Langit mulai mendung. Awan gelap bergelantungan di luar jendela besar ruang makan keluarga Ardiansyah. Ayu sedang sibuk membersihkan meja makan panjang yang terbuat dari marmer putih yang mengkilap. Tangannya gesit, tapi wajahnya tampak lelah. Sejak pagi ia sudah bolak-balik dari dapur ke taman belakang, membantu Bu Marni membereskan sisa sarapan Tuan Muda dan memindahkan pot-pot bunga sesuai instruksi Nadine pagi tadi.
Baru saja ia hendak mengelap bagian ujung meja, suara hak tinggi menggema di tangga marmer. Nadine turun dengan langkah cepat, anggun namun terlihat tegang. Rambutnya ditata rapi dalam sanggul modern, bibirnya di poles lipstik warna merah menyala dan tampaknya ia seperti hendak pergi ke sebuah acara besar. Nadine berjalan dengan ponsel menempel di telinga. Suaranya terdengar tajam, seperti sedang memarahi lawan bicaranya diseberang sana "Aku bilang jangan hari ini, Lisa! Aku sudah ada janji makan siang! Suruh mereka tunggu atau ganti lain waktu. Aku nggak suka jadwalku diubah seenaknya." Ayu buru-buru menunduk saat Nadine lewat. Tapi langkah Nadine terhenti tiba-tiba. Kedua mata wanita itu menyapu ke arah meja makan yang belum selesai dibersihkan. "Apa ini! Kenapa meja masih kelihatan kotor begini!" Bentaknya. Ayu menoleh panik, lalu dengan cepat menjelaskan, "Maaf Nyonya. Saya baru sampai di bagian tengah, ini baru mau lanjut ke sebelah sana." Nadine mendekat, tatapannya menusuk tajam. "Baru mau dibersihkan? Kamu tahu ini sudah jam berapa sekarang! Apa kamu pikir pekerjaanmu cuma main-main di sini! Atau kamu pikir aku nggak memperhatikan kinerja kamu selama ini!” Suara Nadine semakin meninggi. "Bukan begitu, Nyonya. Saya tadi...," Ayu ingin kembali menjelaskan. Namun kata-katanya langsung dihentikan sepihak. "Tidak ada alasan! Kalau kamu nggak becus kerja, bilang! Aku nggak butuh pembantu yang kerjanya cuma buang-buang waktu!" Suara Nadine mendominasi, membuat udara terasa lebih dingin dari biasanya. Ayu semakin menunduk dalam-dalam, dengan suara yang tercekat di tenggorokan. Tanpa diminta, di sudut mata bulir bening mulai menggantung, tapi ia menahan mati-matian agar jangan sampai menetes. "Lain kali aku temukan meja seperti ini lagi, aku pecat kamu. Mengerti!" Hardiknya tak peduli. Tidak lama langkah kaki terdengar dari balik koridor. Revan muncul dari arah ruang kerja. Ia mengenakan kemeja abu gelap, lengan tergulung dan wajahnya tampak tenang dengan sorot mata tajam memperhatikan situasi. "Ada apa ini?" Tanyanya menghampiri sumber keributan. Nadine menoleh dengan cepat, suaranya masih bernada tinggi. "Kamu lihat sendiri, Revan! Pembantu ini kerja asal-asalan. Sudah jam sepuluh pagi, tapi meja makan masih kotor!" Revan melirik meja, lalu berpaling ke arah Ayu. Matanya mengamati lap basah di tangan gadis itu, juga permukaan meja yang sebenarnya sudah bersih setengahnya. "Kau baru sampai bagian tengah, Ayu?" Tanya Revan. Ayu mengangguk cepat, suaranya pelan. "Iya, Tuan. Tadi saya bantu Bu Marni sebentar di dapur." Nadine berdecak. "Alasan. Pembantu zaman sekarang memang pintar cari alasan." "Cukup, Nadine!" Bentak Revan. Nadine terdiam, terkejut oleh bentakan Revan hanya karena hal sepele. "Buka matamu lebar-lebar, bagian tengah meja sudah bersih. Kau menyerangnya bahkan sebelum pekerjaannya selesai." Desis Revan. "Aku menegur, bukan menyerang! Dan aku berhak melakukannya karena aku Nyonya rumah ini!" Nadine tidak mau kalah. Revan menatapnya tajam. "Menegur dan mempermalukan itu dua hal berbeda, Nadine. Dan aku rasa kamu cukup pintar untuk membedakannya," Keheningan menggantung di udara. Nadine menatap suaminya dengan tak kalah tajam, matanya berkaca-kaca. Tapi bukan karena sedih, melainkan karena marah. “Ini sungguh luar biasa! Sekarang