แชร์

7. Dia Adalah Milikku

ผู้เขียน: Rosa Uchiyamana
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-14 19:57:02

Keempat pasang mata di meja itu serentak menoleh, tapi pandangan Raven hanya tertuju pada genggaman tangan Dimas di pergelangan Sera.

Sera menatap Raven dengan heran, tapi tatapan Raven yang dingin dan tajam, yang kini sekilas menyambar ke arahnya, seolah menyalahkannya atas situasi itu, membuat Sera seketika menundukkan pandangannya kembali.

Kenapa Raven tiba-tiba menghentikan Dimas?

Sera bertanya-tanya dalam hati sambil berusaha menarik tangannya dari genggaman Dimas. Namun, sepertinya Dimas masih belum mau melepaskan tangannya.

Tatapan tajam Raven beralih kembali ke arah Dimas, dan kini suaranya lebih mematikan, penuh tekanan. "Lepaskan tanganmu. Sekarang."

Bobby dan Daniel saling tatap, lalu sama-sama mengedikkan bahu, tanda mereka tak tahu kenapa Raven tiba-tiba mengeluarkan aura sepekat ini hanya karena seorang pelayan. Mereka hanya tahu, jika Raven sudah menggunakan nada itu, tidak ada yang berani membantah.

Sementara itu, Dimas hanya tertawa renyah, seolah tidak peduli pada aura gelap yang mulai menyelimuti Raven. "Ah... karena kita jarang bertemu, sepertinya kamu nggak tahu tentangku, Rav."

Dengan sekali sentakan, Dimas menarik lengan Sera hingga wanita itu jatuh terduduk ke kursi kosong di sebelahnya. "Aku nggak pernah menyerah kalau soal wanita cantik."

Rahang Raven menegang, tapi ia tidak bergerak. Tatapannya tajam, terfokus pada tangan Dimas yang kini mencengkeram lengan Sera.

Dimas cepat-cepat menoleh ke arah Sera, senyumnya menyeringai. "Jadi, siapa namamu?"

Sera meringis pelan, mencoba menarik tangannya namun tak berhasil. Dia merasa tidak nyaman. Apalagi tatapan Raven yang menusuk, seolah menuntutnya untuk segera pergi. "Pak, saya mohon lepaskan saya. Saya harus kembali ke–"

"Hei... hei," Dimas berdecak pelan, raut wajahnya berubah tak suka karena penolakan itu. "Jangan sok jual mahal. Saya cuma minta kamu duduk di sini dan jawab pertanyaan saya. Pelayan sepertimu seharusnya bersyukur diajak bicara oleh saya. Jangan mentang-mentang kamu cantik jadi kamu bisa–"

Cring!

Bunyi dentingan pelan terdengar nyaring. Raven, tanpa menaikkan volume suaranya sedikit pun, baru saja meletakkan sendok garpunya dengan presisi yang terlalu kuat di atas piring porselen.

Semua mata sontak beralih padanya.

"Dimas." Suara Raven datar, dingin.

Dimas mengernyit. "Apa, Rav? Cuma iseng, kok. Dia cantik, nggak ada salahnya aku ajak kenalan."

Mata Raven yang sehitam malam beralih dari Dimas ke Sera, lalu kembali lagi ke Dimas. "Aku tidak suka barang-barangku disentuh tanpa izin, apalagi diganggu." Raven bersandar santai, seolah baru saja mengomentari sebuah barang, bukan tentang seorang wanita. "Dan dia adalah milikku."

Dimas dan Sera sama-sama tercekat.

"Milikmu?" ulang Dimas, terkejut. "Maksudmu... kamu menyewanya? Kenapa kamu punya pelayan secantik ini?"

Bibir Raven membentuk garis tipis yang dingin. Ia tidak menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya, ia menatap lurus ke arah Sera, memberikan perintah tanpa kata.

Sera, yang masih terduduk kaku, merasakan darahnya membeku. Tiba-tiba ia mengerti. Raven tidak marah pada Dimas karena melindunginya. Raven marah karena Dimas telah melanggar sesuatu miliknya.

