Share

7. Tersinggung

Zaara pasrah tidak bisa membesuk pemuda yang ditolongnya. Hanya mendengar kabar baik bahwa keluarganya sudah datang setidaknya membuat Zaara merasa lega. Apalagi mendengar pemuda itu sudah ditangani dan operasinya berjalan lancar. Dia sudah tidak memiliki urusan ataupun kepentingan dengan pemuda itu.

Namun tatkala kaki jenjangnya mengayun di langkah ke empat, Zaara teringat sesuatu. Dia sudah kadung membawa sebuket bunga untuk pemuda tersebut. Oleh karena itu, Zaara memutuskan kembali menyambangi resepsionis tadi untuk menitipkan bunga tersebut sebagai penyemangat.

“Ada apa lagi Mbak?” tanya resepsionis lelaki dengan ketus.

“Ah, aku lupa, aku hanya ingin memberinya bunga. Bisakah Mbak eh Mas memberikan ini!”

Zaara menyodorkan sebuket bunga mawar putih yang masih segar. Aromanya bisa terhidu langsung, segar dan membuat semangat yang melihatnya.

“Baiklah, ada lagi? Um, ada lagi yang mau disampaikan?”

“Enggak cukup, Mas. Oh, ya, sampaikan saja, semoga cepat sembuh,”

Lagi, Zaara tidak menyebutkan namanya.

Zaara pun tersenyum sendiri dan pulang ke TPU untuk memetik bunga melati yang ditanam di sekitar sana.

“Kasihin gak ya?” tanya resepsionis lelaki itu pada temannya yang perempuan. “Mana dia tahu ada yang nitip bunga. Aku suka bunganya soalnya, masih fresh kayak baru dipetik,”

“Kasihin dong! Kasihan. Dia jauh-jauh dateng, gak bisa jenguk pula,”

“Ish, kamu kayak gak tau aja. Ibunya itu galak, gak boleh ijinin siapa aja masuk! Bahkan sudah mewanti-wanti ke bagian perawat, dokter jaga dan kita di sini. Untung gak ada polisi yang jaga, tetapi malah diganti bodyguard yang wajahnya serem,”

“Iya, juga sih,”

“Kasihin aja ke perawat yang jaga! Paling dia yang kena omel,”

“Yup, bener,”

Resepsionis itu menyerahkan bunga itu pada perawat lelaki yang lewat. Dia perawat yang mendapat giliran mengecek kondisi pemuda yang bernama Haikal.

“Mas, ini ada titipan!” seru perawat itu setelah menengok ke kanan dan kiri. Lalu dia menyerahkan bunga segar itu pada Haikal.

“Dari siapa?”

Haikal menghidu aroma mawar itu dengan takzim. Hidungnya yang bangir tampak mengedus-endus bunga itu.

“Pokoknya gadis itu buta kata bagian resepsionis. Katanya semoga lekas sembuh. So sweet banget ya Mas! Yang buta aja naksir sama Mas, padahal gak ngelihat Mas. Apalagi yang matanya normal kayaknya jelalatan deh,”

Haikal yang jarang tersenyum, tiba-tiba tersenyum teramat manis. Dia meraih bunga itu dengan hati-hati. Merengkuhnya dalam dadanya meskipun masih berbaring dengan posisi setengah rebahan karena sudah bisa bersandar pada kepala ranjang.

“Di mana dia sekarang? Cepat suruh masuk!” titah Haikal dengan wajah yang berbinar.

“Mas, gadis itu sudah pergi,”

“Kenapa pergi?”

“Ya, kata ibu Mas, siapapun tak boleh datang ke ruangan Mas sembarangan,”

Haikal mendengus kesal.

‘Hei gadis buta! Awas saja kamu! Ninggalin aku di rumah sakit sendirian. Um, sekarang sama nenek lampir lagi,'

Setelah sembuh, Haikal mencari Zaara. Entah apa alasannya, yang pasti dia ingin bertemu dengannya dan mengucapkan terima kasih padanya. Menurut informasi yang diperoleh, gadis buta itu seringkali menjajakan bunga di sekitar TPU.

