Home / Romansa / Pelukan Terlarang / Bab 6 : Jejak Terperangkap

Share

Bab 6 : Jejak Terperangkap

Author: Nara Cahya
last update Last Updated: 2025-08-23 11:48:20

Hana baru saja keluar dari kafe, buru-buru. Jantungnya berdentum keras seperti genderang perang. Bukti yang Radit sodorkan kini ada di dalam tasnya, nyempil di antara dokumen-dokumen penting yang selalu ia bawa ke mana-mana. Setiap kali ada suara mobil lewat, setiap kali lihat bayangan di kaca, dia nahan napas. Takut ada mata-mata yang ngikutin.

Di seberang kota, Arga duduk santai di kursi kulit mahalnya, tangannya bersedekap. Laporan dari anak buahnya masih kebuka di laptop. Dia mandangin layar itu beberapa detik, terus ngetik pesan singkat buat asistennya: Awasi semua gerak-gerik Hana hari ini. Laporin sekecil apa pun. Matanya nyipit, senyum tipisnya tetap ada, tapi auranya... serem! Arga bukan tipe orang yang suka meledak-ledak, tapi Hana udah cukup lama bikin dia penasaran sekaligus curiga.

Sore itu, Hana coba nenangin diri di apartemennya yang sederhana. Dia buka lagi bukti dari Radit. Foto, rekaman suara, dokumen... semuanya nunjukkin jelas kalau Arga main kotor. Dia nelen ludah. Kalau bukti ini sampai ke tangan yang bener, Arga bisa jatuh miskin dan hancur nggak karuan. Tapi kalau Arga sampai tahu dia yang nyimpen... bisa-bisa dia hilang ditelan bumi.

Tiba-tiba HP-nya getar. Ada pesan masuk. Hana langsung merinding.

Arga: Hana, kayaknya kita perlu ngobrol malam ini. Ada yang harus kamu jelasin.

Hana nelen ludah lagi. Nadanya biasa aja, tapi ada sesuatu yang bikin dia nggak nyaman. Dia tahu ini jebakan, tapi udah nggak mungkin buat mundur sekarang.

Dia bales pesannya singkat, berusaha setenang mungkin.

Hana: Oke, datang saja kesini malam di kantor.

Setelah mencet tombol kirim, Hana lemes. Arga udah tahu dia bergerak. Dan malam ini, dia harus siap menghadapi apa pun.

Malam harinya, di ruang kantornya Arga yang sunyi senyap, Hana berdiri di ambang pintu. Arga udah nunggu, duduk di kursi kebesarannya dengan wajah tanpa ekspresi. Justru itu yang makin bikin Hana tegang.

Tepat waktu, kata Arga, sambil natap dia dari balik meja.

Hana nunduk, nyoba nyembunyiin rasa gugupnya.

Katanya kamu ketemu seseorang hari ini, ya? lanjut Arga, suaranya lembut tapi menusuk. Siapa? Radit?

Hana nelen ludah. Sekarang dia harus hati-hati banget. Salah ngomong dikit aja, bisa berabe.

Nggak, jawab Hana singkat, suaranya agak getar.

Arga senyum tipis, kayak tahu dia bohong. Hana... kamu terlalu pintar buat ngeremehin aku. Aku tahu kamu nyembunyiin sesuatu.

Hana nahan napas. Setiap kata yang keluar dari mulutnya kayak lagi jalan di atas pisau.

Kalau kamu masih mau aman, diem aja di sini, jangan macem-macem, kata Arga sambil berdiri dari kursinya. Dia nyamperin Hana, tapi nggak nyerang. Cuma tatapannya itu... bikin Hana ngerasa kayak dikurung.

Besoknya, Hana dapet pesan lagi dari Radit:

Radit: Arga udah mulai curiga. Jangan ke mana-mana sendirian. Aku punya rencana buat keluar dari semua ini.

Hana bales singkat: Aku tunggu. Hati-hati.

Di kantor, Arga terus ngawasin dia dari jauh. Setiap senyum keliatan dipaksain, setiap gerak-gerik dijaga. Hana ngerasa setiap detik bisa jadi jebakan. Dan di tengah semua itu, dia terus mikir: bisa nggak ya dia percaya sama Radit sepenuhnya? Atau ini semua cuma jebakan lain?

Arga, di ruangannya, nutup laptop dan ngeliatin pemandangan kota yang gelap dari jendela. Malam ini, dia mau mancing Hana buat milih: kejebak, atau ngebuktiin kesetiaannya.

