Bab 4) Sarapan Pagi
"Lihat nih, menantu kesayangan Mama! Sudah bangun terlambat, ujung-ujungnya aku juga yang harus mencuci semua peralatan kotor di dapur. Dasar pemalas!" cerca Mila.
"Apakah benar yang dikatakan oleh Mila itu, Hanum?" Ismah menatap tajam perempuan itu.
"Maaf, Ma. Aku bangun agak terlambat, jadi...."
"Jadi kamu membiarkan Mila mencuci semua perabotan kotor di dapur ini, begitu? Sudah numpang, pemalas pula!" Tangan Ismah melayang, mencubit keras lengan Hanum.
"Menyesal aku mengabulkan permintaan Fahri untuk memperistrimu. Rugi aku sudah mengeluarkan mahar yang mahal untukmu kalau ternyata kamu sama sekali tidak bisa diandalkan. Andaikan tahu begini, lebih baik aku memaksa Fahri untuk menerima tawaran haji Alwi untuk di jodohkan dengan keponakannya, putri haji Faisal yang bos batubara itu!" Wanita tua itu menghentakkan kakinya ke lantai.
"Benar-benar sial punya menantu seperti kamu. Sudah miskin, plus tidak bisa memasak. Haduuh...."
"Sekarang panaskan semua lauk yang ada di lemari makanan dan jangan lupa, Pagi ini kamu sarapan hanya dengan lauk ikan goreng setengah matang yang kamu bikin kemarin," perintah Ismah dengan nada membentak. Dia sangat gemas melihat wanita muda itu hanya berdiri terpaku mendengar semua ocehannya
Tanpa mengiyakan ucapan ibu mertuanya, Hanum beranjak menuju lemari makanan. Dikeluarkannya sambal goreng ati, telur balado, serta tiga potong ikan gabus goreng setengah matang hasil karyanya kemarin siang.
Hanum mulai memanaskan makanan dan menggoreng ulang ikan gabus itu, sehingga akhirnya warna kuning keemasannya berubah menjadi agak kecoklatan.
Hanum menata semua makanan di lantai yang beralas karpet berbahan rotan. Lantaran tidak ada sayur sama sekali, akhirnya ia berinisiatif untuk membuat tumis kacang panjang dengan campuran jagung dan tahu yang ia temukan di kulkas.
Harum bau masakan menguar ke seisi dapur. Ismah yang melihat Hanum memasak segera mendekat, menyendok sedikit tumis kacang panjang dari piring saji.
"Makanan apa ini? Asin sekali! Kamu mau meracuni kami semua ya?" Ismah menyemburkan isi mulutnya dekat wajah Hanum. Beberapa butir jagung dan potongan tahu mengenai wajah mulus itu.
"Asin?" Hanum terperanjat.
Hanum mengambil alih sendok dari tangan Ismah.
"Ini pas rasanya, sama sekali tidak keasinan." Hanum menggeleng. Sebenarnya sebelum masakan itu siap di sajikan, ia pun sudah merasainya terlebih dulu. Hasilnya memang pas. Hanum juga membubuhkan MSG di masakannya, karena tahu orang seisi rumah ini tidak akan pernah bisa makan masakan tanpa MSG, beda halnya dengan di rumahnya. Mama Filza biasa memasak tanpa MSG. Hanum pun juga mengurangi takaran garam di luar kebiasaan saat ia masak di rumahnya sendiri.
"Masakan asin begitu kamu bilang pas? Apa lidahmu yang keseleo?" Suara Ismah kembali menggelegar.
"Maaf, Ma, kalau rasa masakanku kurang berkenan bagi Mama." Hanum mengusap pipinya yang terkena semburan sisa makanan dari mulut Ismah barusan. Dia bangkit dari tempat duduk, kemudian beranjak menuju kran di tempat cucian piring demi membasuh wajahnya.
"Ada apa sih, Ma? Pagi-pagi di dapur sudah ribut saja. Suara Mama sampai terdengar ke kamarku," tegur Fahri. Lelaki yang baru saja memasuki dapur itu melihat istrinya yang baru selesai membasuh wajahnya.
"Itu, tuh. Istrimu sekali masak langsung keasinan," gerutu Ismah.
Fahri menggeleng tak habis pikir. Dia segera menghampiri istrinya, membawanya duduk di sampingnya.
