Mag-log inPonsel Sera bergetar di dalam saku rok spannya. Dia terpaksa menghentikan aktifitasnya untuk melihat siapa yang menelepon.
Saat melihat nama ayahnya terpampang di layar, Sera menghela napas berat dan memasukkan kembali ponsel itu ke dalam saku.
Dia enggan mengangkat panggilan dari pria yang selalu berhasil menghancurkan hatinya itu.
Tak ingin mood-nya terganggu, Sera kembali melanjutkan aktifitasnya. Menyirami tanaman daun mint yang tumbuh subur di dalam pot.
Setelah disiram, daun mint itu langsung mengeluarkan aroma segar yang tercium di udara. Sera terpaku sejenak. Aroma mint itu hampir sama dengan aroma yang menguar dari Raven saat pria itu menciumnya.
Sera mengembuskan napas kasar. Lalu menggeleng, berusaha mengenyahkan bayangan itu dari benaknya.
Bagaimanapun juga, kata-kata Raven yang menyakitkan malam itu membuat Sera tak ingin berhadapan dengannya lagi.
“Kira-kira hari ini Pak Raven pulang nggak, ya? Kalau pulang, ‘kan, saya bisa nyediain makan malam yang lebih banyak,” ucap Mbak Ratna yang duduk di kursi tak jauh dari Sera, wanita paruh baya itu sedang menulis daftar belanjaan mingguan tapi tiba-tiba kepikiran sang majikan yang jarang pulang ke rumah akhir-akhir ini.
“Coba tanyain aja ke Pak David, Mbak.” David yang Sera maksud adalah sekretaris Raven.
“Sudah dicoba, tapi telepon saya nggak diangkat.”
“Mungkin masih sibuk kali, ya?”
“Bisa jadi.” Ratna menggaruk kepala yang tak gatal. “Hampir semingguan ini Pak Raven jarang pulang ke rumah. Kayaknya beliau kembali ke kebiasaannya yang dulu.”
Sera berhenti menyiram tanaman. Sudah enam hari berlalu sejak malam itu, malam di mana dia mendengar pertengkaran Raven dan Celine, dan selama itu Sera hampir tidak bertemu dengan Raven lagi.
Dia memutar badannya untuk menatap Ratna sambil memegangi alat penyiram tanaman berukuran kecil. “Kebiasaannya yang dulu?”
“Iya. Dulu ‘kan Pak Raven jarang pulang ke rumah. Hobinya itu kerja, kerja dan kerja. Kadang lembur sampai tengah malam, bahkan sampai menginap di kantor,” ujar Ratna sambil menghela napas panjang. “Beliau seperti lupa sudah punya istri cantik di rumah. Tapi Bu Celine juga sama-sama doyan kerja.”
Oh itu. Sera mengangguk pelan karena dia juga pernah mendengar hal itu sebelumnya dari percakapan Celine dan Raven di meja makan. Saat itu Sera mengira bahwa Celine sudah mencurigai hubungan terlarangnya dengan Raven, tapi ternyata dugaan Sera salah.
“Kamu nggak pernah lihat gimana gilanya Pak Raven sama kerjaannya,” ujar Ratna lagi. “Karena setelah kamu kerja di sini, Pak Raven jarang lembur. Saya sempat heran melihat Pak Raven tiba-tiba berubah, tapi di sisi lain saya bersyukur beliau akhirnya sadar, nggak gila kerja lagi soalnya nggak bagus buat kesehatannya. Tapi kira-kira… apa penyebabnya, ya?” Kening Ratna mengernyit seolah sedang berpikir keras.
Sera berdeham pelan dan membuang muka ke arah lain. Dia khawatir Ratna mencurigai hubungannya dengan Raven. Tidak mungkin Raven meninggalkan kebiasaan lamanya hanya demi bisa ‘tidur’ dengannya, bukan?
Sera menggeleng pelan. Tidak. Dia tidak mau terlalu percaya diri. Lagi pula, apa yang bisa dia banggakan dari menjadi pemuas hawa nafsu seorang pria yang sudah beristri?
Dari pada bangga, Sera justru merasa jijik pada tubuhnya sendiri.
Deru mesin mobil yang memasuki halaman rumah menginterupsi percakapan mereka. Sera melihat ke bagian depan rumah, lalu tanpa sadar dia menghela napas kecewa ketika yang datang bukan mobil Raven.
Meski Sera enggan berhadapan dengan pria itu, tapi entah mengapa dia merasa tak nyaman sekarang. Sera tahu, dia tak pantas memelihara perasaan ini.
