Home / Romansa / Pelayan Lima Tuan Muda Perkasa / Tante, Jadilah Mamaku!

Share

Tante, Jadilah Mamaku!

Author: Risca Amelia
last update Huling Na-update: 2025-10-01 00:53:27

“Saya akan menjaga rahasia itu selama tidak melanggar hukum atau menyakiti orang yang tidak bersalah. Karena loyalitas adalah harga diri seorang pelayan.”

Mendengar jawaban Moza, Elbara duduk kembali di kursinya dengan tenang. Kini, giliran Elzen yang beranjak. Pria itu bersandar santai pada tepi meja sembari melipat tangannya di depan dada.

“Giliranku yang mengajukan pertanyaan. Bagaimana kamu bisa membedakan kami berdua, terutama saat Elbara tidak pakai kacamata, dan kami memakai baju yang sama?” tantang Elzen dengan ekspresi serius.

“Jika kamu salah panggil, atau salah melayani, itu bisa menimbulkan konflik internal. Apalagi, masih ada dua kakak kami, Dastan dan Rezon, serta adik kami, Kageo. Kami semua memiliki hak atas pelayanan yang tepat.”

Moza diam sejenak. Ia mengamati keduanya—wajah yang identik, postur yang sama, bahkan gerakan tangan yang hampir sinkron.

Tidak sia-sia ia mengumpulkan informasi mengenai keluarga Limantara. Inilah saatnya dia menggunakan pengetahuan tersebut agar lolos dalam seleksi.

“Saya bisa membedakan dari gaya rambut dan cara Anda mengamati,” jawab Moza penuh percaya diri.

Elzen mengernyit. “Coba jelaskan.”

“Walau Anda berdua punya potongan rambut yang sama, tetapi cara merawatnya berbeda. Rambut Tuan Elbara tersisir rata ke belakang, tetap kering, tidak ada helai yang acak-acakan. Sementara Tuan Elzen… Anda suka bermain-main dengan rambut. Kadang Anda sengaja membiarkan rambut Anda sedikit berantakan. Saya tadi melihat Anda mengusap rambut beberapa kali, juga menyisirnya dengan jemari.”

Sudut bibir Elzen berkedut, tetapi ia belum memberikan komentar atas hasil pengamatan Moza. 

“Yang kedua dari cara Anda mengamati. Tuan Elbara mengamati saya seperti sedang menganalisis. Mata Anda tetap bergerak, memperhatikan detail, menghitung kemungkinan. Sedangkan Tuan Elzen mengamati dengan santai, bagaikan menonton sebuah pertunjukan. Anda tersenyum kecil, menilai emosi orang, dan mencari celah untuk bercanda.”

Kali ini, Elzen tidak dapat menahan rasa kagum atas kemampuan Moza. Hanya dalam waktu sekejap, wanita ini mampu melihat perbedaan tersembunyi antara dirinya dengan Elbara.

“Wow, kamu mirip cenayang, Nona Keju. Aku kagum pada ketajaman analisamu,” puji Elzen sambil mengacungkan ibu jarinya.

Elzen langsung menempati kursinya semula, lalu menatap Elbara dengan kedipan mata. Tampaknya lelaki kembar itu memiliki bahasa isyarat yang hanya bisa dipahami oleh mereka berdua.

“Cukup. Kamu lolos,” pungkas Elbara sambil menekan tombol merah di mejanya.

Tak lama berselang, Thalia memasuki ruangan dengan ekspresi datar.

“Bibi Thalia, Moza berhasil menjawab pertanyaan kami. Sekarang, kami serahkan dia padamu,” kata Elbara.

“Baik, Tuan Muda.”

Setelah membungkukkan badan kepada Elbara dan Elzen, Thalia mengajak Moza kembali ke dapur. Pelayan yang lain telah menyiapkan sup dan puding yang tadi dibuat Moza di atas sebuah nampan perak.

“Kau akan memasuki tahap akhir dari seleksi ini, yaitu bertemu dengan Tuan Markus. Beliau sendiri yang akan mencicipi masakanmu dan menilai sikapmu,” tegas Thalia.

Moza mengangguk, tangannya erat memegang nampan yang akan menjadi penentu apakah ia diterima atau tidak. 

