“Kalau kamu sudah ketemu sama Mutia di rumah Ibunya? Kenapa nggak kamu ajak sekalian kesini Saka? Bodoh banget sih jadi laki. Kamu kan suaminya. Mutia harus nurut sama kamu.” Ujar Bu Jarmi gemas mendengar penuturan putranya. Sudah gagal membawa Tiara pulang, Saka juga gagal mendapat uang dari Mutia.
“Ini semua gara-gara Sekar yang tiba-tiba muncul di depan rumah Ibunya Mutia dengan mengendarai mobil kita.”
“Jangan salahin aku terus mas. Kamu saja yang gagal membujuk istri TKI-mu itu.” Sekar yang sudah marah hendak beranjak masuk ke dalam kamar bersama Rasya.
“Tunggu dulu Sekar. Mana gaji kamu? Isi kulkas sudah habis.” Bu Jarmi menadahkan tangannya pada Sekar. Wanita itu menggelengkan kepalanya dengan wajah cemberut.
“Nggak ada Bu. Aku sudah di pecat tanpa pesangon.” Mata Bu Jarmi melotot. Wanita paruh baya itu berdiri lalu berkacak pinggang.
“Kenapa kamu bisa di pecat? Pasti kamu sudah berbuat salah ya?” Hardik Bu Jarmi keras hingga membuat Rasya kembali meanngis.
“Sekar di pecat karena mencuri uang di brankas Bu.” Jawab Saka karena Sekar justru diam.
PLAK
“IBUUUU. Kenapa nampar aku?”
“Kamu itu yang bodoh. Sudah jadi tukang bersih-bersih dapat gaji sampai satu juta di koperasi setiap bulan. Malah nyuri uang kantor.”
“Itu semua juga karena Ibu yang selalu pakai uang kiriman Mutia buat gaya-gayaan. Sudah tua juga. Nggak ingat umur.”
“SEKAR. Cukup. Jangan hina Ibuku.” Saka ikut berdiri di samping Ibunya. Bu Jarmi tersenyum penuh kemenangan.
“Nggak tau ah. Capek ngomong sama kalian.” Sekar kembali berjalan masuk ke dalam kamar.
“Ini salah kamu juga Ka. Cari istri kedua itu yang kaya raya. Biar kamu juga dapat uang selain kiriman dari Mutia. Malahan nikah sama wanita miskin seperti Mutia.” Saka memijit pelipisnya yang pusing.
“Sekarang kamu pergi ke rumah Ibunya Mutia. Ajak istri pertama kamu itu pulang kesini. Biar dia bisa ngasih gaji sekaligus uang ganti penggulingan kredit mobil. Sebagai suami kamu itu harus bisa tegas Ka. Kalau Mutia nggak mau. Seret aja dia.”
Bukannya menuruti perintah Bu Jarmi, Saka justru berjalan menuju kamarnya. “Saka, kamu kok malah masuk kedalam kamar sih?”
“Kepalaku pusing Bu. Besok aja.”
“Suruh istrimu masak. Ibu sudah lapar.”
“Ibu bilang sendiri saja.” Bu Jarmi menggeram kesal.
Drrt…
Ia mengambil ponselnya di saku daster. Ada pesan masuk dari Ana, anak bungsunya. ‘Laptopku rusak Bu. Kirim uang buat beli laptop yang baru dong.’
Kepala Bu Jarmi juga mendadak sakit membaca pesan dari Ana. Wanita paruh baya itu merebahkan dirinya di atas sofa ruang tamu. ‘Ibu lagi nggak ada uang. Pinjam punya temanmu dulu saja.’
Keesokan harinya, Mutia pergi ke bank untuk menarik saldo rekening milik Saka. Untung saja Tiara tahu password kartu ATM itu karena pernah mendengar Sekar yang meminta password di ganti dengan tanggal pernikahan mereka. Mutia ternganga melihat saldo tabungan di layar ATM.
“Empat tahun aku kirim uang sepuluh juta setiap bulannya. Di tambah tahun pertama aku mengirim semua gajiku. Masa saldonya cuma tinggal lima juta aja.” Mutia berdecak kesal. Namun, ia tetap mengambil uang berjumlah lima juta rupiah itu.
Drrtt… drtttt… drttt…
Nama Pak Dito tertera di laya ponsel Mutia yang baru ia beli pagi ini sebelum ke bank. Ia menekan tombol hijau lalu menempelkan ponselnya di telinga.
“Halo Mutia.”
