Bab 6) Meminta Uang Saku
"Aku tidak mengadu, Ma. Aku hanya meminta saran Mama Filza," ralat Hanum.
"Tapi yang Mama dengar justru sebaliknya," pancing Ismah sembari terus memotong sayuran berupa kacang panjang dan labu kuning. "Dan Mama tidak suka itu. Ingat, jangan pernah kamu mengadukan apa yang terjadi di sini."
"Aku tidak mengadu. Aku hanya meminta saran, supaya aku punya kegiatan di sini. Selama ini aku hanya membantu Mama di rumah dan tidak melakukan apapun selain itu...."
"Melakukan tugasmu di rumah saja kamu tidak becus, apalagi melakukan hal yang lain." Perempuan tua itu mencibir. "Kalau kamu memang merasa bosan di rumah ini, kamu bisa ikut ke sawah bersama Fahri. Dulu sewaktu masih muda seumuran kamu, Mama juga pergi ke sawah membantu Ayah Fahri."
"Tapi seumur hidupku tidak pernah bekerja di sawah, Ma. Aku tidak yakin."
"Itu hanya karena kamu tidak terbiasa," tekan Ismah.
"Dengar ya, Hanum. Istri itu harus ikut pekerjaan suami. Semua wanita di kampung ini juga begitu. Kamu jangan aneh-aneh. Kalau suamimu petani, ya kamu harus ke sawah. Kalau kamu begini terus, apa artinya Fahri menikahimu? Tidak ada gunanya!"
"Maaf, Ma."
Hanum mengambil wadah berisi penuh sayuran dari hadapan Ismah kemudian menaruhnya ke dalam panci yang sudah berisi air. Siang ini hanya mereka berdua di dapur. Ismah terus mengulang kalimat-kalimat yang terkadang membuat Hanum merasa bosan mendengarnya. Namun wanita muda berumur 27 tahun itu hanya diam, tidak menanggapi dan berusaha untuk tidak terpengaruh. Menjaga kewarasan mentalnya jauh lebih penting dari semua itu.
Ismah baru berhenti berucap ketika mendengar suara salam dari balik pintu depan. Ya, Fahri sudah pulang dari sawah.
*****Pagi kembali menyapa. Semua penghuni rumah ini sudah berkumpul di dapur. Hanum memasak nasi goreng sosis dengan irisan telur dadar. Hanya itu yang bisa dimasaknya. Itu pun dia memasak nasi goreng dengan menggunakan bumbu instan. Hanum sengaja menggunakan bumbu instan agar takaran bumbunya pas. Dia tidak mau kali ini masakannya kembali ditolak oleh orang-orang di rumah ini.Syukurlah. Mereka terlihat lahap memakannya, bahkan Fahri sampai menambah porsi makan. Lelaki itu mengacungkan jempol yang ditanggapi Hanom dengan seiris senyum.
"Istrimu baru bisa memasak nasi goreng, Fahri. Jangan terlalu dipuji. Bumbunya aja pakai bumbu instan. Anak kecil juga bisa," gerutu Ismah. Matanya menatap tajam putranya dengan perasaan sebal dan tentunya keheranan.
Hanum yang baru bisa memasak nasi goreng saja dipuji sedemikian rupa, sementara ia, Zainab dan Mila yang jelas-jelas lebih pandai memasak tidak pernah mendapat pujian dari Fahri.
"Tidak apa-apa, Ma. Biar Hanum tambah semangat. Kalau dikritik terus masakannya, yang ada nanti dia down. Kasihan...." Lelaki itu menatap mesra wanita cantik di sisinya.
Ismah menggeleng. Dari dua orang anak lelakinya, Fahri inilah yang terlihat paling memanjakan istrinya. Entah karena dia masih pengantin baru. Namun yang jelas dulu saat Faiz baru saja menikah dengan Husna, mereka tidak seperti ini. Husna langsung diajak ke sawah dan tentu saja harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, karena sebelum menikahi Husna, Faiz sudah memiliki rumah sendiri.
