MasukHana baru saja keluar dari kafe, buru-buru. Jantungnya berdentum keras seperti genderang perang. Bukti yang Radit sodorkan kini ada di dalam tasnya, nyempil di antara dokumen-dokumen penting yang selalu ia bawa ke mana-mana. Setiap kali ada suara mobil lewat, setiap kali lihat bayangan di kaca, dia nahan napas. Takut ada mata-mata yang ngikutin.
Di seberang kota, Arga duduk santai di kursi kulit mahalnya, tangannya bersedekap. Laporan dari anak buahnya masih kebuka di laptop. Dia mandangin layar itu beberapa detik, terus ngetik pesan singkat buat asistennya: Awasi semua gerak-gerik Hana hari ini. Laporin sekecil apa pun. Matanya nyipit, senyum tipisnya tetap ada, tapi auranya... serem! Arga bukan tipe orang yang suka meledak-ledak, tapi Hana udah cukup lama bikin dia penasaran sekaligus curiga. Sore itu, Hana coba nenangin diri di apartemennya yang sederhana. Dia buka lagi bukti dari Radit. Foto, rekaman suara, dokumen... semuanya nunjukkin jelas kalau Arga main kotor. Dia nelen ludah. Kalau bukti ini sampai ke tangan yang bener, Arga bisa jatuh miskin dan hancur nggak karuan. Tapi kalau Arga sampai tahu dia yang nyimpen... bisa-bisa dia hilang ditelan bumi. Tiba-tiba HP-nya getar. Ada pesan masuk. Hana langsung merinding. Arga: Hana, kayaknya kita perlu ngobrol malam ini. Ada yang harus kamu jelasin. Hana nelen ludah lagi. Nadanya biasa aja, tapi ada sesuatu yang bikin dia nggak nyaman. Dia tahu ini jebakan, tapi udah nggak mungkin buat mundur sekarang. Dia bales pesannya singkat, berusaha setenang mungkin. Hana: Oke, datang saja kesini malam di kantor. Setelah mencet tombol kirim, Hana lemes. Arga udah tahu dia bergerak. Dan malam ini, dia harus siap menghadapi apa pun. Malam harinya, di ruang kantornya Arga yang sunyi senyap, Hana berdiri di ambang pintu. Arga udah nunggu, duduk di kursi kebesarannya dengan wajah tanpa ekspresi. Justru itu yang makin bikin Hana tegang. Tepat waktu, kata Arga, sambil natap dia dari balik meja. Hana nunduk, nyoba nyembunyiin rasa gugupnya. Katanya kamu ketemu seseorang hari ini, ya? lanjut Arga, suaranya lembut tapi menusuk. Siapa? Radit? Hana nelen ludah. Sekarang dia harus hati-hati banget. Salah ngomong dikit aja, bisa berabe. Nggak, jawab Hana singkat, suaranya agak getar. Arga senyum tipis, kayak tahu dia bohong. Hana... kamu terlalu pintar buat ngeremehin aku. Aku tahu kamu nyembunyiin sesuatu. Hana nahan napas. Setiap kata yang keluar dari mulutnya kayak lagi jalan di atas pisau. Kalau kamu masih mau aman, diem aja di sini, jangan macem-macem, kata Arga sambil berdiri dari kursinya. Dia nyamperin Hana, tapi nggak nyerang. Cuma tatapannya itu... bikin Hana ngerasa kayak dikurung. Besoknya, Hana dapet pesan lagi dari Radit: Radit: Arga udah mulai curiga. Jangan ke mana-mana sendirian. Aku punya rencana buat keluar dari semua ini. Hana bales singkat: Aku tunggu. Hati-hati. Di kantor, Arga terus ngawasin dia dari jauh. Setiap senyum keliatan dipaksain, setiap gerak-gerik dijaga. Hana ngerasa setiap detik bisa jadi jebakan. Dan di tengah semua itu, dia terus mikir: bisa nggak ya dia percaya sama Radit sepenuhnya? Atau ini semua cuma jebakan lain? Arga, di ruangannya, nutup laptop dan ngeliatin pemandangan kota yang gelap dari jendela. Malam ini, dia mau mancing Hana buat milih: kejebak, atau ngebuktiin kesetiaannya. Dan Hana, tanpa dia