Hujan terus turun sejak siang dan tak kunjung reda hingga malam menjelang. Langit diselimuti mendung gelap, membuat suasana rumah besar keluarga Ardiansyah kian muram dan dingin. Nadine sedang menginap di hotel untuk menghadiri pesta sosialita, meninggalkan rumah tanpa kehangatan seperti biasa.
Revan masih betah di ruang kerjanya, mencoba fokus pada laporan bisnis. “Permisi Tuan,” Ayu masuk ke dalam, membawa secangkir teh hangat untuk sang Tuan muda. Revan tersenyum, padahal ia tidak meminta. Tapi Ayu berinisiatif sendiri untuk membawakannya. “Kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan Ayu.” Ayu tersenyum simpul. Meletakkan cangkir berisi teh hangat itu ke atas meja. "Aku hanya menjalankan pekerjaanku, Tuan," Revan menatap wajah itu. Wajah polos yang selalu menyambutnya ketika pulang dan yang selalu memberikan secangkir teh hangat di waktu yang ia butuhkan. “Ayu, kamu sedang sakit?” Revan memperhatikan wajahnya yang pucat. “Tidak Tuan. Aku hanya sedikit lelah,” Jawab Ayu dengan kepala yang menunduk. “Beristirahatlah jika kamu lelah…,” Belum selesai Revan berbicara. Ayu jatuh pingsan tepat dihadapan. "Ayu!" Ia berseru kaget. Gadis manis itu tergeletak lemas di lantai, tubuhnya menggigil hebat. Wajahnya semakin pucat dengan rambut yang sedikit basah oleh keringat. Nafasnya terdengar berat. Revan segera berlari, menghampiri dan menyentuh dahinya yang panas luar biasa. "Astaga kamu demam Ayu." Tanpa ragu, ia mengangkat tubuh Ayu yang terasa ringan dan lemah. Genggamannya erat, seperti melindungi sesuatu yang sangat rapuh. Dibawanya Ayu ke kamar kosong di lantai bawah. Dengan hati-hati, ia membaringkannya di ranjang dan menyelimuti tubuhnya yang menggigil. Revan nyaris tak pernah bersentuhan langsung dengan staf rumah tangga. Tapi kali ini, nalurinya tak membiarkan dia bersikap formal. Revan keluar, mengambil handuk kecil, sebuah mangkuk yang diisi dengan air dingin. Setelah itu Revan membasahi handuk kecil itu, memerasnya sedikit lalu mengompres dahi Ayu sambil sesekali memeriksa nafasnya. Beberapa saat kemudian ia keluar lagi, mengambil termos air panas, semangkuk bubur instan yang dimasaknya sendiri, serta obat penurun panas yang ia ambil dari lemari medis kecil yang ada di ruang tengah. Setelahnya ia kembali ke kamar, duduk di kursi yang ada di sisi ranjang sambil menatap Ayu lekat-lekat. Wajah itu masih terlihat pucat, namun tetap menunjukkan sisi kelembutan. Tangan gadis itu menggenggam sprei, sesekali menggeliat dengan gelisah. Revan meraih tangannya, menggenggam tangan mungil itu dan membiarkannya meremas jari-jarinya perlahan. "Kamu seharusnya bilang kalau sedang tidak enak badan, Ayu," Gumam Revan pelan. "Kenapa kamu harus menyembunyikan nya?" Sambungnya. Beberapa menit berlalu, Ayu mulai terbangun. Matanya yang sayu terbuka perlahan dan langsung bertemu dengan sorot mata Revan yang terlihat khawatir. "T-Tuan Revan?" Suaranya lirih tergagap dan hampir tak terdengar. "Tenang, kamu demam tinggi. Istirahat saja. Aku akan menjagamu malam ini." Ucapnya terdengar sangat tulus. Ayu tampak bingung dan malu. Ia mencoba untuk duduk, namun Revan segera membantunya dengan lembut. "Jangan paksakan diri, kamu butuh makan dulu." Ucapnya. "Terima kasih Tuan," Ayu memaksakan senyum, diwajahnya yang pucat. Revan membalas dengan senyuman, lalu ia menyendokkan bubur ke mulut Ayu. Gadis itu sempat menolak, tapi tatapan Revan terlalu tulus untuk dibantah. Dengan malu-malu, ia membuka mulut dan makan sedikit demi sedikit suapan dari sang Tuan muda. "Pintar," Puji Revan senang. Wajah Ayu terasa semakin memanas. Tak kuat rasanya ia berlama-lama di dalam ruangan yang sama dengan sang Tuan muda. Apalagi baru kali ini, ada majikan yang merawat pembantunya ketika sakit. "Kamu tetap terlihat cantik meski sedang sakit Ayu," Entah mengapa Revan ingin sekali mengatakan hal itu. Ayu syok tentu saja. Selain karena pujian yang Revan berikan, senyum manis dari sang Tuan muda juga membuat kinerja jantungnya jadi tidak baik-baik saja. "Tuan muda bisa aja. Nyonya Nadine jauh lebih cantik dari aku," Ayu berusaha untuk tetap sadar. bahwa pria yang dihadapannya saat ini adalah pria beristri. Revan tak menjawab apapun. Tetapi tangannya terus