Share

Pembalasan Buat Suami Egois
Pembalasan Buat Suami Egois
Author: Inda_mel

Keputusan sepihak Nizam

"Ra, Mas cuma mau bilang, mulai besok Ibu sama Siska tinggal bersama kita!" ucap Mas Nizam.

Kuhentikan pergerakan tanganku yang hendak mengambil nasi goreng. Kutolehkan pandangan ke arah Mas Nizam. 'Apa maksudnya bicara seperti itu?'

Kembali kutaruh piring yang semula akan kuisi dengan nasi goreng tadi.

"Lho, kamu gak jadi makan?" tanya Mas Nizam tanpa merasa bersalah.

Kutatap anak-anakku yang sedang menyantap sarapan mereka. Kembali kuarahkan pandanganku pada Mas Nizam.

"Maksud Mas apa? Ngomong kalau besok Ibu dan Siska akan tinggal di sini? Ibu, kan punya rumah sendiri?" tanyaku keheranan.

"Ya, emang Ibu punya rumah sendiri, tapi Ibu dan Siska mau tinggal di sini bersama kita."

"Dan kamu menyetujuinya tanpa bicara apa-apa sama-sama aku, Mas?!" tanyaku lagi dengan nada agak sedikit tinggi.

Anak-anakku kompak melihat ke arahku. Karena mereka memang jarang mendengar aku berbicara dengan nada tinggi, tepatnya semenjak pindah ke rumah ini.

"Kayla, Bila, kalau udah selesai langsung berangkat sekolah, ya Nak!" titahku pada kedua putriku. Mereka berdua kompak mengangguk tanda mengerti.

Kutunggu sampai mereka selesai menghabiskan sarapan. Tak berapa lama, mereka selesai sarapan. Keduanya berpamitan dan mencium tanganku serta Mas Nizam. Setelah mengantar keduanya ke depan rumah, aku segera kembali menuju ruang makan.

Mas Nizam masih terlihat berada di sana. Di hadapannya nampak piring kosong bekas sarapan tadi. Sambil membaca koran sesekali kulihat dia menyesap kopi yang kubuat.

"Mas!" panggilku seraya mendekatinya. Aku kembali duduk di meja makan.

Mas Nizam menoleh sekilas lalu kembali fokus pada koran di hadapannya.

"Mas, kita belum selesai bicara!" ucapku dengan nada kesal karena panggilanku diabaikannya.

"Mau bicara apa?" tanya Mas Nizam tanpa mengalihkan pandangannya.

"Masalah Ibu tadi! Kamu, kan tau sendiri, Mas, kita pindah ke rumah ini karena aku tidak tahan sama perlakuan Ibu dan saudaramu! Tapi, kok Ibu dan Siska malah mau tinggal di sini?!" cecarku masih dengan nada kesal.

Mas Nizam melipat koran yang dibacanya dan menaruh koran itu di sebelah piring kosong tadi. Kemudian dia kembali menghirup kopi yang masih mengepulkan asap. Mas Nizam kembali menaruh kopi ke tempat semula.

"Ya, kamu belajarlah bagaimana mengambil hati Ibu! Masak itu saja harus aku ajari!" jawab Mas Nizam.

'Astaghfirullah!' Aku mengucap dalam hati.

Enteng sekali dia ngomong seperti itu. Mati-matian aku mencoba bersabar menghadapi tingkah laku Ibu dan saudaranya selama ini. Seenaknya saja dia berucap tanpa beban.

"Lagipula ya, rumah ini aku yang bayar bulanannya, jadi suka-suka aku mau ngajak Ibu atau saudaraku ke sini! Gak perlu izin dari kamu!"

"Mas! Kamu juga jangan lupa! DP rumah ini, uang dari pemberian Ibuku. Dan kita juga sudah sering bahas ini! Kenapa kamu masih gak ngerti dan egois gini?! Kamu sendiri tau, gimana perangai Ibu dan adikmu itu! Kenapa harus menyatukan aku dan keluargamu dalam satu atap?!" cecarku. Mas Nizam diam tanpa menatapku.

"Apa alasannya tiba-tiba Ibu dan Siska mau tinggal di sini? Bukankah selama ini mereka tidak pernah menganggap aku sebagai istrimu?!"

"Rumah Ibu mau ditempati Mbak Melani. Mereka akan pindah minggu depan. Jadi karena itu, Ibu dan Siska pindah ke sini," jelas Mas Nizam.

"Kenapa mereka tidak tinggal bersama Mbak Melani? Bukankah dia anak kesayangan dan kebanggaan Ibumu?" tanyaku dengan nada mengejek.

"Suaminya gak mau! Selain itu anak-anak mereka sudah pada besar. Dan ingin punya kamar sendiri. Dan gak akan cukup kalau Ibu dan Siska dipaksain tinggal di situ!"

"Suami Mbak Melani aja bisa nolak kenapa aku tidak?!" sahutku.

"Ya … kalau suami Mbak Melani bisalah! Kamu kan tau, rumah itu sudah ditebus sertifikatnya sama suami Mbak Melani waktu Ibu menggadaikan ke Bank. Jadi itu hak milik mereka. Ibu gak bisa ngomong apa-apa."

"Apa bedanya dengan rumah ini? DP dan renovasi rumah ini semua dari Ibuku! Dan rumah ini juga atas namaku!" sahutku masih dengan nada ketus.

"Sombong kamu! Mentang-mentang rumah ini atas namamu! Pokoknya aku gak mau tau! Aku sudah bilang sama Ibu dan Siska, mereka boleh tinggal di sini! Suka atau tidak suka!"

