Andrew cemberut, sepanjang perjalanan menuju rumah besar keluarga Nawangsih dia duduk dengan tidak tenang, sekali, dua kali dia menoleh untuk menatap Nawangsih."Sumpah gue deg-degan gak kelar-kelar dari tadi." Andrew mengaku. "Gue nginep di hotel aja, gue belum mandi, gue kusut banget sekarang. Nggak sanggup gue datang dengan keadaan seperti ini.""Gak apa-apa, Mas Drew. Ibunda dan Ayahanda paham kok." Nawangsih menenangkannya dengan mengusap punggung tangannya, "Nanti aku dampingi biar nggak kikuk.""Pandu saja yang mendampingi Mas Andrew, Nia. Kamu juga capek, kan!" timpal Suryawijaya. ‘Jangan mengada-adalah, hanya cuti seminggu saja harus di pakai untuk mengurus lelaki ini,' pikirnya dengan kesal.Pandu mengamati wajah Suryawijaya dari spion dalam. Kusut dan berantakan, rupa itu sangat lelah. Sesaat Pandu menghela napas sambil menoleh ke arah Andrew sekilas."Biar aku saja yang mendampingi, Nia. Aku lagi semangat soalnya." Pandu tersenyum cerah, "Sama aku jauh lebih santai, soalnya
Terlihat kehangatan terpancar dari wajah demi wajah yang berkumpul di ruang keluarga, Nawangsih apalagi, nampak tangannya terus menggenggam erat tangan Ayahnya yang duduk di sebelahnya. Rindu itu terbayar lunas ketika senyum di bibir Ayahnya nampak begitu lepas karena Nawangsih masih memuja Ayahnya sebagai pahlawan hidupnya. Sekarang entah siapa yang lebih lega sekaligus bahagia atas pertemuan hari ini. Suryawijaya, Nawangsih atau Ayah mereka? •••Makan malam di mulai. Suryawijaya duduk di samping Nawangsih sementara Andrew yang mengalami jetlag sejak tadi dengan jengah tersenyum kepada semua orang yang mengajaknya bicara. Kini dia malu-malu mengunyah makan malamnya sambil menatap keluarga itu."Mendekati Tania artinya menjadi seorang yang sangat baik, berbudi pekerti luhur dan hidup dalam tatanan sedangkan gue hanya seonggok daging bernyawa yang dalam kebebasan." batinnya saat memikirkan dan terus memikirkan perawan cinta itu berkali-kali. "Tapi kalau gue jalan sama Tania, banyak ha
Suryawijaya mengernyit heran seraya menatap Pandu yang tidak menyahut ucapannya. Dalam detik yang terasa setahun, Suryawijaya kontan tercekat ketika Andrew menyapa sambil berjalan mendekat.Tapi alih-alih menyembunyikan gelang emasnya terlebih dulu, Suryawijaya tetap menggenggamnya.Andrew tersenyum kikuk seraya duduk di sebrang Suryawijaya. Tatapannya masih melanjangi gelang itu dengan saksama. Pandu maklum saja dengan reaksi itu, tapi tidak dengan Suryawijaya. Lelaki itu nampak ingin menunjukkan siapa dirinya bagi Nawangsih."Maaf nih Mas kayaknya gue bangun kesiangan jadi ketinggalan kumpul-kumpulnya." ucapnya ramah sambil memandang Suryawijaya. "Bukannya itu gelangnya Tania, Mas? Nggak asing di mata gue soalnya." imbuhnya dengan nada sungkan.Andrew bukan laki-laki celamitan yang ingin tahu segalanya, cuma begitu melihat gelang emas yang lama tidak di pakai Nawangsih memang membuatnya penasaran. Terlebih pada Suryawijaya gelang itu berada sekarang.Suryawijaya mengangguk, mungkinka
Burung berkicau ketika angin kencang berhembus menerpa pepohonan hingga mengugurkan rintik-rintik air sisa hujan semalam ke tubuh Suryawijaya saat melewati jalan turunan setelah menikmati malam di puncak gunung S di Jawa Tengah.Wajahnya yang lelah terlihat bahagia, demi apapun setelah perkara paling memusingkan kepala rasanya begitu melegakan bisa menyusuri medan pendakian yang kembali memancing adrenalin dan staminanya untuk merasakan dinginnya udara hutan lebat dan pemandangan yang luar biasa asri."Mas, Mas Surya. Tungguin toh." Tarikan napas Iwan terdengar seperti orang-orang yang sedang mengikuti ajang festival San Fermin di kota Pamplona, Spanyol. Dia terengah-engah seakan di kejar banteng liar yang hendak menyeruduknya. Meski kenyataanya dia hanya menuruni trek pendakian dengan langkah yang sangat hati-hati.Jalan setapak yang licin dan basah akibat hujan semalam masih berpotensi membuatnya mati terpeleset dan jatuh ke jurang atau hipotermia karena kedinginan. Iwan memanggil S
