Sebenarnya sudah sejak tadi pekerjaannya selesai. Namun, Revan masih enggan untuk pulang, karena ia sedang malas menatap wajah istrinya. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 08.00 malam dan ia baru berniat pulang setelah lewat 30 menit kemudian.
Langkahnya selalu tegap. Ia keluar dari ruang kerja menuju ke mobil, dimana Pak Reno supir pribadinya sudah menunggu sejak tadi. Melihat wajah Tuannya yang selalu datar, Pak Reno tidak berani banyak bicara. Pria paruh baya itu hanya diam dan fokus melajukan mobil. Untungnya sesampainya di rumah. Istrinya, Nadine tidak ada disana. Entah kemana perginya wanita itu, Revan tidak juga tak tahu dan ia pun malas untuk mencari tahu. Revan masuk ke rumah megah yang selalu kosong. Ia mencari Ayu, wanita yang diharapkan akan muncul sambil membawa secangkir teh hangat untuknya. Tapi nyatanya wanita itu sama sekali tidak muncul, karena kemarin ia panas tinggi dan kemungkinan sekarang ia sedang beristirahat. Revan langsung menuju ke kamar dengan tujuan ingin ke balkon. Ia berdiri di dekat besi pembatas, memandangi pekarangan rumah yang hening. Lampu taman memancarkan cahaya kekuningan yang menenangkan, tapi tidak cukup mampu meredakan badai dalam hatinya. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma samar bunga melati dan tanah yang basah. Dalam kesunyian dan kesepian begini, Ia selalu teringat dengan masa kecilnya. Masa kecil yang hangat, dimana rumah rumah kedua orangtuanya masih hidup oleh suara tawa dan kelembutan. Dulu, setiap ia pulang sekolah, ibunya selalu menyambut di depan pintu. Menyambutnya dengan pelukannya hangat, suara yang menenangkan, dan tatapan mata yang seolah mampu menghapus segala lelah yang ia rasakan. Tapi kini, rumah itu hanya menjadi sebuah gedung megah. Gedung megah yang dingin, hampa, kosong, sama seperti hatinya Puas menatap kesunyian itu. Perlahan ia berjalan masuk ke dalam, menuju ke rak kayu tua yang ada di sudut kamar. Ia menarik satu album foto lama yang sudah berdebu. Ketika dibuka, lembar demi lembar menampilkan kenangan yang menampar hatinya. Kenangan tentang Ibunya yang memakai pakaian sederhana, rambut disisir rapi, dan senyum yang tak pernah pudar. “Bu," Suara lirih itu keluar tanpa ia sadari. Revan berhenti di satu halaman. Halaman yang menunjukkan sebuah foto kecil, memperlihatkan dirinya yang sedang duduk di pangkuan ibunya. Di dalam foto itu ia tertawa riang, dengan noda krim di pipi. Ibunya tengah menyeka pipinya menggunakan tisu dengan penuh kasih. "Kalau Ibu masih ada, mungkin aku tidak akan kehilangan arah seperti ini. Mungkin aku tak akan terjebak dalam pernikahan yang hambar." Dalam kesendirian. Wajah datar, dingin dengan tatapan yang tajam langsung menghilang seketika. Yang tersisa hanyalah Revan, dengan sisi luka, kesepian, kosong dan kehampaan yang selalu menghantui. Pikirannya kembali ke kejadian pagi tadi, Nadine yang memaki Ayu tanpa alasan jelas. Padahal gadis itu sedang sakit, meski demamnya sudah turun tapi wajahnya masih terlihat pucat. Nadine, istrinya sama sekali tidak peduli dengan keadaan pekerjanya. Ia terus memaki Ayu dengan kata-kata yang menyakitkan. Sedangkan Ayu hanya berdiri membisu, menerima semua makian itu dengan kepala yang tertunduk. Tapi bukan rasa takut yang Revan lihat di sana, tapi ada kekuatan dalam diam dan ada keberanian dalam kesabarannya. Dan lagi-lagi semua itu, sama persis seperti ibunya. Ibunya, yang selalu sabar menghadapi kemarahan Ayahnya. Ibunya yang tetap tersenyum meski sering diperlakukan tak adil oleh dunia. Dan Ayu, entah mengapa gadis itu mengingatkannya pada semua itu. Bukan hanya dari sikapnya, tapi juga dari sorot matanya yang tenang, dari cara ia memperlakukan orang lain, dan dari perhatian kecil yang tak pernah ia ucapkan. Revan sendiri tak tahu. Entah