“Halo Pak Dito. Apakah ada perkembangan dari pengajuan gugatan cerai saya.?” Tanya Mutia langsung.
“Iya. Surat panggilan sidang pertama akan di kirim ke rumahmu.Begitu juga dengan surat panggilan sidang untuk Saka.”
“Kalau kedua surat itu di serahkan ke rumah saya bisa nggak Pak? Biar saya sendiri yang menyerahkan surat itu pada suami saya."
“Bisa. Nanti saya telpon petugas pengadilan agama.”
“Baik Terima kasih Pak.”
Mutia lalu mengendarai motor matic miliknya sejak belum menikah dengan Saka. Ia akan pergi ke pasar untuk belanja kebutuhan dapur sekaligus membelikan pakaian untuk Ibu dan Putrinya.
***
“Alhamdulillah. Walaupun beli di pasar dulu, tetap dapat baju yang bagus untuk Tiara dan Ibu.” Mutia keluar dari dalam pasar lalu berjalan menuju kios toko emas. Ia membeli kalung, anting, gelang dan cincin untuk Ibu dan Putrinya. Mutia juga tidak lupa membelikan jam tangan mahal untuk Zaki, adiknya.
Setelah itu, Mutia pulang ke rumah Ibunya. Sudah ada petugas dari pengadilan agama yang mengantarkan surat seperti perkataan Pak Dito, pengacara yang di sewanya sejak masih bekerja di Jepang.
“Ini surat panggilan sidang untuk minggu depan Bu Mutia.” Mutia menganggukan kepalanya.
“Terima kasih Pak.” Setelah kepergian petugas pengadilan, Mutia masuk ke dalam rumah. Ia duduk di tepi tempat tidur Bu Surti yang memang di letakan di depan TV.
“Tiara sini sayang.” Tiara yang sudah cukup sehat keluar dari kamarnya.
“Ibu beli baju baru untuk kamu dan Uti.”
“Kamu kok beli banyak untuk Ibu nduk. Ibu nggak perlu baju baru. Orang jarang keluar rumah karena susah jalan.” Mutia justru menggelengkan kepalanya.
“Di dalam rumah kita tetap bisa tampil cantik Bu. Lagian baju Ibu juga banyak yang udah kusam. Zaki cerita kalau Ibu nggak mau di belikan baju baru.” Bu Surti menundukan kepalanya.
“Karena Ibu ingin Zaki menabung untuk masa depannya. Uang kiriman dari kamu masih cukup untuk makan dan menebus obat di apotek. Ibu minta maaf ya nduk. Karena Ibu, kamu sampai harus merantau keluar negeri, terpisah dari Tiara dan sampai di madu oleh Saka.” Mata Mutia sudah berkaca-kaca. Ia lalu memeluk sang Ibu.
“Sudah jadi kewajibanku dan Zaki agar Ibu bisa sembuh apapun yang terjadi.” Air mata Bu Surti ikut mengalir ke pipinya yang sudah keriput termakan usia.
“Ibu juga minta maaf karena tidak bisa melindungi Tiara.”
“Mutia tahu Bu. Zaki sudah cerita semuanya.” Tiara yang juga sudah menangis ikut memeluk Ibu dan Neneknya. Mutia mengusap air mata Ibu dan putrinya lalu melepaskan pelukan mereka.
“Ibu juga beli emas untuk Tiara dan Uti.” Mata Tiara berbinar saat Mutia mengeluarkan kotak perhiasan.
“Banyak banget perhiasannya nduk.” Seru Bu Surti takjub.
“Ibu mau pakai yang mana? Gelang, kalung, cincin atau anting?”
“Ibu pakai kalung saja. Biar nggak kelihatan. Sisanya lebih baik kamu simpan di tempat yang aman.” Mutia menganggukan kepalanya setuju.
“Kalau aku pakai anting sama cincinnya saja.”
“Iya sayang. Sini Ibu pakaikan.” Mutia melepaskan anting mainan yang di pakai putrinya. Mereka tersenyum senang karena hadiah yang di bawa Mutia.
“Kalau begitu Ibu pergi dulu ke rumah Bapak ya. Tiara tolong jaga Uti selama Ibu pergi.”
“Siap Bu.”
Jika keadaan keluarga Mutia terlihat sangat senang, berbanding terbalik dengan Bu Jarmi yang wajahnya merah padam menahan marah.
Dok… dok.. dok…
“Bangun pemalas. Sekaaar. Sekarang sudah jam sepuluh pagi.” Saka menutup telinganya dengan bantal.
