เข้าสู่ระบบSera mengusapkan telapak tangannya yang basah karena keringat ke rok spannya. Dia mengembuskan napas dan mengambil nampan berisi empat gelas minuman. Kakinya melangkah menuju meja di pinggir kolam.
Meja itu dihuni oleh empat pria paruh baya. Sera tidak mengenal mereka, tapi sepertinya mereka adalah saudara orang tua Celine. Karena acara malam ini dikhususkan untuk keluarga besar Adhitama atau keluarga Celine. “Ini minuman yang Anda pesan. Silahkan.” Dengan hati-hati Sera memindahkan keempat minuman satu persatu dari nampan ke atas meja. Salah satu dari empat pria itu menatap Sera dari ujung kepala hingga kaki. “Saya baru lihat kamu. Kamu pelayan baru di rumah Arga?” “Bukan, Pak. Saya bekerja di rumah Bu Celine.” “Oh. Pantas saja.” Pria itu manggut-manggut dan terus menatap Sera, membuat Sera merasa risih. Pasalnya, itu bukan tatapan biasa, tetapi tatapan nakal. “Kalau begitu saya permisi.” Sera mengangguk singkat dan memilih untuk bergegas pergi dari sana. Ini memang bukan pertama kalinya ada pria yang menatapnya dengan tatapan seperti itu. Sejak duduk di bangku sekolah, Sera kerap kali diganggu oleh para siswa laki-laki tanpa tahu apa alasan mereka mengganggunya. Bahkan Sera sering dirundung oleh kakak kelas perempuan hanya karena Sera cukup populer di kalangan siswa laki-laki. Padahal Sera merasa dirinya sama sekali tidak mencolok. Penampilannya pun biasa-biasa saja. Apalagi dia berasal dari keluarga miskin. Tak ada yang perlu dibanggakan dari dirinya. “Sera, bawa makanan ini ke meja Pak Arga, ya!” ucap pelayan senior yang bekerja di rumah Arga, ayah Celine, ketika Sera tiba di meja yang penuh dengan hidangan. Sera mengangguk. Lalu berjalan kembali menuju meja yang ada di tengah taman. Acara malam itu memang memiliki konsep garden party. Beberapa meja bulat yang dihiasi lilin dan bunga, memenuhi taman rumah Arga yang luas. Suasananya tampak meriah dan mewah meski hanya dihadiri oleh keluarga besar. Pada saat yang sama, Raven dan Celine memasuki area pesta. Sera seketika menghentikan langkah. Pasangan suami istri itu langsung menarik perhatian semua orang. Raven terlihat gagah dan berkarisma dengan kemeja hitamnya yang lengannya digulung hingga siku. Dan Celine yang tampil anggun dan menawan dengan gaun biru safir yang elegan. Celine menggandeng lengan Raven sambil berjalan menuju meja yang diduduki orang tuanya. Mereka tampak serasi. Sera tertegun saat kembali menyadari bahwa dirinya dan mereka sangat jauh berbeda. Bagai langit dan bumi. Setelah menghela napas pelan, Sera melanjutkan langkahnya lagi menuju meja keluarga tersebut. Ketika tiba di sana Sera langsung menaruh beberapa piring berisi makanan manis ke atas meja. Raven yang duduk di samping Celine, tampak terkejut melihat kehadiran Sera. Namun ekspresinya itu dengan cepat berubah menjadi tenang seperti semula. Sera kemudian pergi setelah menuntaskan pekerjaannya. Raven menyesap minuman yang sudah tersedia di meja, lalu mengobrol ringan dengan ayah dan ibu mertuanya, sebelum akhirnya Arga dan istrinya itu beranjak dari meja untuk menyambut saudaranya yang baru saja datang. “Kenapa Sera ada di sini?” tanya Raven tiba-tiba, memecah keheningan yang sempat menyelimuti dirinya dan Celine. Celine yang sedang menusuk cheese cake seketika menghentikan aktifitasnya. “Aku suruh dia membantu Mama.” “Kenapa nggak bilang dulu padaku?” “Apa aku harus bilang dulu padamu?” Celine balik bertanya dengan tenang, lalu tersenyum anggun. “Dia cuma pembantu, nggak seharusnya kita membicarakan dia.” Raven mengembuskan napas kasar. “Dia bekerja di rumah kita, bukan untuk bekerja di sini. Seharusnya kamu izin dulu padaku kalau ingin mempekerjakan dia di rumah Mama.” Celine menaruh sendok ke atas piring lalu meminum seteguk air putih. “Kalau begitu aku akan memberi dia bayaran tambahan untuk pekerjaannya hari ini.” “Ini bukan soal dia menerima bayaran atau tidak. Tapi ini soal kamu, dari dulu kamu selalu mengambil keputusan sepihak tanpa mendiskusikannya dulu denganku. Kamu selalu berbuat semaumu dan tidak pernah menghargaiku.