sadari, lagi jalan di tepi jurang. Salah langkah dikit aja, semua rahasia bisa kebongkar, atau malah ketutup selamanya. Hana duduk di kursi ruang istirahat kantor, nyoba nenangin pikirannya yang lagi kacau. Tangan kirinya megang mug kopi yang udah dingin, matanya kosong ngeliatin ke luar jendela. Kepalanya pusing banget. Arga hari ini keliatan lebih waspada dari biasanya, setiap gerakannya kayak lagi ngawasin dia. Bahkan temen-temen kerjanya juga kayaknya males ngobrol sama dia, kayak ikut ngerasain ketegangan yang sama. Tiba-tiba HP-nya getar. Pesan dari Radit. Radit: Hari ini jangan gerak sendiri. Aku mau ke kantor jam tiga. Bawa dokumen itu, tapi taro di tempat yang aman. Arga pasti udah masang jebakan. Hana nelen ludah. Dia tahu Radit bener. Arga terlalu pintar buat ngebiarin Hana bebas. Tapi di sisi lain, bukti itu terlalu penting buat diabaikan. Dia harus hati-hati banget, setiap langkah bisa nentuin nasibnya. Jam nunjukkin pukul dua siang. Hana nutup dokumen di tasnya, terus ngeliat sekeliling ruangan. Arga duduk di mejanya, kadang-kadang ngeliatin layar komputer, tapi tatapannya selalu balik lagi ke Hana. Jantungnya deg-degan. Dia coba buat tenang. Hana, kamu nggak apa-apa? tanya salah satu rekan kerjanya. Hana senyum tipis, nahan rasa gugupnya. Nggak... nggak apa-apa kok. Tapi senyum itu nggak bisa nipu siapa pun. Arga tetep ngawasin. Kayak bisa baca semua pikiran Hana. Tepat jam tiga, seorang cowok yang disuruh Radit dateng ke lobi kantor. Hana udah nunggu di pojokan, mastiin gerakannya nggak mencolok. Cowok itu nyodorin amplop cokelat kecil yang isinya pesan dari Radit. Hana nyelipin amplop itu di balik jasnya. Setiap gerakan dilakuin dengan pelan-pelan dan hati-hati banget. Beberapa menit kemudian, Arga berdiri dari mejanya dan nyamperin Hana. Kamu nyembunyiin sesuatu, ya? Suaranya tenang tapi ada nada neken yang bikin Hana nelen ludah. Hana pura-pura nunduk sambil ngeberesin berkas di tasnya. Nggak ada kok, Pak Arga. Arga senyum tipis, tapi matanya... tetep aja tajem banget. Aku harap gitu. Jangan bikin aku kecewa. Hana nelen ludah. Kata-kata itu sederhana, tapi berat banget maknanya. Dia tahu, Arga lagi nyiapin jebakan. Dan Hana harus mikir cepet buat nyelamatin diri. Pas jam pulang kerja udah deket, Hana pelan-pelan jalan ke arah parkiran. Setiap detik kerasa kayak seribu langkah di atas pecahan kaca. Dia tahu Arga mungkin udah nyuruh anak buahnya buat ngawasin dia di sepanjang jalan keluar. HP-nya getar lagi. Pesan dari Radit: Radit: Keluar lewat pintu samping. Ada motor nungguin kamu di sana. Jangan narik perhatian. Hana bales cepet: Oke. Langkah kakinya jadi lebih enteng, tapi jantungnya tetep aja deg-degan. Sebuah motor butut nunggu di gang belakang. Seorang cowok yang pake helm bukain pintu buat dia. Hana langsung naik dan pergi dari gedung itu. Dia nengok ke belakang sesekali. Nggak ada tanda-tanda diikutin... atau mungkin, itu yang Arga pengen dia percaya. Di tempat lain, Arga ngeliatin layar CCTV dari ruangannya. Dia ngeliat Hana keluar, lalu turun tangga darurat, dan naik ke motor. Senyum tipisnya muncul lagi. Bagus... mulai seru nih. Arga nutup laptopnya dan nyalain HP. Dia nelpon beberapa orang. Malam ini, dia punya rencana besar. Sebuah jebakan yang nggak mungkin bisa dihindarin sama Hana. Sementara itu, Hana cuma bisa megang erat tasnya, berharap dia