Jantung Sera mencelos.

Raven kemudian menoleh kembali ke Dimas, tatapannya meremehkan. "Jangan rendahkan martabatmu dengan bermain-main di tempat yang salah, Dimas. Dia... bukan mainan yang pantas untuk koleksimu."

Bukan mainan yang pantas untuk koleksimu.

Kalimat itu, alih-alih meredakan situasi, justru menampar pipi Sera hingga panas. Ia hanya "barang" yang "tidak pantas" disentuh oleh Dimas, seolah ia terlalu rendah untuk Dimas.

Tapi di saat yang sama, Raven juga menyebutnya "milikku".

Sera tertegun kala mendengar kata-kata itu. Ucapan Dimas yang merendahkan dirinya memang menyakitkan, tapi kata-kata Raven terdengar jauh lebih menyakitkan.

Kalimat itu seolah-olah menegaskan status sosial mereka yang berbeda.

Ketika Dimas sedang lengah, Sera melepaskan tangannya dari genggaman pria itu. Kemudian saat itu juga Sera bergegas pergi dari sana dengan dada sesak. Setiap kali Sera bertemu Raven, selalu ada luka baru yang pria itu torehkan di dalam hatinya.

Sementara itu suasana di meja mendadak hening dan canggung. Raven berdiri lalu meninggalkan Dimas, Daniel dan Bobby yang tampak kebingungan dengan kemarahannya.

Tiga jam berlalu dan malam semakin larut. Satu persatu para tamu berangsur meninggalkan kediaman rumah Arga Adhitama ketika acara berakhir.

Raven duduk di ruangan keluarga sambil berkutat dengan ponsel, memeriksa email pekerjaan yang masuk.

Meski sudah hampir tiga jam berlalu sejak dia memarahi Dimas, tapi sampai saat ini ekspresinya masih mengeras. Bahkan sejak tadi tak ada yang berani menyapanya karena orang-orang langsung mundur setelah melihat wajah Raven yang dingin.

Saat mendengar bunyi ketukan high heels, Raven mendongak dan mendapati Celine sedang menghampirinya usai mengobrol dengan sepupu perempuannya yang akan pulang.

Raven berdiri dan memasukkan ponsel ke saku celana. “Sudah cukup malam. Lebih baik kita pulang sekarang.”

Celine melipat kedua tangan di dada. “Kamu pulang saja. Aku akan menginap di sini.”

“Menginap?” Kening Raven berkerut. “Kenapa tiba-tiba?”

“Aku pikir sudah lama aku nggak menginap di rumah Papa karena aku selalu sibuk dengan pekerjaanku.” Celine mengedikkan bahunya ringan. “Kebetulan Mama juga lagi ingin aku temani malam ini.”

Raven terdiam sesaat, lalu mengangguk samar. “Baiklah.”

Tidak ada percakapan lagi setelah itu, karena memang seperti itulah hubungan mereka selama ini.

Mereka jarang mengobrol berdua lebih dari sepuluh menit, kecuali jika mereka membahas mengenai kerjasama antara Maheswara Corp dan Adhitama Group.

Pernikahan Raven dan Celine terjalin karena bisnis. Mereka dijodohkan oleh kedua orang tua mereka, tanpa cinta. Usia pernikahan mereka sebentar lagi menginjak dua tahun. Namun selama itu keduanya lebih memilih sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Setelah pamit pada mertuanya dan meminta maaf karena tidak bisa ikut menginap, Raven pun keluar dari rumah itu.

Ketika akan menghampiri mobilnya, tanpa sengaja ujung matanya menangkap sosok wanita yang sangat dia kenali sedang berdiri berhadapan dengan Dimas.

Langkah kaki Raven pun terhenti. Dia menoleh dan menatap wanita itu dari kejauhan. Tanpa sadar, Raven mengetatkan rahangnya. Sorot matanya berkilat-kilat.

