Share

Bab 07

"Siapa diantara kalian yang membersihkan kamarku?" 

Suara lantang dan nyaring Argio seperti suara petir menyambar, membuat pelayan yang dikumpulkan di ruang tengah tampak ketakutan di tambah aura tak bersahabat yang menguar dari wajah pria itu.

"Kenapa diam? Cepat jawab!" 

Salah satu pelayan melangkah maju dengan kepala tertunduk. Tubuhnya gemetar ketakutan. Takut menghadapi kemarahan sang tuan muda. 

"Sa-saya yang membersihkan kamar, Tuan muda," ucapnya dengan suara yang bergetar.

Argio semakin menajamkan sorot matanya seolah tatapan pria itu mampu menembus sampai ke ulu hati. Pelayan yang lain saling pandangan satu sama lain, antara bingung dan takut karna tiba-tiba mereka di kumpulkan di tempat ini tanpa tahu alasannya. 

Ruangan itu hening beberapa saat sampai suara tegas Argio kembali terdengar.

"Apa kamu yang membuang semua sampah yang ada di kamarku termasuk foto para perempuan di tempat sampah itu?" 

Sontak hal itu langsung dibalas gelengan oleh pelayan yang bertugas membersihkan kamar tuan muda."Tidak, Tuan. Saya sama sekali tidak menyentuh tempat sampah yang ada di kamar, Tuan."

Sebelah alis Argio terangkat mendengar jawaban pelayan tersebut. Namun, tak lama suara Merry membuat para pelayan termasuk Argio menatap ke arahnya.

"Sepertinya Naya yang membuang sampah itu, Tuan. Tadi pagi saya memintanya untuk mengambil pakaian kotor, Tuan muda," sahut Merry. Sungguh, Merry tidak berniat menarik Naya dalam masalah ini tapi bagaimana pun ia tidak mungkin berbohong dengan tuan muda.

"Naya? Maksudmu pelayan baru itu?" 

Merry mengangguk. Argio terdiam sejenak. 

"Besok pagi suruh dia untuk segera menemuiku di kamar."

Merry kembali mengangguk."Baik, Tuan Muda."

Setelah mengatakan itu Argio melangkah menaiki anak tangga menuju kamarnya. Para pelayan yang berada di ruang tamu tampak bernapas lega setelah kepergian Argio. 

"Sebenarnya apa yang terjadi, Bi Merry? Kenapa kita tiba-tiba di kumpulkan di sini hanya perkara sampah," ucap Lusi yang beberapa saat lalu begitu tegang.

"Aku pun tidak tahu. Tuan Muda juga tidak mengatakan titik masalahnya."

"Apa jangan-jangan di tempat sampah itu ada surat penting?" timpal salah satu pelayan yang lain. 

"Mungkin. Sekarang kembali bekerja." perintah Merry. 

Merry bukan hanya pelayan di mansion ini tapi menjadi kepala pelayan yang bertanggung jawab dan mengawasi pekerjaan pelayan yang lain.

10:00 pagi

Naya menggenggam erat tangan keriput sang ibu yang kini di bawa ke ruang operasi. Pagi ini bu Ani akan menjalani operasi transplantasi paru-paru yang akan berlangsung selama tiga jam. Wanita paruh baya itu sudah tak sadarkan diri setelah dokter memberikan suntikan obat bius.

Awalnya bu Ani menolak untuk melakukan operasi karna memikirkan biaya, tapi Naya berusaha membujuk dan terpaksa menciptakan kebohongan hingga bu Ani setuju untuk melakukan operasi besar ini.

"Maaf, anda tidak boleh ikut masuk, tunggu di luar!" 

Suster menahan Naya ketika hendak ikut masuk ke dalam ruang operasi. Rasanya ia ingin menemani ibunya. Dengan lemah Naya mengangguk, mematuhi ucapan suster tersebut. Air mata tak sanggup Naya bendung. Doa terus bergumam dalam hatinya untuk kelancaran operasi orang tuanya. Ia berharap operasi berjalan lancar dan ibu bisa sehat seperti dulu.

"Ya Tuhan, semoga operasi Ibu berjalan lancar. Hanya Ibu yang aku miliki."

Jika bu Ani pergi meninggalkannya, ke mana lagi ia akan pulang. Sementara ibu adalah rumah ternyaman dan obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan segala luka di hati yang ia rasakan. Naya menundukkan kepalanya membiarkan air mata meluruh begitu derasnya.

"Naya." Panggilan dan sentuhan seseorang di pundaknya membuat Naya mendongak dan dengan cepat menghapus air mata yang membasahi pipinya.

"Intan?"

Wanita muda bernama Intan itu langsung memeluk Naya. Ia mengusap punggung sahabatnya lembut. Ia bisa merasakan tubuh Naya yang gemetar.

