Share

Kedatangan Mertua dan Ipar

Setelah sarapan, Mas Nizam langsung pergi ke kantor dengan menggunakan mobil. Dia bekerja di sebuah perusahaan farmasi sebagai staf administrasi. Gaji Mas Nizam bisa dikatakan lumayan. Empat juta tiga ratus. Belum uang lemburan. Tapi ya gitu, dia lebih mengutamakan Ibu dan adiknya.

Padahal, kalau dibilang kondisi ibunya bukanlah orang susah. Ayah mertua meninggalkan uang pensiunan. Ibu juga mempunyai usaha toko sembako yang bisa dikatakan lumayan yang terletak di pasar. Sedangkan adiknya Siska, sudah bekerja di salah satu mall sebagai kasir.

Tapi, setiap bulan Mas Nizam akan memberikan sebagian gajinya untuk ibu yaitu senilai dua juta. Uang bensin dan pegangannya satu juta. Sisanya baru dikasihkan ke aku dengan perincian uang setoran rumah satu juta, listrik dan air tiga ratus ribu. Sedangkan untuk keperluan anak dan kebutuhan dapur aku yang menanggungnya karena aku juga bekerja.

Jadi, Mas Nizam berpikiran karena dia sudah mengizinkanku bekerja jadi wajib bagiku ikut memenuhi kebutuhan rumah. Entah darimana dia bisa punya pikiran seperti itu.

Dengan kedatangan Ibu dan Siska otomatis pengeluaran akan bertambah. Belum lagi sifat mereka yang taunya cuma memerintah saja. Tapi aku tak akan membiarkan itu terjadi lagi. Kali ini aku harus tegas. Tak akan aku mengalah lagi.

Bergegas aku bereskan piring bekas sarapan tadi. Aku tak berselera makan gara-gara mendengar omongan Mas Nizam tadi. Mending aku bawa saja ke butik dan makan di sana.

Sebenarnya aku bekerja di butik milik keluargaku sendiri. Aku dipercaya mengelolanya oleh abang kandungku, Bang Rahman yang kebetulan bekerja di luar kota dan dia belum menikah. Beliau memberikan aku modal dan hasilnya akan kami bagi tiga. Untuk Ibu, aku dan abangku.

Namun selama ini, bagian abangku justru diberikannya lagi kepada Ibu dan aku. Setiap kutransfer, dikembalikannya lagi. Akhirnya, aku berinisiatif mentransfer di rekening khusus yang sewaktu-waktu jika Bang Rahman butuh, dia bisa menggunakannya.

Mas Nizam tidak pernah tau bahwa itu adalah butik milik keluargaku. Dia berpikir aku hanya sebagai karyawan gudang di butik itu disebabkan aku selalu keluar dari samping yang berdekatan dengan gudang saat dia dulu sering menjemputku pulang bekerja.

Dan aku juga tidak pernah memberitahu Mas Nizam hal sebenarnya karena baru saja menikah sifatnya yang dulu royal berubah drastis. Maka kuputuskan tidak akan pernah memberitahunya tentang pekerjaanku.

Setelah semua selesai, aku pergi ke butik dengan menggunakan motor matic yang kubeli sebelum menikah. Mas Nizam pernah berniat akan memberikan motor ini pada Siska adiknya, dengan alasan Siska lebih membutuhkan.

Aku menolak dengan tegas. Seenaknya saja dia memberikan barang hasil keringatku untuk adiknya yang tidak pernah menghargai aku.

Kadang aku tak habis pikir! Mas Nizam begitu perhatian pada Siska melebihi aku sebagai istrinya. Dia lebih mengingat ulang tahun Siska dibandingkan aku. Bahkan dia ingat membeli oleh-oleh untuk Siska dibandingkan aku dan anak-anaknya.

Sering kutanyakan kepadanya kenapa lebih perhatian pada Siska. Jawabannya malah membuatku emosi. Siska adiknya dan aku hanya istrinya yang di masa depan bisa saja jadi mantan. Saat itu aku hanya bisa mengelus dada mendengar alasannya.

Kukunci pintu dan menutup pagar. Kujalankan motor dengan kecepatan sedang. Hanya membutuhkan waktu sekitar lima belas menit aku sampai di butik.

"Pagi, Mbak," sapa Dila, asistenku di butik.

"Pagi, La," jawabku.

"Oh ya, Mbak, pesanan dari Bu Ima kemarin, udah datang. Sekarang lagi di gudang. Agak siangan mungkin packingnya karena hari ini juga packing pesanan kemarin," jelas Dila.