"Aku gak akan terima! Jangan salahkan aku, kalau aku berbuat tidak sopan terhadap Ibumu dan saudarimu itu!"

"Kamu jangan main-main Mahira! Kalau sampai kamu macam-macam terhadap Ibuku, awas kamu!" ancam Mas Nizam sambil mencengkram lenganku.

"Aku gak main-main, Mas! Kamu lupa, gimana perlakuanmu terhadap Ibuku, saat beliau menginap di sini untuk berobat!" ucapku sinis.

Mas Nizam melepaskan cengkraman tangannya. Lalu kembali meminum kopi yang kelihatan sudah berkurang asapnya.

"Selalu yang kamu bahas itu! Ya wajarlah aku gak nyaman ada orang tua kamu di sini! Aku tu pingin bebas!" ujar mas Nizam tanpa beban.

Aku tersenyum tipis. 'Bebas dia bilang! Apa gak kebalik? Seharusnya aku yang ngomong kayak gitu.'

"Bebas katamu, Mas?! Emang Ibuku ngapain kamu? Ada nyuruh-nyuruh kamu anterin berobat?! Gak ada, mas! Ada minta kamu uang berobat? Gak ada, kan? Malah di sini Ibu yang belanja untuk kebutuhan sehari-hari. Hanya sebulan Mas, Ibu menumpang di sini, tapi sikapmu sungguh luar biasa!" cecarku.

Kulihat Mas Nizam menggaruk-garuk tengkuknya yang kuyakin tak gatal.

"Dan sekarang kamu dengan seenaknya ngajak Ibu dan adikmu yang manja itu tinggal di sini tanpa izin aku dulu! Kamu lupa, bagaimana mereka memperlakukan aku selama ini!? Aku yang harusnya berkata ingin bebas bukan kamu! Keluargaku gak pernah nyusahin kamu! Tapi, keluargamu selalu nyusahin aku!!" ucapku berapi-api.

"Jelas kalau Ibuku, tentu saja aku tidak keberatan. Mereka keluargaku, beda dengan keluargamu!" jawab mas Nizam.

'Ya Tuhan, otaknya dulu kurang seons kali ya! Enteng dan tanpa bersalah. Enak saja dia berucap!'

"Kamu tu emang laki-laki yang gak sadar diri ya, Mas?" ucapku tajam.

"Apa kamu bilang?! Sudah berani kamu maki suamimu sendiri?! Mas Nizam emosi.

"Aku gak maki, tapi bicara kenyataan! Kamu gak nyadar dengan ucapanmu itu!"

"Aku gak mau tau, Mahira! Ibu dan Siska akan tetap tinggal di sini! Kamu harus melayani mereka dengan sebaik-baiknya!" perintah Mas Nizam.

"Kalau kamu masih ngotot juga, aku gak akan tinggal diam. Lihat saja, apa Ibu dan adikmu akan betah tinggal bersamaku!" Aku menyeringai.

Aku gak akan mau mengalah lagi menghadapi suami egois macam Mas Nizam. Seenaknya saja dia mengizinkan Ibu dan adiknya untuk tinggal di sini, sedangkan perlakuan mereka dulu terhadapku sangat kejam.

Tidak ada andil Mas Nizam sedikitpun

sewaktu aku berniat mengambil rumah ini. Terus dia bilang dia berhak karena dia yang

membayar bulanan rumah ini. Mimpi! Untuk belanja bulanan saja kurang. Gak pernah menghitung apa sisa gajinya yang diberikan kepadaku.

Semua yang utama bagi Mas Nizam adalah Ibu dan keluarganya. Tetapi, ketika Ibu atau keluargaku yang datang, sikapnya cuek dan kelihatan tidak suka. Tentu saja Ibu dan keluargaku tidak betah berlama-lama di rumah ini. Padahal sebagian besar rumah ini semua dari uang pemberian Ibu. Mas Nizam keterlaluan. Egois dan tidak tau diri.

Bukan niatku untuk membalas dendam, tapi aku memang tidak bisa bersatu dengan keluarganya. Dari awal menikah, Ibunya memang tidak merestui. Hanya almarhum Ayah mertua saja yang lebih peduli. Sewaktu masih menumpang di rumah Ibu, semua urusan rumah tangga diserahkan kepadaku padahal aku juga bekerja. Belum lagi kata-kata kasar dan umpatan ditujukan padaku. Aku lebih tepat dipanggil babu ketimbang sebagai menantu.

Aku gak akan tinggal diam dan pasrah lagi. Ini rumahku, aku nyonya di rumah ini. Jangan harap mereka bisa memperlakukan aku seperti dulu. Cukup, sembilan tahun aku tersiksa. Belum lagi sifat Mas Nizam yang tidak pernah sedikitpun membela atau membantuku.

Entah apa yang ada dalam pikiranku, waktu itu. Bisa-bisanya aku menerima lamaran dari Mas Nizam. Padahal Ibu dan Almarhum Bapak sudah mewanti-wanti agar aku berpikir dulu. Mungkin mereka sudah ada feeling tentang Mas Nizam. Ternyata itu terbukti. Aku hanya dijadikan babu dan pelampiasan napsu saja.

Ibu, Siska. Tunggu saja kalian! Aku akan sambut kedatangan kalian. Lihat saja pembalasan manisku untuk kalian yang sudah menyakiti hati dan fisikku.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Yuni Ani
top markotop
goodnovel comment avatar
Nurazirah Abdullah
cerita yg menarik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status