Zaara pasrah tidak bisa membesuk pemuda yang ditolongnya. Hanya mendengar kabar baik bahwa keluarganya sudah datang setidaknya membuat Zaara merasa lega. Apalagi mendengar pemuda itu sudah ditangani dan operasinya berjalan lancar. Dia sudah tidak memiliki urusan ataupun kepentingan dengan pemuda itu.
Namun tatkala kaki jenjangnya mengayun di langkah ke empat, Zaara teringat sesuatu. Dia sudah kadung membawa sebuket bunga untuk pemuda tersebut. Oleh karena itu, Zaara memutuskan kembali menyambangi resepsionis tadi untuk menitipkan bunga tersebut sebagai penyemangat.
“Ada apa lagi Mbak?” tanya resepsionis lelaki dengan ketus.
“Ah, aku lupa, aku hanya ingin memberinya bunga. Bisakah Mbak eh Mas memberikan ini!”
Zaara menyodorkan sebuket bunga mawar putih yang masih segar. Aromanya bisa terhidu langsung, segar dan membuat semangat yang melihatnya.“Baiklah, ada lagi? Um, ada lagi yang mau disampaikan?”
“Enggak cukup, Mas. Oh, ya, sampaikan saja, semoga cepat sembuh,”
Lagi, Zaara tidak menyebutkan namanya.Zaara pun tersenyum sendiri dan pulang ke TPU untuk memetik bunga melati yang ditanam di sekitar sana.
“Kasihin gak ya?” tanya resepsionis lelaki itu pada temannya yang perempuan. “Mana dia tahu ada yang nitip bunga. Aku suka bunganya soalnya, masih fresh kayak baru dipetik,”
“Kasihin dong! Kasihan. Dia jauh-jauh dateng, gak bisa jenguk pula,”
“Ish, kamu kayak gak tau aja. Ibunya itu galak, gak boleh ijinin siapa aja masuk! Bahkan sudah mewanti-wanti ke bagian perawat, dokter jaga dan kita di sini. Untung gak ada polisi yang jaga, tetapi malah diganti bodyguard yang wajahnya serem,”
“Iya, juga sih,”
“Kasihin aja ke perawat yang jaga! Paling dia yang kena omel,”
“Yup, bener,”
Resepsionis itu menyerahkan bunga itu pada perawat lelaki yang lewat. Dia perawat yang mendapat giliran mengecek kondisi pemuda yang bernama Haikal.
“Mas, ini ada titipan!” seru perawat itu setelah menengok ke kanan dan kiri. Lalu dia menyerahkan bunga segar itu pada Haikal.
“Dari siapa?”
Haikal menghidu aroma mawar itu dengan takzim. Hidungnya yang bangir tampak mengedus-endus bunga itu.“Pokoknya gadis itu buta kata bagian resepsionis. Katanya semoga lekas sembuh. So sweet banget ya Mas! Yang buta aja naksir sama Mas, padahal gak ngelihat Mas. Apalagi yang matanya normal kayaknya jelalatan deh,”
Haikal yang jarang tersenyum, tiba-tiba tersenyum teramat manis. Dia meraih bunga itu dengan hati-hati. Merengkuhnya dalam dadanya meskipun masih berbaring dengan posisi setengah rebahan karena sudah bisa bersandar pada kepala ranjang.
“Di mana dia sekarang? Cepat suruh masuk!” titah Haikal dengan wajah yang berbinar.
“Mas, gadis itu sudah pergi,”
“Kenapa pergi?”
“Ya, kata ibu Mas, siapapun tak boleh datang ke ruangan Mas sembarangan,”
Haikal mendengus kesal.
‘Hei gadis buta! Awas saja kamu! Ninggalin aku di rumah sakit sendirian. Um, sekarang sama nenek lampir lagi,'Setelah sembuh, Haikal mencari Zaara. Entah apa alasannya, yang pasti dia ingin bertemu dengannya dan mengucapkan terima kasih padanya. Menurut informasi yang diperoleh, gadis buta itu seringkali menjajakan bunga di sekitar TPU.
***
Suatu hari Zaara terlihat tengah duduk dengan memejamkan matanya di dekat TPU mewah yang tak jauh dari jalan. Dia tengah menikmati angin sepoi-sepoi yang berembus sekitar pohon cemara, tempat di mana dia berteduh. Tanpa sengaja Haikal menoleh ke arahnya dan terperangah ingin segera menyapa gadis itu. Sayang, dia sedang berada di mobil yang merangkak terjebak macet. Tak mungkin dia turun dan menghampirinya.