“Berisik banget sih Ibu kamu mas. Cepat suruh diam.” Sekar menendang Saka hingga jatuh. Pria itu mengusap pinggangnya lalu berjalan untuk membuka pintu.
Cklek
“Ada apa sih Bu?” Kesadaran Saka yang belum sepenuhnya pulih membuat mata pria itu mengucek matanya.
“Ada apa kamu bilang? Istri kamu itu belum masak, belum bersihin rumah, belum cuci piring, belum nyuci baju. Kamu bilang ada apa?” Sentak Bu Jarmi keras.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Salam dari suara yang sangat familiar di telinga Bu Jarmi membuat wanta paruh baya itu menghentikan omelannya sejenak.
Mutia sudah berdiri di bawah bingkai pintu dengan membawa sebuah map. Saka sampai membuka mulutnya saat melhat penampilan istri pertamanya yang sangat cantik itu. Mutia memakai celana jeans yang memperlihatkan kaki jenjangnya. Dengan kaos warna biru yang melekat di badan. Rambut hitam Mutia yang panjang di ikat kuda.
“Mutia.” Saka hendak memegang tangan Mutia, tapi langsung di tepis oleh wanita itu.
“Jangan pegang tangan aku mas. Karena aku kesini cuma ingin menyerahkan surat panggilan sidang untuk kita minggu depan.”
"Bagaimana kabar kamu Bude?" Tanya Mutia ramah. Meskipun dalam hatinya sedang menyimpan bara kemarahan akibat rencana Bu Win yang ingin mencelakai sang putri. "Baik. Kamu kok bisa sampai kesini Ia? Terus kenapa saya harus bertemu dengan kamu?" Ika yang duduk di samping Bu Win hanya bisa menghela nafasnya. "Tolong jelaskan maksud kedatangan anda ke rumah ini Bu Mutia. Apapun keputusannnya akan saya katakan setelah anda menjelaskan semuanya." Mutia menganggukan kepala lalu mengeluarkan ponselnya. Jarinya menggulir layar ponsel lalu memperlihatkan isi pesan Tiara yang di kirim Tiara padanya. Termasuk foto milik Pak Yanto yang sedang berada di kantor polisi. "Sa, saya sama sekali tidak terlibat dengan rencana ini Nyonya Besar. Tolong percaya pada saya." Bukannya memberikan klarifikasi pada Mutia, Bu Win justru menjatuhkan tubuhnya ke lutut sang majikan. Derai air mata Bu Win berjatuhan di wajah tuanya. Ia tidak menyangka jika rencananya bisa ketahuan secepat ini. Dalam hatinya Bu Win
Karena teriakan si penguntit, Yani keluar dari rumah dengan tergopoh-gopoh. Untung saja Tiara sudah mencopot mukena yang baru saja dia pakai. Jadi, Yani tidak akan ikut pingsan saat melihat Tiara masih memakai mukenanya.“Ada apa Ra? Siapa yang teriak tadi?” Tiara menunjuk si penguntit yang sudah jatuh dari motor.Taira berjongkok di samping orang yang memakai seragam ojol itu. Untunglah tidak ada luka serius. Bahkan orang itu masih bisa berdiri dengan tegak. Yani segera mengambil sapu untuk berjaga-jaga. Sedangkan Tiara memegang tali yang tadi mengikat tubuhnya dengan erat.“Beraninya kamu?” Pria itu melepaskan helm yang di pakainya. Helm itu sudah di banting ke tanah hingga menimbulkan bunyi yang keras.“Sekarang Yan.” Teriak Tiara berusaha memukul pria paruh baya yang sudah menguntitnya. Sedangkan Yani memukul pria itu sambil berteriak meminta pertolongan dari warga sekitar.“Tolong ada orang jahat. Tolong kamiiii.” Teriak Yani berulang kali.Pria itu berusaha untuk meraih tubuh Ti