bisa cepet ketemu sama Radit sebelum Arga bener-bener bertindak. Hana akhirnya sampai juga di tempat janjian. Radit udah nunggu di sana, mukanya serius banget. Tanpa banyak ngomong, Hana nyodorin amplop cokelat itu. Radit langsung meriksa isinya cepet-cepet, terus ngangguk. Kamu udah ngelakuin hal yang bener, katanya. Tapi Arga udah mulai curiga. Malam ini, dia pasti bakal nguji kesetiaan kamu. Kita harus siap. Hana ngangguk, jantungnya serasa mau copot. Dia tahu, malam ini bukan cuma sekadar ujian biasa. Ini bisa nentuin hidupnya. Dan di suatu tempat di gedung tinggi, Arga senyum tipis. Semuanya berjalan sesuai sama rencananya. Jejak Hana udah dia temuin, dan jebakan yang dia siapin bakal segera menjerat.Hari itu terasa berbeda. Udara di kantor tidak lagi sesak seperti biasanya, tapi justru terlalu tenang sebuah ketenangan yang menakutkan. Hana duduk di mejanya, menatap layar komputer tanpa benar-benar membaca apa pun. Tulisan di dokumen tampak kabur, karena pikirannya tidak bisa fokus.Ia sudah lelah.Lelah dengan gosip.Lelah dengan rasa curiga.Dan yang paling berat, lelah dengan dirinya sendiri.Sejak pesan misterius terakhir berbunyi di ponselnya — “Satu langkah salah, semuanya berakhir” — Hana tidak bisa tidur dengan tenang. Ia merasa seperti sedang diawasi setiap detik. Bahkan suara printer yang berdetak pelan pun membuatnya tersentak.Namun pagi ini, ada sesuatu yang berbeda.Ia menatap pantulan wajahnya di layar komputer: mata sembab, wajah pucat, bibir kering. Ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Dulu ia adalah perempuan yang penuh semangat, selalu tersenyum setiap kali menyelesaikan laporan atau presentasi. Tapi sekarang… ia lebih mirip bayangan dari dirinya yang dulu
Sejak pesan ancaman terakhir, suasana kantor terasa berbeda.Bukan hanya Hana yang berubah — Adrian juga.Biasanya, Adrian adalah sosok yang santai, tenang, dan jarang menunjukkan emosi di hadapan tim. Tapi sejak malam itu, ada ketegangan baru dalam gerak-geriknya. Tatapannya lebih tajam, langkahnya lebih cepat, dan setiap detail kecil di kantor kini menjadi perhatiannya.Ia mulai datang lebih pagi dari siapa pun, memeriksa ruang rapat, lorong, bahkan kamera keamanan yang sebelumnya jarang ia sentuh.Beberapa staf menganggapnya sekadar profesionalisme berlebih, tapi Hana tahu — itu bukan kebetulan.Adrian sedang berjaga.Melindungi.---Pagi itu, Hana tiba lebih lambat dari biasanya. Begitu masuk, ia mendapati Adrian sedang berbicara dengan tim IT. Wajahnya serius, nada suaranya terkontrol tapi tegas.“Saya mau rekaman CCTV minggu lalu, semua koridor lantai ini. Termasuk akses login di server internal,” katanya.Tim IT tampak gugup. “Baik, Pak. Tapi kami perlu izin tambahan dari manaj
Hana tidak ingat kapan terakhir kali ia benar-benar bisa bernapas lega.Rasanya seperti setiap detik di kantor kini diawasi, setiap langkah meninggalkan bayangan mencurigakan.Sejak foto itu dikirim lewat email anonim, ia tidak bisa berhenti memikirkannya. Gambar dirinya dan Adrian — terlalu dekat, terlalu jujur. Tatapan yang seharusnya hanya mereka yang tahu, kini ada di tangan orang lain.Siapa yang memotret itu?Kapan?Dan apa maksud pesan itu?Pertanyaan-pertanyaan itu berputar tanpa henti di kepala Hana, seperti suara gemuruh yang tak bisa diredam.---Sore itu, kantor mulai sepi. Langit di luar jendela berwarna jingga keemasan, indah tapi dingin. Hana masih duduk di mejanya, menatap layar laptop kosong. Matanya bengkak, lelah, tapi pikirannya terlalu kacau untuk berhenti.Adrian muncul tanpa suara. Ia berdiri beberapa detik di belakang Hana, memperhatikan perempuan itu yang bahkan tidak menyadari kehadirannya. Bahunya menegang, jarinya bergetar, dan napasnya berat.“Hana,” suara
