Bab 3) Surga Untuk Anak-anakku
Hanum mengangguk, tak bisa menyembunyikan rasa heran. Hanya karena ucapan Fahri barusan, Ismah terlihat layaknya orang kebakaran jenggot. Apa salahnya jika sepasang suami istri baru berniat untuk membangun rumah dan hidup mandiri? Bukankah sudah seharusnya begitu?
Hanum memandang suaminya, tapi sang suami hanya mengulurkan tangan, menggenggam tangannya erat.
"Untuk apa kalian membangun rumah? Rumah ini cukup besar dan penghuninya hanya ada Mama dan Mila selain kalian." Perempuan itu terlihat shock. Tak pernah terpikir di benaknya jika Fahri, putra kesayangannya ini akan tinggal terpisah darinya.
"Tidak apa-apa, Ma. Bukankah sudah seharusnya setiap orang yang berumah tangga itu harus mempunyai rumah sendiri?" ujar Hanum hati-hati.
"Benar, Ma," timpal Fahri.
"Fahri, kamu mau meninggalkan Mama ya?" bentak Ismah.
"Meninggalkan Mama?" Hanum tergagap. Mereka tidak pernah membahas soal itu. Mereka hanya berencana akan membangun rumah di atas sebidang tanah yang masih kosong. Tanah itu pun milik almarhum ayah mertuanya yang memang didedikasikan untuk anak-anaknya jika sudah berkeluarga, supaya bisa membangun rumah sendiri tanpa harus membeli tanah yang harganya tentunya semakin lama semakin mahal.
"Siapa yang meninggalkan Mama? Kami berencana untuk membangun rumah di sebelah rumah Mama kok," sahut Fahri.
"Tapi itu mubazir, Fahri. Lebih baik Mama yang mengelola uangmu seperti biasanya. Itu sebagai tanda baktimu kepada orang tua. Ingat Fahri, orang tuamu hanya tinggal Mama. Berbaktilah kepada Mama, mumpung Mama masih hidup!" Mata tua itu menatap tajam putranya.
Hanum dan Fahri kembali berpandangan. Perempuan itu mengedipkan sebelah matanya, memberi kode agar segera menyelesaikan pembicaraan ini. Mereka sudah membuat keputusan, Ismah hanya mendapat uang sebesar 5 juta dari hasil penjualan gabah tahun ini, sedangkan sisanya dipegang oleh Hanum untuk ditabung ke bank. Bukankah itu sudah final?
"Maaf, Ma, aku ke kamar duluan ya. Terima kasih atas nasehatnya," ujar Hanum seraya melepaskan genggaman tangan sang suami, kemudian bangkit dan melenggang masuk dalam kamarnya.
"Tuh, lihat sikap istrimu!" tunjuk Ismah setelah bayangan Hanum lenyap dari pandangannya.
"Memangnya ada yang salah, Ma?" Fahri balas menatap ibunya.
"Ya, jelas salah, karena dia sudah berani mengatur keuanganmu. Memangnya dia siapa? Dia baru sebulan menjadi istrimu. Seharusnya dia tunduk sama kamu dan Mama, bukan kamu yang tunduk sama dia!" Ismah mencibir.
"Kita sudah memberikan mahar yang cukup mahal untuk ukuran orang miskin seperti keluarga Hanum. Sudah seharusnya dia berbakti kepadamu sebagai suami dan Mama sebagai mertuanya. Kalau nggak gitu, rugi dong!"
"Ma, tidak boleh ngomong begitu. Keluarga Hanum bukan orang miskin seperti yang Mama kira. Mereka adalah keluarga terhormat yang lebih memilih hidup sederhana...."
"Tidak ada orang kaya yang mau bergaya hidup miskin, Fahri. Yang ada adalah orang miskin yang bergaya hidup kaya, supaya mendapatkan pengakuan bahwa mereka adalah orang kaya," ketus Ismah. Perempuan tua itu masih tak mempercayai penjelasan putranya, lantaran akad nikah Hanum dan Fahri diselenggarakan di sebuah rumah kecil yang sangat sederhana.
