LOGINUsai keluar dari kamar Tuan Markus, Moza mengikuti langkah Thalia yang cepat dan tegas.
Seiring dengan langkah mereka menuju paviliun, terlihat lampu gantung sederhana yang menyala redup di setiap jarak sepuluh meter. Lantainya bukan terbuat dari marmer, melainkan keramik abu-abu bermotif garis. Di sekelilingnya terdapat tembok tinggi yang dicat putih bersih. “Ini adalah asrama pelayan,” kata Thalia tanpa menoleh. “Tamu dari luar tidak boleh masuk. Bahkan para Tuan Muda jarang sekali kemari, kecuali ada urusan penting.” Thalia tetap berjalan di depan Moza, menyusuri lorong yang lebih rendah dari lantai utama mansion. Di sepanjang sisi kiri dan kanan, berjejer pintu-pintu kecil dengan nomor dan nama pelayan yang tertulis di papan kayu. “Akan kutunjukkan letak kamarmu. Kopermu sudah dibawa oleh Ninda kemari,” pungkas Thalia dengan suara datar. Mereka terus melangkah sampai di ujung koridor, di mana hanya ada satu pintu yang tersisa. Thalia merogoh saku bajunya, lalu mengeluarkan sebuah kunci perak. Setelah memutarnya pada lubang kunci, pintu berwarna cokelat itu terbuka dengan suara berderit. Moza melongok ke dalam, memperhatikan ruangan yang akan menjadi tempatnya berteduh. Kamar itu cukup nyaman, hampir seukuran dengan kamarnya di kota Sarima. Ada tempat tidur, lemari pakaian, dan sebuah kursi rotan yang dilengkapi meja kecil. Sementara di pojok kamar, kopernya sudah diletakkan dengan rapi. "Duduklah, Moza. Ini adalah kamarmu," pungkas Thalia. Ia berdiri di hadapan Moza dan mulai menjelaskan peraturan yang berlaku di mansion. “Dengarkan baik-baik peraturan bagi para pelayan, hafalkan di luar kepala. Pertama, jam kerja dimulai pukul enam pagi dan selesai pada pukul delapan malam. Bila ada tugas tambahan, akan diberikan uang lembur sesuai keputusan para Tuan Muda.” Moza mengangguk. “Kedua, sikap dan perilaku harus sopan, penuh hormat, tidak boleh membantah perintah dari Tuan Markus maupun kelima Tuan Muda. Pelayan dilarang bersitatap terlalu lama dengan para Tuan Muda, apalagi melakukan kontak fisik.” Thalia menjeda kalimatnya sejenak, kemudian memandang Moza dengan sorot tajam. "Peraturan ketiga, dan yang paling penting adalah menjaga kerahasiaan. Apa yang terjadi di mansion, tidak boleh diceritakan kepada siapapun, baik itu keluarga, teman, maupun unggahan di media sosial. Jika ketahuan membocorkan privasi keluarga Limantara, kau akan langsung diberhentikan dan dituntut secara hukum.” Moza menelan ludah. Menjadi pelayan di mansion ini sama artinya dengan terkurung dalam sangkar emas. Namun, semakin aneh peraturan yang berlaku, ia justru semakin tertarik untuk menaklukkannya. Selesai memberitahu Moza, Thalia menunjuk seragam pelayan yang sudah terlipat di atas tempat tidur. Warnanya merah tua dengan renda putih, yang dilengkapi sepasang kaus kaki hitam. “Seragam ini harus dipakai setiap hari selama bekerja. Sekarang mandilah dan ganti bajumu dengan seragam.” “Maaf, Bu Thalia,” sela Moza memberanikan diri. “Tadi, Tuan Rezon meminta saya membuatkan puding delima untuk Tuan Muda Kageo. Saya harus mengantarnya ke mana?” “Ke lantai dua. Kamar Tuan Muda Kageo letaknya paling ujung,” jawab Thalia. “Puding yang tadi masih tersisa, sudah kusimpan di lemari pendingin. Kau bisa mengambilnya