Bab 5) Mempertahankan Hak
"Maaf, bukan begitu maksudku, Ma." Suara Hanum terbata-bata. Pandangannya tertuju ke bawah, menatap sepasang kakinya yang gemetar.Wibawa Ismah memang membuat nyalinya ciut. Aura yang keluar dari tubuh dan suaranya penuh penekanan. Namun jika wanita tua itu akan merampas haknya, bukankah sudah seharusnya ia mempertahankan?
Hanum masih tetap berdiri di depan lemari, melindungi lemari pakaian miliknya. Sementara kaki Ismah terus melangkah mendekat sehingga akhirnya tubuh mereka berdempetan.
"Apa yang ingin Mama lakukan?" Hanum berusaha menahan tubuh sekuatnya saat tangan wanita itu mendorong bahunya memaksanya untuk menjauh dari lemari.
"Sekali lagi Mama minta, serahkan uang itu! Kalau tidak, Mama akan memaksa mengambilnya. Kamu menyimpannya di dalam lemari ini, kan?"
"Ma, kalau Mama memaksa ingin mengambil uang itu, maka aku akan berteriak sekarang!" gertak Hanum.
"Oh, ya? Kalau begitu lakukan saja! Kamu pikir orang-orang di sekitar ini lebih percaya sama kamu, begitu? Mama akan katakan bahwa kamu yang mencuri uang Mama! Ya, benar. Kamu memang sudah mencuri uang Fahri yang seharusnya di berikan untuk Mama!" Mata liarnya kembali menatap Hanum. Kini Ismah sudah berhasil menyingkirkan tubuh Hanum dari depan lemari.
Hanum meringis, merasakan punggungnya yang sakit lantaran tubuhnya didorong paksa hingga membentur lantai kayu yang keras. Meskipun sudah tua, tetapi tenaga Ismah masih kuat. Mungkin karena wanita itu terbiasa bekerja di sawah pada saat ia masih muda.
"Berikan kuncinya kepada Mama!" perintah Ismah. Wanita tua itu memekik mendapati lemari yang ternyata terkunci.
Hanum bangkit dari tempat duduk, mundur beberapa langkah dan akhirnya duduk di tepi ranjang. "Aku tidak akan memberikannya kepada Mama."
"Kamu benar-benar menantu durhaka!" pekik Ismah lagi.
"Cepat berikan kunci lemari itu, sebelum Mama geledah seluruh isi kamar ini!"
"Silahkan saja Mama menggeledah isi kamar ini kalau ingin aku adukan semua kelakuan Mama kepada anak Mama," tantang Hanum. Dia bangkit dan berdiri, membusungkan dadanya mendongakkan wajah menatap tajam Ismah yang mendadak terlihat salah tingkah.
"Kamu...!" Kedua bola mata perempuan itu melotot seolah ingin keluar. "Dasar menantu kurang ajar! Tukang mengadu. Siapa yang mengajarimu begitu? Orang tuamu? Pasti orang tuamu yang sudah mengajarimu. Iya, kan?"
Hanum terdiam, tak ada tanggapan sedikitpun meskipun orang tuanya disebut-sebut, sampai akhirnya Ismah memutuskan untuk meninggalkan kamar itu.
Fahri memang putranya, tetapi putra kesayangannya itu memiliki wibawa yang cukup besar di keluarga ini. Semua saudara-saudaranya tunduk kepada Fahri. Dialah orang yang paling mereka andalkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang kerap kali terjadi, bahkan boleh dikatakan Fahri adalah tokoh di kampung ini. Ismah tidak mau mengambil resiko jikalau Fahri akan berbalik marah dan membencinya lantaran ia menggeledah kamarnya hanya untuk mencari uang 12 juta yang sudah diberikan Fahri kepada Hanum.
Sembari terus melangkah menuju kamarnya, Ismah terus berpikir keras bagaimana caranya dia bisa mengambil kembali uang itu. Dia sungguh tidak rela perempuan yang baru sebulan hidup dengan putranya begitu dimanja oleh putranya, sementara dulu dia tidak pernah dimanja oleh ayah Fahri. Bahkan dia harus melakukan semua pekerjaan rumah dan juga membantunya bekerja di sawah, sampai kulit wajah dan tubuhnya berwarna coklat gelap seperti ini. Berbeda sekali dengan Hanum yang berkulit kuning langsat, bersih dan terlihat sangat terawat.