Dan Hana, tanpa dia sadari, lagi jalan di tepi jurang. Salah langkah dikit aja, semua rahasia bisa kebongkar, atau malah ketutup selamanya.

Hana duduk di kursi ruang istirahat kantor, nyoba nenangin pikirannya yang lagi kacau. Tangan kirinya megang mug kopi yang udah dingin, matanya kosong ngeliatin ke luar jendela. Kepalanya pusing banget. Arga hari ini keliatan lebih waspada dari biasanya, setiap gerakannya kayak lagi ngawasin dia. Bahkan temen-temen kerjanya juga kayaknya males ngobrol sama dia, kayak ikut ngerasain ketegangan yang sama.

Tiba-tiba HP-nya getar. Pesan dari Radit.

Radit: Hari ini jangan gerak sendiri. Aku mau ke kantor jam tiga. Bawa dokumen itu, tapi taro di tempat yang aman. Arga pasti udah masang jebakan.

Hana nelen ludah. Dia tahu Radit bener. Arga terlalu pintar buat ngebiarin Hana bebas. Tapi di sisi lain, bukti itu terlalu penting buat diabaikan. Dia harus hati-hati banget, setiap langkah bisa nentuin nasibnya.

Jam nunjukkin pukul dua siang. Hana nutup dokumen di tasnya, terus ngeliat sekeliling ruangan. Arga duduk di mejanya, kadang-kadang ngeliatin layar komputer, tapi tatapannya selalu balik lagi ke Hana. Jantungnya deg-degan.

Dia coba buat tenang. Hana, kamu nggak apa-apa? tanya salah satu rekan kerjanya. Hana senyum tipis, nahan rasa gugupnya. Nggak... nggak apa-apa kok.

Tapi senyum itu nggak bisa nipu siapa pun. Arga tetep ngawasin. Kayak bisa baca semua pikiran Hana.

Tepat jam tiga, seorang cowok yang disuruh Radit dateng ke lobi kantor. Hana udah nunggu di pojokan, mastiin gerakannya nggak mencolok. Cowok itu nyodorin amplop cokelat kecil yang isinya pesan dari Radit. Hana nyelipin amplop itu di balik jasnya. Setiap gerakan dilakuin dengan pelan-pelan dan hati-hati banget.

Beberapa menit kemudian, Arga berdiri dari mejanya dan nyamperin Hana. Kamu nyembunyiin sesuatu, ya? Suaranya tenang tapi ada nada neken yang bikin Hana nelen ludah.

Hana pura-pura nunduk sambil ngeberesin berkas di tasnya. Nggak ada kok, Pak Arga.

Arga senyum tipis, tapi matanya... tetep aja tajem banget. Aku harap gitu. Jangan bikin aku kecewa.

Hana nelen ludah. Kata-kata itu sederhana, tapi berat banget maknanya. Dia tahu, Arga lagi nyiapin jebakan. Dan Hana harus mikir cepet buat nyelamatin diri.

Pas jam pulang kerja udah deket, Hana pelan-pelan jalan ke arah parkiran. Setiap detik kerasa kayak seribu langkah di atas pecahan kaca. Dia tahu Arga mungkin udah nyuruh anak buahnya buat ngawasin dia di sepanjang jalan keluar. HP-nya getar lagi. Pesan dari Radit:

Radit: Keluar lewat pintu samping. Ada motor nungguin kamu di sana. Jangan narik perhatian.

Hana bales cepet: Oke.

Langkah kakinya jadi lebih enteng, tapi jantungnya tetep aja deg-degan. Sebuah motor butut nunggu di gang belakang. Seorang cowok yang pake helm bukain pintu buat dia. Hana langsung naik dan pergi dari gedung itu. Dia nengok ke belakang sesekali. Nggak ada tanda-tanda diikutin... atau mungkin, itu yang Arga pengen dia percaya.

Di tempat lain, Arga ngeliatin layar CCTV dari ruangannya. Dia ngeliat Hana keluar, lalu turun tangga darurat, dan naik ke motor. Senyum tipisnya muncul lagi. Bagus... mulai seru nih.

Arga nutup laptopnya dan nyalain HP. Dia nelpon beberapa orang. Malam ini, dia punya rencana besar. Sebuah jebakan yang nggak mungkin bisa dihindarin sama Hana. Sementara itu, Hana cuma bisa megang erat tasnya, berharap dia bisa cepet ketemu sama Radit sebelum Arga bener-bener bertindak.