Saat kendaraan mulai berangsur lengang, Haikal berusaha memarkirkan mobilnya ke tepian. Dan berteriak menyapa gadis itu.
“Hei!”
Gadis itu keburu pergi. Haikal gagal bertemu dengannya.
Tak menyerah, dia pun datang lagi keesokan harinya. Terlihat Zaara sedang duduk di sebuah bangku panjang seraya menghitung tangkai bunga. Hari ini dia memanen bunga mawar. Haikal duduk di samping Zaara tanpa bicara sepatah kata pun. Dia mendadak gugup.
“Sedang menunggu seseorang?” tanya Zaara meskipun tidak melihat tetapi dia bisa merasakan kehadiran seseorang.
“Um, Mas mau beli bunga buat kekasih Mas atau istri? Um, atau bunga untuk berziarah? Saya juga punya bunga kantil, mawar, anggrek, sedap malam, kenanga,” tukas Zaara menawarkan barang dagangannya.
Kenapa dia bisa tahu jika orang yang duduk di sampingnya seorang lelaki dan dia memanggilnya Mas?
Dia bisa menghidu aroma parfum maskulin.
“Tidak,” jawab Haikal pada akhirnya.
Mendengar suara Haikal Zaara langsung menoleh.
“Mas sudah sehat?” tanya Zaara tersenyum ke arah Haikal. Tentu dengan pandangan yang tak fokus.Haikal merasa senang karena Zaara bisa mengenali suaranya. Pun, dia bisa melihat wajah cantik oriental gadis itu. Namun melihat kenyataan bahwa gadis baik hati itu buta membuat hatinya merasa getir.
“Kamu bertanya padaku?” ucap Haikal berpura-pura menjadi orang lain.
“Euh! Kamu Mas yang tertusuk itu ‘kan?”
Zaara menjadi tak yakin.“Kamu sembarangan kalau bicara,”
“Maaf, aku kira kamu pemuda yang terluka itu,” ucap Zaara.
Haikal mengubah intonasi bicaranya, untuk mengelabui Zaara agar tidak dikenali.
“Pemuda siapa?” tanyanya lagi.
“Um, sebulan yang lalu, aku pergi ke jembatan merah setelah pulang dari masjid, aku menemukan Mas itu terluka. Lalu aku membawanya ke rumah sakit,”
“Terus?”
“Ya, aku khawatir, aku takut dia tidak selamat. Sayang, aku tidak bisa melihatnya lagi. Um, maksudku bertemu dengannya lagi,” ucap Zaara melemah.
“Kenapa kamu khawatir padanya? Bukankah dia orang asing?”
“Euh! Aku … hanya khawatir saja, soalnya aku tinggalkan dia di IGD, keluarganya belum datang,”
“Apa dia ganteng?” goda lelaki itu.
“Um, ganteng sih,” jawab Zaara keceplosan.
‘Hah? Ganteng! Darimana dia tahu jika Haikal gantengnya gak ketulungan,’
Zaara merasa pemuda itu ialah pemuda yang dia tolong. Dia mendecak sebal. Lalu dia mendekati pemuda itu. Tangannya terulur berusaha meraba wajahnya. Sementara lelaki itu terdiam saat Zaara menyentuh wajahnya, berusaha mengenalinya. Haikal malah fokus pada wajah lugu Zaara dan manik mata yang begitu indah dengan dihiasi bulu mata yang lentik.
“Ka-mu! Aku tahu itu kamu!” ucap Zaara menurunkan tangannya.
“Ya, benar! Ini aku!” kata lelaki itu pasrah. Sandiwaranya terbongkar juga. “Kamu telah berbuat senonoh pada wajahku,” geramnya. Seolah dia merasa marah sekaligus jijik saat tangan Zaara menyentuh wajahnya. Padahal dalam lubuk hatinya dia merasakan sesuatu yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Sesuatu itu tidak dipahaminya. Barangkali reaksi biologis yang wajar saat bersentuhan dengan lawan jenis.
“Ah, maaf, habisnya dengan meraba aku jadi tahu rupamu,” ucap Zaara dengan terkekeh. “Kamu juga sudah mengelabuiku,”
“Aku ganteng ‘kan?” kata lelaki itu dengan penuh percaya diri. Dia menyugar rambutnya yang sedikit ikal.
