Share

BAB 4| IBLIS TERBAIK

“Ikuti mobil itu, Pak.”

Flora berucap pelan pada supir taksi ketika melihat mobil Sakha melintasi jalan keluar restoran.

Sejak keluar dari rumah sakit setengah jam yang lalu, Flora langsung menghubungi sekretaris Sakha, Briana, untuk menanyakan keberadaan suaminya. Briana mengatakan Sakha sedang makan di sebuah restoran setelah seharian berkutat dengan dokumen dan berkas. Dan kini Flora yang telah sampai di restoran yang dimaksud Briana, melihat mobil Sakha yang tidak menuju kembali ke perusahaannya, melainkan berbelok ke arah yang berlawanan.

“Jangan sampai kehilangan jejak, Pak. Saya akan bayar lebih.”

“Siap, Mbak!” Supir taksi berseru bersemangat, semakin dalam menekan gas mobilnya.

Meskipun terpaut tiga mobil dari mobil Sakha, ditambah jalanan yang merayap, supir taksi itu benar-benar bisa diandalkan. Lima puluh menit yang mendebarkan bagi Flora, mobil Sakha terlihat berbelok ke sebuah taman hiburan. Supir taksi ikut berbelok beberapa saat setelahnya, mencoba mengambil jarak aman agar tidak terlihat seperti sedang membuntuti seseorang.

Terpaut lima puluh meter di depan sana, Sakha keluar dari mobil, berjalan memutar dan membuka pintu di sisi lain mobil. Seorang wanita berambut sepunggung muncul setelahnya, dengan senyuman lebar dan langsung menggandeng lengan Sakha dengan mesra. Demi melihat adegan itu, Flora tertawa kering, membuat supir taksi menoleh dengan raut khawatir.

“Tunggu di sini sebentar, Pak. Saya keluar dulu.”

“Eh, mau saya temani, Mbak?” Supir taksi mencoba menawarkan bantuan. Melihat keadaan kacau Flora, dia takut terjadi sesuatu yang buruk.

“Terima kasih perhatiannya, Pak. Tidak perlu. Saya akan menyelesaikannya sendiri.” Flora tersenyum tipis, kali ini dia benar-benar tersenyum. Tulus. Dia bisa merasakan kebaikan dari supir taksi itu.

Ketika kaki Flora menginjak tanah dengan pandangan yang tidak lepas dari dua orang di depan sana, seluruh kenangan bahagia bersama Sakha berputar di pikirannya seperti film lama. Kali ini, setiap kali terbayang dirinya yang tertawa, Flora merasa jauh lebih patah, seperti sedang dihina.

Lihat, kini mereka tertawa, lantas Sakha mencium pelipis wanita itu, tertawa lagi. Mereka pasti merasa dunia berpihak pada mereka, mengamini segala tindakan kotor mereka. Baik sekali takdir pada orang-orang macam itu, membiarkan mereka menari di atas luka yang menganga.

Sudut mata Flora menemukan seonggok batu seukuran dua kali telapak tangan di pinggir halaman taman hiburan. Dia segera meraih batu itu, menganggamnya erat. Matanya, wajahnya, masih tanpa ekspresi, seperti mayat yang berjalan. Dia akan membalas semuanya dengan lunas hari ini. Dua nyawa akan melayang di tangannya.

Hanya berjarak dua puluh meter lagi, tiba-tiba Flora memperlambat langkahnya, lantas benar-benar berhenti. Tatapannya berubah nanar. Lihat, tepat di depan pintu masuk, Sakha mengambil alih bayi berumur sekitar satu tahun dari seorang wanita yang memakai seragam baby sitter, menimangnya sambil tertawa sumringah bersama wanita itu.

Kali ini tak terkatakan lagi bagaimana perasaan Flora. Baru sembilan jam yang lalu dia kehilangan buah hati yang bahkan keberadaannya tidak dia ketahui sebelumnya. Anak malang itu pergi tanpa mendapatkan ucapan selamat tinggal dari ibunya. Dan kini ayahnya sedang bersenang-senang dengan anak lain, bercanda tawa di hari kematian anaknya sendiri? Coba katakan apa yang lebih memilukan daripada ini.

Ketika akhirnya Sakha bersama bayi dan wanita itu melewati pintu masuk taman hiburan, Flora tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Kakinya lemas, batu yang dipegangnya berdebum jatuh. Dia ambruk bersama batinnya yang sudah remuk.