"Kalau dengan cara kasar tidak bisa, maka aku akan mengambilnya dengan cara halus." Ismah membatin. Di otak tuanya sudah terbetik sebuah rencana yang menurutnya cukup bagus.
*****"Ini tidak bisa dibiarkan," gumam Hanum. Sembari meringis, ia tetap melangkah untuk mengunci pintu kamarnya, kemudian membuka kembali lemari yang kuncinya sempat ia sembunyikan di salah satu saku baju-baju Fahri yang tergantung di salah satu sudut kamar.Sungguh tak bisa ia bayangkan seandainya Ismah menemukan benda itu. Entah apa yang akan terjadi.
Bukan semata soal uang 12 juta, tetapi barang-barang penting dan berharga miliknya. Hanum tidak bisa membayangkan bagaimana tanggapan ibu mertuanya saat menemukan benda-benda itu.
Hanum menarik nafasnya kuat-kuat. Masih segar di ingatannya peristiwa tadi malam.
"Mama harus tahu hal ini, tidak bisa tidak."
Tangan Hanum gemetaran, memegang ponsel, mendial nomor ibunya, Filza.
"Kamu mau usaha apa, Sayang? Memangnya uang yang Papamu kirimkan tidak cukup? Apakah Fahri meminta uangmu?" Begitu reaksi Filza saat panggilannya tersambung dan Hanum menceritakan masalahnya.
"Ini tidak ada hubungannya dengan kak Fahri, Ma. Kak Fahri tetap menafkahiku meskipun ia tahu aku tidak membutuhkan itu...."
"Syukurlah." Ada kelegaan terpancar dari nada suaranya. "Terus apa rencanamu selanjutnya, Sayang?"
"Mama ada masukan?" Hanum balik bertanya.
"Hmmm...." Wanita setengah baya itu berdehem.
"Kamu bisa bikin kue kering putri sembunyi atau keripik bawang, kan? Bikin aja cemilan itu, titip ke warung-warung atau toko. Kamu hanya ingin memiliki kegiatan untuk mengisi waktu luangmu, kan? Bukan benar-benar ingin bisnis?" saran Filza. Dia teringat adiknya, Firda yang juga memiliki usaha serupa.
"Kalau prospeknya menguntungkan sih, bisa jadi kerja profesional. Apalagi kalau omsetnya lumayan seperti punya tante Firda." Perempuan itu tertawa.
"Dasar kamu ya." Filza pun turut tertawa.
Pembicaraan dengan ibunya hanya berlangsung sekitar 10 menit. Namun Hanum merasa sangat terhibur. Apalagi setelah mendengar masukan dari ibunya. Kini sudah saatnya dia mulai menunjukkan eksistensinya, tanpa harus berkoar-koar kepada semua orang tentang siapa sesungguhnya Hanum Humaira Najmi.
Merasakan hatinya sedikit lebih lega, Hanum segera keluar kamar. Dia menuju kamar mandi. Ada setumpuk pakaian yang harus dicuci. Di rumah ini tidak ada mesin cuci, sehingga Hanum harus menggunakan tangannya untuk mencuci dua buah baskom besar berisi penuh pakaian. Kemarin dia memang tidak sempat mencuci karena seharian sibuk memasak untuk keperluan acara tadi malam. Alhasil, cuciannya double mirip laundry saja.
Selesai menjemur pakaian, Hanum menyapu halaman. Keringat bercucuran dari tubuhnya, membasahi gamis murahan yang ia kenakan. Sesekali ia menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya.
Sementara itu, matahari terus meninggi. Hanum bergegas kembali masuk ke dalam rumah. Masih ada lagi tugasnya, yaitu mencuci semua peralatan dapur bekas sarapan.
"Hanum, ke sini kamu!" Ismah melambaikan tangan saat Hanum menyelesaikan membasuh piring terakhirnya.
"Ya, Ma." Hanum mendekat. dia melihat ibu mertuanya tengah asyik memotong sayuran. Hanum mengambil pisau dan seikat bayam.
"Mama dengar, barusan kamu menelpon ibumu. Apa saja yang kalian bicarakan?" Ismah menatap serius wanita muda itu. Sejenak ia menghentikan pekerjaannya.
"Kamu tidak sedang mengadu lagi kepada ibumu, kan?! Ingat Hanum, jangan jadi tukang mengadu!"
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.