“Mas bisa aja,”
Zaara tertawa kecil sehingga terlihat manis. “Alhamdulillah Mas udah sehat,”“Ya, begitulah,” katanya acuh-acuh tak acuh.
“Mas lagi ngapain di sini?”
“Um, aku gak sengaja aja lewat, lihat kamu di sini. Kebetulan aku ingin ngasih sesuatu buat kamu sebagai ucapan terima kasih,”
Haikal berdusta lagi untuk ke sekian kalinya. Fakta sebenarnya dia sudah lama mencari Zaara bukan sebuah ketidak sengajaan.“Euh? Aku ikhlas kok beneran!”
Zaara mengibaskan tangannya beberapa kali.“Ini dari ibuku,”
Lelaki itu menyerahkan sebuah amplop berwarna putih yang berisi segepok uang. Dia menaruhnya di tangan Zaara hingga membuatnya terkejut. “Ibuku bilang terima kasih karena sudah menolongku,”“Maaf, ini apa?” tekan Zaara. Sesungguhnya dia tahu jika amplop itu pasti berisi uang.
“Itu sejumlah uang karena kamu sudah menolongku! Apa kamu juga tuli selain buta?”
Kata-kata lelaki itu sungguh di luar dugaan. Kasar dan menghina. Dia tidak pandai memfilter kata-kata yang keluar dari pita suaranya.“Em, dengar Mas! Apa Mas juga tuli? Barusaja aku bilang aku ikhlas nolongin. Siapapun pasti akan melakukan hal yang sama saat melihat orang butuh pertolongan,” ucap Zaara tak mau kalah.
“Maksudmu kurang?”
“Apa?”
Zaara berjengit kaget lalu menoleh seraya berdiri menghadapnya.“Aku tambahin kok,” ucapnya dengan mengambil amplopnya kembali dan menambah lembaran berwarna merah ke dalamnya. Lalu meraih tangan Zaara untuk mengepalkan amplop tersebut.
“Mas, apa Mas selalu menggunakan uang untuk berterima kasih?” ucap Zaara merasa tersinggung. Terlihat keningnya sedikit berkerut dengan bibir yang ditekuk.
“Hei! Biasanya orang akan senang dihadiahi uang, Ladies! Jangan sok jual mahal! Apalagi kamu buta dan cuma jualan ...” cibir Haikal tanpa perasaan bersalah.
“Jualan bunga? Yang harganya tak seberapa? Begitu maksudmu?” sembur Zaara merasa terhina.
“Aku mau pulang, Mas. Permisi,” ucap Zaara langsung meraih keranjang berisi bebungaan lalu berjalan meninggalkan lelaki itu dengan menghentakkan kakinya kesal. “Oh, ya simpan saja uangmu! Beritahu ibumu kalau aku ikhlas menolongmu malam itu,”
Haikal hanya terdiam dan membuang nafas kasar mendapat penolakan dari gadis difabel.
“What? What’s wrong? Emang ada yang salah?” gumam Haikal dengan membuang nafas kasar. Seolah apa yang dilakukannya benar. Mungkin dia berpendidikan tinggi tetapi tutur bahasanya tak sesuai sebab terbiasa mendengar teman-temannya dan sang ibu yang acapkali berkata kasar.
Haikal tak habis pikir menemukan manusia yang tidak tertarik dengan yang namanya uang.