"Dan tidak ada di antara kami yang saling menundukkan, Ma. Aku memberikan seluruh uangku kepada Hanum karena percaya istriku bisa mengelola uang dengan baik. Dia bukan wanita boros. Ilmu agamanya pun cukup, walaupun ia tak pernah menunjukkan kelebihannya di hadapan Mama dan keluarga disini," bela Fahri.
Ismah melengos. "Kamu sudah berubah setelah punya istri. Istri lah yang sekarang menjadi prioritasmu, bukan lagi Mama."
"Mama kok kenapa ngomong begitu? Mana ada, Ma?" Fahri kembali memunguti lembaran uang yang berceceran di atas meja, lalu meletakkannya ke telapak tangan ibunya.
"Mama terima ini dulu ya. Insya Allah kalau aku ada rezeki lebih, aku akan memberi yang lebih untuk Mama. Kalau perlu aku membangun istana untuk Mama. Mama adalah surgaku, tetapi Hanum adalah surga untuk anak-anakku kelak, cucu-cucu Mama juga, kan? Pahamilah itu, Ma!"
Setelah mengucapkan kata-kata itu, lelaki muda itu bangkit dan masuk ke dalam kamar. Sekilas ia melirik ibunya yang hanya bisa terpaku, duduk sendirian sembari memandang tumpukan lembaran uang berwarna biru.
*****
Tanpa melepas jilbabnya, Hanum merebahkan tubuhnya di pembaringan. Tubuhnya benar-benar lelah, demikian juga pikirannya. Sejak pagi sampai malam, dia beraktivitas di rumah dan di dapur dan hanya bisa istirahat untuk melaksanakan shalat saja,
Seharian beraktivitas, seharian pula ia harus mendengar kata-kata pedas dari ibu mertuanya. Jujur, sebulan tinggal bersama mertua, Hanum benar-benar tidak betah. Dia memang tidak pandai memasak, tetapi dia berusaha untuk semaksimal mungkin membantu pekerjaan ibu mertuanya. Hanum menyapu lantai, membereskan rumah, mencuci piring dan lain sebagainya, kecuali satu hal, yaitu memasak.
Sebenarnya Hanum bukan benar-benar tidak bisa. Hanya saja rasa masakannya tidak sesuai dengan selera orang-orang di rumah, mungkin juga selera orang-orang di kampung ini. Lain lubuk lain ikannya, lain kampung lain juga rasa masakannya.
Perempuan itu tersenyum kecut mengingat insiden ikan setengah matang tadi siang. Akhirnya ia pula yang harus memakan ikan goreng hasil karyanya dan di lemari masih ada tersisa beberapa potong. Hanya Fahri, sang suami yang mau memakan ikan goreng itu, mungkin lantaran ingin menghargainya saja.
"Sayang, kamu menangis?" usik Fahri. Lelaki itu baru saja menutup pintu kamar mereka.
Hanum mengerjapkan mata, membalikkan badan, menghadap sang suami yang kini duduk di depan. Dia bermaksud akan bangkit. Namun tangan kokoh itu mencegahnya.
"Berbaringlah. Kamu pasti lelah setelah seharian...."
"Bukan cuma lelah tubuh, tetapi lelah hati," sela Hanum.
"Aku tahu, Sayang. Maafkan Mama. Mama memang begitu, tapi sebenarnya beliau sangat baik. Ambil positifnya saja ya."
"Aku hanya tidak habis pikir, kenapa Mama sampai segitunya menuntutku harus bisa memasak, sementara kamu kan tahu bagaimana sejarah hidupku...." Isakannya kembali terdengar.
"Tentu saja dan aku sudah tahu. Dari awal, aku memang tidak pernah berharap kepandaian memasakmu sama seperti Mama dan Kak Zainab. Kesetiaanmu mendampingiku seumur hidup sudah lebih dari cukup."
"Terima kasih." Suaranya bergetar.
"Aku paling tidak tahan melihat wanita menangis, apalagi wanita yang kucintai, istriku dan ratuku," bisiknya. Lelaki itu memiringkan tubuh hingga akhirnya tubuhnya sempurna berbaring dan mendekap tubuh wanita itu erat-erat.
