggenggam kaku buket bunga lily putih,

  • Pelayan Cantik Tuan Arogan   Bab 154 - Siapa Yang Kau Tangisi Mas

    Bandara sore itu ramai luar biasa. Orang-orang berlalu-lalang dengan langkah tergesa, koper berderak di lantai, dan pengumuman penerbangan bergema dari pengeras suara.Namun bagi Gian, semua itu terasa jauh, seolah-olah ia hidup di dunia yang berhenti berputar.Suara tawa, dering ponsel, bahkan aroma kopi dari kedai di sudut terminal tak mampu menembus dinding kehampaan yang menyelubungi hatinya.Dunia di sekelilingnya penuh warna, tetapi dalam dirinya hanya ada satu nama yang bergema tanpa henti Afie.Ia duduk di ruang tunggu, di kursi panjang yang menghadap ke landasan pacu. Sinar matahari sore memantul di kaca besar di depannya, menyorot wajah yang lelah dan mata yang sembab.Tubuhnya sedikit menggigil, bukan karena udara dingin dari pendingin ruangan, melainkan karena guncangan emosi yang menumpuk terlalu lama.Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Setiap suara pengumuman keberangkatan yang menyebut kota tujuan membuat jantun

  • Pelayan Cantik Tuan Arogan   Bab 153 - Melepas Di Bandara

    Beberapa hari terakhir, hati Afie tak pernah benar-benar tenang. Malam-malamnya selalu diisi dengan kecemasan yang tidak bisa dijelaskan.Kabar tentang Gian yang mulai lelah menunggu, bahkan sempat menangis, terus terngiang di telinganya seperti gema yang enggan menghilang.Ia duduk di balkon apartemennya, menatap langit malam yang bertabur bintang.Di tangannya, secangkir teh melati yang sejak setengah jam lalu tak disentuh. Uapnya sudah menipis, namun pikirannya justru semakin pekat.Afie menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia meyakinkan diri bahwa keputusannya untuk menjaga jarak adalah yang terbaik.Ia pikir, dengan menjauh, waktu akan mengajarkan Gian untuk memahami batasan, untuk melepaskan.Tapi ternyata, semakin jauh ia mencoba pergi, semakin kuat bayangan tatapan sendu Gian menghantui setiap langkahnya.Ada hal yang tak bisa ia pungkiri, setiap kali mendengar namanya disebut, dadanya terasa hangat sekaligus nyeri

  • Pelayan Cantik Tuan Arogan   Bab 152 - Gelisah

    Hari-hari setelah pertemuan di taman terasa berjalan begitu lambat bagi Gian.Setiap menit yang berlalu seolah menuntut kesabaran yang tak pernah ia miliki.Ia sudah berjanji pada Afie untuk menunggu, tapi ternyata menunggu jauh lebih melelahkan daripada apa pun yang pernah ia alami.Setiap pagi, begitu membuka mata, bayangan Afie langsung hadir dalam benaknya.Wanita itu bukan hanya seseorang yang ia cintai, Afie sudah menjadi bagian dari napas, dari hidup yang tak bisa ia lepaskan begitu saja.Setiap kali Gian mencoba mendekat, jarak itu seperti dinding tak kasat mata, ada, namun tak bisa ditembus.Ketika datang ke kantor atau sekadar mengintip dari jauh, pemandangan yang ia lihat selalu sama.Afie duduk di balik meja kerja dengan ekspresi serius, tenggelam dalam tumpukan dokumen.Kadang ia berdiskusi dengan Ryan, kakaknya, kadang berbicara dengan para paman tentang strategi perusahaan.Afie terlihat begitu fokus, begi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status