Hana akhirnya sampai juga di tempat janjian. Radit udah nunggu di sana, mukanya serius banget. Tanpa banyak ngomong, Hana nyodorin amplop cokelat itu. Radit langsung meriksa isinya cepet-cepet, terus ngangguk.

Kamu udah ngelakuin hal yang bener, katanya. Tapi Arga udah mulai curiga. Malam ini, dia pasti bakal nguji kesetiaan kamu. Kita harus siap.

Hana ngangguk, jantungnya serasa mau copot. Dia tahu, malam ini bukan cuma sekadar ujian biasa. Ini bisa nentuin hidupnya.

Dan di suatu tempat di gedung tinggi, Arga senyum tipis. Semuanya berjalan sesuai sama rencananya. Jejak Hana udah dia temuin, dan jebakan yang dia siapin bakal segera menjerat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelukan Terlarang    Bab 24 : Bayangan di Antara Kita

    Langkah Hana terasa *berat* saat memasuki ruang kerjanya keesokan paginya. Semalaman suntuk, matanya enggan terpejam. Nada bicara lembut Adrian, tatapan matanya yang seolah menyimpan *segudang* makna tersembunyi di balik sekadar teman kerja, terus menghantuinya. Ia mati-matian berusaha mengenyahkan semua itu dari benaknya, berbisik pada diri sendiri bahwa semua ini hanya efek samping dari kelelahan dan emosi yang sedang naik turun tak terkendali. Apesnya, semakin ia berusaha, semakin kalutlah pikiran dan perasaannya.Saat ia membuka pintu ruang kerja, beberapa rekan sudah bergerombol di ruang presentasi. Tumpukan dokumen menggunung di atas meja panjang, laptop-laptop memancarkan cahaya dari layarnya, dan proyektor menampilkan draf proyek terbaru. Adrian berdiri tegap di depan layar, dengan *penuh semangat* menjabarkan sesuatu. Senyumnya samar, tatapannya biasa saja bagi orang lain namun bagi Hana, setiap detail kecil itu terasa *menusuk* relung hatinya.Kita perlu utak-atik bagian ini

  • Pelukan Terlarang    Bab 23 : Bisik di Lorong Kantor

    Pagi itu, lorong kantor berdengung oleh suara langkah kaki. Hana melangkah cepat, seolah ingin menghilang di balik mejanya tanpa menyapa siapa pun. Rambutnya yang tergerai jatuh, menutupi sebagian wajahnya, sedikit melindunginya dari tatapan orang-orang yang terasa menghakimi beberapa hari terakhir. Sayangnya, telinganya tidak bisa dibohongi. Bisikan-bisikan itu masih terdengar, lirih tapi menusuk, Itu dia... Dengar-dengar sering pulang bareng, ya? Pantes aja cepet naik jabatan. Hana meremas map di tangannya kuat-kuat. Ia ingin melarikan diri, namun sadar itu hanya memperburuk keadaan. Ia tetap melangkah maju dengan wajah setenang mungkin, menutupi badai yang bergejolak di dalam dirinya. Sesampainya di meja, ia langsung duduk, menyalakan laptop, dan pura-pura tenggelam dalam dokumen. Napasnya masih tersengal. Hana, suara Maya menyentaknya. Wajah Maya terlihat tegang. Aku baru aja denger sesuatu yang... penting buat kamu tahu. Hana menoleh, jantungnya berdebar keras. Apa?

  • Pelukan Terlarang    Bab 22 : Bayangan dalam Foto

    Hana membanting tutup laptopnya, seolah benda itu adalah bom waktu yang siap meledak. Jantungnya berdegup kencang, mengalahkan gemericik hujan yang mulai membasahi kaca jendela apartemennya. Otaknya seperti benang kusut, dipenuhi pertanyaan tanpa ujung. Siapa pengirim foto itu? Kapan foto itu diambil? Dan yang paling membuatnya merinding: apa maksud di balik semua ini?Ia bangkit dari sofa, mondar-mandir seperti tahanan dalam sel sempit. Tangannya sesekali meremas rambutnya yang panjang, lalu berhenti di depan jendela, memandangi lampu-lampu kota yang berkilauan dalam bayang hujan. Kata Bukti di subjek email itu terus menghantuinya. Kata sederhana itu berubah menjadi teror yang membungkamnya.Hana mencoba menenangkan diri. Mungkin cuma orang iseng, bisiknya, tapi hatinya tak percaya. Kalau cuma iseng, kenapa fotonya begitu pas momennya? Kenapa dikirim malam-malam, saat ia sendirian? Tidak, ini bukan kebetulan belaka. Seseorang sedang mengawasinya.Tangannya gemetar saat meraih ponsel.