Sementara itu Zaara marah dan merutuki dirinya sendiri saat dia mengingat pemuda yang dia tolong. Dia begitu mengkhawatirkannya tetapi pemuda tersebut malah menghina fisiknya yang difabel. Dia merasa harga dirinya jatuh sejatuhnya sebab diinjak-injak oleh lelaki tersebut.“Lelaki sialan! Pemuda brengsek! Aku kira pemuda jalanan yang berambut gondrong hatinya baik. Um, cuma penampilannya saja yang urakan. Ternyata sama saja!Semua lelaki yang mengaku punya banyak uang mau dia berpenampilan gaul atau rapi metroseksual kayak si Ray sama saja! Lelaki brengsek!”Zaara tak henti-hentinya merutuk. Lalu dia duduk di sebuah bangku kosong dekat gerobak bakso untuk istirahat.“Neng mau makan bakso?” tanya tukang bakso yang memang sudah mengenal Zaara sejak kedatangannya ke rumah Hamid dan Fatimah. Zaara dikenalkan oleh mereka sebagai anak angkatnya pada semua orang.“Iya, Mang! Bakso dengan level terpedas,” jawab Zaara dengan sedikit ketus. Dia memijit pangkal hidungnya berkali-kali. Lalu merang
Di sebuah mansion mewah berkonsep klasik-kontemporer, para pelayan cantik yang mengenakan seragam khusus menyambut kedatangan majikan mereka. Seorang butler langsung menyambut Elia Mariyam dan membawakan barang bawaannya sedangkan pelayan yang lain langsung meraih jaket wol yang dikenakan olehnya dan langsung menaruhnya dengan menggantungnya pada gantungan besi etnik.Pelayan yang lain juga segera menyambut kedatangan tuan majikannya yang tak lain Haikal sang putra semata wayang yang berjalan di belakang sang ibu. Beberapa pelayan muda seringkali berlomba agar bisa bertemu, bercengkerama dan melayani tuan muda mereka yang terlihat sangat tampan berwajah khas timur tengah. Namun Haikal tidak suka diperlakuan semacam itu.Apalagi rambut Haikal yang gondrong sedikit ikal tampak menampakkan sisi maskulin seorang lelaki macho, membuat para gadis menjerit melihatnya. Padahal Haikal tak pernah berniat menggoda para hawa dengan penampilannya yang paripurna, terkesan cowok badboy dengan setela
Haikal terlihat menarik nafas dalam.“Ya …” ucap Haikal singkat.Elia dan Edi saling menoleh kaget melihat respon Haikal. Tak percaya, Elia masih merekam memori beberapa tahun silam saat Haikal ditawari mengurus perusahaan tetapi Haikal memilih meninggalkan rumah dan berbuat sesuka hati.Haikal lantas meninggalkan meja makan tanpa suara. Dia langsung keluar mansion dan menyisir kendaraan miliknya, sebuah motor ninja yang sudah dimodifikasi. Dia pergi mengunjungi kekasihnya yang sedang marah saat ini.Di depan sebuah kantor agency model, Haikal menyesap sebatang rokok seraya menunggu kekasihnya keluar. Dia ingin memberi kejutan padanya. Yang ditunggu tak kunjung tiba. Lalu Haikal memutuskan masuk ke kantor tersebut.Beberapa pasang mata menoleh ke arahnya tanpa berkedip. Apa yang dilakukan seorang badboy rupawan di kantor tersebut?“Siapa dia?” tanya salah satu model.“Dia … bukankah dia Haikal Mahardika? Anak pengusaha tambang itu loh,”“Serius?”“Mau ngapain di sini?”Begitulah perca
Zaara dicegat oleh dua orang pemuda asing.“Apa mau kalian?” pekik Zaara panik saat menyadari kehadiran mereka.“Kamu sudah berbuat tak sopan pada ibu kami. Kamu siapa? Um, dasar gadis buta. Dengar, ibu kami warga sini sedangkan kamu hanya orang asing. Kamu jangan sok-sokan ngatur warga sini? Berani main labrak,”Salah satu pemuda itu menarik tongkat yang dipegang Zaara hingga membuat Zaara kaget.“Hei, jangan kurang ajar!”“Bagaimana Bang, kita lihat apa gadis itu bisa berjalan tanpa tongkat? Kasihan, gadis cantik tapi …”“Buta dan yatim piatu,”“Benar Bang, malang kali nasibnya,”“Diam? Atau ..”“Atau apa?” salah satu pemuda itu menjawil dagu Zaara.“Jangan kurang ajar? Atau aku akan berteriak?””“Teriak saja, memang kami takut,”“Sialan,”Zaara tidak tinggal diam, dia melepas salah satu sepatunya lalu menudingkan ke arah pemuda tadi lalu memukul-mukul asal ke berbagai arah yang akhirnya salah satu wajah pemuda itu tertimpuk cukup keras mengenai pangkal hidungnya.Lalu terdengar Zaa