Rasa sakit itu datang seketika. Dengan napas tumpang tindih, Suryawijaya mengeluarkan sepatah kata sambil menatap bias cahaya yang mulai sirna dari sorot matanya."Tania."•••Suhu udara turun. Rintik-rintik salju mulai turun menghiasi kota London. Nawangsih melepas sarung tangannya seraya mengulurkan tangan di depan kompor dan mengusap-usap telapak tangannya. Dia kedinginan sepulang dari kampus seorang diri tanpa kehadiran Andrew yang sempat menguasainya beberapa bulan sejak dia kembali ke London.Nawangsih termenung, dikenangannya sesuatu yang pernah dia tanamkan untuk Andrew, namun ternyata lelaki itu memilih untuk berpisah dan itu membuatnya tak berhenti berpikir keras.Kenapa berpisah... bukankah kamu mengharapkan aku?Awan-awan putih terlihat menggumpal dan elok di pandang. Andrew mengulurkan tangan saat menikmati penerbangan menuju London kala sore begitu cerah."Tania, boleh gue tanya sesuatu sama Lo?"Nawangsih menghargai uluran tangan Andrew, tapi hanya senyum yang dia berika
Matahari bersinar di langit berawan sewaktu Nawangsih tiba kembali ke tanah Jawa. Dia memakai kaca mata hitam untuk menyembunyikan mata bengkaknya sehabis menangis sepanjang perjalanan di pesawat.Suryawijaya masih menjadi racun yang tak memiliki penawaran kecuali dirinya sendiri.Dengan langkah yang begitu letih, dia terlihat memandang sekeliling mencari jemputan yang dijanjikan oleh Ibunya.Pandu melambai seraya tergopoh-gopoh menghampiri Nawangsih sebelum memeluknya. "Syukur Mas Drew langsung kasih kabar ke kamu." Nawangsih tersenyum kecil. Tumben Pandu peluk-peluk, biasanya tidak suka ada yang menyentuhnya kecuali pelukan orang tuanya."Barangmu sudah semua, Dik?" tanyanya sambil melihat-lihat kopor yang di bawa. "Kok sedikit, kamu cuma cuti?""Sebagian masih di flat, Mas Andrew nanti kirim."Pandu menghela napas, "Bagus, ayo cepat pulang. Semua sudah menanti kepulanganmu."Nawangsih mengiyakan. Mereka menyeret langkah-langkah yang tak bersemangat menuju pusat suka duka mereka. Ru
Nawangsih bergerak ke sisi kanan ranjang, dia bersedekap untuk melihat paras laki-laki yang dia puja selama hidupnya. "Aku tidak percaya lagi dengan seluruh ucapanmu mengenai enaknya mendaki gunung atau manisnya edelweis saat bermekaran jika risikonya seperti ini!"Nawangsih mendelik di depan wajah Suryawijaya yang memakai selang oksigen."Aku tidak akan pernah mengizinkanmu lagi mendaki gunung jika kamu sudah bangun dari mimpi indahmu itu. Aku keberatan tahu!"Nawangsih menyentuh wajah Suryawijaya tepat di lukanya yang mengering di tulang pipi. "Kamu pasti sudah melewatkan hari-hari penuh perjuangan, Mas. Tapi apa kamu tidak bisa berpegangan yang kencang? Seperti memegangku bertahun-tahun?"Nawangsih tersenyum getir. "Pasti tidak bisa, tebing itu bukan aku dan kamu juga membuatku jatuh sejatuh-jatuhnya. Kecelakaan itu nyaris melumatku dalam kesedihan dan rasa kehilangan."Nawangsih mengelus pipinya dengan punggung jari. "Biarkan aku merawatmu, Mas." Dia mengusap wajah Suryawijaya deng
Nawangsih satu-satunya perempuan yang hampir mengisi segalanya dalam hidup Suryawijaya. Begitupun sebaliknya. Tak ayal, kadangkala apa yang membuat mereka putus asa justru dikembalikan oleh kenyataan bahwa andil semesta adalah jawabannya.Nawangsih mengedipkan matanya, mengucek matanya untuk memastikan yang dilihatnya tidak salah. "Mas Surya bicara?" Nawangsih meraba-raba wajahnya. Demi apa pun rasanya seperti ada letupan semangat di dalam jiwanya."Kamu sudah bangun, Mas?"Reaksi yang bisa Suryawijaya beri hanya tersenyum samar. Nawangsih kontan berlonjak kegirangan sambil berteriak penuh rasa syukur.Suryawijaya melengkungkan senyum, dia menyukai nada suara itu. Bukan tawa geli atau tawa yang mengejeknya. Tawa Nawangsih terdengar menyenangkan, terdengar bahagia."Aku panggilkan dokter dan Ibunda dulu, Mas. Jangan tidur lagi pangeran tidur!" serunya sambil menepuk-nepuk pipi Suryawijaya.Suryawijaya hendak menyahut tapi suara yang keluar dari pita suaranya tidak ada, tenggorokannya s