Wanita tua itu tak menanggapi ucapan putranya. Dia memilih melanjutkan suapannya. 10 menit kemudian semuanya sudah selesai.
Hanum membawa semua piring dan gelas bekas pakai ke tempat pencucian piring. Sementara Fahri beranjak pergi ke depan dan bersiap untuk berangkat ke sawah.
"Mama, mana uang sakuku?" tagih Mila seraya manadahkan tangan. Gadis berumur 17 tahun itu sudah mengenakan seragam, siap untuk berangkat ke sekolah. Mila duduk di kelas 2 SMA.
Ismah berdehem seraya melirik Hanum.
"Mila, untuk sekarang ini kamu harus meminta uang saku kepada Hanum, bukan kepada Mama lagi, karena sekarang Hanum yang pegang keuangan di rumah ini," beritahu Ismah.
"Hah?!" Hanum memekik saking kagetnya.
"Aku?!" tunjuknya pada diri sendiri.
"Bukankah kamu yang memegang uang 12 juta? Seharusnya uang itu untuk Mama, kan?" Bibir Ismah menyeringai penuh kemenangan.
"Tetapi bukankah kak Fahri memberikan uang itu untukku, Ma?" Perempuan muda itu membantah.
"Iya, Fahri memang memberikan uang itu untukmu, tetapi ingat, di dalam uang itu ada juga hak adiknya yang harus ia biayai. Dia itu anak laki-laki di keluarga ini, Hanum dan kamu jangan serakah!"
Tak ingin terus berdebat, Hanum melangkah masuk ke dalam kamarnya, mengambil dompet dan mengeluarkan selembar uang berwarna biru, lalu segera melangkah keluar dari kamarnya.
"Ini uang saku buat kamu," ucap Hanum menyerahkan lembaran uang itu kepada Mila.
"Cuma segini?" Mila tersentak kaget. "Buat apaan ini? Cuma cukup buat jajan sehari. Jatah kuotaku mana?"
"Kouta?" Hanum mengerutkan keningnya.
"Iya, mungkin Fahri belum pernah bercerita padamu. Jatah kuota untuk Mila 50 ribu rupiah seminggu, belum termasuk bayar semester dan lainnya," beritahu Ismah.
Senyum wanita tua itu merekah. Dia berpikir kali ini Hanum pasti akan bersedia menyerahkan uang hasil penjualan gabah itu kepadanya, karena wanita muda itu pasti tidak mau direpotkan setiap pagi harus menyediakan uang saku untuk Mila. Diam-diam ia memuji otak tuanya yang masih cerdik ini.
Bagi Hanum, kenyataan ini di luar dugaan. Uang yang diterimanya dari Fahri hanya 12 juta, sementara Fahri tidak memiliki pekerjaan lain selain bertani. Gajinya sebagai pengajar di TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an) di kampung ini hanya cukup untuk keperluan Fahri sendiri.
Otak cerdas Hanum mulai menghitung biaya hidup mereka setahun ke depan. Wanita itu menggeleng resah.
"Ma, saudara Mila bukan hanya Kak Fahri, tetapi ada Kak Zainab, Kak Faiz, juga Diana. Aku pikir tidak layak jika Mama membebankan semua biaya hidup dan pendidikan Mila hanya kepada kak Fahri seorang," ujar Hanum hati-hati.
"Kamu mau menghalangi seorang adik meminta uang kepada kakaknya, begitu? Berdosa kamu, Hanum, karena membiarkan seorang kakak menelantarkan adiknya!" Jadi telunjuk Ismah menuding ke wajah Hanum.
"Apakah Mila merasa terlantar setelah kak Fahri menikah denganku, Ma?" Mendadak Hanum mengangkat wajahnya tanpa sadar.