***

Suatu hari Zaara terlihat tengah duduk dengan memejamkan matanya di dekat TPU mewah yang tak jauh dari jalan. Dia tengah menikmati angin sepoi-sepoi yang berembus sekitar pohon cemara, tempat di mana dia berteduh. Tanpa sengaja Haikal menoleh ke arahnya dan terperangah ingin segera menyapa gadis itu. Sayang, dia sedang berada di mobil yang merangkak terjebak macet. Tak mungkin dia turun dan menghampirinya.

Saat kendaraan mulai berangsur lengang, Haikal berusaha memarkirkan mobilnya ke tepian. Dan berteriak menyapa gadis itu.

“Hei!”

Gadis itu keburu pergi. Haikal gagal bertemu dengannya.

Tak menyerah, dia pun datang lagi keesokan harinya. Terlihat Zaara sedang duduk di sebuah bangku panjang seraya menghitung tangkai bunga. Hari ini dia memanen bunga mawar. Haikal duduk di samping Zaara tanpa bicara sepatah kata pun. Dia mendadak gugup.

“Sedang menunggu seseorang?” tanya Zaara meskipun tidak melihat tetapi dia bisa merasakan kehadiran seseorang.

“Um, Mas mau beli bunga buat kekasih Mas atau istri? Um, atau bunga untuk berziarah? Saya juga punya bunga kantil, mawar, anggrek, sedap malam, kenanga,” tukas Zaara menawarkan barang dagangannya.

Kenapa dia bisa tahu jika orang yang duduk di sampingnya seorang lelaki dan dia memanggilnya Mas?

Dia bisa menghidu aroma parfum maskulin.

“Tidak,” jawab Haikal pada akhirnya.

Mendengar suara Haikal Zaara langsung menoleh.

“Mas sudah sehat?” tanya Zaara tersenyum ke arah Haikal. Tentu dengan pandangan yang tak fokus.

Haikal merasa senang karena Zaara bisa mengenali suaranya. Pun, dia bisa melihat wajah cantik oriental gadis itu. Namun melihat kenyataan bahwa gadis baik hati itu buta membuat hatinya merasa getir.

“Kamu bertanya padaku?” ucap Haikal berpura-pura menjadi orang lain.

“Euh! Kamu Mas yang tertusuk itu ‘kan?”

Zaara menjadi tak yakin.

“Kamu sembarangan kalau bicara,”

“Maaf, aku kira kamu pemuda yang terluka itu,” ucap Zaara.

Haikal mengubah intonasi bicaranya, untuk mengelabui Zaara agar tidak dikenali.

“Pemuda siapa?” tanyanya lagi.

“Um, sebulan yang lalu, aku pergi ke jembatan merah setelah pulang dari masjid, aku menemukan Mas itu terluka. Lalu aku membawanya ke rumah sakit,”

“Terus?”

“Ya, aku khawatir, aku takut dia tidak selamat. Sayang, aku tidak bisa melihatnya lagi. Um, maksudku bertemu dengannya lagi,” ucap Zaara melemah.

“Kenapa kamu khawatir padanya? Bukankah dia orang asing?”

“Euh! Aku … hanya khawatir saja, soalnya aku tinggalkan dia di IGD, keluarganya belum datang,”

“Apa dia ganteng?” goda lelaki itu.

“Um, ganteng sih,” jawab Zaara keceplosan.

‘Hah? Ganteng! Darimana dia tahu jika Haikal gantengnya gak ketulungan,’

Zaara merasa pemuda itu ialah pemuda yang dia tolong. Dia mendecak sebal. Lalu dia mendekati pemuda itu. Tangannya terulur berusaha meraba wajahnya. Sementara lelaki itu terdiam saat Zaara menyentuh wajahnya, berusaha mengenalinya. Haikal malah fokus pada wajah lugu Zaara dan manik mata yang begitu indah dengan dihiasi bulu mata yang lentik.

“Ka-mu! Aku tahu itu kamu!” ucap Zaara menurunkan tangannya.