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Raven berdiri, membuat kursi yang dia duduki terdorong ke belakang. Lalu dia beranjak dari sana dan mengambil segelas wine dari meja yang dipenuhi berbagai jenis minuman. Raven menyesap minumannya perlahan sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Lalu tatapannya berakhir pada sosok gadis yang sedang sibuk berjalan kesana kemari sambil membawa nampan berisi makanan atau minuman. “Rav.” Seseorang menepuk pundak Raven, membuat Raven menoleh ke arah orang itu yang tak lain adalah sepupu Celine. “Gabung, yuk.” Dia mengedikkan dagu ke arah sebuah meja. Raven mengikuti arah pandang Daniel. Lalu dia menghampiri meja tersebut yang sudah dihuni Dimas dan Bobby. Mereka adalah sepupu Celine, para pengusaha muda yang mengelola perusahaan keluarga masing-masing. “Aku dengar proyek merger di bawah tanganmu sukses besar, Rav,” ujar Bobby sambil tertawa kagum. “Begitulah,” jawab Raven acuh tak acuh. Matanya masih memperhatikan Sera dari kejauhan dengan tatapan dingin. “Hey, ayolah, Bob. Kamu kayak nggak kenal Raven aja,” sahut Daniel, “kalau sudah dia yang turun tangan, apapun akan sukses di tangannya.” Daniel tidak hanya sekadar memuji, tapi dia juga mengagumi Raven. Sosok Raven sangat dihormati dan dikagumi, bahkan ditakuti para pesaing. Raven terkenal sebagai pengusaha yang jika menginginkan sesuatu, maka dia tidak akan pernah menyerah sampai mendapatkan apa yang dia inginkan. “Ya, kurasa begitu.” Dimas ikut bersuara. “Banyak orang yang iri padamu, Rav. Karena selain sukses, kamu juga punya istri yang cantik. Kamu ingat kata pepatah? Di balik kesuksesan suami, ada istri yang hebat. Dan ya… kita semua tahu gimana hebatnya Celine.” Dimas tertawa kecil, memuji bagaimana cantik dan hebatnya sepupunya itu. Raven sama sekali tidak menanggapi ucapan mereka. Dia hanya diam sambil menggoyangkan gelas wine berkaki tinggi dalam genggamannya. Ya, orang-orang selalu berpikir bahwa dia adalah lelaki beruntung. Ketika keempat pria itu tenggelam dalam obrolan ringan seputar pekerjaan, Dimas tiba-tiba menceletuk, “Aku baru lihat perempuan itu. Dia pelayan baru di rumah Tante Puspa?” Ketiga pria di meja itu sontak mengikuti arah pandang Dimas, yang tertuju pada Sera yang sedang menyerahkan minuman pada meja tak jauh dari mereka. “Sepertinya begitu. Aku nggak pernah melihat dia sebelumnya,” sahut Bobby. “Waah, bukankah dia terlalu cantik untuk seorang pelayan?” Dimas tersenyum. “Apa perlu aku panggil dia ke sini?” “Hey, Dim, aku tahu koleksi wanitamu banyak. Tapi mustahil kamu tertarik pada pelayan, ‘kan?” Daniel menyipitkan matanya. Tatapan Raven beralih pada Dimas, tanpa ekspresi. “Pelayan jauh lebih menantang kurasa,” sahut Dimas, lalu memanggil Sera. “Hei, kemarilah.” Di sisi lain, Sera yang mendengar dirinya dipanggil, langsung menghampiri meja yang diduduki empat pria dewasa itu, dan dua kursi lainnya tampak kosong. Saat menyadari salah satu dari keempat pria itu adalah Raven, Sera terdiam sejenak dan tenggorokannya tercekat. Lalu dia bertanya, “Ada yang bisa saya bantu?” “Saya mau wine, satu,” ucap Dimas sambil menatap Sera dengan tatapan intens. Raven hanya diam sambil menyesap minumannya perlahan dan