Dalam sekejap, Flora menjadi bahan lirikan mata-mata yang ingin tahu. Dia bersimpuh dengan kepala yang tertunduk, untuk tiga detik kemudian tangisannya samar terdengar. Dari yang awalnya seperti bisikan, perlahan tangis itu berubah menjadi raungan yang menarik atensi semua orang di halaman taman hiburan. Beberapa orang menghentikan langkah mereka, melemparkan tatapan terkejut, prihatin, takut, entahlah, yang pasti mereka mengganggap Flora sudah kehilangan akal sehatnya.

Mereka semakin syok ketika dalam sekejap mata raungan Flora berubah menjadi tawa membahana. Beberapa orang dengan sigap memanggil petugas keamanan, mengabarkan bahwa ada orang gila yang mengganggu ketenangan pengunjung.

Yang tidak mereka ketahui, wanita berpenampilan kacau itu tengah mengutuk takdir, menyalahkan garis langit yang teramat beringas menghancurkan segalanya dalam sekali tepukan. Rasa sakit itu sungguh tidak bisa lagi ditahannya, dan tawa yang mengabarkan kehancuran menjadi satu-satunya cara baginya untuk meminta pertolongan.

Hari ini Flora tahu, dunianya sudah berakhir.

***

Kesiur angin malam menerbangkan rambut Flora yang acak-acakan, anak rambutnya melambai-lambai melintang di wajahnya. Rasa dingin yang menusuk tulang tidak lagi menjadi masalah bagi Flora sejak dia memutuskan untuk pergi ke rooftop sebuah hotel kenamaan. Hamparan lautan cahaya yang beratap langit gulita, berlatar musik deru kendaraan dan klakson yang tiada putus, menjadi teman bagi Flora, setidaknya membuat rooftop itu tidak terlalu sunyi. Tatapan matanya kosong, wajahnya pucat tanpa ekspresi.

Rooftop itu hanya berisikan tandon-tandon air berukuran besar, juga beberapa kursi dan meja yang sudah rusak, berkarat sana-sini. Dengan penerangan yang minim, temaram hampir di setiap jengkal karena hanya ada satu lampu penerang di pintu masuk rooftop, memungkinkan Flora bergerak lebih leluasa.

Orang-orang yang berjalan di bawah sana sama sekali tidak memiliki ide jika di salah satu rooftop bangunan pencakar langit, seseorang sedang berdiri di bibir bangunan. Selangkah saja dia menggerakkan kakinya, maka tak ayal satu nyawa akan melayang malam ini.

Tekad Flora sudah bulat: dia akan melompat dari gedung berlantai tiga puluh ini. Dia sudah mempertimbangkan segalanya, termasuk tempat untuk melakukannya.

Hotel ini merupakan milik seorang pejabat tersangka korupsi yang kini masih dalam proses mendapatkan peradilan. Meskipun berkeinginan mati, Flora ingin setidaknya sedikit berguna bagi masyarakat dengan membalas dendam terhadap pejabat korup itu. Jika terjadi peristiwa bunuh diri di sana, hotel itu kemungkinan akan kehilangan pasar jika pengelolanya tidak cekatan, syukur-syukur jika bangkrut.

Flora memejamkan mata, merapalkan salam perpisahan dalam hati, lantas cekalan tangannya pada pagar pembatas mulai mengendur. Dia akan mengakhiri segalanya malam ini.

“Bunuh diri?”

Suara bariton yang terdengar tiba-tiba itu membuat Flora terperanjat, spontan mengeratkan cekalan tangannya pada pagar pembatas rooftop. Dia menoleh ke samping kanan, menemukan seorang pria berperawakan tinggi yang melangkah perlahan dari gelap di samping tandon air. Dalam keremangan, sosok pria itu mulai kelihatan jelas ketika akhirnya dia berdiri di samping Flora, tersenyum miring sambil menyulut rokoknya dengan santai.

“Mau melakukannya bersama?” Pria itu mengabaikan tatapan terkejut Flora, dengan tenang bersandar di pagar pembatas.

“Kenapa aku harus melakukannya bersamamu?” Flora balas bertanya dengan suara parau. Dia sekilas mengamati pria itu. Polisi? Preman? Petugas keamanan? Sepertinya tidak, karena sebuah kamera menggantung di lehernya.

Pria itu mengembuskan kepul asap rokok yang dengan cepat mengabur diterpa angin malam. “Emm ... karena solidaritas sesama manusia?”

Flora bahkan tidak lagi memiliki hasrat untuk bereaksi terhadap perkataan konyol pria itu. Yang Flora tahu, pria itu gila. Mana ada orang waras yang akan santai begitu melihat orang ingin bunuh diri.