"Sudahlah, Ma. Tidak baik ribut di depan makanan. Nanti rezeki kita tidak berkah." Fahri menengahi.
Fahri mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan meletakkannya di depan Hanum. Perlakuan Fahri yang membuat mata Ismah kembali mendelik.
"Dunia sudah terbalik. Masa iya suami melayani istri? Bukankah seharusnya istri yang melayani suami?" Ismah seperti tak bosannya memprotes setiap perlakuan manis Fahri kepada Hanum.
"Tak apalah, Ma, hanya sekedar mengambilkan nasi. Itu pekerjaan yang sangat ringan. Hanum kan sudah lelah memasak, menyiapkan makan untuk kita pagi ini. Iya, kan, Sayang?"
"Dasar istri manja! Seumur-umur Mama belum pernah diperlakukan begitu oleh ayahmu."
"Kan beda lah, Ma. Orangnya saja beda," sahut Fahri santai. Dia mulai menyendok tumis kacang panjang dan sambal goreng hati. Saat mencecap makanan itu, bibir lelaki itu mengukir senyuman.
Masakan Hanum persis dengan masakan mama Filza, ibunya Hanum. Keluarga mereka memang menyukai masakan yang sedikit lebih asin, tapi tanpa menggunakan MSG. Fahri tahu itu saat tinggal di rumah Hanum selama seminggu setelah mereka menikah. Namun dia tidak mungkin menceritakan hal itu kepada Ismah di saat pagi seperti ini. Bisa-bisa wanita tua itu kembali meledak.
*****
Setelah selesai sarapan dan mencuci peralatan dapur yang kotor, Hanum beranjak pergi menuju kamarnya. Fahri sudah berangkat ke sawah beberapa saat yang lalu. Kini saatnya Hanum membaca laporan perkembangan tokonya, sebuah toko yang menjual aneka pakaian muslimah, seperti gamis, jilbab, mukena dan pernak-pernik khas muslimah lainnya. Seminggu sekali ayahnya, Rizal mengirim laporan semacam ini, sehingga dengan cara ini Hanum bisa memantau toko yang telah ia tinggalkan selama sebulan, tepatnya sejak ia mengikuti suaminya ke kampung ini.
Hanum baru saja mengambil ponsel dari dalam lemari tatkala suara Ismah kembali terdengar dari luar kamar. Buru-buru ia kembali mengunci lemari itu sebelum bergerak membuka pintu.
"Ada apa, Ma?" Hanum tak kuasa mencegah saat Ismah menerobos masuk ke dalam kamarnya.
"Cepat serahkan sisa uang hasil penjualan gabah itu. Enak saja. Sebilah pun kamu tidak pernah menanam padi di sawah. Tapi kamu tega-teganya menguasai harta anakku. Aku tidak rela!" Sepasang mata liarnya menyapu sekeliling kamar dan tatapannya berhenti di lemari yang tertutup rapat.
"Ayo cepat serahkan uang itu kepadaku, sebelum Mama sendiri yang bertindak menggeledah kamar ini." Sembari menadahkan tangan, Ismah bergerak menuju lemari.
"Ma, sudah aku tegaskan sejak tadi malam, bahwa uang itu akan aku tabung sebagai persiapan membangun rumah untuk kami berdua. Jadi tolong hargai kesepakatan di antara kami berdua, anak dan menantu Mama," tegas Hanum dengan berani. Stok kesabarannya kini sudah habis. Tidak mungkin ia membiarkan selamanya Ismah menginjak-injak harga dirinya. Sudah cukup ia bersabar selama sebulan ini.
"Kamu.... Kamu bilang apa tadi?" Ismah merasa surprise dengan keberanian Hanum barusan.
"Tolong hargai aku sebagai menantu Mama, maka aku aku pun akan berbakti kepada Mama sebagai mertuaku, tanpa harus Mama suruh atau berkoar-koar di hadapanku tentang kebaktian seorang anak dan menantu kepada orang tua dan mertuanya."
Hanum berdiri. Dia menjadikan tubuhnya sendiri sebagai tameng agar Ismah tidak bisa membuka lemari tempat ia menyimpan uang hasil penjualan gabah milik Fahri, tiga kartu ATM dan juga sekotak perhiasan yang selama sebulan ini tak pernah dipakainya.
"Apa? Apakah aku tidak salah dengar? Aku, ibu mertuamu ini harus menghargaimu?!" tunjuk Ismah pada dirinya sendiri.
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny