Share

Bab 06

Gedoran pintu yang cukup keras membuat Bella bergegas membuka pintu apartemen miliknya. Wanita itu tampak terkejut ketika mendapati Argio sudah berdiri di depan pintu dengan raut wajah yang begitu menyeramkan.

Tanpa diberi tahu pun ia tahu maksud kedatangan pria itu ke sini apalagi ekpresi wajah Argio sudah menjelaskan semuanya.

"G-gio ... ada apa kamu ke sini?" Bella menampilkan wajah bingungnya membuat Argio yang melihat itu berdecih.

"Tidak perlu basa basi!" ketusnya.

Argio melangkah maju mendekati Bella yang melangkah mundur menjauhi. Wanita itu tampak gugup dengan raut wajah yang begitu tegang.

"Apa maksudmu membuat berita bohong itu?"

"A-aku tidak paham maksudmu, Gio. Memangnya aku melakukan apa?"

"Akh!" Bella terpekik kala Argio mencengkram lengannya. Ia merintih kesakitan dengan cengkraman yang semakin kuat dan tak berperasaan menekan kuku-kukunya di kulit mulus Bella.

"Aku tidak suka orang yang berbohong. Dan kamu sudah berani melakukan itu!"

"Oke, aku akui, memang aku yang melakukan itu. Tapi itu semua karna kamu menolak menjalin hubungan serius denganku, Gio. Aku sangat mencintaimu," lirihnya disertai ringisan kesakitan.

"Lalu? Kamu pikir dengan menyebarkan berita seperti itu aku akan mau menjalin hubungan denganmu? Jangan mimpi!"

Argio mendorong Bella cukup kasar membuat wanita itu jatuh tersungkur ke lantai. Perlakuan kasar yang pria itu berikan merupakan bentuk dari amarah yang sudah terpupuk di dalam dadanya. Ia tak segan-segan melakukan hal yang lebih kasar lagi dari ini.

"Akh ... sakit, kamu jahat Gio! Aku hanya ingin kamu membalas perasaanku!" Bella menangis terisak-isak dengan posisi masih terduduk di lantai.

Argio memutar bola matanya malas mendengar ocehan wanita di hadapannya sekarang.

"Sudah berapa kali aku katakan jangan pernah membawa-bawa perasaan. Tapi kamu sendiri yang melanggar, dan itu bukan salahku!"

"Sekali lagi kamu melakukan kesalahan yang sama ... aku bisa lebih kasar dari ini!" kecamnya tak main-main dengan ucapannya.

Bella mendadak membisu dengan ancaman pria tersebut. Argio berbalik badan lalu melangkah keluar dari apartemen Bella seraya membenarkan jas hitamnya.

"Sudah selesai?" tanya Hendrik ketika Argio baru saja sampai ke parkiran.

Hendrik memilih menunggu di parkiran apartemen tak ingin ikut campur dengan masalah Argio. Biarkan pria itu menyelesaikan masalahnya sendiri dengan orang yang bersangkutan.

"Sudah. Apa paman sudah melenyapkan berita yang menyebar?"

"Kamu tahu, apapun yang kamu perintahkan akan selalu aku lakukan dengan sempurna. Kamu bisa cek ponselmu."

Argio mengeluarkan ponsel dari saku celana hitamnya lalu memeriksa berita buruk yang sempat menyebar di media sosial. Ia menipiskan bibirnya, tersenyum.

"Bagus. Aku sangat suka kerja Paman yang sesuai keinginanku."

Hendrik yang mendengar pujian Argio merespon dengan senyuman simpul.

"Sekarang, kamu ingin pulang atau ke perusahaan?"

"Tentu ke perusahaan."

Malam hari pun tiba. Namun, Naya tampak setia berdiri di dekat gerbang mansion. Seharusnya wanita  itu sudah pulang dari tempat itu setelah pekerjaannya selesai. Naya memilih pulang pergi dari mansion agar tetap bisa menjaga sang ibu di rumah sakit. Sebenarnya Merry menawarkan Naya untuk menginap namun Naya menolak.

Senyuman tersungging di bibir pink pucat itu ketika cahaya lampu mobil muncul dari luar gerbang. Mobil yang Argio tumpangi sudah memasuki area pekarangan mansion. Naya segera menghampiri mobil yang kini berhenti di depan pelataran mansion.