“Biar kutebak .... Hamil di luar nikah? Ah, tidak, tidak. Ada cincin di jarimu.” Pria itu menggeleng atas reaksi celetukannya sendiri. “Diselingkuhi? Aku pasti benar.” Tawa renyah terdengar, pria itu sepertinya bangga dengan tebakannya sendiri.

“Kalau ingin menghentikanku, maka lupakan.” Flora memusatkan tatapan matanya pada gedung pencakar langit yang menjulang di depannya, menampilkan LED display iklan parfum.

“Sepertinya kamu salah paham.” Pria itu melempar puntung rokok ke bawah lantas menginjaknya. “Aku sama sekali tidak berniat menghentikanmu. Yah, dunia memang memuakkan, semuanya tampak palsu. Tapi aku cuma ingin bertanya satu-dua hal. Apa yang akan kamu dapatkan setelah mati? Berharap suamimu dan selingkuhannya menyesal, meraung menangisi kematianmu?”

Flora terhenyak seketika.

“Yang ada mereka akan terbahak, menari di atas mayatmu, lalu mengeruk semua warisanmu.”

“Aku miskin.”

“Tepat sekali!”

Kali ini perkataan pria itu berhasil membuat Flora menghela napasnya, berharap pria itu segera enyah dari sana.

“Jauh lebih baik jika kamu miskin.”

Semakin ke sini Flora merasakan ucapan pria itu semakin tidak keruan dan tidak jelas. Entahlah pria itu bodoh atau apa.

“Aku dengar kebanyakan orang miskin ambisius untuk memperbaiki taraf hidupnya. Kamu rela seluruh harta suamimu jatuh ke tangan selingkuhannya sementara kamu mendekam di neraka?” Pria itu melemparkan pertanyaan sensitif dengan nada yang teramat santai. Namun karena pertanyaan itu pula sebuah kesadaran mendarat di pikiran Flora.

“Kalau aku jadi kamu, aku akan membuat mereka menangis darah, sujud di bawah kakiku dengan penyesalan yang menggerogoti kewarasan. Aku akan renggut semua yang berharga bagi mereka, merangkai skenario untuk memperlihatkan pada dunia bahwa mereka hanya seonggok sampah menjijikkan. Saat semua orang berpaling, dunia menghakimi, mereka akan meminta dibunuh daripada menjalani hidup macam itu.”

Mata Flora sepenuhnya tertuju pada pria di sampingnya. Entah apa yang terjadi, dadanya seperti membara, menguar semangat yang menggebu. Keinginan untuk hidup yang sempat sirna kini meluap menembus batas yang ada.

Balas dendam? Tidak pernah tebersit pikiran macam itu sebelumnya. Pria itu seperti iblis yang berlindung di balik topeng malaikat. Yang mengherankan, Flora amat menyukai ide itu.

“Tapi bagaimana caranya?”

Terlihat pria itu kembali mengambil sebatang rokok, menyulutnya dengan cepat. “Kamu yang paling tahu cara melakukannya. Setiap orang punya caranya sendiri untuk menantang takdir. Lakukanlah dengan keren, tunjukkan bahwa mereka telah mencari masalah dengan orang yang salah.” Dalam sekali gerakan, pria itu menegakkan badannya yang semula bersandar di pagar pembatas, lantas tanpa merasa perlu menoleh ke arah Flora, dia melangkah menuju pintu masuk rooftop. “Aku pergi.”

Flora tidak lepas menatap punggung pria itu yang mulai menjauh. Hingga ketika pria itu hampir mencapai pintu masuk, Flora berseru cukup keras. “Hei, siapa namamu?”

Tidak ada respon dari pria itu. Dia malah memutar kenop pintu, lantas mendorongnya. Namun sebelum benar-benar hilang ditelan pintu, pria itu menoleh, menjawab dengan singkat, “Kairo.”

Flora tersenyum tipis dengan tatapan yang masih terarah ke pintu. Dalam hati Flora menyimpan baik-baik nama Kairo, lengkap dengan ekspresi santai dan postur tinggi pria itu. Ada harapan baru yang hinggap di jiwa Flora, mempertahankannya untuk tetap hidup agar bisa membalas semua pengkhianatan, rasa sakit, dan kekecewaan. Flora yang lugu telah mati. Kini dalam tubuhnya bersemayam Flora sang iblis yang tidak akan ragu menebas leher musuh dengan pedang berdarahnya.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
flow_kaar
Karakter nya kairo menarik. Santai tapi tajam. Suka..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status