"Kamu pikir saja sendiri. Setelah Fahri menikah sama kamu, dia berubah." Ismah merentangkan tangan, menatap Mila yang terlihat murung.
"Ma, untuk saat ini aku hanya mampu memberi Mila uang jajan sehari 50 ribu rupiah. Itu pun hanya berlaku selama keuangan kami masih memungkinkan. Aku yang akan membayar uang semester Mila. Lepas dari itu, urusan kuota, pakaian, tas dan yang lainnya mungkin saudaranya yang lain bisa membantu," tegas Hanum. Menuruti semua keinginan Mila, sama saja dengan membiarkan semua penghasilan suaminya dinikmati hanya oleh ibu dan adiknya, Sementara mereka pun juga memiliki rencana dan akan memerlukan dana dalam jumlah yang besar.
"Apa? Berani-beraninya kamu mengatur kami?!" Ismah dan Mila berteriak bersamaan.
"Aku hanya berterus terang dengan kemampuanku, Ma," ujar Hanum. Sedetik kemudian ia mulai menyadari satu hal.
Pantas saja kemarin ibu mertuanya tidak meneruskan niat untuk menggeledah kamarnya. Ternyata inilah rencananya mereka, yang akan mengambil uang itu sedikit demi sedikit. tidak puas dengan uang 5 juta yang sudah diberikan oleh Fahri.
Hanum tersenyum miring.
"Sebelum Fahri menikah denganmu, ia selalu memberikan apapun yang diminta oleh Mila. Sementara sekarang?! Bahkan dengan Mama pun dia begitu pelit. Kalau bukan kamu yang menjadi penyebab utamanya, lalu siapa lagi?" Ismah terus mengoceh.
Bab 7) Merasa Seperti Diteror"Maaf Ma," lirih Hanum."Kalau kamu memang benar-benar minta maaf sama Mama, ayo buktikan! Berikan uang yang diminta oleh Mama," desak Mila. Gadis itu mengacungkan lembaran uang berwarna biru itu ke atas."Benar kata Mila. Untuk apa kamu menyimpan uang yang seharusnya menjadi milik kami?" timpal Ismah.Wanita tua itu menghampiri Hanum, lalu mendorong tubuh itu. Hanum tak kalah gesit. Dia semgaja menangkap tangan Ismah, memegang kuat tangan itu, sehingga tubuhnya tetap tegak berdiri.Hanum menghela nafas. Berpuluh detik kemudian ia melepaskan pegangan tangannya pada Ismah. Tak ada sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Percuma saja melayani orang seperti mereka. Mereka sudah terlanjur menganggapnya sebagai istri yang serakah. Namun tidakkah lantas menyadari jikalau mereka sendiri yang serakah? Bukankah serakah namanya, jika menginginkan sesuatu yang sudah menjadi milik orang lain? Mereka menuntut hak-hak mereka sebagai ibu dan saudara di tunaikan, tapi ma
Bab 8) Memangnya Kamu Ini Siapa?"Tidak apa-apa, Kak." Hanum berusaha mengelak. Secepat kilat ia merubah ekspresi di wajahnya. Zainab, bahkan Ismah tidak boleh tahu apa yang tengah ia pikirkan.Hanum menerima sebungkus ikan sepat kering dari Zainab, lalu beranjak menuju kompor, menaruh wajan berisi minyak di atas kompor."Awas ya, Hanum. Ingat, goreng ikannya jangan seperti kemarin, harus kering," wanti-wanti Zainab.Hanum mengangguk. Tak ada suara apapun setelah itu kecuali hanya suara Zainab yang menyuruhnya ini dan itu. Sementara Ismah hanya duduk santai menyaksikan keduanya memasak.Masakan akhirnya siap satu jam kemudian. Hari kian beranjak siang. Sebenarnya masih ada waktu bagi Hanum untuk pergi ke kantor bank, tetapi ia tidak melakukan itu, lantaran tak ingin ketahuan mereka. Hanum memilih masuk ke dalam kamarnya setelah semuanya selesai.*****Sejauh mata memandang hanya hamparan berwarna hijau yang menenangkan mata. Ini adalah kawasan persawahan tempat mencari nafkah orang-or