"Tuan!"

Panggilan Naya yang cukup keras membuat Argio menoleh. Mata pria itu menyipit ketika wanita itu berlari menghampirinya. Wajah Naya tampak berbinar.

"Apa?" Satu kalimat yang terdengar datar meluncur dari bibir Argio kala Naya sudah berdiri di hadapannya.

Naya menatap Hendrik yang baru saja keluar dari mobil. Ia sedikit ragu mengatakan ini namun tidak ada pilihan lain. "Maaf sebelumnya Tuan, saya ingin minta tolong. Kali ini saja, ini terakhir."

Sebelah alis Argio terangkat, sedikit penasaran.

"Apa boleh saya meminjam uang 20 juta? Tidak apa-apa bila saya bekerja lebih lama lagi di mansion ini. Saya mohon, kali ini saja."

Naya menyatukan keduanya tangannya dengan penuh permohonan. Sorot matanya sangat mengharapkan belas kasihan Argio. Hendrik yang masih berada di tempat itu menyimak dan menunggu reaksi Argio yang tampak diam dengan kerutan halus di keningnya.

"Ini demi ibu saya. Besok dia harus segera operasi."

Argio menghela napas panjang. Pria itu memijit pangkal hidungnya. Setelah seharian menyelesaikan urusan pekerjaannya lalu di sambut dengan permintaan tolong wanita yang baru satu hari menjadi pelayan di mansionnya.

Naya begitu tak sabaran menunggu jawaban pria tersebut. Bathinnya tak henti-hentinya terus berdoa.

"Hendrik, berikan uang yang dia minta."

"Baik!"

Senyuman lebar langsung tersungging di bibir Naya. Kebahagiaan meletup-letup dalam benaknya. Ternyata benar kata Merry, tuan Argio sangatlah baik.

"Terima kasih, Tuan. Anda sangat baik sekali."

Terlalu bahagia sampai mencium tangan Argio membuat pria itu tersentak dan langsung menjauhkan tangannya dari Naya.

"Tidak perlu seperti itu! Sangat menjijikkan." Argio mengusap-usap tangannya yang disentuh Naya.

Kata-kata kasar yang keluar dari mulut Argio tampak tak berpengaruh apa-apa bagi Naya yang dilanda kebahagiaan. Akhirnya besok ibunya bisa menjalani operasi. Argio memilih segera masuk ke dalam mansion meninggalkan Naya yang tak henti-hentinya mengucap syukur.

Argio tampak begitu bosan mendengar ocehan yang terus keluar dari mulut seseorang yang tengah menelponnya. Ia baru saja membersihkan dirinya lalu tiba-tiba seseorang menelponnya. Sepertinya ia tidak dibiarkan untuk istirahat.

"Apa kamu paham dengan perkataan Bunda, Gio? Secepatnya tentukan pilihanmu pada para perempuan yang sudah Bunda pilihkan. Ingat umurmu itu sudah kepala tiga."

"Aku masih 27 tahun, belum 30 tahun, Bun," koreksi Argio menahan kesal.

"Sama saja. Umurmu sudah tua. Sekarang, kamu kirimkan foto perempuan yang kamu pilih setelah itu Bunda akan mengatur pertemuan kalian berdua. Di coba dulu, jangan terus menolak."

"Tapi, Bun_"

Tut!

Sambungan telpon itu langsung mati sebelum Argio menyelesaikan ucapannya. Ia mendengus kesal dan melempar ponselnya ke kasur.

"Sial. Kenapa harus dijodohkan!" umpatnya sambil meraup wajahnya kasar.

Dengan malas-malasan Argio bangkit dari kasur lalu melangkah ke bak sampah di mana tadi malam ia membuang lembaran foto beberapa wanita yang dikirimkan oleh sang Bunda.

"Ke mana foto itu?"

Argio menautkan alisnya ketika tidak mendapati foto-foto yang ia buang di bak sampah. Ia sampai menumpahkan isi dalam bak sampah tersebut yang berisi kertas dan catatan yang tak terpakai. Namun, hasilnya nihil. Ia tidak menemukannya.

"Jelas-jelas aku membuangnya di sini."

"Pasti pelayan yang membuangnya."

Perhatikan Argio teralihkan ketika melihat botol parfum miliknya tak tertutup. Dan posisi benda itu diletakkan di tempat yang salah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status