di dapur dan mengantarnya ke kamar Tuan Muda Kageo.” Thalia kemudian mencodongkan tubuh sedikit ke arah Moza, seperti hendak memberikan petuah yang sangat penting. “Pintu kamar Tuan Muda Kageo biasanya tidak dikunci. Tapi, kau tidak boleh langsung masuk. Ketuk pintu dulu, dan tunggu sampai dia memberi izin. Setelah mengantar puding, segera keluar tanpa banyak bicara. Tuan Muda Kageo sangat sensitif, tidak suka diganggu." Moza mengangguk dengan hati berdebar. Pintu kamar yang tidak dikunci. Sifat yang sensitif. Sungguh, kepribadian Kageo bagaikan teka-teki yang sulit ditebak. Selepas Thalia pergi, Moza mendekati tempat tidur dan mengangkat seragam merah itu. Ia merabanya sejenak, merasakan tekstur kain yang halus. Seragam pelayan ini bukan sekadar kain, melainkan simbol bahwa perjuangannya melawan ketidakadilan akan segera dimulai. Tanpa membuang waktu, Moza membawa seragam itu sambil berjalan keluar dari kamar. Ia menyusuri jalan sempit menuju kamar mandi umum. Moza menyelesaikan mandinya dengan cepat, lalu mengikat rambut panjangnya membentuk ekor kuda. Dengan penampilan baru sebagai pelayan, Moza bergegas menuju dapur utama mansion. Sesuai petunjuk dari Thalia, ia mengambil puding delima dari lemari pendingin dan meletakkannya di atas nampan. “Bu Thalia, saya akan mengantar puding sekarang,” pamit Moza, meminta izin. Thalia mengangguk. “Kalau sudah selesai, cepat kembali ke dapur. Kau harus membantu pelayan yang lain menyiapkan makan malam.” Tanpa menunggu lebih lama, Moza mengangkat nampan dan berjalan ke ruang tengah. Langkahnya mantap, walau hatinya dirundung gelisah. Memang secara fisik Kageo paling lemah dibandingkan para kakaknya, tetapi ia harus tetap waspada. Bisa jadi orang yang tampak tak berdaya, justru merupakan sosok yang paling berbahaya. Terlebih, pria di malam itu pernah menyinggung soal ‘kesembuhan’. Dan, di antara kelima putra Limantara hanya Kageo yang sakit dan duduk di kursi roda. Berusaha menepis kecemasannya, Moza menapaki anak tangga hingga tiba di lantai dua. Ia melewati lima kamar yang tertutup rapat, sebelum akhirnya berhenti di depan pintu paling sudut. Yakin bahwa itu kamar Kageo, Moza menarik napas panjang lalu mengangkat tangan kanannya. Tok… tok… tok! Tidak ada jawaban. Dari dalam, Moza justru mendengar alunan musik klasik, seperti suara biola berpadu dengan piano. Melodinya mengalir indah, menyayat, sekaligus penuh kerinduan. Moza mengetuk lagi beberapa kali, tetapi hasilnya tetap nihil. Tak ada suara yang menyahut dari dalam. Selama beberapa detik, Moza menimbang-nimbang langkah apa yang harus diambilnya. Tidak mungkin ia terus menunggu di sini tanpa kejelasan. Teringat perkataan Thalia bahwa pintu kamar Kageo tidak dikunci, Moza memberanikan diri untuk menekan tuas. Benar saja, pintu itu terbuka dengan mudah. Sedikit ragu, Moza berjalan perlahan ke dalam. Kamar Kageo hanya diterangi lampu meja kecil. Di dinding, tergantung biola antik, gitar akustik, serta sebuah saksofon, yang menandakan kecintaan pemiliknya terhadap musik. “Selamat sore, Tuan Muda Kageo. Saya Moza, pelayan baru. Tuan Rezon menyuruh saya mengantarkan puding delima ke kamar Anda," sapa Moza memperkenalkan diri. Ia mengarahkan pandangan ke sekeiling, mencoba mencari keberadaan