sejak kapan ia mulai memperhatikan gadis itu lebih dari sekadar pembantu. “Ayu, setiap melihatmu aku seperti melihat bayangan Ibu." Beberapa hari terakhir, ia baru menyadari. Hanya Ayu yang mengingatkan dirinya untuk makan siang. Saat Nadine, istrinya itu sibuk dengan acara sosialita. Hanya Ayu yang diam-diam membawakan jaket saat hujan turun dan ia lupa menutup jendela ruang kerja, dan hanya Ayu yang tanpa suara selalu adir seperti ibunya dulu, mengisi kekosongan dengan ketulusan. Tangannya mengepal pelan di atas album. Ada rasa bersalah. Ada perasaan keliru. Tapi juga ada kerinduan yang terlalu dalam. "Kau wanita terhebat dalam hidupku, Bu. Tapi kenapa aku justru menikahi wanita yang tak bisa memberiku kehangatan seperti kamu," Di luar, lampu dapur masih menyala. Revan yang kehausan memutuskan untuk mengambil air mineral ke dapur. Saat langkahnya hampir sampai, ia melihat Ayu. Ternyata wanita itu masih terjaga, membantu Bu Marni membereskan peralatan makan malam. Rambutnya dikuncir rendah, wajahnya masih tampak pucat dan letih. Tapi ia masih bisa tersenyum saat Bu Marni menyodorkan segelas air. Tak ada keluhan, tak ada kesombongan. Senyum itu, senyum sederhana yang menenangkan sekaligus membuat dadanya sesak. Ia menatapnya lama tak bergerak. Seketika itu Revan tahu, Ayu bukan hanya mengisi ruang kosong di rumah ini. Tapi dia juga mulai mengisi ruang kosong di hatinya dan itu cukup menakutkan. Karena ketika seseorang yang bukan milikmu mulai kau rindukan. Maka hanya ada dua pilihan, melawan perasaanmu atau hancur perlahan-lahanAroma tumisan bawang dan telur dadar memenuhi seluruh ruangan apartemen pagi itu. Sinar matahari menembus tirai tipis, jatuh di wajah Ayu yang tengah sibuk di dapur. Tangannya lincah mengaduk sup hangat, sementara di meja makan, roti panggang dan segelas susu sudah tersusun rapi. Sesekali, Ayu menatap jam dinding. Biasanya jam segini Revan sudah bersiap ke kantor. Tapi hari ini berbeda. Pagi ini Revan bilang ia ingin di rumah saja. Katanya, ingin “menghabiskan waktu” dengan Ayu. Senyum kecil terbit di bibirnya. Sejak tinggal di apartemen rahasia milik Revan, hari-hari Ayu jauh lebih tenang. Tidak ada lagi suara tetangga yang ribut di kosan, tidak ada atap bocor saat hujan. Tapi di sisi lain, hati kecilnya juga takut, takut jika semua ini hanya sementara. Suara langkah kaki terdengar dari arah kamar. Revan keluar dengan kaus hitam polos dan celana panjang abu-abu. Rambutnya masih sedikit berantakan, tapi justru itu membuatnya tampak lebih santai dan... menawan. “Pagi sayang,” ucapn
Hujan baru saja reda ketika mobil hitam milik Revan berhenti di depan rumah sakit. Ayu menatap ke luar jendela, melihat butiran air yang masih menempel di kaca. Hatinya berdebar aneh, antara canggung, gugup, dan tak percaya bahwa ia kini benar-benar duduk di sebelah Revan lagi. Revan, sang tuan muda yang rela mengejarnya sampai keluar kota.“Udah siap?” suara Revan memecah keheningan. Nada lembutnya membuat Ayu spontan menoleh.“Kayaknya, iya,” jawabnya pelan, sambil menggenggam ujung tas yang ia bawa.Revan tersenyum tipis. “Kita periksa sebentar aja. Aku udah janji sama dokter buat cek kandungan kamu. Umurnya kira-kira baru enam minggu, kan?”Ayu mengangguk. “Iya, hasil test pack waktu itu cuma garis dua samar. Aku juga belum periksa ke dokter.”Tanpa menunggu jawaban, Revan turun lebih dulu, membuka pintu untuknya. Sifatnya yang perhatian itu membuat Ayu semakin salah tingkah. Mereka berjalan berdampingan melewati lobi rumah sakit. Aroma antiseptik menyeruak, sementara langkah kaki