kamu lebih membela pembantu daripada istri sendiri!" Nadine melipat kedua tangannya di dada. "Aku hanya membela yang benar. Ayu tidak salah, kalau kau merasa itu masalah. Mungkin kita perlu bicara lebih serius, nanti." Balas Revan. Nadine terdiam beberapa detik, lalu membalikkan tubuh dan melangkah cepat ke arah pintu utama. Tak lupa ia membawa tas tangan dan ponselnya. "Jangan tunggu aku makan siang. Aku pergi." Ucap Nadine. Nadine melangkah anggun. Namun dari ketukan hak tingginya terasa seperti ada kekesalan yang coba ia luapkan melalui langkah. Ayu tetap menunduk, tubuhnya masih bergetar. Ia tak tahu harus berkata apa dan rasanya ia ingin menghilang dari tempat itu. "Ayu." Suara Revan membuatnya mengangkat kepala perlahan. "Kamu tidak salah. Lanjutkan pekerjaanmu, kamu tidak salah. Kalau ada yang mengganggumu, langsung bicara padaku." Ayu menatap pria itu dalam-dalam. Matanya tajam tapi menyimpan banyak luka. Bukan hanya luka karena pernikahannya, tapi mungkin juga karena hidup yang tak pernah sesuai harapannya. Ayu mengangguk pelan. "Terima kasih, Tuan." "Sama-sama." Revan mengangkat tangan, lalu mengusap kecil puncak kepala Ayu. Ayu terkesiap. Tetapi ada sesuatu yang hangat merasuk ke dalam dada. Setelahnya Revan berbalik dan melangkah pergi. Tapi di detik itu, Ayu tahu bahwa pria itu bukan hanya menyelamatkannya dari kemarahan Nadine. Tapi juga menyelamatkan harga dirinya yang nyaris hancur. Dan mungkin juga, mulai menyentuh hatinya.Sudah tiga hari berlalu sejak Nadine kembali dari Paris. Tiga hari penuh kecemasan, panik, dan ketakutan yang dirasakan sendiri. Namun pagi tadi, saat pulang dari klinik kandungan dengan hasil pemeriksaan yang menegaskan bahwa usia kandungannya telah memasuki minggu kelima. Nadine tahu bahwa ia tidak punya waktu lagi. Ia harus bertindak sekarang.Dan sore ini, semuanya harus dimulai.Revan belum pulang. Rumah besar itu terasa hening seperti biasa, hanya sesekali terdengar suara Ayu dari dapur yang sedang menyiapkan makan malam. Nadine berdiri di depan cermin besar di kamar, mengenakan gaun satin berwarna merah marun yang melekat sempurna di tubuh rampingnya. Gaun itu panjang, tapi bagian dadanya sangat terbuka. Tali tipis menggantung di bahu, dan belahan tinggi di paha memperlihatkan kulit putihnya yang terawat.Makeup-nya tipis tapi menggoda. Bibirnya merah basah. Rambutnya digerai lembut dengan aroma parfum mahal yang baru ia beli dari Paris.Nadine menatap refleksi dirinya sendiri.
Tiga hari telah berlalu sejak Nadine kembali dari Paris, mengakhiri perjalanan bulan madu yang mestinya menjadi awal baru bagi rumah tangganya bersama Revan. Tapi kenyataannya, kebersamaan itu malah semakin memperjelas jurang di antara mereka. Revan pulang lebih dulu ke Indonesia, meninggalkan Nadine sendiri di kota cinta yang justru jadi saksi bisu pengkhianatannya bersama Alvin.Pagi itu, Nadine terbangun dengan rasa aneh di tubuhnya. Kepalanya terasa berat, perutnya mual, dan dadanya nyeri seperti tertindih beban tak kasat mata. Ia duduk di tepi ranjang, menatap cermin besar di hadapannya. Wajahnya pucat. Mata indah yang biasanya bersinar kini sayu dan kehilangan cahaya. Ia menoleh ke arah kalender kecil di meja rias."Tiga hari...? Harusnya sudah datang..." gumamnya pelan.Ia menggigit bibir bawahnya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dengan tangan gemetar, ia membuka aplikasi di ponselnya, mencatat siklus bulanan yang selalu diawasi dengan rapi. Tanggal terakhir ia d