  • Pelukan Terlarang    Bab 21 : Di Antara Rahasia dan Rasa

    Hana terdiam di depan laptopnya, jari-jarinya menari ragu di atas *keyboard*. Pikirannya terbang jauh, terpaku pada ucapan Maya semalam, Dunia kantor itu kejam, Han. Kata-kata itu bagaikan hantu yang terus menghantuinya. Setiap lirikan sinis, setiap bisikan menusuk, terasa seperti duri yang siap menyayat hatinya. Siang itu, rapat besar bersama direktur utama sudah menunggu di depan mata. Semua tim sibuk mempersiapkan bahan presentasi, termasuk Hana. Ia mencoba fokus menyusun data, tapi suara-suara sumbang terus mengganggu pikirannya. Tiba-tiba, Arga melintas di depan mejanya. Gerakannya biasa saja, sama sekali tak mencurigakan. Ia hanya tampak seperti seorang atasan yang sedang memeriksa pekerjaan anak buahnya. Namun, sepersekian detik mata mereka bertemu. Singkat, namun ada sesuatu yang dalam dan sulit diartikan. Hana segera menunduk, jantungnya berdebar kencang, wajahnya terasa panas. Ia takut orang lain menyadari perubahan kecil yang terjadi pada dirinya. *** Rapat diadakan di

  • Pelukan Terlarang    Bab 20 : Bayangan yang Membesar

    Hana terpaku di depan cermin kamar mandi kantor, kedua tangannya mencengkeram pinggiran wastafel keramik yang dingin. Aliran air dari keran yang terbuka hanya menemani kesunyian, tak menarik perhatiannya untuk sekadar membasuh muka. Sorot matanya nanar menatap pantulan dirinya di cermin seorang wanita yang tampak lelah dengan lingkaran hitam menghiasi bawah mata. Senyum yang dipaksakan pagi tadi lenyap, digantikan raut khawatir. Beberapa waktu lalu, telinganya tak sengaja menangkap bisikan dua staf dari divisi lain di koridor. Nama memang tak disebut, tapi nada bicaranya menusuk: Si asisten khusus itu? Pantas saja karirnya melejit. Lalu, tawa kecil menyusul ucapan itu. Hana tak bodoh, ia tahu betul siapa yang menjadi bahan perbincangan mereka. Ia menarik napas dalam-dalam, memutar keran hingga air berhenti mengalir, lalu meraih tisu untuk mengeringkan tangannya. Tenang, Hana. Tetap fokus, bisiknya pada diri sendiri, mencoba tegar meski hatinya bergetar hebat. Saat kembali ke mejany

  • Pelukan Terlarang    Bab 19 : Jejak yang Tak Bisa Disembunyikan

    Hana terdiam di depan cermin kamar mandi kantor, meneliti penampilannya. Wajahnya lesu, lingkaran hitam mulai menghiasi bawah mata, dan bibirnya pecah-pecah. Dengan gerakan cepat, ia memoleskan sedikit bedak di pipi, berupaya menyembunyikan jejak-jejak kelelahan yang kentara. Namun, ia sadar bahwa bukan hanya raganya yang merasakannya. Hatinya jauh lebih remuk. Sejak percakapan terakhir yang menegangkan dengan Arga, Hana merasa seperti seorang pesirkus yang berjalan di atas tali yang licin. Setiap gerakannya terasa diperhatikan, setiap langkahnya berpotensi menjatuhkan. Meskipun Arga sudah berulang kali mengingatkannya untuk menjaga profesionalisme, perasaan yang tumbuh di antara mereka terasa seperti api dalam sekam, sesuatu yang tidak bisa dipadamkan hanya dengan kata-kata hampa. Kalau terus begini, aku yang akan hancur lebih dulu, bisiknya lirih, suaranya hampir tak terdengar. Tiba-tiba, pintu kamar mandi terbuka, dan Maya muncul dengan tas makeup di tangannya. Begitu melihat Ha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status