memberikan suapan demi suapan ke dalam mulut Ayu. Sampai tidak sadar, isi mangkuk itu sudah berpindah seluruhnya ke dalam perut. "Tuan kenapa mau melakukan ini untukku?" Ayu memberanikan diri untuk bertanya. Karena ia ingin tahu alasannya. "Kamu baik dan juga sering memberikan perhatian untukku. Jadi tak ada salahnya jika aku membalas perhatian kamu." Entah sadar ataupin tidak. Sejak tadi Ayu sama sekali tidak melihat tatapan tajam dan aura dingin dari sang Tuan muda. Yang terlihat sekarang, justru tatapan lembut penuh perhatian yang sebelumnya tak pernah ia lihat. Setelah Ayu selesai makan, Revan memberikannya obat penurun panas. Ayu meminumnya, dan selanjutnya ia kembali rebahan karena kepalanya masih terasa pusing. Revan masih tetap di sana, menatap wajah Ayu dalam diam. "Nyonya pasti sangat beruntung punya suami perhatian dan penuh kasih seperti Tuan muda. Semoga suatu saat nanti, aku juga bisa mendapatkan suami selembut dan seperhatian Tuan muda," Ucap Ayu tiba-tiba. "Tapi sayangnya dia merasa tidak beruntung bersuamikan aku, Ayu. Bagi dia hubungan ini hanyalah status diatas kertas," Sahut Revan. "Maafkan aku Tuan, aku tidak bermaksud untuk membuat Tuan bersedih," Ayu merasa bersalah. "Tak apa. Selagi ada kamu yang terus memberikan perhatian padaku, aku akan selalu baik-baik saja." "Dan aku akan berusaha terus memberikan perhatian untuk Tuan muda," Ucap Ayu. Revan kembali tersenyum, hatinya seketika menghangat. Berlama-lama ada didekat Ayu, membuat Revan lebih banyak tersenyum daripada biasanya. "Beristirahatlah, aku akan di sini menjagamu," Titah Revan. Ayu mulai memejamkan mata, dengan hati yang berbunga-bunga. Karena malam ini, mereka jauh lebih dekat dari biasanya. Apa yang Ayu rasakan tak jauh berbeda dengan yang Revan rasakan. Apalagi saat ini, ia masih menggenggam tangan Ayu. Gadis itu sudah kembali tertidur dengan nafas yang lebih teratur. Namun Revan tetap di sana, ia tidak ingin pergi sebab ingin lebih lama lagi menatap wajah polos yang kini sedang terlelap. Di wajah polos itu ada kedamaian. Kedamaian yang tak pernah ia rasakan sebelumnya dari siapapun, selain Ibunya yang kini sudah tiada. Dan malam itu, di tengah suara hujan yang menenangkan Revan tahu, ia mulai luluh di hadapan seorang gadis polos bernama Ayu. Ayu, si gadis sederhana yang saat ini tertidur pulas di hadapannya, dengan tangan yang masih ada di dalam genggamannya.Aroma tumisan bawang dan telur dadar memenuhi seluruh ruangan apartemen pagi itu. Sinar matahari menembus tirai tipis, jatuh di wajah Ayu yang tengah sibuk di dapur. Tangannya lincah mengaduk sup hangat, sementara di meja makan, roti panggang dan segelas susu sudah tersusun rapi. Sesekali, Ayu menatap jam dinding. Biasanya jam segini Revan sudah bersiap ke kantor. Tapi hari ini berbeda. Pagi ini Revan bilang ia ingin di rumah saja. Katanya, ingin “menghabiskan waktu” dengan Ayu. Senyum kecil terbit di bibirnya. Sejak tinggal di apartemen rahasia milik Revan, hari-hari Ayu jauh lebih tenang. Tidak ada lagi suara tetangga yang ribut di kosan, tidak ada atap bocor saat hujan. Tapi di sisi lain, hati kecilnya juga takut, takut jika semua ini hanya sementara. Suara langkah kaki terdengar dari arah kamar. Revan keluar dengan kaus hitam polos dan celana panjang abu-abu. Rambutnya masih sedikit berantakan, tapi justru itu membuatnya tampak lebih santai dan... menawan. “Pagi sayang,” ucapn
Hujan baru saja reda ketika mobil hitam milik Revan berhenti di depan rumah sakit. Ayu menatap ke luar jendela, melihat butiran air yang masih menempel di kaca. Hatinya berdebar aneh, antara canggung, gugup, dan tak percaya bahwa ia kini benar-benar duduk di sebelah Revan lagi. Revan, sang tuan muda yang rela mengejarnya sampai keluar kota.“Udah siap?” suara Revan memecah keheningan. Nada lembutnya membuat Ayu spontan menoleh.“Kayaknya, iya,” jawabnya pelan, sambil menggenggam ujung tas yang ia bawa.Revan tersenyum tipis. “Kita periksa sebentar aja. Aku udah janji sama dokter buat cek kandungan kamu. Umurnya kira-kira baru enam minggu, kan?”Ayu mengangguk. “Iya, hasil test pack waktu itu cuma garis dua samar. Aku juga belum periksa ke dokter.”Tanpa menunggu jawaban, Revan turun lebih dulu, membuka pintu untuknya. Sifatnya yang perhatian itu membuat Ayu semakin salah tingkah. Mereka berjalan berdampingan melewati lobi rumah sakit. Aroma antiseptik menyeruak, sementara langkah kaki