"Sabar ya, Nay," ucap Intan seraya menguraikan pelukannya."Aku baru tahu ibumu akan menjalani operasi. Tapi ... di mana kamu dapat biaya untuk operasi ibumu?"

Bukan tanpa alasan Intan menanyakan ini. Ia tahu betul sahabatnya hidup dalam ekonomi yang cukup sulit bahkan untuk membayar uang kuliah selalu terlambat dan terkena denda.

"Aku meminjam uang pada seseorang, Tan."

"Meminjam? Dengan siapa?"

Naya mengigit bibirnya kelu, ia begitu ragu mengatakan yang sebenarnya apalagi uang yang ia dapatkan berawal dari ia yang ingin menjual keperawanannya."Aku tidak bisa mengatakan siapa orangnya, yang jelas dia sudah begitu baik meminjamkan uang untukku."

Intan manggut-manggut mengerti.

"Aku datang ke rumah sakit ini juga ingin menawarkan pekerjaan. Tapi aku kurang yakin kamu akan menerima tawaran pekerjaan ini."

"Memangnya pekerjaan apa yang ingin kamu tawarkan?" Naya sedikit antusias menanyakan pekerjaan yang ditawarkan Intan.

Setidaknya ia bisa melunasi hutang yang ia pinjam pada Argio dan ia tidak menjadi pelayan di mansion tersebut. Jujur, bekerja tanpa gaji di sana akan membuat ia sulit memenuhi kebutuhan hidupnya.

Intan mengusap tengkuknya, tampak ragu mengatakannya."Jadi pelayan Bar. Kamu tahu 'kan Bar yang cukup terkenal di kota ini, dia sedang mencari wanita muda untuk menjadi pelayan di sana. Gajinya juga sangat besar sekitar 5 jutaan."

"Kamu hanya mengantarkan pesanan pelanggan. Kalau beruntung kamu juga akan diberikan tip oleh pelanggan yang kebanyakan orang kaya."

Naya tampak tergiur mendengar tawaran tersebut.

"Nanti kamu juga akan diberikan bonus sama Bos."

Naya menghitung-hitung uang yang akan ia dapat dalam beberapa bulan bekerja di sana. Sepertinya ini akan menjadi jalan satu-satunya agar ia bisa melunasi hutang pada Argio.

"Bagaimana? Kamu mau atau tidak? Kalau tidak mau, pekerjaan ini akan aku tawarkan ke teman yang lain."

Naya mengangguk tanpa berpikir dua kali. Ia sangat butuh pekerjaan dengan gaji yang cukup memenuhi kebutuhan ia dan ibunya serta melunasi hutang."Aku mau bekerja di sana."

"Baiklah. Nanti aku telpon, Om ku. Soalnya dia manejer di Bar itu."

"Terima kasih ya, Intan!" Naya begitu sumringah. Ia sampai memeluk sahabatnya tersebut. Bahkan ketakutan dan kesedihan yang Naya rasakan sedikit berkurang.

Argio terus mengetuk-ngetuk sepatunya ke lantai. Tatapan pria itu memang fokus ke lembaran berkas yang baru saja diantar sekretarisnya, namun pikirannya terbang melayang ke tempat lain. Ia benar-benar tidak fokus.

"Sepertinya perempuan itu ingin bermain-main denganku. Setelah ku pinjamkan uang dia tiba-tiba menghilang tanpa kabar," desisnya penuh kekesalan.

Masalah foto wanita yang orang tuanya berikan belum ia dapatkan dan sekarang pelayan bodoh itu hilang bagai di telan bumi.

"Apa kamu memanggilku, Argio?" Hendrik melangkah masuk ke dalam ruang kerja Argio. 

Argio mengangguk samar lalu menyandarkan punggungnya di kursi kebesarannya. Hendrik melangkah hingga berdiri tepat di depan meja Argio.

"Kamu cari Naya. Sudah tiga hari perempuan itu tidak datang ke mansion. Aku rasa dia kabur dan melanggar perjanjian." 

"Mungkin perempuan itu sedang ada keperluan sampai tidak datang ke mansion. Jangan berpikir buruk terlebih dahulu," nasehat Hendrik yang tetap berpikiran positif. Argio berdecak kesal.

"Aku lebih tahu daripada Paman. Apa Paman lupa aku sudah memberikannya uang 70 juta, itu bukan jumlah yang sedikit. Seekarang dia menghilang begitu saja. Bahkan uang sebanyak itu mampu menyewa beberapa perempuan penghibur!" sentaknya. Raut kemarahan tergambar jelas di wajah Argio. Ia merasa di bohongi bahkan sangat dirugikan oleh wanita kampungan itu.

"Aku tidak mau tahu, Paman cari Naya sampai dapat. Kalau perlu seret dia sampai ke hadapanku!" perintah Argio tanpa ingin dibantah.

Hendrik menghela napas berat. Jika pria itu sudah memerintah ia tidak bisa menolaknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status