Tanpa bicara, Moza mengikuti Thalia menuju ke sisi utara mansion. Suasana di sini lebih sunyi, dan karpet merah tebal menelan derap langkah mereka. Para pelayan yang berlalu-lalang juga lebih sedikit bicara. 

Mereka tiba di ujung koridor, di depan pintu besar dari kayu jati tua. Thalia mengetuk lembut, dan beberapa detik kemudian pintu terbuka perlahan.

Seorang pria berseragam perawat medis keluar. Ia memandang Thalia dengan hormat.  

“Bu Thalia. Ada keperluan apa?”

“Ini Moza, calon pelayan baru. Dia akan menyajikan makanan untuk Tuan Markus. Apakah Beliau siap menerima tamu?”

Perawat itu mengangguk. “Saya akan bertanya lebih dulu.”

Moza menahan napas. Jantungnya berdegup kencang, mengingat ini adalah titik penentuan nasibnya. Lolos atau gagal, semuanya ditentukan dalam beberapa menit ke depan. 

Percuma sudah melewati dua tahap jika gagal di hadapan Tuan Markus. Bagaimanapun ia harus berhasil mengambil hati pria tua itu, bukan dengan kata-kata, melainkan dengan pengabdian, kesabaran, dan ketulusan.

Tak lama, pintu terbuka lagi. “Silakan masuk,” ujar sang perawat.

Sedikit was-was, Moza melangkah masuk sambil membawa nampan dengan kedua tangan. 

Pandangan Moza otomatis tertuju pada ranjang besar dengan kelambu tipis, yang terletak di tengah kamar.

Di atasnya, Tuan Markus Limantara duduk dengan bersandar pada bantal penopang. Meski usianya sudah tujuh puluh tahun, kehadirannya masih memancarkan kharisma yang tak tergoyahkan. 

Rambutnya yang putih keperakan disisir rapi. Wajahnya penuh garis-garis usia, tetapi mata Tuan Markus masih sangat tajam, seperti bisa membaca masa lalu dan masa depan dalam sekali pandang. 

Perawat pribadi Tuan Markus segera membentangkan meja lipat kecil di depan ranjang, sementara Thalia maju selangkah.  

“Tuan Besar, ini Moza, calon pelayan yang akan memasak dan membersihkan kamar Anda. Sup dan puding ini hasil masakannya sendiri. Saya sudah mencicipi. Apakah Tuan Besar bersedia mencoba?”

“Hem,” balas pria tua itu singkat.

Mendapat lirikan tajam dari Thalia, Moza maju perlahan. Dengan hati-hati, ia meletakkan nampan di meja seraya membuka tutup mangkuk sup.

“Silakan, Tuan Besar,” ucap Moza lembut.

Cukup lama Tuan Markus menatap sup di atas nampan, sebelum akhirnya mengambil sendok dan mencicipi sedikit.

Untuk sesaat, pria tua itu hanya menelan tanpa berkata apa-apa. Kemudian, saat mencicipi untuk kedua kalinya, sudut bibirnya bergerak naik membentuk senyum tipis.

“Tidak buruk,” gumamnya. “Rempahnya seimbang dan sirip ikannya empuk.”

Dengan bantuan sang perawat, Tuan Markus lantas beralih ke puding delima. Ia mencicipinya beberapa sendok sebelum mengangguk kecil.

“Baru sekali ini, aku menemukan rasa yang hampir mirip dengan masakan Angela. Kamu diterima,” putus Tuan Markus sambil menatap Moza.

Ketegangan yang menyelimuti Moza langsung sirna. Akhirnya, perjuangan yang ia tempuh selama ini tidaklah sia-sia, sebab ia berhasil masuk ke lingkaran keluarga Limantara. Dengan begitu, rencananya untuk mengungkap kebenaran akan segera terwujud.

Di tengah kebahagiaan yang dirasakan Moza, pintu mendadak terbuka. Seorang gadis kecil dengan rambut cokelat bergelombang berlari masuk. Tangan mungilnya membawa kertas gambar yang penuh dengan coretan warna.

“Opa! Lihat! Aku bisa menggambar seekor putri duyung,” serunya riang.