Pintu kamar kos yang sempit itu tertutup rapat di belakang mereka. Keheningan mencekam menyelimuti ruangan yang pengap, hanya terdengar deru nafas keduanya yang tidak beraturan. Lampu neon yang redup menyinari wajah Ayu yang pucat, matanya sembab karena air mata yang tak kunjung berhenti mengalir sejak bertemu Revan tadi.Tanpa menunggu lebih lama, Revan langsung melangkah mendekat dan memeluk tubuh Ayu dengan erat, sangat erat. Seakan-akan ia takut wanita itu akan menghilang lagi jika pelukannya mengendur walau hanya sesaat. Rasa rindu yang telah ia pendam selama ini, kini meledak begitu saja membuatnya lupa akan segala hal. Lupa bahwa wanita yang kini berada dalam dekapannya sedang mengandung anak mereka."Ayu..." bisik Revan parau di telinga wanita itu. Suaranya bergetar, menahan emosi yang membludak. "Kenapa kau pergi? Kenapa kau tinggalkan aku?"Ayu yang awalnya kaku, perlahan mulai mencair. Tangannya yang semula tergantung lemah di sisi tubuh, kini terangkat dan membalas pelukan
Embun pagi masih menggantung di udara ketika mobil sedan hitam berhenti di depan gang sempit yang mengarah ke kos-kosan. Revan mematikan mesin dan menghela napas panjang. Tangannya bergetar sedikit ketika meraih kunci mobil. Perjalanan selama delapan jam dari Jakarta ke kota kecil ini terasa seperti keabadian baginya."Alamat ini sudah alamat yang benar kan?" tanya Revan pada pria paruh baya yang berdiri di samping pintu mobil."Benar, Pak. Ini fotonya waktu dia berangkat kerja ke laundry kemarin," jawab pria itu sambil menyerahkan foto Ayu yang sedang berjalan.Revan menatap foto itu dengan mata yang berkaca-kaca. Sudah beberapa hari sejak Ayu pergi meninggalkan rumah tanpa kata-kata. Beberapa hari yang terasa seperti bertahun-tahun bagi Revan. Setiap malam ia tidak bisa tidur nyenyak, terus memikirkan Ayu yang pergi membawa anak yang dikandungnya.Udara pagi yang sejuk menyapa wajahnya. Revan merapikan kemeja putihnya dan menyisir rambut dengan jari. Ia ingin terlihat rapi di depan
Lampu-lampu kristal Le Bistrot memancarkan cahaya hangat yang memantul di permukaan meja marmer, menciptakan suasana romantis yang biasa menjadi saksi bisu pertemuan rahasia Nadine dan Alvin. Restoran mewah itu memang selalu menjadi tempat favorit mereka, karena cukup eksklusif untuk menghindari mata-mata yang tidak diinginkan, namun cukup intimate untuk mengekspresikan perasaan yang terpendam.Nadine memarkir mobilnya di basement dengan tangan yang sedikit gemetar. Melalui kaca spion, ia memeriksa penampilannya sekali lagi, memastikan cardigan yang dikenakannya cukup longgar untuk menyembunyikan perubahan bentuk tubuhnya. Napas panjang ia hembuskan sebelum keluar dari mobil, berusaha menenangkan diri dan mempersiapkan mental untuk bertemu dengan pria yang sangat dicintainya.Lift membawanya ke lantai dua restoran dengan musik jazz yang lembut mengalir dari speaker tersembunyi. Begitu pintu lift terbuka, mata Nadine langsung menangkap sosok familiar yang duduk di meja pojok, meja yang
Jam dinding di ruang kerja Revan berdetak monoton, menunjukkan pukul 19.00 WIB. Suara mekanis itu terasa begitu keras di tengah kesunyian malam yang mulai turun. Gedung perkantoran sudah hampir kosong, hanya tersisa beberapa lampu yang masih menyala di lantai-lantai tertentu, menciptakan pola cahaya yang sporadis di antara kegelapan.Revan masih terpaku di kursi kepimpinannya, mata lelahnya menatap layar ponsel dengan intensitas yang tak berkurang sejak siang tadi. Jari-jarinya sesekali mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah, menunggu kabar dari tim pencari profesional yang telah ia tugaskan untuk menemukan Ayu. Kriiing... Kriiing...Ponselnya kembali bergetar dan bersuara nyaring. Dengan harapan yang membuncah, Revan langsung meraih telefonnya, berharap melihat nomor yang ditunggu-tunggu. Namun layar menampilkan nama "Nadine" dengan foto pernikahan mereka yang penuh ironi menyakitkan.Revan memandang layar itu dengan tatapan datar, hampir tanpa emosi. Ini sudah panggilan kesepuluh dala