Bab 9) Jangan Sampai Kalah"Kakak...." Suara Fahri kembali tertahan."Benar sekali kata Zainab, Fahri. Kamu ini bagaimana sih? Kamu itu jadi suami, jangan sampai kalah sama istri. Kenapa sekarang Hanum yang mengaturmu, bukan kamu yang mengatur Hanum?""Ma, kami tidak pernah saling mengatur...." "Kamu hanya tidak merasa, karena terlalu menyayangi istrimu. Sadarlah, Fahri. Sadar!" pekik Ismah benar-benar gemas dengan sikap putranya yang terlihat lemah dihadapan sang istri."Aku sadar dan mengerti apa yang kau ucapkan, Ma." Ucapan Fahri seketika terjeda saat sebilah jari telunjuk menempel di bibirnya. Sebelah tangan Hanum yang menggamit lengannya memberi kode untuk tidak melayani kedua perempuan itu.Keduanya berjalan beriringan menuju kamar, meskipun Ismah dan Zainab berteriak memanggilnya."Kenapa kamu ngomong seperti itu pada mereka, Sayang?" sesal Fahri. Mereka duduk berdua di sisi ranjang. Fahri menarik kain yang menutupi kepala istrinya membiarkan helaian hitam itu tergerai begitu
Bab 10) Cobaan KecilMendengar itu, Hanum seketika memundurkan tubuhnya. Wajahnya pucat pias.Ilmu pengasihan?"Apakah Mila sadar apa yang dia ucapkan?" gumam Hanum. Meskipun hanya sedikit yang keluarga suaminya ketahui tentang dirinya, tetapi mereka jelas tahu bahwa Hanum tumbuh dan dibesarkan di lingkungan pesantren serta tidak mungkin memiliki ilmu pengasihan. Apakah sedemikian tidak menarik dirinya, sehingga adik iparnya sendiri mengucapkan kata-kata itu? Apakah menurutnya rupa yang cantik merupakan satu-satunya faktor yang membuat seorang lelaki tertarik kepada seorang wanita kemudian menjadikannya istri?Hanum memegangi dadanya yang terasa sesak. Kini ia baru mengetahui cara berpikir adik iparnya. Pantas saja gadis itu begitu pandai memoles wajahnya. Bahkan Ismah pun tak segan memberikan uang kepada gadis itu untuk membeli aneka kosmetik agar tetap terlihat cantik, walaupun menurut Hanum itu terasa berlebihan. Make up seorang gadis berumur 17 tahun tentunya tidak sama dengan ma
Bab 11) Harga Diri Seorang IstriTak sepatah katapun terucap dari bibir Ismah. Wanita tua itu menangkap tangan Hanum, kemudian menyeretnya keluar dari kamar. "Ada apa ini, Ma? Kenapa menarikku seperti ini? Aku salah apa?" ringisnya. Hanum berusaha melepaskan tangan Ismah, tapi pegangan tangan wanita itu sangat kuat. "Kamu memang tidak bisa di beri hati, Hanum. Jangan pernah berpikir setelah kamu berjualan, maka akan bebas dari tugas di rumah ini. Kamu bukan tuan putri!" Ismah menghempaskan tangan mulus itu saat keduanya sudah sampai di dapur. Wanita tua itu menunjukkan perabotan dapur yang menumpuk di dekat pencucian piring. "Kamu cuci piring sana. Jangan enak-enakan tidur!""Ma, aku hanya ingin istirahat sebentar. Nanti aku bereskan semuanya," protes Hanum sembari membalikan tubuh. Namun tangan Ismah kembali menangkapnya, sehingga wanita muda itu tidak bisa berkutik."Kamu mau kemana, hah? Jangan berlagak seperti tuan putri di rumah mertua!" Ismah membentak."Tidak ada nanti-nant