“Ya, benar! Ini aku!” kata lelaki itu pasrah. Sandiwaranya terbongkar juga. “Kamu telah berbuat senonoh pada wajahku,” geramnya. Seolah dia merasa marah sekaligus jijik saat tangan Zaara menyentuh wajahnya. Padahal dalam lubuk hatinya dia merasakan sesuatu yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Sesuatu itu tidak dipahaminya. Barangkali reaksi biologis yang wajar saat bersentuhan dengan lawan jenis.

“Ah, maaf, habisnya dengan meraba aku jadi tahu rupamu,” ucap Zaara dengan terkekeh. “Kamu juga sudah mengelabuiku,”

“Aku ganteng ‘kan?” kata lelaki itu dengan penuh percaya diri. Dia menyugar rambutnya yang sedikit ikal.

“Mas bisa aja,”

Zaara tertawa kecil sehingga terlihat manis. “Alhamdulillah Mas udah sehat,”

“Ya, begitulah,” katanya acuh-acuh tak acuh.

“Mas lagi ngapain di sini?”

“Um, aku gak sengaja aja lewat, lihat kamu di sini. Kebetulan aku ingin ngasih sesuatu buat kamu sebagai ucapan terima kasih,”

Haikal berdusta lagi untuk ke sekian kalinya. Fakta sebenarnya dia sudah lama mencari Zaara bukan sebuah ketidak sengajaan.

“Euh? Aku ikhlas kok beneran!”

Zaara mengibaskan tangannya beberapa kali.

“Ini dari ibuku,”

Lelaki itu menyerahkan sebuah amplop berwarna putih yang berisi segepok uang. Dia menaruhnya di tangan Zaara hingga membuatnya terkejut. “Ibuku bilang terima kasih karena sudah menolongku,”

“Maaf, ini apa?” tekan Zaara. Sesungguhnya dia tahu jika amplop itu pasti berisi uang.

“Itu sejumlah uang karena kamu sudah menolongku! Apa kamu juga tuli selain buta?”

Kata-kata lelaki itu sungguh di luar dugaan. Kasar dan menghina. Dia tidak pandai memfilter kata-kata yang keluar dari pita suaranya.

“Em, dengar Mas! Apa Mas juga tuli? Barusaja aku bilang aku ikhlas nolongin. Siapapun pasti akan melakukan hal yang sama saat melihat orang butuh pertolongan,” ucap Zaara tak mau kalah.

“Maksudmu kurang?”

“Apa?”

Zaara berjengit kaget lalu menoleh seraya berdiri menghadapnya.

“Aku tambahin kok,” ucapnya dengan mengambil amplopnya kembali dan menambah lembaran berwarna merah ke dalamnya. Lalu meraih tangan Zaara untuk mengepalkan amplop tersebut.

“Mas, apa Mas selalu menggunakan uang untuk berterima kasih?” ucap Zaara merasa tersinggung. Terlihat keningnya sedikit berkerut dengan bibir yang ditekuk.

“Hei! Biasanya orang akan senang dihadiahi uang, Ladies! Jangan sok jual mahal! Apalagi kamu buta dan cuma jualan ...” cibir Haikal tanpa perasaan bersalah.

“Jualan bunga? Yang harganya tak seberapa? Begitu maksudmu?” sembur Zaara merasa terhina.

“Aku mau pulang, Mas. Permisi,” ucap Zaara langsung meraih keranjang berisi bebungaan lalu berjalan meninggalkan lelaki itu dengan menghentakkan kakinya kesal. “Oh, ya simpan saja uangmu! Beritahu ibumu kalau aku ikhlas menolongmu malam itu,”

Haikal hanya terdiam dan membuang nafas kasar mendapat penolakan dari gadis difabel.

“What? What’s wrong? Emang ada yang salah?” gumam Haikal dengan membuang nafas kasar. Seolah apa yang dilakukannya benar. Mungkin dia berpendidikan tinggi tetapi tutur bahasanya tak sesuai sebab terbiasa mendengar teman-temannya dan sang ibu yang acapkali berkata kasar.

Haikal tak habis pikir menemukan manusia yang tidak tertarik dengan yang namanya uang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status