"Aku tahu, kamu anak tunggal. Pasti sangat dimanja oleh kedua orang tuamu. Sebenarnya aku pun tidak tega membawamu kemari dalam keadaan kita yang belum mapan seperti ini. Namun percayalah, suatu saat kamu akan menjadi ratu di rumahmu sendiri. Bersabarlah, Sayang...."
Hanum mengangguk lemah. Fahri mengangkat sedikit kepala itu, menarik jilbab yang masih dikenakan oleh istrinya. Lelaki itu mengecup kening dan pipi wanitanya penuh cinta. Gairah lelakinya menggelegak, tapi ia tahan sekuat mungkin. Fahri tidak mau meminta jatahnya sekarang, di saat Hanum masih terpukul dengan kejadian barusan.
Akhirnya ia memilih menghabiskan waktu semalaman memeluk Hanum. Keduanya tertidur sambil berpelukan hingga subuh tiba.
*****
Langkah Hanum sedikit tergesa-gesa kali ini. Dia bangun sedikit terlambat. Waktu menunjukkan pukul 05.30 dan ia baru saja selesai melaksanakan shalat subuh. Namun langkahnya tiba-tiba tertahan saat berada di dapur. Tempat itu sudah rapi, tak ada lagi sisa-sisa peralatan masak dan makan yang kotor bekas pakai di acara tadi malam.
"Bagus ya, kelakuanmu. Bangun terlambat di rumah mertua. Enak banget kamu bisa malas-malasan, mentang-mentang disayang suami!" sindir Mila. Gadis itu baru saja selesai mencuci piring terakhir yang ada di bak tempat cuci piring.
"Maaf, Mila. Aku kelelahan, jadi tadi malam tidur nyenyak banget." Hanum beralasan. Mila tak perlu tahu jika tadi malam ia menangis dalam pelukan Fahri.
"Oh ya? Benarkah? Baru masak seharian saja kamu sudah kelelahan. Emang ya, kebiasaan dimanja orang tua di rumah!" Mata gadis itu seketika mendelik.
"Bukan begitu, Mila. Aku...." Hanum menundukkan wajahnya.
"Ada apa ini ribut-ribut?" Mendadak suara Ismah terdengar.
Bab 4) Sarapan Pagi"Lihat nih, menantu kesayangan Mama! Sudah bangun terlambat, ujung-ujungnya aku juga yang harus mencuci semua peralatan kotor di dapur. Dasar pemalas!" cerca Mila."Apakah benar yang dikatakan oleh Mila itu, Hanum?" Ismah menatap tajam perempuan itu."Maaf, Ma. Aku bangun agak terlambat, jadi....""Jadi kamu membiarkan Mila mencuci semua perabotan kotor di dapur ini, begitu? Sudah numpang, pemalas pula!" Tangan Ismah melayang, mencubit keras lengan Hanum."Menyesal aku mengabulkan permintaan Fahri untuk memperistrimu. Rugi aku sudah mengeluarkan mahar yang mahal untukmu kalau ternyata kamu sama sekali tidak bisa diandalkan. Andaikan tahu begini, lebih baik aku memaksa Fahri untuk menerima tawaran haji Alwi untuk di jodohkan dengan keponakannya, putri haji Faisal yang bos batubara itu!" Wanita tua itu menghentakkan kakinya ke lantai."Benar-benar sial punya menantu seperti kamu. Sudah miskin, plus tidak bisa memasak. Haduuh....""Sekarang panaskan semua lauk yang ad
Bab 5) Mempertahankan Hak"Maaf, bukan begitu maksudku, Ma." Suara Hanum terbata-bata. Pandangannya tertuju ke bawah, menatap sepasang kakinya yang gemetar. Wibawa Ismah memang membuat nyalinya ciut. Aura yang keluar dari tubuh dan suaranya penuh penekanan. Namun jika wanita tua itu akan merampas haknya, bukankah sudah seharusnya ia mempertahankan?Hanum masih tetap berdiri di depan lemari, melindungi lemari pakaian miliknya. Sementara kaki Ismah terus melangkah mendekat sehingga akhirnya tubuh mereka berdempetan."Apa yang ingin Mama lakukan?" Hanum berusaha menahan tubuh sekuatnya saat tangan wanita itu mendorong bahunya memaksanya untuk menjauh dari lemari."Sekali lagi Mama minta, serahkan uang itu! Kalau tidak, Mama akan memaksa mengambilnya. Kamu menyimpannya di dalam lemari ini, kan?""Ma, kalau Mama memaksa ingin mengambil uang itu, maka aku akan berteriak sekarang!" gertak Hanum."Oh, ya? Kalau begitu lakukan saja! Kamu pikir orang-orang di sekitar ini lebih percaya sama kam
