Kedatangan Kaysan di sambut oleh Rinjani yang sudah menunggu sejak tadi."Bagaimana kangmas, apakah mas Adhiwiryo bersedia mengulur waktu perjodohan putraku dengan anak-anaknya?" Rinjani bersimpuh di hadapan suaminya yang duduk di kursi antik lawasan jati asli."Ambilkan gelas."Rinjani tersenyum rikuh, lupa melayani suaminya karena saking antusiasnya menunggu kabar dari lelaki yang amat dicintainya."Terima kasih. Setidaknya air putih yang kamu berikan sudah cukup melegakan." Jawaban itu sekaligus menjadi gambaran tentang apa yang terjadi tadi."Puji syukur. Terima kasih untuk setiap jengkal sabar yang kerap kangmas taruh pada kami, pada setiap perkataan dan perjalanan yang sering menggerus emosi dan perasaan ini. Kami menyayangimu, Mas." Rinjani memberi hormat sebelum mencium punggung tangan suaminya.Kaysan mengelus puncak kepala istrinya. "Jika salahku masih tercelar di hati keluarga besar Tirtodiningratan. Setidaknya maafku harus terungkap dengan bersih." Kaysan menyentuh bahu ist
Rinjani berhenti mengetuk pintu kamar Suryawijaya seraya menunggu putranya dengan sabar."Le, buka pintunya. Ibunda ingin bicara." Di dalam kamar. Suryawijaya menghela napas, kemudian menghadapkan dirinya ke daun pintu tanpa berkedip. "Ibunda pasti tersinggung dengan perkataanku tadi." gumamnya seraya membuka pintu kamar. "Le." Mata sendu Rinjani membuat Suryawijaya menghela napas. "Maafkan aku ibu, seharusnya aku tidak berkata seperti tadi dan menyakiti perasaan ibu.""Kamu sedang tertekan? Ibunda bersedia menjadi teman curhatmu karena kaki tanganmu sedang menjemput mas Bimo di bandara."Pertanyaan sang Ibu membuat Suryawijaya mengangkat wajahnya seraya menggeleng."Aku hanya butuh waktu sendiri, Bun. Bisakah Ibunda kembali saja ke kamar. Ayahanda lebih membutuhkan Ibunda sekarang." Rinjani menatap putranya dengan lekat. "Kamu yakin tidak membutuhkan Ibu?” Rinjani berdehem. "Sepertinya kamu lupa kalau Ibunda sama keras kepalanya sepertimu." Rinjani menyelinap masuk ke dalam kama
Kepulangan Bimo dari kampus militer disambut baik oleh keluarga besar Kaysan Adiguna Pangarep di ruang keluarga yang kini nampak lebih ramai dari biasanya. Beberapa pelayan kinasih ikut berada di sana untuk melayani ndoro bei meski hanya duduk bersila sembari menunggu titah. Bimo yang tiba di rumah sebelum senja menghilang memberi hormat kepada orangtua angkatnya."Ibu, Ayah. Saya senang bisa kembali.” ucapnya seraya mencium punggung tangan keduanya.Mereka tersenyum menanggapi ucapan putra angkatnya yang kini bertambah kekar dan memiliki senyum yang tulus. Tak bisa mereka pungkiri bahwa kehadiran Bimo sudah tunggu-tunggu oleh mereka berdua."Kami sangat merindukanmu, Le. Apakah kamu sudah siap mengabdi lagi kepada nagari?" "Sendiko dhawuh, Ibu. Saya bersedia dengan senang hati." Suryawijaya yang bersila tak jauh dari ketiganya mencelos. Sama seperti hari biasanya yang sudah mereka lalui bersama-sama. Keunggulan Bimo dalam bidang pengabdian kerap dibanding-bandingkan oleh orang tua
Suasana pagi di rumah utama nampak sejuk dan tenang seperti biasanya. Burung-burung bernyanyi di dahan pohon bercampur dengan suara gamelan.Nawangsih tersenyum untuk dirinya sendiri dengan segenap tekad kuat di kepalanya."Cah ayu sudah siap?" tanya Eyang Ningrum sembari merapikan jarik mlipit yang dikenakan Nawangsih."Sudah eyang.""Ya sudah ayo."Keduanya lantas bergegas menuju gedung widya budaya untuk mengikuti rangkaian upacara doa bersama untuk keselamatan yang dihaturkan kepada Tuhan sebelum melakukan kegiatan inventarisasi dan digitalisasi naskah penting peninggalan sejarah yang didominasi oleh peninggalan seni budaya dan tradisi Jawa.Nawangsih terus mengikuti prosesi acara yang digelar dengan penuh ketelitian dan kesabaran.“Mas Bimo sudah kembali ya?" Citra tersenyum malu."Iya, mas Bimo sudah pulang. Sekarang baru ikut Ayahanda ke kantor untuk mengkoordinasikan kegiatannya.” Nawangsih tersenyum. "Kenapa, kangen sama masku?”"Hu'um." Citra mengangguk seraya menyikut lengan
Bimo menyempatkan diri untuk menemui ayahnya di ruang pribadinya. Dengan sedikit senyum gugup ia memberanikan diri bertanya tentang perjodohan yang dikatakan oleh Suryawijaya semalam."Bagaimana putraku? Apakah ada yang berbeda sebelum kepergianmu ke pelatihan militer?" tanya Kaysan, belum bersedia menjawab pertanyaan tersebut."Semua masih sama Ayah. Kekasihku masih ada. Hanya bajuku yang berganti ukuran." jawab Bimo lalu tersenyum.Kaysan membalas senyuman itu tak kalah manisnya. Mata bijaknya memperhatikan tubuh kekar Bimo sebentar, lalu kembali ke buku hijaunya yang tebal. "Apa yang Suryawijaya ceritakan kepadamu? Apa dia masih mengeluhkan persoalan itu?" "Saya rasa tidak Ayahanda. Semalam ndomas hanya menceritakan ide-ide baru yang menurutnya bagus untuk dijadikan solusi. Setelahnya hanya merokok saja sambil berpikir."Senyum Kaysan semakin melebar. "Apa Suryawijaya sudah membutuhkan penasihat? Bagaimana dengan Iwan, mau sampai kapan dia tidak berani menemui saya hanya karena ha
"Saya sangat berterima kasih atas kunjungan dan kebaikan Mas Surya hari ini. Ini sungguh-sungguh luar biasa." Adhiwiryo memberi hormat. Suryawijaya mengangguk takzim, "Secepatnya saya akan kembali, Romo Adhiwiryo. Saya akan mempelajarinya untuk menyimpulkan apa saja yang bisa kita siapkan dan lakukan nantinya." janjinya sungguh-sungguh untuk merangkai restu dari ayahnya.Adhiwiryo merangkul bahu Suryawijaya. "Kamu sangat mempunyai tekad kuat. Sangat mirip sekali dengan ayahmu." Adhiwiryo meremas bahu Suryawijaya dengan keras. "Sampaikan salam untuk beliau.""Baik, Romo. Nanti saya sampaikan." Suryawijaya tersenyum masam."Mari saya antar keluar."Mereka menyusuri lorong yang begitu hening sampai suara detak jam gantung terdengar menemani langkah mereka.Setibanya di parkiran motor, Suryawijaya langsung menggeber motornya dengan setengah hati. Pikirnya melayang ke mana-mana seolah benar apa yang terlihat tak bisa mendeskripsikan kenyataan yang sesungguhnya.Sedangkan Adhiwiryo menatap
Aroma wangi bunga mawar dan kantil memenuhi kamar tidur ndoro bei ketika Nawangsih menjalani pekerjaannya. Menyisir rambut Rinjani sebelum membuat sanggul modern yang berbeda dari sanggul model ukel tekuk."Bagaimana Suryawijaya, Tania? Apa dia masih tidak terima kita akan pergi berlibur?" Rinjani memperhatikan ekspresi wajah Nawangsih dari pantulan cermin. Gadis itu meringis sembari merapikan rambut panjangnya dengan luwes."Masih, Ibu. Kabarnya mau ikut, tapi tetap membawa tugas kampusnya." jelas Nawangsih sembari memasang penjepit rambut di masing-masing belakang telinga Rinjani."Kebanyakan kerjaan jadi ruwet sendiri dia!" Rinjani menggelengkan kepala hingga membuat Nawangsih ikut menyesuaikan gerakan kepala Ibunya."Ibu memang bilang untuk madep mantep, tapi ya satu-satu. Semua kok mau dicaplok bareng-bareng, bisa-bisa migren beneran nanti anak itu!" cerocos Rinjani seraya mendesah lelah.Nawangsih tersenyum karena tidak tahu harus mengomentari perihal itu dengan apa selain terus
Citra membungkuk dalam-dalam sebelum melakukan laku dhodhok-jalan jongkok ke hadapan Rinjani seraya memberi hormat."Selamat pagi, Ibu, Bapak. Terima kasih sudah memberi kesempatan untuk mengikuti tamasya hari ini." Citra tersenyum sembari menurunkan tangan ke atas pangkuannya.Kaysan dan Rinjani yang duduk di kursi antik saling melempar pandang. Ada kehangatan yang terpancar dari wajah keduanya. Mereka tersenyum penuh kasih."Dengan senang hati, Rara." balas Rinjani.Bimo mengulum senyum saat Citra menunduk dengan pipi yang merona. "Apa kalian sudah siap, anak-anakku?" Rinjani menumpuk tangannya di atas punggung tangan Kaysan seraya mengisi ruas jarinya. Semua mengiyakan. Dan berhubung jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi mereka segera menyusuri lorong yang di penuhi potret kehidupan mereka dari masa ke masa sambil menenteng barang bawaan ke arah parkiran. "Salah satu dari kalian bawa mobil Ayahanda." titah Rinjani kepada ketiga putranya. Suryawijaya, Bimo dan Pandu saling mel