Angin bertiup pelan, membawa aroma dedaunan basah setelah gerimis. Di sudut belakang rumah, tepat di gudang penyimpanan yang tak pernah dikunjungi siapapun selain Ayu saat membersihkan, Revan berdiri di balik pintu, menunggu dalam diam.Langkah kaki kecil yang dikenalnya begitu dalam akhirnya terdengar di belakangnya. Ayu menunduk, jantungnya berdetak cepat. Ia tahu, tempat itu jauh dari jangkauan pelayan lain. Tapi tetap saja, rasa takut dan bersalah menjalari tubuhnya."Kenapa di sini, Tuan?" bisiknya, menatap lantai usang di bawah kaki.Revan mendekat. “Karena aku tidak tahan lagi, Ayu,” suaranya serak, berat, nyaris seperti erangan rindu yang tak tertahan.Ayu mengangkat wajah. Matanya bergetar. Bibirnya gemetar. "Kalau ada yang tahu...""Tak akan ada yang tahu. Hanya kita, hanya malam ini.” Revan menyentuh pipinya dengan lembut, dan sentuhan itu seolah mencairkan seluruh pertahanan yang Ayu bangun selama ini."Aku takut, tapi kenapa hatiku ini selalu berdebar kalau Tuan ada?" lir
Sore menjelang ketika rumah besar itu mulai senyap kembali. Para pelayan sibuk dengan urusan masing-masing—ada yang sedang menyiram bunga di halaman belakang, ada pula yang sedang mengganti sprei di lantai atas. Ayu baru saja selesai merapikan dapur, tangan mungilnya memutar lap basah di atas meja kayu panjang tempat biasa para pelayan bersandar.Ia mengira Revan sedang beristirahat di kamar. Namun langkah pelan dan suara napas berat yang tiba-tiba muncul dari arah pintu dapur membuatnya menoleh.“Tuan… Revan?”Lelaki itu berdiri di sana, bersandar santai di kusen pintu. Tatapan matanya dalam, hangat, dan ada sesuatu yang Ayu rasakan dari sorot itu—kerinduan yang nyaris menyiksa.“Kamu sendirian?” tanya Revan pelan, melangkah masuk.Ayu menelan ludah. “Iya. Yang lain lagi pada di belakang.”Revan tidak berkata apa-apa. Ia hanya berjalan mendekat, langkahnya pelan tapi pasti, seperti seorang pemburu yang tahu betul mangsanya tidak akan kabur.Ketika jarak mereka hanya tinggal satu jeng
Langit pagi Eropa menyemburatkan cahaya lembut ke dalam kamar hotel mewah tempat Nadine dan Revan menginap. Aroma kopi dari bar kecil di sudut kamar seharusnya mampu membangkitkan semangat siapapun yang baru bangun tidur. Namun, yang menyambut Nadine bukanlah aroma kopi ataupun pelukan hangat suaminya, melainkan pemandangan Revan yang tengah berdiri di dekat pintu dengan koper besar di sampingnya.Nadine yang baru saja memasuki kamar, setelah malamnya menghabiskan waktu di hotel lain bersama Alvin, sontak membeku. Rambutnya masih sedikit berantakan, sisa parfum pria samar-samar menempel di leher bajunya.“Revan?” Tanyanya dengan nada ragu.Revan menoleh pelan, wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi. Tatapannya dingin dan tidak bersahabat, seolah tidak peduli apa pun yang terjadi di sekitar.“Aku pulang hari ini,” Ucapnya singkat.Nadine memicingkan mata, mendekat, menyembunyikan keterkejutan di balik nada suara yang ia buat terdengar wajar. “Hari ini? Tapi bukankah kita masih punya wak
Langit Paris mulai menggelap. Gemerlap lampu kota membias di jendela hotel yang sunyi. Di ruang tamu, Revan duduk sendirian di sofa. Ponselnya tergeletak di atas meja, namun pikirannya berkecamuk.Sejak sore tadi, Nadine pamit keluar untuk berbelanja. Ia tak repot-repot mengajak Revan. Bahkan Revan pun tak berniat menawarkan diri. Ia hanya diam. Mengizinkan Nadine pergi, seperti biasa dengan hati yang tetap tak berpenghuni.Namun kini, setelah beberapa jam sendirian, ada yang mengusik dadanya. Rindu. Rindu yang mendesak di dada seperti sesuatu yang tak bisa ditahan lagi.Ayu.Wajah gadis itu terbayang begitu jelas, cara ia menunduk saat menyajikan teh, senyum kecil yang selalu memudar begitu Revan pergi, dan terutama matanya yang bicara tanpa suara.Revan menghela napas panjang, lalu meraih ponselnya.Tangannya sempat ragu. Tapi akhirnya, ia menekan ikon panggilan, menghubungi nomor Ayu.Nada sambung terdengar beberapa detik sebelum suara lembut itu menjawab.“Halo, Tuan?”Revan meme