Raven masih menatap wanita itu, yang tak lain adalah Sera. Sampai akhirnya Sera pergi dari hadapan Dimas dan menumpangi mobil hitam yang baru saja datang.

Beberapa saat kemudian, mobil yang membawa Sera itu berhenti di depan gerbang rumah Raven. Lalu Sera berjalan di halaman rumah sambil menunduk pada ponsel, memberi rating bintang lima pada driver taksi online yang baru saja mengantarnya.

Pada saat yang sama, sebuah mobil memasuki halaman, melewati Sera, dan berhenti di depan rumah. Raven turun dari sana dan menutup pintu mobil dengan keras.

Sera seketika menghentikan langkah, dia meremas ponsel ketika bersitatap dengan Raven yang tengah menatapnya begitu tajam. Kata-kata Raven yang merendahkannya di depan Dimas tadi kembali terngiang di telinga Sera, membuat dadanya berdenyut nyeri.

Karena tak ingin terlalu lama berhadapan dengan Raven, Sera bergegas pergi dari hadapan pria itu dan mengambil jalur ke beranda samping untuk menuju kamar ART.

Namun tiba-tiba Raven mencengkeram pergelangan tangan Sera dan menariknya memasuki rumah. Sera terhenyak.

“Bapak mau apa?” tanya Sera dengan mata setengah membulat. Dia terpaksa menyimbangkan langkahnya dengan langkah Raven yang cepat dan lebar.

Raven tidak menjawab. Mereka melewati ruang tengah lalu menaiki tangga.

Sera menoleh ke belakang, dan dia baru menyadari bahwa Raven pulang sendirian. Ke mana Celine?

“Pak? Saya mohon lepaskan tangan saya!” Sera berusaha menarik tangannya, tapi genggaman Raven terlalu kuat. “Kenapa Bapak tiba-tiba begini? Ini sudah larut malam dan saya rasa jam kerja saya sudah–”

Kata-kata Sera seketika terhenti dan raut wajahnya berubah menegang ketika dia sadar Raven membawanya ke dalam kamar bernuansa abu-abu miliknya.

Tidak. Sera tidak ingin melakukannya malam ini. Hatinya sedang terluka dan dia tidak mau lukanya menjadi semakin dalam.

“Pak Raven, biarkan saya pergi. Saya tidak bisa–Akh!” pekik Sera ketika Raven menjatuhkannya ke atas ranjang dengan kasar.

Sera terkesiap. Dia berusaha untuk bangkit dan menghindari Raven, akan tetapi pria itu dengan mudah memenjarakannya dan menindihnya.

Saat Sera menatap mata Raven, dia tiba-tiba dirundung rasa takut. Tatapan pria itu terlihat tajam, menusuk seperti bilah pisau yang siap menebas siapapun yang berani menantangnya.

Melalui sorot matanya itu, Sera sadar bahwa Raven sedang menahan amarah yang besar.

“Katakan! Siapa yang mengizinkanmu menggoda laki-laki itu?!”

Menggoda laki-laki itu?

“Laki-laki itu siapa maksud Bapak?” Sera menggelengkan kepalanya, dadanya terasa sesak karena Raven yang menindihnya. “Saya tidak pernah menggoda siapapun.”

“Pura-pura bodoh, huh?” Rahang Raven berkedut. Jari tangannya yang panjang menjepit dagu Sera. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat seolah menahan amarah yang hampir meledak.

“S-Saya tidak mengerti maksud Bapak.”

“Malam ini, akan saya tunjukkan padamu apa posisimu sebenarnya!”

Sera terhenyak, tapi dia tidak memiliki kesempatan untuk menanggapi ucapan itu karena bibir Raven seketika menyambar bibirnya.