Pagi datang tanpa semangat.Langit di luar jendela tampak kelabu, seperti cerminan isi hati Hana.Ia menatap cangkir kopi di mejanya yang sudah dingin sejak setengah jam lalu.Malam tadi, ia hampir tidak tidur. Bayangan email yang diterima Adrian masih terngiang-ngiang di kepalanya — terutama kalimat itu: “Sekarang giliranmu.”Kata-kata itu seperti racun halus yang terus menggerogoti ketenangan pikirannya.Ia menggenggam cangkir itu lebih erat. “Kenapa harus seperti ini…” gumamnya pelan.---Adrian belum datang pagi itu. Biasanya, ia adalah orang pertama yang tiba di kantor. Tapi hari ini, ruangannya masih gelap, tirainya tertutup rapat.Hana berusaha fokus ke pekerjaannya. Ia menatap layar laptop, tapi huruf-huruf di layar seperti menari tanpa makna.Yang terlintas di pikirannya hanyalah wajah Adrian — serius, lelah, dan sedikit gelisah — saat terakhir kali mereka berbicara semalam.> “Udah terlambat, Han. Aku udah terlalu jauh buat mundur.”Kalimat itu membuat dadanya sesak.Ia tahu
Pagi itu, udara di kantor terasa berbeda.Tidak ada bisik-bisik seperti biasanya, tapi juga tidak ada ketenangan. Semua tampak menahan napas, seolah sesuatu besar baru saja terjadi tapi belum ada yang berani bicara.Hana datang dengan langkah pelan. Matanya masih berat karena kurang tidur. Malam lembur bersama Adrian semalam terus berputar di kepalanya, bukan hanya karena rasa canggung di antara mereka, tapi juga karena sosok misterius yang mengintip dari balik kaca.Ia belum sempat duduk ketika suara Adrian memanggilnya dari ruang kerja.“Hana, sini sebentar.”Nada suaranya terdengar berbeda. Serius. Terdengar seperti seseorang yang baru menemukan sesuatu penting.Hana masuk. Adrian berdiri di depan papan digital besar, menampilkan serangkaian data dan log server proyek.“Aku nemu sesuatu,” katanya tanpa basa-basi.“Apa?”“Log akses sistem semalam.” Adrian menunjuk layar. “Ada login mencurigakan jam 23.58 cuma beberapa menit sebelum kamu dapat pesan ‘Besok semua akan berubah’.”Hana
Langit Jakarta malam itu tampak kelabu, seolah ikut menanggung beban yang menumpuk di dada Hana.Setelah insiden pesan misterius dan kegagalan sistem pagi tadi, suasana di kantor berubah kaku. Semua orang bicara pelan, seakan takut terseret ke dalam badai masalah yang menimpa tim Hana.Sore menjelang malam, sebagian besar karyawan sudah pulang. Lampu-lampu kantor redup, hanya menyisakan cahaya lembut dari lantai empat ruang divisi proyek tempat Hana dan Adrian bekerja.Adrian berdiri di dekat jendela, memandangi kota yang mulai ditelan hujan. “Kamu yakin mau lanjut lembur malam ini?” tanyanya tanpa menoleh.Hana yang sedang memeriksa data menatap layar kosong di depannya. “Aku nggak punya pilihan, Adrian. Kalau nggak beres malam ini, Dimas bakal gunting proyekku besok pagi.”Adrian menghela napas pelan, lalu menatapnya. “Kamu butuh istirahat, Han. Kamu udah kerja dua belas jam tanpa berhenti.”Hana tersenyum samar. “Kamu juga belum pulang.”“Itu beda,” jawab Adrian. “Aku yang milih te