Bab 6) Meminta Uang Saku"Aku tidak mengadu, Ma. Aku hanya meminta saran Mama Filza," ralat Hanum. "Tapi yang Mama dengar justru sebaliknya," pancing Ismah sembari terus memotong sayuran berupa kacang panjang dan labu kuning. "Dan Mama tidak suka itu. Ingat, jangan pernah kamu mengadukan apa yang terjadi di sini.""Aku tidak mengadu. Aku hanya meminta saran, supaya aku punya kegiatan di sini. Selama ini aku hanya membantu Mama di rumah dan tidak melakukan apapun selain itu....""Melakukan tugasmu di rumah saja kamu tidak becus, apalagi melakukan hal yang lain." Perempuan tua itu mencibir. "Kalau kamu memang merasa bosan di rumah ini, kamu bisa ikut ke sawah bersama Fahri. Dulu sewaktu masih muda seumuran kamu, Mama juga pergi ke sawah membantu Ayah Fahri.""Tapi seumur hidupku tidak pernah bekerja di sawah, Ma. Aku tidak yakin.""Itu hanya karena kamu tidak terbiasa," tekan Ismah. "Dengar ya, Hanum. Istri itu harus ikut pekerjaan suami. Semua wanita di kampung ini juga begitu. Kamu
Bab 7) Merasa Seperti Diteror"Maaf Ma," lirih Hanum."Kalau kamu memang benar-benar minta maaf sama Mama, ayo buktikan! Berikan uang yang diminta oleh Mama," desak Mila. Gadis itu mengacungkan lembaran uang berwarna biru itu ke atas."Benar kata Mila. Untuk apa kamu menyimpan uang yang seharusnya menjadi milik kami?" timpal Ismah.Wanita tua itu menghampiri Hanum, lalu mendorong tubuh itu. Hanum tak kalah gesit. Dia semgaja menangkap tangan Ismah, memegang kuat tangan itu, sehingga tubuhnya tetap tegak berdiri.Hanum menghela nafas. Berpuluh detik kemudian ia melepaskan pegangan tangannya pada Ismah. Tak ada sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Percuma saja melayani orang seperti mereka. Mereka sudah terlanjur menganggapnya sebagai istri yang serakah. Namun tidakkah lantas menyadari jikalau mereka sendiri yang serakah? Bukankah serakah namanya, jika menginginkan sesuatu yang sudah menjadi milik orang lain? Mereka menuntut hak-hak mereka sebagai ibu dan saudara di tunaikan, tapi ma
Bab 8) Memangnya Kamu Ini Siapa?"Tidak apa-apa, Kak." Hanum berusaha mengelak. Secepat kilat ia merubah ekspresi di wajahnya. Zainab, bahkan Ismah tidak boleh tahu apa yang tengah ia pikirkan.Hanum menerima sebungkus ikan sepat kering dari Zainab, lalu beranjak menuju kompor, menaruh wajan berisi minyak di atas kompor."Awas ya, Hanum. Ingat, goreng ikannya jangan seperti kemarin, harus kering," wanti-wanti Zainab.Hanum mengangguk. Tak ada suara apapun setelah itu kecuali hanya suara Zainab yang menyuruhnya ini dan itu. Sementara Ismah hanya duduk santai menyaksikan keduanya memasak.Masakan akhirnya siap satu jam kemudian. Hari kian beranjak siang. Sebenarnya masih ada waktu bagi Hanum untuk pergi ke kantor bank, tetapi ia tidak melakukan itu, lantaran tak ingin ketahuan mereka. Hanum memilih masuk ke dalam kamarnya setelah semuanya selesai.*****Sejauh mata memandang hanya hamparan berwarna hijau yang menenangkan mata. Ini adalah kawasan persawahan tempat mencari nafkah orang-or