Pintu kamar kos yang sempit itu tertutup rapat di belakang mereka. Keheningan mencekam menyelimuti ruangan yang pengap, hanya terdengar deru nafas keduanya yang tidak beraturan. Lampu neon yang redup menyinari wajah Ayu yang pucat, matanya sembab karena air mata yang tak kunjung berhenti mengalir sejak bertemu Revan tadi.Tanpa menunggu lebih lama, Revan langsung melangkah mendekat dan memeluk tubuh Ayu dengan erat, sangat erat. Seakan-akan ia takut wanita itu akan menghilang lagi jika pelukannya mengendur walau hanya sesaat. Rasa rindu yang telah ia pendam selama ini, kini meledak begitu saja membuatnya lupa akan segala hal. Lupa bahwa wanita yang kini berada dalam dekapannya sedang mengandung anak mereka."Ayu..." bisik Revan parau di telinga wanita itu. Suaranya bergetar, menahan emosi yang membludak. "Kenapa kau pergi? Kenapa kau tinggalkan aku?"Ayu yang awalnya kaku, perlahan mulai mencair. Tangannya yang semula tergantung lemah di sisi tubuh, kini terangkat dan membalas pelukan
Embun pagi masih menggantung di udara ketika mobil sedan hitam berhenti di depan gang sempit yang mengarah ke kos-kosan. Revan mematikan mesin dan menghela napas panjang. Tangannya bergetar sedikit ketika meraih kunci mobil. Perjalanan selama delapan jam dari Jakarta ke kota kecil ini terasa seperti keabadian baginya."Alamat ini sudah alamat yang benar kan?" tanya Revan pada pria paruh baya yang berdiri di samping pintu mobil."Benar, Pak. Ini fotonya waktu dia berangkat kerja ke laundry kemarin," jawab pria itu sambil menyerahkan foto Ayu yang sedang berjalan.Revan menatap foto itu dengan mata yang berkaca-kaca. Sudah beberapa hari sejak Ayu pergi meninggalkan rumah tanpa kata-kata. Beberapa hari yang terasa seperti bertahun-tahun bagi Revan. Setiap malam ia tidak bisa tidur nyenyak, terus memikirkan Ayu yang pergi membawa anak yang dikandungnya.Udara pagi yang sejuk menyapa wajahnya. Revan merapikan kemeja putihnya dan menyisir rambut dengan jari. Ia ingin terlihat rapi di depan
Lampu-lampu kristal Le Bistrot memancarkan cahaya hangat yang memantul di permukaan meja marmer, menciptakan suasana romantis yang biasa menjadi saksi bisu pertemuan rahasia Nadine dan Alvin. Restoran mewah itu memang selalu menjadi tempat favorit mereka, karena cukup eksklusif untuk menghindari mata-mata yang tidak diinginkan, namun cukup intimate untuk mengekspresikan perasaan yang terpendam.Nadine memarkir mobilnya di basement dengan tangan yang sedikit gemetar. Melalui kaca spion, ia memeriksa penampilannya sekali lagi, memastikan cardigan yang dikenakannya cukup longgar untuk menyembunyikan perubahan bentuk tubuhnya. Napas panjang ia hembuskan sebelum keluar dari mobil, berusaha menenangkan diri dan mempersiapkan mental untuk bertemu dengan pria yang sangat dicintainya.Lift membawanya ke lantai dua restoran dengan musik jazz yang lembut mengalir dari speaker tersembunyi. Begitu pintu lift terbuka, mata Nadine langsung menangkap sosok familiar yang duduk di meja pojok, meja yang
Jam dinding di ruang kerja Revan berdetak monoton, menunjukkan pukul 19.00 WIB. Suara mekanis itu terasa begitu keras di tengah kesunyian malam yang mulai turun. Gedung perkantoran sudah hampir kosong, hanya tersisa beberapa lampu yang masih menyala di lantai-lantai tertentu, menciptakan pola cahaya yang sporadis di antara kegelapan.Revan masih terpaku di kursi kepimpinannya, mata lelahnya menatap layar ponsel dengan intensitas yang tak berkurang sejak siang tadi. Jari-jarinya sesekali mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah, menunggu kabar dari tim pencari profesional yang telah ia tugaskan untuk menemukan Ayu. Kriiing... Kriiing...Ponselnya kembali bergetar dan bersuara nyaring. Dengan harapan yang membuncah, Revan langsung meraih telefonnya, berharap melihat nomor yang ditunggu-tunggu. Namun layar menampilkan nama "Nadine" dengan foto pernikahan mereka yang penuh ironi menyakitkan.Revan memandang layar itu dengan tatapan datar, hampir tanpa emosi. Ini sudah panggilan kesepuluh dala