"Mas!” seru Zaara sebab lawan bicaranya terdiam tiba-tiba. Padahal lawan bicaranya saat ini tengah menatap Zaara lekat. Zaara terlihat sangat cantik, berwajah oriental dan berkulit kuning langsat. Kecantikannya bertambah dengan pashmina yang dia kenakan, sebuah pashmina berwarna krem dipadupadankan dengan tunik berwarna moka serta celana flare pants putih. Dari penampilannya yang bergaya, Haikal menyimpulkan jika Zaara bukanlah gadis desa sehingga membuatnya penasaran. “Iya, aku masih di sini. Nunggu jawaban kamu,” “Jawaban apa?” “Kamu mau terima tawaranku? Lusa ibuku ulang tahun, aku ingin bunga segar mirip yang kamu kasih ke aku pas di rumah sakit. Bunga mawar putih dengan kelopak yang besar. Aku suka itu …” “Okay,” Setelah menimang-nimang Zaara akhirnya menerima tawaran Haikal. Dia memang butuh uang. Untuk sesaat dia mengenyampingkan rasa gengsinya. “Apa mau dibayar sekarang atau nanti?” tanya Haikal berhati-hati. Khawatir Zaara tersinggung. “Ada uang ada barang,” Zaara ter
Lamunan Zaara terinterupsi karena kedatangan Fatimah.“Assalamualaikum!” ucap Fatimah yang membuka sedikit pintu kamar Zaara. “Waalaikumsalam, Ibu ada apa?”Zaara buru-buru mengusap wajahnya yang basah dari air mata dan beristigfar.“Kamu sudah makan malam Nak?”“Sudah, Bu. Bagaimana keadaan Ibu sekarang?”Zaara beranjak dari kursi dekat jendela dan menghampiri Fatimah. Dia terlihat khawatir pasalnya Fatimah sedari kemarin meringkuk di kamar. Namun dia tidak berani menganggunya. Fatimah hanya keluar untuk memasak saja.“Sudah baikkan Nak,” jawab Fatimah padahal sedang tidak baik-baik saja. Keringat dingin mengucur di tubuhnya dan tekanan darahnya rendah. Dia kelelahan karena bekerja terlalu keras, memanen bunga.“Alhamdulillah baik, Bu,”Zaara mengukir senyum tatkala mendengar sang ibu dalam kondisi membaik. “Bagaimana jualanmu?” tanya Fatimah membuat Zaara membatu. Zaara tak berniat menceritakan padanya bahwa jualannya tidak laku sebab ada saingan sesama penjual bunga. Tidak hany
“Gila Bos! Gak kenal sumpah, mirip siapa ya … mirip aktor Turki,” puji Antonie dengan tertawa puas. “Jambangnya ilang juga,” katanya mengusap dagunya. Dalam hati, dia sangat iri pada Haikal yang memiliki rambut yang subur berbeda dengan dirinya yang defisit rambut padahal sudah sering memakai obat-obatan penyubur rambut. “Baiklah, misiku sudah selesai. Sekarang kita kemana?” tanya Antonie seraya kembali memanaskan mobil majikannya. “Pulang,” Antonie berbalik arah untuk mengantarkan pulang majikannya yang tak lain sahabatnya sendiri. “Ngapain belok, aku bilang pulang!” “Kan apartemen Bos ada di sana,” “Gak ke apartemen, pulang ke rumah nyokap,” “Cie … yang udah akur,” “Emang siapa yang berantem?” “Gak ada sih. Tapi kalau diem-dieman itu termasuk berantem gak ya?” “Terserah,” Haikal membuang nafas kasar. Selama perjalanan Haikal senantiasa menyapu jalan sebab dia ingin melihat sesuatu yang belakangan ini seringkali mengusik pikirannya selain Safira. “Stop!” titah Haik
Tak hanya Antonie yang terkejut dengan penampilan Haikal, Elia pun tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Haikal mengubah seluruh penampilan fisiknya. Dia berpenampilan sebagaimana penampilan seorang CEO pada umumnya dengan potongan rambut quiff haircut, sebuah model rambut pendek tetapi masih mempertahankan messy look alias sedikit berantakan bagian depan, menyesuaikan karakter Haikal.“It’s me Mom, please jangan lebay deh,” tukas Haikal mengomentari ibunya."Tante sampe cengo gitu lihat anak kesayangan jadi ganteng dan rapi klimis gitu ya. Model Cekmek yang lagi ngehits Tan. Siapa dulu dong asistennya. Asistennya juga gak kalah ganteng,” ucap Antonie membusungkan dada, berhasil membuat sepasang netra ibu dan anak mengarah padanya.“Eh, canda Bos and Tan,” ucap Antonie nyengir kuda. Dia menyugar rambut caesar hair miliknya, sebuah model rambut dipotong pendek dengan poni yang yang ditata ke arah depan dan samping mirip Jungkook.Haikal menatap Antonie dengan sorot mata yang tajam se