Namun, ketika melewati Moza, gadis kecil itu berhenti sejenak. Mata bulatnya memandang wajah Moza tak berkedip. Lalu, tanpa ragu, ia maju dan meletakkan tangannya di pinggang Moza.

“Tante Cantik! Apa Tante akan menjadi mamaku?”

Darah Moza seketika berdesir cepat. Dia tahu gadis kecil ini adalah Abigail, putri tunggal Dastan Limantara.

Anehnya, anak ini memiliki kemiripan dengan Kayden. Bukan hanya dari segi umur, melainkan juga bentuk bibir dan sinar matanya yang penuh harap, seperti saat Kayden merindukan sosok ayahnya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pelayan Lima Tuan Muda Perkasa   Si Bungsu yang Misterius

    Usai keluar dari kamar Tuan Markus, Moza mengikuti langkah Thalia yang cepat dan tegas. Seiring dengan langkah mereka menuju paviliun, terlihat lampu gantung sederhana yang menyala redup di setiap jarak sepuluh meter. Lantainya bukan terbuat dari marmer, melainkan keramik abu-abu bermotif garis. Di sekelilingnya terdapat tembok tinggi yang dicat putih bersih. “Ini adalah asrama pelayan,” kata Thalia tanpa menoleh. “Tamu dari luar tidak boleh masuk. Bahkan para Tuan Muda jarang sekali kemari, kecuali ada urusan penting.” Thalia tetap berjalan di depan Moza, menyusuri lorong yang lebih rendah dari lantai utama mansion. Di sepanjang sisi kiri dan kanan, berjejer pintu-pintu kecil dengan nomor dan nama pelayan yang tertulis di papan kayu. “Akan kutunjukkan letak kamarmu. Kopermu sudah dibawa oleh Ninda kemari,” pungkas Thalia dengan suara datar. Mereka terus melangkah sampai di ujung koridor, di mana hanya ada satu pintu yang tersisa. Thalia merogoh saku bajunya, lalu mengeluarkan

  • Pelayan Lima Tuan Muda Perkasa   Sentuhan Hangat

    Ketika Moza masih bimbang dengan perasaannya sendiri, terdengar suara berat seorang pria dari ambang pintu.“Abi, jangan sembarangan memanggil orang lain sebagai Mama.”Semua kepala menoleh serempak.Di pintu, berdiri seorang pria mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung sampai siku. Tingginya sekitar 185 cm, memiliki postur tegap, bahu yang lebar dan jari-jemari panjang.Wajahnya simetris, dilengkapi dengan sepasang mata berwarna hitam pekat. Ekspresi pria itu dingin, tetapi ada kilatan kelembutan saat ia menatap Abigail.Moza mengenali dia sebagai Rezon Limantara, putra kedua keluarga Limantara. Dokter bedah sekaligus kepala Limantara Medika, lelaki yang namanya sering muncul di majalah medis internasional sebagai "The Silent Healer".Ketika Rezon melihat Abigail memeluk pinggang Moza, kedua alis tebalnya langsung menukik tajam.“Abi, lepaskan tanganmu,” katanya datar, tetapi cukup tajam untuk didengar semua orang.Abigail menatap sang paman dengan wajah cemberut, tetapi akhir

  • Pelayan Lima Tuan Muda Perkasa   Tante, Jadilah Mamaku!

    “Saya akan menjaga rahasia itu selama tidak melanggar hukum atau menyakiti orang yang tidak bersalah. Karena loyalitas adalah harga diri seorang pelayan.”Mendengar jawaban Moza, Elbara duduk kembali di kursinya dengan tenang. Kini, giliran Elzen yang beranjak. Pria itu bersandar santai pada tepi meja sembari melipat tangannya di depan dada.“Giliranku yang mengajukan pertanyaan. Bagaimana kamu bisa membedakan kami berdua, terutama saat Elbara tidak pakai kacamata, dan kami memakai baju yang sama?” tantang Elzen dengan ekspresi serius.“Jika kamu salah panggil, atau salah melayani, itu bisa menimbulkan konflik internal. Apalagi, masih ada dua kakak kami, Dastan dan Rezon, serta adik kami, Kageo. Kami semua memiliki hak atas pelayanan yang tepat.”Moza diam sejenak. Ia mengamati keduanya—wajah yang identik, postur yang sama, bahkan gerakan tangan yang hampir sinkron.Tidak sia-sia ia mengumpulkan informasi mengenai keluarga Limantara. Inilah saatnya dia menggunakan pengetahuan tersebut