Sera memaksakan diri untuk tersenyum lalu mengangguk, menyapa Celine yang keluar dari mobil tersebut. Rasa bersalah kembali menggerogoti hati Sera saat melihat majikannya itu.
Celine mengabaikan Sera. Wanita berpenampilan mewah itu masuk ke dalam rumah.
Selesai menyiram tanaman, Sera bergegas ke dapur menyiapkan makan malam untuk Celine.
Saat sedang sibuk dengan masakannya, ponsel Sera berdenting pertanda ada pesan masuk. Sera langsung memeriksa pesan itu yang ternyata dari adik pertamanya, Rania.
[Kak Sera, ayah datang ke rumah buat minta uang. Rania nggak kasih, tapi ayah menggeledah rumah sampai dia menemukan uang buat berobat Salsa. Ayah ngambil uang itu semuanya.]
Amarah langsung menguasai diri Sera ketika membaca pesan tersebut. Dia mencengkeram ponsel kuat-kuat. Lalu detik itu juga, Sera langsung menghubungi nomor telepon ayahnya.
“Kenapa Ayah ngambil uang itu?” tanya Sera dingin tanpa basa-basi setelah panggilannya terangkat di dering ketiga. “Ayah tahu? Itu uang buat berobat Salsa, Yah?! Salsa harus segera dirawat!”
“Sera, nanti Ayah telepon lagi. Sekarang Ayah lagi sibuk.”
“Sibuk?!” Sera mendengus. “Ayah bukan lagi sibuk! Ayah sedang main judi!”
Terdengar helaan napas kasar di seberang sana. “Memangnya kenapa kalau Ayah main judi? Ini usaha Ayah buat mendapatkan uang untuk kalian!”
“Berhenti menjadikan kami sebagai alasan! Karena kenyataannya Ayah nggak pernah ngasih uang buat kami. Ayah justru selalu merampas uang anak-anak Ayah!”
“Hey, hey… berani sekali kamu bilang begitu sama ayahmu sendiri?! Seharusnya kamu berbakti sama Ayah. Tanpa Ayah, kalian semua nggak akan ada di dunia ini.”
Sera mengetatkan rahangnya, napasnya tersengal. Meski sudah terbiasa dengan rasa sakit yang ayahnya torehkan, tetap saja ucapan ayahnya itu terdengar menyakitkan.
“Aku lebih baik tidak dilahirkan ke dunia ini dari pada harus jadi anak dari laki-laki seperti Ayah!” tegasnya dengan bibir bergetar. “Pokoknya aku nggak mau tahu. Ayah harus mengembalikan uang untuk berobat Salsa. Secepatnya!”
Setelah mengatakan kalimat tegas itu, Sera mematikan sambungan telepon secara sepihak. Dia memijat pelipis yang terasa sakit sambil berusaha mengatur napas. Sera sudah lelah menghadapi sikap ayahnya.
Suara alas kaki yang beradu dengan lantai membuat Sera buru-buru menegakkan punggung dan menormalkan kembali raut mukanya.
Dia berbalik dan memaksakan diri untuk tersenyum pada Celine yang menghampiri meja makan. Ekspresi Sera menunjukkan seolah tidak terjadi apa-apa padanya sebelumnya.
“Bu Celine, ada yang bisa saya bantu?”
“Buatkan aku teh.”
Sera mengangguk. “Baik.”
Lalu Sera bergegas membuat pesanan majikannya. Setelah selesai, dia menaruh secangkir teh hangat di atas meja, tepat di hadapan Celine. “Silahkan, Bu.”
Tanpa berkata apa-apa dan tanpa menatap Sera, Celine meraih cangkir itu dan menyeruputnya dengan anggun dan elegan. Hanya dari gerakan kecil itu saja sudah menunjukkan betapa jauh berbedanya kasta Sera dan Celine.
“Akhir pekan ini ada acara di rumah orang tuaku.”
Sera mengerutkan kening. Dia tidak menyela ucapan Celine yang sepertinya belum selesai itu.
“Acaranya memang nggak terlalu meriah, tapi Mama butuh banyak pelayan untuk membantu menyiapkan semuanya,” lanjut Celine.
“Apa ada yang bisa saya bantu?”
Celine mengangguk. Dia sempat melirik Sera dengan datar sekilas. “Hari Sabtu pagi kamu datang ke rumah orang tuaku untuk bantu-bantu. Mbak Ratna juga.”
“Baik. Bu.” Saat majikannya memberi perintah, yang harus Sera lakukan memang menuruti perintahnya. “Apa ada lagi yang bisa saya bantu?”
“Nggak ada.”