Bab 12) Kedatangan Yasmin"Kamu beli apa, Sayang?" tanya Fahri. Lelaki itu mendekat. "Pepes ikan patin dan sayur asam," sahut Hanum sembari membuka bungkusan itu. Fahri berinisiatif mengambil mangkok, sendok, beberapa piring dan gelas kosong, lalu menyerahkannya kepada istrinya."Mari kita makan, Sayang. Aku sudah lapar.""Tentu." Hanum mengambil nasi dari magic jar, menata semua hidangan di depan mereka. Tak lupa menuang tiga gelas air."Ayo, Ma. Kita makan," ajak Fahri saat sang ibunda masih setia duduk dan menatap nanar apa yang dilakukan anak dan menantunya.Ismah tidak menyahut, tetapi mengambil piring dan menyendok sayur asam. Rasa gurih dan sedikit asam muncul dari indera perasanya. Masakan ini memang enak, hanya saja hatinya masih tidak rela. Membeli masakan jadi tidak pernah ada dalam otaknya. Dulu ibu mertuanya selalu mengajarkan untuk memasak, karena dengan memasak bisa menghemat pengeluaran, apalagi mereka tinggal di kampung. Beras, ikan dan sayur semuanya tersedia. Seka
Bab 13) Gamis Pemberian Yasmin"Hanya laki-laki bodoh yang menolak menikahi perempuan kaya raya seperti Yasmin....""Jadi Mama menganggapku sebagai lelaki bodoh?" Fahri sengaja memotong ucapan sang ibunda. Dia melirik Hanum yang terlihat pucat pias. Menyadari itu, ia merangkul bahu perempuan itu, merapatkan ke tubuhnya."Dengar, Mama! Lelaki yang menikahi seorang perempuan lantaran hartanya, harga dirinya bahkan lebih rendah dari seorang gigolo. Lelaki itu pemimpin. Dia yang membiayai keluarganya bukan dia yang dibiayai oleh istrinya!""Tapi tidak seperti itu juga, Fahri....""Harus seperti itu, Ma. Tujuan Mama ingin bermenantukan Yasmin adalah untuk memanfaatkan hartanya. Hal itu yang ingin aku cegah dari Mama!""Mama hanya ingin yang terbaik untukmu, Nak.""Tapi untuk apa Mama menyesali semua yang telah terjadi? Istriku adalah Hanum. Maka terimalah Hanum sebagai menantu Mama dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Jangan pernah Mama membanding-bandingkan Hanum dengan Yasmin. Mere
Bab 14) TerpelesetTak ada lagi pembicaraan setelah itu, karena mereka sudah sampai di halaman rumah yang punya hajat. Setelah semuanya masuk ke dalam rumah, acara pun dimulai."Dari mana Fahri kenal perempuan itu?" tanya istri haji Alwi setengah berbisik kepada Ismah yang duduk di sampingnya."Saya juga tidak tahu, Bu. Tiba-tiba saja Fahri meminta kepada kami untuk melamar seorang perempuan, ya si Hanum itu," sahut Ismah sembari berbisik pula."Berarti Fahri belum mengenal jelas siapa dia?" Istri haji Alwi yang bernama Rahma itu terkejut."Entahlah, Bu. Akan tetapi yang jelas acara di sana hanya sederhana saja, cuman akad nikah doang. Makanya kami sengaja tidak bawa rombongan kemarin itu. Lagi pula rumah Hanum di sana kecil, mana muat kalau bawa rombongan banyak-banyak?" jelas Ismah. "Ah, yang serius, Bu?" Rahma perempuan setengah baya itu melirik Hanum yang tengah asyik mengobrol dengan Yasmin. Sejak pertama menyambut kedatangan Hanum, netra liarnya sudah memindai penampilan wanita