  • Pelayan Lima Tuan Muda Perkasa   Pertemuan Pertama dengan Tuan Muda

    Dengan langkah lebar, Thalia memimpin Moza keluar dari ruang tamu. Mereka pun tiba di dapur belakang, yang dilengkapi peralatan masak stainless steel canggih, oven berteknologi tinggi, dan dua pelayan muda yang sedang memotong sayuran.“Ini Moza. Calon pelayan. Dia akan membuat sup dan puding untuk Tuan Markus. Kalian diam saja. Biarkan dia bekerja.”Tanpa membuang waktu, Moza segera memakai apron dan mencuci tangan. Dengan cekatan, ia mencuci bersih sirip ikan hiu berkualitas tinggi dari lemari pendingin. Merebusnya selama dua jam dengan air jahe segar, daun pandan, dan potongan akar lotus untuk menghilangkan bau amis dan meningkatkan sirkulasi darah.Kemudian, Moza menumis bumbu rempah dan mencampurnya ke dalam kaldu sirip ikan. Moza mengaduk perlahan dengan sendok kayu, agar tekstur kaldu tetap halus dan tidak pecah.Untuk puding, Moza menggunakan biji delima segar yang sudah disiapkan Thalia. Ia mencampurnya dengan susu almond, gelatin alami, dan madu hutan, lalu menuangkannya ke

  • Pelayan Lima Tuan Muda Perkasa   Tiga Tahap Seleksi

    Setelah telepon dari Reva terputus, Moza tidak menyia-nyiakan waktu. Sesudah menyerahkan Kayden pada bibinya, ia segera masuk ke kamar dan membuka. Jemari Moza mengetik cepat meski hatinya berdebar-debar. Formulir lamaran yang dikirim Reva telah ia isi dengan data yang disamarkan. Ia tidak menyebutkan nama suami sebelumnya, tidak mencantumkan alamatnya dulu di ibu kota. Hanya riwayat pendidikan, pengalaman memasak dan membuat kue, serta kota kecil tempat ia tinggal saat ini.Sesudah mengunggah kartu identitas dan foto terbaru, Moza menekan tombol ‘kirim’.Ia pun menarik napas panjang, seperti melepas beban yang ditahan bertahun-tahun. Ini bukan sekadar melamar pekerjaan. Ini adalah tiket masuk ke sarang harimau, tempat di mana kebenaran tersembunyi di balik kemewahan dan kekuasaan. Dengan tekad baru, Moza membuka lemari kayu tua di kamar. Meski belum tahu apakah lamaran pekerjaannya akan diterima, Moza mulai berkemas. Ia memasukkan baju-bajunya ke dalam koper kecil bekas warisan ib

  • Pelayan Lima Tuan Muda Perkasa   Menyamar Sebagai Pelayan Lugu

    Anak laki-laki berusia empat tahun berlari dengan seragam sekolah yang sedikit kusut. Rambut hitam tebalnya acak-acakan, wajahnya berseri-seri. Moza langsung berjongkok, membuka lengan, dan menyambut pelukan hangat Kayden. Anak itu melompat ke pelukannya, mencium pipi Moza dengan senyum polos. “Mama, hari ini aku dapat bintang lima dari Bu Guru karena rajin!”Moza tertawa kecil, hatinya meleleh. Meski tubuh Kayden sudah mulai besar, Moza menggendongnya dan membawa bocah lelaki itu ke kamar. “Wah, hebat sekali anak Mama. Sekarang, ganti baju dulu.”Di kamar, Moza membantu Kayden melepas seragamnya, lalu menggantinya dengan kaos bergambar dinosaurus. Ia duduk di tepi tempat tidur, menarik Kayden ke pangkuannya.Kayden memang memiliki wajah yang sangat tampan. Alisnya tebal, matanya tajam, hidungnya mancung, dan bibirnya tipis seperti lukisan alami. Setiap kali Moza menatapnya, ada sesuatu yang menusuk hatinya, campuran antara rasa syukur dan luka yang tak pernah sembuh.‘Kamu lahir d

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status