“Kalau begitu saya akan kembali memasak.”
Celine hanya menjawab dengan gumaman.
Sera bergegas kembali ke depan kompor dan fokus pada masakannya yang hampir matang. Sesekali Sera teringat dengan pertengkaran Celine dan Raven tempo hari, yang membuat Sera penasaran kenapa Celine menuduh Raven seperti itu.
Di sisi lain, harum aroma masakan yang menguar membuat Celine melarikan tatapannya ke arah dapur. Dia meneliti sosok Sera, pembantu yang tak pernah menyita perhatiannya sama sekali, karena Celine terlalu sibuk hanya untuk sekedar memperhatikan pembantu rendahan seperti Sera.
Namun ucapan Rhea, sahabatnya yang sering berkunjung ke rumah ini, kembali terngiang di telinga Celine.
‘Memangnya kamu nggak terganggu sama pembantu baru kamu? Maksud aku, dia itu cantik, kamu nggak khawatir Raven tergoda sama dia?’
Celine melipat tangan di dada dan matanya masih memperhatikan Sera. Celine mengakui, bahwa dilihat dari tubuhnya yang semampai, wajahnya yang cantik meski tanpa riasan make up, tutur kata dan caranya bersikap, Sera tak pantas bekerja menjadi seorang pembantu di usianya yang masih muda.
Lalu, Celine mendengus.
Rhea salah kalau Celine khawatir. Nyatanya, Celine sama sekali tidak mengkhawatirkan hal itu.
Karena Celine yakin, Raven tidak akan pernah tergoda oleh pembantu kampungan yang berasal dari kasta rendah seperti Sera. Jelas sekali level Celine dan Sera sangat jauh berbeda. Celine merasa, dirinya jauh lebih baik dari sisi manapun dibanding Sera.
***
Sera merasakan suasana di antara mereka semakin mencekam dan tegang. Aura kelam yang terpancar dari Raven membuat Sera diserang rasa gugup dan takut.Meski Raven tidak bicara langsung padanya, tetapi Sera sadar bahwa pria itu tengah menyuruhnya agar menjauhi Bastian.Dan sebelum semuanya menjadi kacau, Sera cepat-cepat berkata dengan terbata, “B-Bastian, A-Aku mau… ke toilet dulu. Permisi.”Tanpa menunggu respons dari Bastian, detik itu juga Sera pergi meninggalkan dua pria itu dengan langkah tergesa-gesa.Tetapi Sera merasakan tatapan Raven menusuk punggungnya, membuat Sera ingin segera menghilang dari sana.Setelah keluar dari paviliun, dia berpegangan pada pilar besar sambil berusaha mengatur napasnya, mencoba menghilangkan perasaan yang sejak tadi bergumul di dalam dadanya.Sera sama sekali tidak menduga bahwa Raven akan menghampirinya di tempat seramai ini. Padahal tidak hanya ada Celine, tetapi keluarga besarnya pun hadir di pesta ini.Meskipun gelagat Raven yang tenang dan data
Celine melihat kepergian Raven. Kemudian dia pamit pada tiga wanita di hadapannya. Senyuman anggun terlukis di bibir Celine saat dia menghampiri sepupu suaminya itu.“Sepertinya obrolan kalian sangat menyenangkan barusan,” ucap Celine.Gerald membalas senyuman Celine seraya menatap wanita itu dengan lekat. “Ya… cukup menyenangkan,” katanya, “walaupun sikapnya selalu dingin, tapi aku sudah memakluminya.”Gerald mengambil dua gelas wine dari waitress yang melintas di hadapan mereka, lalu menyerahkan salah satunya pada Celine.“Terima kasih.” Celine menerimanya, lalu menyesap wine itu dengan perlahan-lahan. Setelah menelan minumannya, dia berkata, “Kalau wanita lain yang jadi istrinya, aku yakin sekali dia nggak akan bertahan di sisi pria dingin seperti itu.”“Kamu memang wanita yang luar biasa.” Gerald tersenyum kecil, tetapi senyumannya tak mampu menyembunyikan rasa perih yang tergambar dalam sorot matanya. “Lihatlah, di ruangan ini nggak ada yang bisa mengalahkan kecantikanmu. Kamu sa