Kageo. Detik berikutnya, Moza terpaku ketika pintu kamar mandi terbuka. Seorang pria muda keluar dengan bathrobe hitam yang terbuka di dada, menampakkan kulit pucat berkilau bak mutiara. Wajahnya tampan, bukan dengan ketegasan maskulin melainkan memancarkan kelembutan seorang pangeran. “Siapa kamu?” tanyanya curiga. Mata hazel pria itu membesar begitu melihat Moza berdiri di tengah kamar. Moza tergagap. Benarkah Ini Kageo, putra bungsu keluarga Limantara? Kenapa dia bisa berjalan sendiri tanpa bantuan kursi roda?Dalam kondisi penuh ketidakpastian, Moza akhirnya berhasil menyelesaikan slide presentasinya. Saat dia hendak keluar untuk menyiapkan makan siang Abigail, derap langkah kaki pria terdengar di koridor.Jantungnya berdebar kencang. Itu pasti Kageo. Hanya dia satu-satunya Tuan Muda yang masih berada di mansion pada jam segini. Setelah pernyataan cinta tadi pagi, Moza sama sekali belum siap untuk bertemu dengannya. Dia memutuskan untuk tidak keluar, berharap Kageo akan lewat.Namun, rasa penasarannya menggelegak. Mau ke mana dia? Apa ini jadwal terapinya, atau Kageo sengaja pergi karena patah hati? Moza pun menempelkan telinganya di daun pintu, mencoba menyaring suara. Terdengar samar, langkah kaki itu terus berjalan menjauhi kamar Abigail, dan kemudian menuruni tangga.Dengan berjingkat, Moza membuka pintu dan menyelinap keluar. Dia bergegas menuju balkon di lantai dua yang menghadap halaman depan. Dari atas, Moza melihat Kageo masuk ke mobil dan melaju pergi bersama sopir pribadinya
Sesudah terbebas dari kamar Kageo, Moza bergegas turun ke bawah. Ia berusaha keras untuk terlihat biasa saja, seolah tidak ada pengakuan cinta, tawaran pernikahan, atau penolakan menegangkan yang baru saja terjadi. Jantungnya masih berdebar, tetapi ia mengendalikan langkahnya agar tetap tenang.Ketika ia sampai di meja makan, ternyata Abigail sudah selesai sarapan. Gadis kecil itu sedang mengenakan tas sekolah dan bersiap berangkat."Tante, kenapa lama sekali di atas?" tanya Abigail penasaran.Moza terpaksa berbohong. Tidak mungkin ia berkata jujur, bahwa ia baru saja ditahan oleh Kageo dan menolak lamaran pernikahan."Tante masih harus membersihkan kamar Papa, Nona Kecil. Ada sedikit pekerjaan tambahan." Abigail mengangguk, menerima penjelasan itu."Tante, nanti sepulang sekolah temani aku menggambar wajah Paman Elzen dan Paman Elbara. Kita harus membuat yang paling bagus untuk hadiah ulang tahun.""Tentu, Nona Kecil," jawab Moza seraya tersenyum hangat. "Tante akan siapkan semua ba
"Kita mau ke mana, Tuan Muda?" protes Moza, mencoba menahan langkahnya. "Saya belum selesai membersihkan kamar Tuan Muda Dastan. Masih ada tugas lain—""Justru, aku akan membebaskanmu dari semua tugas yang tidak kau sukai,” potong Kageo, tanpa menoleh. Cengkeramannya di pergelangan tangan Moza tidak juga mengendur.“Kita ke kamarku."Kageo menarik Moza agar bergerak, mengarah ke kamarnya sendiri yang terletak di ujung lorong. Wajahnya terlihat jauh lebih bertekad dari biasanya, kontras dengan sifatnya yang pendiam.Dengan cepat, Kageo mendorong pintu kamarnya hingga terbuka dan menguncinya dari dalam.Klik.Suara itu menggema di keheningan ruangan, yang terasa lebih misterius daripada kamar Dastan.Moza terkejut dan merasa was-was. Ia menatap Kageo dengan mata melebar."Ada apa sebenarnya, Tuan Muda?" tanya Moza dengan suata bergetar.Dengan tenang, Kageo menggiring Moza untuk duduk di sofa sudut. Setelah Moza duduk, ia sendiri mengambil tempat di sebelahnya.Kageo mencondongkan tubuh