Bab 9) Jangan Sampai Kalah"Kakak...." Suara Fahri kembali tertahan."Benar sekali kata Zainab, Fahri. Kamu ini bagaimana sih? Kamu itu jadi suami, jangan sampai kalah sama istri. Kenapa sekarang Hanum yang mengaturmu, bukan kamu yang mengatur Hanum?""Ma, kami tidak pernah saling mengatur...." "Kamu hanya tidak merasa, karena terlalu menyayangi istrimu. Sadarlah, Fahri. Sadar!" pekik Ismah benar-benar gemas dengan sikap putranya yang terlihat lemah dihadapan sang istri."Aku sadar dan mengerti apa yang kau ucapkan, Ma." Ucapan Fahri seketika terjeda saat sebilah jari telunjuk menempel di bibirnya. Sebelah tangan Hanum yang menggamit lengannya memberi kode untuk tidak melayani kedua perempuan itu.Keduanya berjalan beriringan menuju kamar, meskipun Ismah dan Zainab berteriak memanggilnya."Kenapa kamu ngomong seperti itu pada mereka, Sayang?" sesal Fahri. Mereka duduk berdua di sisi ranjang. Fahri menarik kain yang menutupi kepala istrinya membiarkan helaian hitam itu tergerai begitu
Bab 10) Cobaan KecilMendengar itu, Hanum seketika memundurkan tubuhnya. Wajahnya pucat pias.Ilmu pengasihan?"Apakah Mila sadar apa yang dia ucapkan?" gumam Hanum. Meskipun hanya sedikit yang keluarga suaminya ketahui tentang dirinya, tetapi mereka jelas tahu bahwa Hanum tumbuh dan dibesarkan di lingkungan pesantren serta tidak mungkin memiliki ilmu pengasihan. Apakah sedemikian tidak menarik dirinya, sehingga adik iparnya sendiri mengucapkan kata-kata itu? Apakah menurutnya rupa yang cantik merupakan satu-satunya faktor yang membuat seorang lelaki tertarik kepada seorang wanita kemudian menjadikannya istri?Hanum memegangi dadanya yang terasa sesak. Kini ia baru mengetahui cara berpikir adik iparnya. Pantas saja gadis itu begitu pandai memoles wajahnya. Bahkan Ismah pun tak segan memberikan uang kepada gadis itu untuk membeli aneka kosmetik agar tetap terlihat cantik, walaupun menurut Hanum itu terasa berlebihan. Make up seorang gadis berumur 17 tahun tentunya tidak sama dengan ma
Bab 11) Harga Diri Seorang IstriTak sepatah katapun terucap dari bibir Ismah. Wanita tua itu menangkap tangan Hanum, kemudian menyeretnya keluar dari kamar. "Ada apa ini, Ma? Kenapa menarikku seperti ini? Aku salah apa?" ringisnya. Hanum berusaha melepaskan tangan Ismah, tapi pegangan tangan wanita itu sangat kuat. "Kamu memang tidak bisa di beri hati, Hanum. Jangan pernah berpikir setelah kamu berjualan, maka akan bebas dari tugas di rumah ini. Kamu bukan tuan putri!" Ismah menghempaskan tangan mulus itu saat keduanya sudah sampai di dapur. Wanita tua itu menunjukkan perabotan dapur yang menumpuk di dekat pencucian piring. "Kamu cuci piring sana. Jangan enak-enakan tidur!""Ma, aku hanya ingin istirahat sebentar. Nanti aku bereskan semuanya," protes Hanum sembari membalikan tubuh. Namun tangan Ismah kembali menangkapnya, sehingga wanita muda itu tidak bisa berkutik."Kamu mau kemana, hah? Jangan berlagak seperti tuan putri di rumah mertua!" Ismah membentak."Tidak ada nanti-nant