Bastian menatap Sera tanpa berkedip selama beberapa detik, lalu tersenyum lebar.“Sebenarnya aku datang ke sini untuk mewakili ayahku yang nggak bisa hadir,” ucap Bastian, “ngomong-ngomong kamu jadi tamu Tuan Prabu juga? Waah… ini kebetulan sekali. Pantas saja aku merasa bersemangat datang ke sini.” Bastian terkekeh-kekeh.Sera berdiri di hadapan Bastian. “Majikan aku adalah cucunya Tuan Prabu. Dan malam ini Tuan Prabu mengundang seluruh pekerja di keluarga besarnya untuk datang ke acara ini.”Bastian mengangguk-anggukkan kepalanya.“Oh, kenalkan ini teman-temanku.” Sera lalu mengenalkan Ratna dan Ayu pada Bastian.Bastian tersenyum dan mengenalkan dirinya pada mereka sebagai teman dekat Sera.Ayu terpana melihat ketampanan Bastian, pipinya tersipu malu saat Bastian menjabat tangannya. Dan dengan malu-malu Ayu menyebutkan namanya.“Sera, kok kamu nggak bilang-bilang punya teman seganteng ini?” bisik Ayu.Ratna langsung menyenggol lengannya. “Jangan genit.”Ayu memanyunkan bibirnya, da
Sera menatap pantulan dirinya di cermin. Lalu terbit senyuman kecil di bibirnya.Gaun hitam yang melekat di tubuhnya itu tampak cantik. Itu gaun sederhana berlapis chiffon yang jatuh lembut dengan tinggi di bawah lutut.Bagian bahunya terbuka, dan di bagian pinggang pita panjang yang diikat rapi, mempertegas siluet rampingnya.Gaun yang tidak terlalu mencolok. Sehingga Sera cukup percaya diri mengenakannya. Sera sengaja memilih pakaian tersebut dari beberapa pakaian pemberian Raven, untuk dikenakan di acara ulang tahun Tuan Prabu hari ini.Kaki jenjangnya dibalut high heels berstrap tipis. Sementara tas kecil dengan rantai emas menggantung manis di tangannya.Itu heels dan tas pemberian Raven. Kemarin Sera tiba-tiba mendapat kiriman paket dari pengirim tak dikenal.Paket itu berisi heels yang sesuai ukuran kaki Sera dan tas kecil model sederhana. Ada secarik kertas dalam paket tersebut, yang menunjukkan bahwa pengirimnya adalah Raven.‘Gunakan ini besok. Jangan mempermalukan Kakek.’P
Tubuh Sera seketika menegang ketika bibir Raven menempel pada bibirnya. Napasnya tertahan dan Sera merasakan dunia di sekitar mereka terhenti sesaat. Matanya terbelalak. Bisa dia rasakan Raven memagut bibir atasnya dengan lembut. Namun, kesadaran seketika menghampiri Sera. Detik itu juga Sera menjauhkan wajahnya dari Raven hingga tautan bibir mereka terlepas. Mata Sera mengerjap-ngerjap cepat. “A-Apa yang Bapak lakukan?” tanyanya terbata-bata dengan pipi memanas, dia melirik ke sekeliling untuk memastikan tak ada yang menyaksikan tindakan Raven barusan. “Bapak lupa kita ada di mana?” Tak ada riak di wajah Raven. Pria itu menatap manik mata Sera dengan lekat. “Jangan coba-coba menggoda saya lagi,” bisiknya dengan suara berat tanpa menghiraukan ucapan Sera. “Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan kalau kamu mengulanginya.” “Sudah saya bilang saya tidak menggoda Bapak,” protes Sera sebelum meneguk air minumnya untuk meredakan gemuruh di dalam dadanya. Raven kembali duduk da
Sera keluar dari ruang ganti setelah selesai mencoba lebih dari lima pakaian yang berbeda. Dia menghampiri Raven yang masih duduk di sofa, lalu menyerahkan semua pakaian itu kepada pegawai butik. “Saya pilih yang ini saja, Pak,” kata Sera sambil menunjuk pakaian yang paling sederhana. “Saya rasa ini yang paling cocok untuk saya.” Mendengar ucapan Sera, pegawai butik itu menatap Raven. Raven balas menatapnya sekilas sambil mengangguk singkat. Sera yang memperhatikan interaksi mereka sama sekali tidak mencurigai apapun. Namun ketika Raven telah membayar di kasir dan membawa paper bag besar ke hadapannya, Sera baru menyadari bahwa pria itu memborong semua pakaian yang tadi Sera coba. Sera tertegun. “Pak, ini terlalu berlebihan,” protes Sera, “saya tidak membutuhkan pakaian mewah sebanyak ini. Satu saja cukup.” Raven menatap manik mata Sera lama. Lalu menjawab datar, “Kamu tidak perlu butuh. Saya yang memutuskan apa yang harus kamu pakai.” Sera terdiam, pelan-pelan meremas uju