Meski Moza menyapa dengan lembut, Dastan tidak menoleh sekali pun. Pria itu tetap menghadap ke cermin, berkonsentrasi untuk merapikan celana panjangnya lalu menyisir rambutnya yang masih lembap. Diam-diam, Moza merasa kesal. Dastan Limantara memang mudah berubah sikap, arah pikirannya sangat sulit untuk ditebak.Semalam, ia begitu hangat dan penuh gairah, tetapi pagi ini kembali menjadi sosok yang dingin dan acuh tak acuh.Mungkinkah ini semua adalah ujian? Sebuah cara bagi Dastan untuk mengukur sejauh mana inisiatifnya dalam melayani.Tak mau tinggal diam, Moza berjalan mendekat. Matanya cepat memindai seisi kamar.Pandangannya lantas tertuju pada kemeja dan jas cokelat yang masih tersampir di sandaran sofa. Tampaknya Dastan memang belum sempat mengenakannya.Tanpa ragu, Moza segera mengambil kemeja itu dan berdiri di depan Dastan yang masih bertelanjang dada."Biar saya bantu memakai kemeja, Tuan Muda," ucap Moza.Dastan tidak menyahut, tetapi matanya menyipit seperti menunggu tind
Mendengar tantangan yang dilemparkan Dastan, Moza merasakan getaran halus yang menjalar di punggungnya. Namun, sorot matanya justru memancarkan tekad baja.Ia tahu betul bahwa satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan menyerah. Hanya dengan tunduk pada pimpinan keluarga Limantara, dia bisa mempertahankan kendali atas nasibnya dan Kayden."Saya siap, Tuan Muda. Saya akan membuktikan bahwa saya milik Anda."Suara Moza terdengar lugas, bertentangan dengan irama jantungnya yang memacu cepat di tulang rusuk.Dastan terdiam sejenak, matanya yang tajam menyelidiki. Ia memindai setiap kerutan di wajah Moza, mencari celah kepalsuan atau penyesalan dalam kepasrahan wanita itu.Namun, Moza tidak goyah. Dia telah membangun tembok di sekeliling hatinya. Keputusan telah dibuat, dan ia akan memainkan peran ini sampai tuntas.Akhirnya, bibir Dastan melengkung sangat tipis, menunjukkan gurat kepuasan yang berbahaya. Aura kemenangan memancar kuat dari matanya.“Jika kau sungguh-sungguh dengan ucapa
Setelah mengetuk dua kali, Moza menunggu dengan jantung berdebar. Setiap sel sarafnya terasa tegang, menunggu detik-detik pintu akan terbuka.Namun, tidak ada yang terjadi. Entah Dastan sengaja membuatnya menunggu, atau masih berada di kamar mandi.Keberanian Moza mulai menguap, digantikan oleh rasa panik. Jika tidak ada jawaban, ia terpaksa pergi sebelum Abigail terbangun, atau Kageo keluar dari kamar dan mendapati dirinya berdiri di depan kamar Dastan.Tak mau menyerah terlalu cepat, Moza mencoba peruntungannya. Ia mengangkat tangan dan mengetuk sekali lagi, sedikit lebih keras. Ia menunggu sambil menghitung mundur dalam hati. Tepat ketika Moza hampir menyerah, ada suara gerakan dari dalam.Pintu kamar Dastan terbuka. Pria itu berdiri di ambang pintu, mengenakan piyama kimono berwarna hitam yang diikat longgar. Belahan piyama yang terbuka, menampakkan sebagian besar dada Dastan yang bidang dan keras. Rambutnya yang biasanya rapi, tampak sedikit berantakan.Moza menahan napas sejena