menatap Sera. “Oh? Baik.” Kebetulan di atas nampan tersisa satu gelas wine lagi, jadi Sera langsung menaruh wine itu ke atas meja. “Silahkan.” “Terima kasih.” Dimas tersenyum tanpa mengalihkan tatapannya dari Sera, dia meneliti tubuh Sera dari ujung kepala hingga kaki. “Sama-sama.” Sera menipiskan bibir dan cukup risih dengan tatapan Dimas. Tanpa menatap Raven sama sekali, Sera pun berbalik hendak pergi dari sana, tapi tiba-tiba Dimas menahan pergelangan tangannya. Sera terkejut. “Duduk dulu di sini bentar.” “Maaf, Pak. Tapi saya masih ada pekerjaan,” tolak Sera sambil berusaha menarik tangannya dari genggaman Dimas, tapi genggamannya terlalu kuat. Tidak ada yang menyadari bahwa tatapan Raven kini berubah tajam dengan rahang yang mengetat. “Sebentar aja. Saya mau kamu menemani saya di sini.” “T-Tapi, Pak–” “Ayolah. Nggak ada salahnya kan kamu istirahat sebentar? Jangan keras kepala.” “Mohon maaf saya tidak bisa, saya–” Dimas berdecak lidah, membuat ucapan Sera seketika terhenti. Dia menyeringai dan menarik Sera lebih dekat. “Kamu cuma pelayan, jangan bersikap kurang ajar seperti itu. Saya bilang duduk di–” "Dimas." Satu kata. Suara Raven rendah, datar, nyaris berbisik, namun seketika mampu membekukan suasana dan menghentikan senyum lebar Dimas di tempat. ***Celine melihat kepergian Raven. Kemudian dia pamit pada tiga wanita di hadapannya. Senyuman anggun terlukis di bibir Celine saat dia menghampiri sepupu suaminya itu.“Sepertinya obrolan kalian sangat menyenangkan barusan,” ucap Celine.Gerald membalas senyuman Celine seraya menatap wanita itu dengan lekat. “Ya… cukup menyenangkan,” katanya, “walaupun sikapnya selalu dingin, tapi aku sudah memakluminya.”Gerald mengambil dua gelas wine dari waitress yang melintas di hadapan mereka, lalu menyerahkan salah satunya pada Celine.“Terima kasih.” Celine menerimanya, lalu menyesap wine itu dengan perlahan-lahan. Setelah menelan minumannya, dia berkata, “Kalau wanita lain yang jadi istrinya, aku yakin sekali dia nggak akan bertahan di sisi pria dingin seperti itu.”“Kamu memang wanita yang luar biasa.” Gerald tersenyum kecil, tetapi senyumannya tak mampu menyembunyikan rasa perih yang tergambar dalam sorot matanya. “Lihatlah, di ruangan ini nggak ada yang bisa mengalahkan kecantikanmu. Kamu sa
Bastian menatap Sera tanpa berkedip selama beberapa detik, lalu tersenyum lebar.“Sebenarnya aku datang ke sini untuk mewakili ayahku yang nggak bisa hadir,” ucap Bastian, “ngomong-ngomong kamu jadi tamu Tuan Prabu juga? Waah… ini kebetulan sekali. Pantas saja aku merasa bersemangat datang ke sini.” Bastian terkekeh-kekeh.Sera berdiri di hadapan Bastian. “Majikan aku adalah cucunya Tuan Prabu. Dan malam ini Tuan Prabu mengundang seluruh pekerja di keluarga besarnya untuk datang ke acara ini.”Bastian mengangguk-anggukkan kepalanya.“Oh, kenalkan ini teman-temanku.” Sera lalu mengenalkan Ratna dan Ayu pada Bastian.Bastian tersenyum dan mengenalkan dirinya pada mereka sebagai teman dekat Sera.Ayu terpana melihat ketampanan Bastian, pipinya tersipu malu saat Bastian menjabat tangannya. Dan dengan malu-malu Ayu menyebutkan namanya.“Sera, kok kamu nggak bilang-bilang punya teman seganteng ini?” bisik Ayu.Ratna langsung menyenggol lengannya. “Jangan genit.”Ayu memanyunkan bibirnya, da