Jarum jam baru menunjukkan pukul dua dini hari saat Mutia masuk ke dalam mobil. Zaki ikut dengannya untuk emngantarkan Mutia menuju bandara. Sementara itu, ada saudara dekat yang menginap di rumah Zaki untuk menjaga Bu Surti. Mutia hanya membawa satu buah koper kecil. Ia menyusul ke Jakarta bukan hanya untuk mengunjungi sang putri. Tapi, juga menangkap Bu Win yang merupakan dalang dari rencana penculikan Tiara.Drttt… Suara dering ponsel dari dalam tasnya membuat Mutia mengambil hp yang ia simpan. Ada pesan masuk dari Saka. Jarinya menggeser layar ponsel untuk membuka aplikasi pesan.[Aku sudah bertanya pada Rudi. Rupanya Bu Win bekerja di rumah adik ipar majikan tempat dulu Rudi bekerja. Entah bagaimana caranya Rudi tahu. Saka juga mengirimkan foto-foto Bu Win yang tengah memasak di dapur mewah.[Datanglah ke alamat ini. Majikan Bu Win sudah tahu apa yang terjadi. Beliau hanya perlu memeriksanya. Mereka yang akan menangkap orang suruhan Bu Win.] Mutia menghela nafas lega karena suda
Pagi harinya, Tiara bangun seperti biasa. Hari ini dia ada jadwal kuliah jam sepuluh pagi. Tapi, karena kejadian kemarin, Tiara lebih memilih untuk menutup pintunya. Seakan-akan ia sudah berangkat kuliah. Pagi ini juga dia terpaksa tidak menerima pesanan jahit dari para tetangga di rumah kontrakannya. Tiara fokus menyelesaikan pesanan jahit dari dua hari sebelumnya.Setelah selesai menjahit, Tiara mengirim pesan pada Yani untuk datang ke rumahnya sebelum merkea berangkat bersama menuju kampus. Yani menyanggupi hal itu walaupun Tiara belum menjelaskan tentang kejadian tadi malam dan permintaan Mutia untuk menginap di rumah kos milik Yani.Saat ini, Tiara sedang berada di depan jendela. Memperhatikan jalan besar di depan rumah kontrakannya. Lalu lalang orang yang berjalan ataupun naik kendaraan seperti motor dan mobil. Ada banyak juga pengendara ojol yang lewat. Sayangnya Tiara tidak dapat melihat wajah mereka karena tertutup helm.“Aku sudah hafal motor dan wajahnya kemarin. Apa hari i
Kesibukan Tiara yang memulai ospek membuatnya baru pulang saat malam hari. Untunglah ospek saat ini sama sekali tidak menggunakan sistem perploncoan. Sehingga para mahasiswa baru tidak perlu membawa barang-barang aneh.Sistem ospek saat ini hanya memperkenalkan tentang lingkungan kampus, semua jenis ekskul dan mata kuliah yang di ambil. Ospek masih di laksanakan selama tiga hari.Pada malam harinya, Tiara sibuk menjahit baju dari tetangga kontrakannya. Di hari kedua ospek ini Tiara bahkan belum menggunakan uang dari sang Ibu lagi. Karena uang dari hasil menjahi sudah cukup untuk membeli bahan makanan.Pukul sembilan malam, Tiara sudag menutup rumah kontrakannya. Ia mencuci tangan dan kaki lalu masuk ke dalam kamar. Gadis itu mengirim pesan pada sang Ibu tenyang kegiatannya hari ini.(Jahitanku cukup ramai Bu. Jadi bisa buat beli bahan makanan dan jajan. Besok hari terakhir ospek di laksanakan di fakultas masing-masing.)Drrtr...Tidak membutuhkan waktu lama bagi Mutia untuk membalas p
Hari ini Mutia akhirnya pulang ke Semarang. Dua hari sebelum kegiatan ospek di mulai. Tiara mengantarkan sang Ibu ke bandara.Mutia memeluk tubuh sang putri saat pengumuman tentang keberangkatan pesawat yang akan di tumpangi Mutia menuju Semarang."Hati-hati ya nduk. Jangan lupa kirim pesan setiap hari ya. Mungkin Ibu memang sangat posesif." Tiara menggelengkan kepalanya sambil terkekeh pelan."Nggak kok Bu. Aku tahu Ibu dan Uti pasti akan khawatir karena aku tinggal sendirian. Tidak seperti saat berada di pondok pesantren. Ibu sudah mengijinkan aku untuk tinggal sendirian di rumah kontrakan saja sudah membuatku senang.""Kamu memang anak Ibu sangat baik Ra. Ya sudah Ibu pergi dulu. Assalamulaikum.""Waalaikumsalam." Mutia berjalan dengan tangan kanan yang menarik koper besar berisi pakaian kotor dan oleh-oleh untuk Bu Surti, Zaki dan yang lain di kampung halaman.Tiara menatap kepergian sang Ibu sambil tersenyum. Ia harus kembali berjauhan dengan keluarganya. Tapi, itu semua dilakuka