***

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
ความคิดเห็น (3)
goodnovel comment avatar
Gita
Ah itu mah emang maumu raven.
goodnovel comment avatar
Mamahna Fauzi Sidiq
mesum banget si raven
goodnovel comment avatar
fauziah Zie
jeeehhh emang dasar mesum wkwkwk
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

บทล่าสุด

  • Pelukan Sang Majikan di Malam Hari   48. Raven vs Bastian

    Celine melihat kepergian Raven. Kemudian dia pamit pada tiga wanita di hadapannya. Senyuman anggun terlukis di bibir Celine saat dia menghampiri sepupu suaminya itu.“Sepertinya obrolan kalian sangat menyenangkan barusan,” ucap Celine.Gerald membalas senyuman Celine seraya menatap wanita itu dengan lekat. “Ya… cukup menyenangkan,” katanya, “walaupun sikapnya selalu dingin, tapi aku sudah memakluminya.”Gerald mengambil dua gelas wine dari waitress yang melintas di hadapan mereka, lalu menyerahkan salah satunya pada Celine.“Terima kasih.” Celine menerimanya, lalu menyesap wine itu dengan perlahan-lahan. Setelah menelan minumannya, dia berkata, “Kalau wanita lain yang jadi istrinya, aku yakin sekali dia nggak akan bertahan di sisi pria dingin seperti itu.”“Kamu memang wanita yang luar biasa.” Gerald tersenyum kecil, tetapi senyumannya tak mampu menyembunyikan rasa perih yang tergambar dalam sorot matanya. “Lihatlah, di ruangan ini nggak ada yang bisa mengalahkan kecantikanmu. Kamu sa

  • Pelukan Sang Majikan di Malam Hari   47. Dada Yang Bergejolak

    Bastian menatap Sera tanpa berkedip selama beberapa detik, lalu tersenyum lebar.“Sebenarnya aku datang ke sini untuk mewakili ayahku yang nggak bisa hadir,” ucap Bastian, “ngomong-ngomong kamu jadi tamu Tuan Prabu juga? Waah… ini kebetulan sekali. Pantas saja aku merasa bersemangat datang ke sini.” Bastian terkekeh-kekeh.Sera berdiri di hadapan Bastian. “Majikan aku adalah cucunya Tuan Prabu. Dan malam ini Tuan Prabu mengundang seluruh pekerja di keluarga besarnya untuk datang ke acara ini.”Bastian mengangguk-anggukkan kepalanya.“Oh, kenalkan ini teman-temanku.” Sera lalu mengenalkan Ratna dan Ayu pada Bastian.Bastian tersenyum dan mengenalkan dirinya pada mereka sebagai teman dekat Sera.Ayu terpana melihat ketampanan Bastian, pipinya tersipu malu saat Bastian menjabat tangannya. Dan dengan malu-malu Ayu menyebutkan namanya.“Sera, kok kamu nggak bilang-bilang punya teman seganteng ini?” bisik Ayu.Ratna langsung menyenggol lengannya. “Jangan genit.”Ayu memanyunkan bibirnya, da

  • Pelukan Sang Majikan di Malam Hari   46. Menatapnya Dari Jauh

    Sera menatap pantulan dirinya di cermin. Lalu terbit senyuman kecil di bibirnya.Gaun hitam yang melekat di tubuhnya itu tampak cantik. Itu gaun sederhana berlapis chiffon yang jatuh lembut dengan tinggi di bawah lutut.Bagian bahunya terbuka, dan di bagian pinggang pita panjang yang diikat rapi, mempertegas siluet rampingnya.Gaun yang tidak terlalu mencolok. Sehingga Sera cukup percaya diri mengenakannya. Sera sengaja memilih pakaian tersebut dari beberapa pakaian pemberian Raven, untuk dikenakan di acara ulang tahun Tuan Prabu hari ini.Kaki jenjangnya dibalut high heels berstrap tipis. Sementara tas kecil dengan rantai emas menggantung manis di tangannya.Itu heels dan tas pemberian Raven. Kemarin Sera tiba-tiba mendapat kiriman paket dari pengirim tak dikenal.Paket itu berisi heels yang sesuai ukuran kaki Sera dan tas kecil model sederhana. Ada secarik kertas dalam paket tersebut, yang menunjukkan bahwa pengirimnya adalah Raven.‘Gunakan ini besok. Jangan mempermalukan Kakek.’P