"Oke, diusahakan pesanan Bu Ima hari ini udah terkirim ya. Dari kemarin udah nanya-nanya sama saya!"

"Siap, Mbak," jawab Dila lagi.

Aku bergegas ke ruanganku yang terletak di lantai dua. Aku membuka pintu kemudian masuk ke dalam. Kutaruh tas dan bekal di meja kemudian duduk di kursi. Menghidupkan laptop dan mulai bekerja. Sambil sesekali aku menyuap nasi goreng sarapan tadi pagi.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sebelas. Aku bergegas turun untuk kembali ke rumah dan menyiapkan makan siang untuk anak-anakku dan Mas Nizam.

"La, Mbak pulang dulu, ya!" pamitku.

"Iya, Mbak," jawab Dila.

Aku bergegas keluar dari pintu samping kemudian memacu motor kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah, segera aku memasak makan siang. Ayam goreng bumbu, tumis capcai dan sambal bawang kesukaan anak-anak dan Mas Nizam. Semua bahan memang telah kusiapkan pagi hari. Jadi ketika aku pulang memasak, tak membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikannya.

Tak lama adzan berkumandang dari mesjid yang tak jauh dari rumah. Kulaksanakan kewajiban empat rakaat dan tak lupa berdoa untuk kebahagiaan keluargaku.

"Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari depan. Sepertinya anak-anakku sudah pulang. Mereka berdua memang bersekolah yang letaknya tak jauh dari rumah. Jadi, pergi dan pulang mereka berdua selalu berjalan kaki. Aku menjawab salam dan memerintahkan mereka untuk langsung solat.

Setelah Kayla dan Bila solat, kami makan siang terlebih dahulu. Kulirik jam di dinding, sudah pukul satu kurang lima belas menit. Biasanya jam segini, Mas Nizam sudah pulang ke rumah. 'Kemana dia? Apa ada sesuatu terjadi padanya? Bagaimana pun aku kesal padanya, dia adalah ayah dari anak-anakku,' batinku.

Terdengar deru mobil berhenti di depan rumah. Mungkin itu Mas Nizam. Kupinta anak-anak tetap melanjutkan makan siangnya.

Aku melangkah menuju depan untuk membuka pintu. Namun, alangkah terkejutnya aku, sebab Mas Nizam tidak pulang sendiri. Melainkan bersama Ibunya dan Siska. Untuk beberapa saat, aku terperangah. Suara Mas Nizam kemudian menyadarkanku.

"Ra, ini bantuin, koper Ibu dan Siska bawa masuk!" perintah Mas Nizam.

Sabar, Mahira. Sabar. Kamu harus main cantik, jangan pernah mau mengalah lagi. Aku mendekati Ibu dan mengulurkan tangan untuk menyalaminya. Namun, seperti biasa uluran tanganku tak pernah diterima. Aku sudah kebal dengan sikap Ibu. Kubiarkan saja beliau bersikap seperti itu.

Aku angkat koper Ibu dan membawanya ke dalam.

"Hei, Mbak! Kamu tuli, ya?! Itu koperku sekalian, malah satu aja yang dibawa!" tegur Siska.

Aku berbalik arah dan memandangnya.

"Kamu masih punya tangan, kan? Angkat sendiri kopermu! Aku bukan babumu!" jawabku ketus.

"Mahira! Dia ini adikku! Harusnya kamu menghormatinya!" Mas Nizam berucap dengan emosi.

"Adikmu, bukan adikku! Dia masih sehat dan normal. Jadi suruh angkat sendiri! Dan satu lagi, kamu yang harus ajari dia bagaimana menghormati tuan rumah, karena dia di sini hanya MENUMPANG!" Kutekankan kata menumpang biar dia sadar dan ingat bagaimana perilakunya saat aku masih menumpang di rumah Ibu.

"Yang sopan kalau bicara, Mahira! Dia ini adik dari suamimu!" Ibu ikut-ikutan menyudutkanku dan membela Siska.

"Cukup, Bu! Saya tidak mau berdebat! Suruh Siska angkat sendiri atau pergi dari sini!" jawabku. tegas. Setelah membalas perkataan Ibu, aku langsung masuk ke dalam rumah meninggalkan mereka bertiga.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Puri Asih
Saya baru gabung baca cerbung ini, ga ngerti dengan pola pikir alvaro, ga tegas ceritanya berkisar tentang itu2 juga alias mbulet
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status