LOGINKetika Moza masih bimbang dengan perasaannya sendiri, terdengar suara berat seorang pria dari ambang pintu.
“Abi, jangan sembarangan memanggil orang lain sebagai Mama.”
Semua kepala menoleh serempak.
Di pintu, berdiri seorang pria mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung sampai siku. Tingginya sekitar 185 cm, memiliki postur tegap, bahu yang lebar dan jari-jemari panjang.
Wajahnya simetris, dilengkapi dengan sepasang mata berwarna hitam pekat. Ekspresi pria itu dingin, tetapi ada kilatan kelembutan saat ia menatap Abigail.
Moza mengenali dia sebagai Rezon Limantara, putra kedua keluarga Limantara. Dokter bedah sekaligus kepala Limantara Medika, lelaki yang namanya sering muncul di majalah medis internasional sebagai "The Silent Healer".
Ketika Rezon melihat Abigail memeluk pinggang Moza, kedua alis tebalnya langsung menukik tajam.
“Abi, lepaskan tanganmu,” katanya datar, tetapi cukup tajam untuk didengar semua orang.
Abigail menatap sang paman dengan wajah cemberut, tetapi akhirnya bersedia melepaskan pelukannya.
Refleks, Moza mundur selangkah. Tanpa sengaja, matanya beradu pandang dengan manik hitam Rezon dalam sepersekian detik.
Entah mengapa Moza merasakan tatapan Rezon mampu menembusnya, bagaikan dua jiwa yang pernah saling menyentuh di alam mimpi.
Malam itu, meski kedua matanya tertutup, ia dapat merasakan melalui indera peraba, pendengaran, dan penciuman. Napas yang hangat, desahan yang dalam, serta suara parau dari pria yang menjamah tubuhnya. Dan, suara itu memiliki kemiripan dengan nada rendah Rezon.
Akan tetapi, Moza segera menepis pikiran itu. Ia tidak boleh gegabah dan terburu-buru dalam menarik kesimpulan. Toh, dia belum bertemu dengan Dastan, pewaris utama dari takhta Limantara, serta si bungsu, Kageo.
“Jangan anggap setiap wanita yang masuk ke mansion sebagai calon mamamu, Abi. Nanti Papa Dastan akan marah,” tegur Rezon kepada sang keponakan.
Mendengar peringatan dari Rezon, Abigail memanyunkan bibir. “Tante ini cantik, cocok jadi mamaku! Dan, aku pernah lihat wajah Tante ini di lukisan milik ….”
Sebelum kalimatnya selesai, Rezon sudah menempelkan jari telunjuknya ke bibir Abigail dengan gerakan cepat.
Diam-diam, Moza memperhatikan reaksi Rezon yang terlalu waspada. Seakan, Abigail hampir membocorkan suatu rahasia yang harus ditutupi.
“Cukup. Tunjukkan saja gambarmu kepada Opa Markus.”
Abigail menghela napas dramatis, lalu berlari ke arah ranjang Tuan Markus. Ia mengangkat gambar seekor putri duyung dengan rambut merah menyala, terbang di atas ombak biru.
Tuan Markus tertawa pelan, matanya berbinar. “Wah, bagus sekali! Sepertinya, kau mewarisi bakat melukis dari Kageo."
Setelah mendapat pujian dari kakek buyutnya, Abigail berbalik dan berlari kecil ke arah Moza.
“Siapa nama Tante? Apa Tante akan tinggal di sini?
Moza membungkuk sedikit, sebelum menjawab pertanyaan gadis kecil itu. “Kamu bisa memanggil Tante, Moza. Tante akan tinggal di mansion untuk memasak dan bersih-bersih.”
“Yesss!” Abigail melompat-lompat. “Berarti aku bisa ketemu Tante setiap hari! Nanti malam, Tante harus membacakan dongeng untukku.”
Sebelum Moza sempat menanggapi, Thalia sudah menggandeng tangan Abigail dengan sikap tegas.
“Nona Kecil, ayo, ganti baju dulu bersama Lena.”
Tanpa memberi kesempatan Abigail untuk protes, Thalia menyerahkan gadis kecil itu kepada pengasuhnya yang sudah menunggu di depan pintu.
Sementara itu, Rezon berjalan mendekati ranjang Tuan Markus. Tatapannya berubah teduh, penuh kekhawatiran.
“Bagaimana kondisi Opa hari ini? Mau kuperiksa?"
“Tidak perlu,” jawab Tuan Markus mengibaskan tangannya, lalu menunjuk ke arah mangkuk sup.
“Aku merasa lebih bersemangat setelah memakan sup buatan Moza. Cobalah, Rezon.”