  • Pelukan Sang Majikan di Malam Hari   45. Jangan Marah

    Tubuh Sera seketika menegang ketika bibir Raven menempel pada bibirnya. Napasnya tertahan dan Sera merasakan dunia di sekitar mereka terhenti sesaat. Matanya terbelalak. Bisa dia rasakan Raven memagut bibir atasnya dengan lembut. Namun, kesadaran seketika menghampiri Sera. Detik itu juga Sera menjauhkan wajahnya dari Raven hingga tautan bibir mereka terlepas. Mata Sera mengerjap-ngerjap cepat. “A-Apa yang Bapak lakukan?” tanyanya terbata-bata dengan pipi memanas, dia melirik ke sekeliling untuk memastikan tak ada yang menyaksikan tindakan Raven barusan. “Bapak lupa kita ada di mana?” Tak ada riak di wajah Raven. Pria itu menatap manik mata Sera dengan lekat. “Jangan coba-coba menggoda saya lagi,” bisiknya dengan suara berat tanpa menghiraukan ucapan Sera. “Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan kalau kamu mengulanginya.” “Sudah saya bilang saya tidak menggoda Bapak,” protes Sera sebelum meneguk air minumnya untuk meredakan gemuruh di dalam dadanya. Raven kembali duduk da

  • Pelukan Sang Majikan di Malam Hari   44. Makan Malam

    Sera keluar dari ruang ganti setelah selesai mencoba lebih dari lima pakaian yang berbeda. Dia menghampiri Raven yang masih duduk di sofa, lalu menyerahkan semua pakaian itu kepada pegawai butik. “Saya pilih yang ini saja, Pak,” kata Sera sambil menunjuk pakaian yang paling sederhana. “Saya rasa ini yang paling cocok untuk saya.” Mendengar ucapan Sera, pegawai butik itu menatap Raven. Raven balas menatapnya sekilas sambil mengangguk singkat. Sera yang memperhatikan interaksi mereka sama sekali tidak mencurigai apapun. Namun ketika Raven telah membayar di kasir dan membawa paper bag besar ke hadapannya, Sera baru menyadari bahwa pria itu memborong semua pakaian yang tadi Sera coba. Sera tertegun. “Pak, ini terlalu berlebihan,” protes Sera, “saya tidak membutuhkan pakaian mewah sebanyak ini. Satu saja cukup.” Raven menatap manik mata Sera lama. Lalu menjawab datar, “Kamu tidak perlu butuh. Saya yang memutuskan apa yang harus kamu pakai.” Sera terdiam, pelan-pelan meremas uju

  • Pelukan Sang Majikan di Malam Hari   43. Debaran Asing

    Tiba di sebuah ruangan yang dipenuhi pakaian-pakaian cantik dan mewah, Raven langsung mengambil beberapa pakaian secara asal dengan ekspresi kelam di wajahnya. Lalu menumpuknya di lengannya. Dalam hitungan detik lengan itu tertutupi kain berwarna-warni. Sementara itu Sera hanya diam membeku, memperhatikan Raven dengan tatapan sendu. Ekspresi pria itu terlihat mengeras, seolah-olah penolakan Sera barusan membuatnya murka. Entah sudah berapa pakaian yang menumpuk di lengannya, Raven lalu menarik tangan Sera dengan tangan yang terbebas, dan membawanya menuju fitting room. Langkahnya yang cepat membuat Sera kesulitan menyeimbangkan langkah hingga Sera harus sedikit berlari. “Pak, tolong lepaskan tangan saya.” Raven tidak menjawab. Dia terus menarik Sera memasuki fitting room. Ruangan itu tampak luas dan tentu saja mewah. Ada satu sofa di sana yang mengarah ke sebuah ruangan kecil yang tertutupi gorden. Itu tempat untuk mengganti pakaian. Raven membawa Sera ke dalam ruangan kecil terse

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status