Sera menatap pantulan dirinya di cermin. Lalu terbit senyuman kecil di bibirnya.Gaun hitam yang melekat di tubuhnya itu tampak cantik. Itu gaun sederhana berlapis chiffon yang jatuh lembut dengan tinggi di bawah lutut.Bagian bahunya terbuka, dan di bagian pinggang pita panjang yang diikat rapi, mempertegas siluet rampingnya.Gaun yang tidak terlalu mencolok. Sehingga Sera cukup percaya diri mengenakannya. Sera sengaja memilih pakaian tersebut dari beberapa pakaian pemberian Raven, untuk dikenakan di acara ulang tahun Tuan Prabu hari ini.Kaki jenjangnya dibalut high heels berstrap tipis. Sementara tas kecil dengan rantai emas menggantung manis di tangannya.Itu heels dan tas pemberian Raven. Kemarin Sera tiba-tiba mendapat kiriman paket dari pengirim tak dikenal.Paket itu berisi heels yang sesuai ukuran kaki Sera dan tas kecil model sederhana. Ada secarik kertas dalam paket tersebut, yang menunjukkan bahwa pengirimnya adalah Raven.‘Gunakan ini besok. Jangan mempermalukan Kakek.’P
Tubuh Sera seketika menegang ketika bibir Raven menempel pada bibirnya. Napasnya tertahan dan Sera merasakan dunia di sekitar mereka terhenti sesaat. Matanya terbelalak. Bisa dia rasakan Raven memagut bibir atasnya dengan lembut. Namun, kesadaran seketika menghampiri Sera. Detik itu juga Sera menjauhkan wajahnya dari Raven hingga tautan bibir mereka terlepas. Mata Sera mengerjap-ngerjap cepat. “A-Apa yang Bapak lakukan?” tanyanya terbata-bata dengan pipi memanas, dia melirik ke sekeliling untuk memastikan tak ada yang menyaksikan tindakan Raven barusan. “Bapak lupa kita ada di mana?” Tak ada riak di wajah Raven. Pria itu menatap manik mata Sera dengan lekat. “Jangan coba-coba menggoda saya lagi,” bisiknya dengan suara berat tanpa menghiraukan ucapan Sera. “Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan kalau kamu mengulanginya.” “Sudah saya bilang saya tidak menggoda Bapak,” protes Sera sebelum meneguk air minumnya untuk meredakan gemuruh di dalam dadanya. Raven kembali duduk da
Sera keluar dari ruang ganti setelah selesai mencoba lebih dari lima pakaian yang berbeda. Dia menghampiri Raven yang masih duduk di sofa, lalu menyerahkan semua pakaian itu kepada pegawai butik. “Saya pilih yang ini saja, Pak,” kata Sera sambil menunjuk pakaian yang paling sederhana. “Saya rasa ini yang paling cocok untuk saya.” Mendengar ucapan Sera, pegawai butik itu menatap Raven. Raven balas menatapnya sekilas sambil mengangguk singkat. Sera yang memperhatikan interaksi mereka sama sekali tidak mencurigai apapun. Namun ketika Raven telah membayar di kasir dan membawa paper bag besar ke hadapannya, Sera baru menyadari bahwa pria itu memborong semua pakaian yang tadi Sera coba. Sera tertegun. “Pak, ini terlalu berlebihan,” protes Sera, “saya tidak membutuhkan pakaian mewah sebanyak ini. Satu saja cukup.” Raven menatap manik mata Sera lama. Lalu menjawab datar, “Kamu tidak perlu butuh. Saya yang memutuskan apa yang harus kamu pakai.” Sera terdiam, pelan-pelan meremas uju
Tiba di sebuah ruangan yang dipenuhi pakaian-pakaian cantik dan mewah, Raven langsung mengambil beberapa pakaian secara asal dengan ekspresi kelam di wajahnya. Lalu menumpuknya di lengannya. Dalam hitungan detik lengan itu tertutupi kain berwarna-warni. Sementara itu Sera hanya diam membeku, memperhatikan Raven dengan tatapan sendu. Ekspresi pria itu terlihat mengeras, seolah-olah penolakan Sera barusan membuatnya murka. Entah sudah berapa pakaian yang menumpuk di lengannya, Raven lalu menarik tangan Sera dengan tangan yang terbebas, dan membawanya menuju fitting room. Langkahnya yang cepat membuat Sera kesulitan menyeimbangkan langkah hingga Sera harus sedikit berlari. “Pak, tolong lepaskan tangan saya.” Raven tidak menjawab. Dia terus menarik Sera memasuki fitting room. Ruangan itu tampak luas dan tentu saja mewah. Ada satu sofa di sana yang mengarah ke sebuah ruangan kecil yang tertutupi gorden. Itu tempat untuk mengganti pakaian. Raven membawa Sera ke dalam ruangan kecil terse