Rezon menatap mangkuk di hadapannya beberapa detik dengan ekspresi datar. Moza bisa melihat keraguan di mata pria itu, seolah dia enggan mencicipi tetapi terpaksa melakukan demi menyenangkan hati sang kakek.
Dengan sendok perak, Rezon akhirnya mengambil sedikit sup lantas menyesapnya perlahan. Matanya menyempit, alis tebalnya naik sedikit, tetapi pria itu tidak mengatakan apa-apa.
Seolah mampu membaca situasi, Thalia bergerak maju sembari membungkuk hormat kepada Tuan Markus.
“Jika Tuan Besar mengizinkan, saya akan membawa Moza ke kamar pelayan supaya dia bisa menyimpan barang-barangnya. Saya juga akan mengajarinya peraturan dan tata krama yang berlaku di mansion.”
Tuan Markus mengangguk. "Baik, bereskan juga makanan ini. Ingatkan Moza untuk membersihkan kamarku setiap pukul tujuh pagi.”
“Saya mengerti, Tuan.”
Dengan lirikan mata dan gerakan kepala, Thalia pun memberi isyarat pada Moza agar mengambil nampan di hadapan Tuan Markus.
Tanpa menunda lagi, Moza segera mendekati meja lipat untuk mengambil sisa makanan. Namun, saat ia hendak meraih tepi nampan, tangannya mendadak bersentuhan dengan tangan kokoh Rezon. Sentuhan itu terasa hangat, bagai aliran listrik yang menyambar tulang belakang Moza.
Spontan, Moza menarik tangan. Hampir saja ia menjatuhkan nampan itu bila saja Rezon tidak menahannya dengan sigap.
Belum hilang keterkejutan Moza, Rezon tiba-tiba mengambil puding delima yang tersisa di atas nampan. Ia mengamatinya sejenak, sebelum mengalihkan pandangan kepada Moza.
“Buatkan puding seperti ini untuk Kageo dan antar ke kamarnya. Delima sangat baik untuk sistem imun tubuh.”
Moza mengangguk, tetapi pikirannya berputar kencang.
Perintah pertama dari Rezon telah membuka kesempatan baginya untuk bertemu dengan Kageo Limantara, tuan muda yang memiliki kepribadian paling misterius di antara keempat saudaranya.
Dalam kondisi penuh ketidakpastian, Moza akhirnya berhasil menyelesaikan slide presentasinya. Saat dia hendak keluar untuk menyiapkan makan siang Abigail, derap langkah kaki pria terdengar di koridor.Jantungnya berdebar kencang. Itu pasti Kageo. Hanya dia satu-satunya Tuan Muda yang masih berada di mansion pada jam segini. Setelah pernyataan cinta tadi pagi, Moza sama sekali belum siap untuk bertemu dengannya. Dia memutuskan untuk tidak keluar, berharap Kageo akan lewat.Namun, rasa penasarannya menggelegak. Mau ke mana dia? Apa ini jadwal terapinya, atau Kageo sengaja pergi karena patah hati? Moza pun menempelkan telinganya di daun pintu, mencoba menyaring suara. Terdengar samar, langkah kaki itu terus berjalan menjauhi kamar Abigail, dan kemudian menuruni tangga.Dengan berjingkat, Moza membuka pintu dan menyelinap keluar. Dia bergegas menuju balkon di lantai dua yang menghadap halaman depan. Dari atas, Moza melihat Kageo masuk ke mobil dan melaju pergi bersama sopir pribadinya
Sesudah terbebas dari kamar Kageo, Moza bergegas turun ke bawah. Ia berusaha keras untuk terlihat biasa saja, seolah tidak ada pengakuan cinta, tawaran pernikahan, atau penolakan menegangkan yang baru saja terjadi. Jantungnya masih berdebar, tetapi ia mengendalikan langkahnya agar tetap tenang.Ketika ia sampai di meja makan, ternyata Abigail sudah selesai sarapan. Gadis kecil itu sedang mengenakan tas sekolah dan bersiap berangkat."Tante, kenapa lama sekali di atas?" tanya Abigail penasaran.Moza terpaksa berbohong. Tidak mungkin ia berkata jujur, bahwa ia baru saja ditahan oleh Kageo dan menolak lamaran pernikahan."Tante masih harus membersihkan kamar Papa, Nona Kecil. Ada sedikit pekerjaan tambahan." Abigail mengangguk, menerima penjelasan itu."Tante, nanti sepulang sekolah temani aku menggambar wajah Paman Elzen dan Paman Elbara. Kita harus membuat yang paling bagus untuk hadiah ulang tahun.""Tentu, Nona Kecil," jawab Moza seraya tersenyum hangat. "Tante akan siapkan semua ba
"Kita mau ke mana, Tuan Muda?" protes Moza, mencoba menahan langkahnya. "Saya belum selesai membersihkan kamar Tuan Muda Dastan. Masih ada tugas lain—""Justru, aku akan membebaskanmu dari semua tugas yang tidak kau sukai,” potong Kageo, tanpa menoleh. Cengkeramannya di pergelangan tangan Moza tidak juga mengendur.“Kita ke kamarku."Kageo menarik Moza agar bergerak, mengarah ke kamarnya sendiri yang terletak di ujung lorong. Wajahnya terlihat jauh lebih bertekad dari biasanya, kontras dengan sifatnya yang pendiam.Dengan cepat, Kageo mendorong pintu kamarnya hingga terbuka dan menguncinya dari dalam.Klik.Suara itu menggema di keheningan ruangan, yang terasa lebih misterius daripada kamar Dastan.Moza terkejut dan merasa was-was. Ia menatap Kageo dengan mata melebar."Ada apa sebenarnya, Tuan Muda?" tanya Moza dengan suata bergetar.Dengan tenang, Kageo menggiring Moza untuk duduk di sofa sudut. Setelah Moza duduk, ia sendiri mengambil tempat di sebelahnya.Kageo mencondongkan tubuh
Meski Moza menyapa dengan lembut, Dastan tidak menoleh sekali pun. Pria itu tetap menghadap ke cermin, berkonsentrasi untuk merapikan celana panjangnya lalu menyisir rambutnya yang masih lembap. Diam-diam, Moza merasa kesal. Dastan Limantara memang mudah berubah sikap, arah pikirannya sangat sulit untuk ditebak.Semalam, ia begitu hangat dan penuh gairah, tetapi pagi ini kembali menjadi sosok yang dingin dan acuh tak acuh.Mungkinkah ini semua adalah ujian? Sebuah cara bagi Dastan untuk mengukur sejauh mana inisiatifnya dalam melayani.Tak mau tinggal diam, Moza berjalan mendekat. Matanya cepat memindai seisi kamar.Pandangannya lantas tertuju pada kemeja dan jas cokelat yang masih tersampir di sandaran sofa. Tampaknya Dastan memang belum sempat mengenakannya.Tanpa ragu, Moza segera mengambil kemeja itu dan berdiri di depan Dastan yang masih bertelanjang dada."Biar saya bantu memakai kemeja, Tuan Muda," ucap Moza.Dastan tidak menyahut, tetapi matanya menyipit seperti menunggu tind
Mendengar tantangan yang dilemparkan Dastan, Moza merasakan getaran halus yang menjalar di punggungnya. Namun, sorot matanya justru memancarkan tekad baja.Ia tahu betul bahwa satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan menyerah. Hanya dengan tunduk pada pimpinan keluarga Limantara, dia bisa mempertahankan kendali atas nasibnya dan Kayden."Saya siap, Tuan Muda. Saya akan membuktikan bahwa saya milik Anda."Suara Moza terdengar lugas, bertentangan dengan irama jantungnya yang memacu cepat di tulang rusuk.Dastan terdiam sejenak, matanya yang tajam menyelidiki. Ia memindai setiap kerutan di wajah Moza, mencari celah kepalsuan atau penyesalan dalam kepasrahan wanita itu.Namun, Moza tidak goyah. Dia telah membangun tembok di sekeliling hatinya. Keputusan telah dibuat, dan ia akan memainkan peran ini sampai tuntas.Akhirnya, bibir Dastan melengkung sangat tipis, menunjukkan gurat kepuasan yang berbahaya. Aura kemenangan memancar kuat dari matanya.“Jika kau sungguh-sungguh dengan ucapa
Setelah mengetuk dua kali, Moza menunggu dengan jantung berdebar. Setiap sel sarafnya terasa tegang, menunggu detik-detik pintu akan terbuka.Namun, tidak ada yang terjadi. Entah Dastan sengaja membuatnya menunggu, atau masih berada di kamar mandi.Keberanian Moza mulai menguap, digantikan oleh rasa panik. Jika tidak ada jawaban, ia terpaksa pergi sebelum Abigail terbangun, atau Kageo keluar dari kamar dan mendapati dirinya berdiri di depan kamar Dastan.Tak mau menyerah terlalu cepat, Moza mencoba peruntungannya. Ia mengangkat tangan dan mengetuk sekali lagi, sedikit lebih keras. Ia menunggu sambil menghitung mundur dalam hati. Tepat ketika Moza hampir menyerah, ada suara gerakan dari dalam.Pintu kamar Dastan terbuka. Pria itu berdiri di ambang pintu, mengenakan piyama kimono berwarna hitam yang diikat longgar. Belahan piyama yang terbuka, menampakkan sebagian besar dada Dastan yang bidang dan keras. Rambutnya yang biasanya rapi, tampak sedikit berantakan.Moza menahan napas sejena







