Share

Dua Tamparan untuk Arman

Tak lain dan tak bukan, seseorang yang baru masuk itu adalah Morgan.

Tujuh tahun mengabdi di militer membentuk Morgan menjadi sosok yang berbeda. Kini dia tampak gagah, penuh percaya diri, dan berwibawa.

Kalau saja Morgan melakukan operasi plastik pada wajahnya, mereka bertiga tak akan mengenalinya.

“Kau! Apa yang kau lakukan di sini, Menantu Sialan?!” serang Melisa.

“Kau benar-benar tidak tahu malu dan tidak tahu diri, Morgan! Setelah hal menjijikkan yang kau lakukan tujuh tahun lalu itu, masih bisa-bisanya kau menampakkan batang hidungmu lagi di hadapan kami!” sambut Joseph.

Morgan menatap kedua orang itu bergantian. Lalu dia menatap Arman.

Kemarahan terpancar jelas dari matanya, dan Arman yang merasakan itu refleks mundur selangkah.

Kemudian, Morgan menatap Agnes. Melihat istrinya dalam kondisi seperti itu, mendadak dadanya terasa sesak.

“Apa tujuanmu datang kemari, Menantu Sialan?! Tak akan kubiarkan kau mengacaukan hidup putriku lagi!” kata Melisa, dengan cepat memosisikan dirinya di samping kiri Agnes.

Joseph, sementara itu, memosisikan dirinya di samping kanan Agnes, menghalangi Morgan sehingga dia tak bisa lagi melihat wajah istrinya itu.

“Aku peringatkan kau, Morgan. Kalau kau bertingkah macam-macam, aku akan mengerahkan anak-anak buahku ke sini untuk meringkusmu dan menyeretmu keluar. Aku serius dengan apa yang kukatakan!” ucap Joseph.

Joseph kini seorang polisi dengan pangkat yang lumayan tinggi. Kerap kali, dia memerintahkan anak-anak buahnya untuk melakukan sesuatu untuknya, padahal itu sama sekali tak ada kaitannya dengan tugas utama mereka sebagai polisi.

Karena itulah, meski Morgan kini terlihat berbeda, Joseph berani mengancamnya.

“Ibu Mertua, Kakak Ipar, lama tak jumpa. Tapi aku ke sini bukan untuk bicara dengan kalian. Aku ke sini untuk menyembuhkan istriku,” kata Morgan.

Beberapa detik, tak ada yang mengatakan apa pun. Lalu Arman tertawa. Dia tertawa lepas sekali sampai-sampai kedua matanya berair.

“Kalian dengar itu, Tante, Joseph? Si Sampah ini bilang dia datang untuk menyembuhkan Agnes. Memangnya dia pikir dia siapa? Dokter? Tabib?” cibir Arman.

“Heh, Morgan, cobalah kau bercermin. Kau ini mendekam di penjara tujuh tahun. Sekarang kau sudah bebas? Oke. Tapi lantas apa? Kau pikir apa yang bisa dilakukan seorang mantan narapidana sepertimu?”

“Kau ini sampah, Morgan. Dan meski tujuh tahun telah berlalu, kau tetap sampah. Bisa-bisanya kau sesumbar mau menyembuhkan Agnes. Kalau kau tak sedang bercanda, kau pasti sudah gila!”

Begitulah Arman mencercanya. Dia mendapatkan keberaniannya setelah melihat Morgan tak bisa membalas ketika diserang Melisa dan Joseph.

Tetapi dia salah sangka. Morgan tak membalas bukan karena dia tak bisa, tapi malas. Dia tak melihat itu penting.

Namun, lain halnya dengan cercaan-cercaan Arman barusan. Orang ini dulu berkali-kali menawarkan diri untuk melamar Agnes, padahal Agnes jelas-jelas adalah istri sahnya.

Dulu mungkin Morgan lebih memilih diam atau menghindar, tapi tidak kali ini. Dia pun mendekati Arman, menatapnya dengan dingin.

“Tadi kau bilang akan menikahi Agnes, padahal dia masih istriku. Dan dari kata-katamu tadi, istriku yang berharga ini di matamu tak lebih dari sebuah barang rusak. Kau sadar dengan apa yang kau katakan itu?”

Ketika Morgan mengatakannya, suaranya terdengar berat dan menekan, membuat Arman merasa terancam.

Tapi, demi menjaga harga dirinya, dia berusaha menunjukkan kalau dia tidak takut.

“Memangnya salah apa yang kubilang itu? Separuh muka Agnes penuh dengan luka memar dan luka bakar. Ibarat barang, dia saat ini dalam kondisi rusak. Apa yang salah dari—”

Plak!

Belum juga Arman menyelesaikan kalimatnya, dia sudah terhuyung-huyung akibat terkena tamparan Morgan.

Melisa dan Joseph tercengang. Mereka tak pernah menduga Morgan akan berani menampar Arman.

“K-kau! Berani-beraninya kau menamparku! Kau tahu kan siapa ayahku? Dengan apa yang kumiliki dari ayahku, aku bisa menghancurkan hidupmu sampai kau menderita seperti di neraka!” ancam Arman.

Plak!

Satu tamparan lagi. Kali ini lebih keras daripada tadi, sehingga Arman menyemburkan darah dan dua giginya tanggal.

Melisa dan Joseph lagi-lagi tercengang. Mulut mereka terbuka lebar seakan-akan dagunya akan jatuh.

“Sekali lagi kau menghina istriku, bukan hanya gigimu yang terlempar ke lantai, tapi juga tangan dan kakimu. Kau dengar itu?” desis Morgan, berjongkok di depan Arman yang tersungkur.

Arman merasakan kengerian yang luar biasa. Saat dia menatap Morgan, dia seperti melihat sesosok malaikat kematian.

Saking ketakutannya dia, celananya sampai basah karena air kencingnya sendiri.

Morgan berdiri. Bisa saja dia menghajar Arman hingga babak belur, dan sejujurnya dia ingin melakukannya, tetapi bukan itu tujuannya datang ke rumah sakit.

Maka dia pun hanya berkata, “Jika aku jadi kau, Arman, saat ini juga aku akan keluar dari ruangan ini.”

Arman awalnya tak merespons, hanya menatap Morgan dengan ketakutan terlihat jelas di matanya.

Lalu dia bangkit dan mengambil dua giginya yang tanggal.

“A-awas kau, Morgan! Akan kubalas perbuatanmu ini nanti!” ujarnya, lalu keluar dari ruang inap itu.

Kini, Morgan kembali menatap istrinya. Ibu mertuanya dan kakak iparnya masih berjaga di posisi yang sama.

Morgan mendekat, dan kembali Joseph mengadangnya.

“Jangan macam-macam, Morgan! Kuperingatkan kau sekali lagi, aku bisa mengerahkan anak-anak buahku ke sini, dan mereka akan menyeretmu ke luar seperti menyeret anjing!” ancam Joseph.

Apakah Morgan takut? Tentu saja tidak. Bahkan kalaupun Joseph mengerahkan ratusan anak buahnya sekali pun, Morgan bisa mengatasi mereka dengan mudah.

Tetapi dia tak ingin menambah-nambah masalah. Dia juga tak ingin menghajar kakak iparnya ini seperti tadi dia menghajar Arman.

“Aku ke sini untuk menyembuhkan Agnes, dan aku akan memulainya dengan membuat Agnes siuman. Tidakkah kalian akan senang melihat Agnes siuman?” cetusnya.

Joseph mendengus.

“Omong kosong! Kau pikir kau siapa? Bahkan dokter terbaik di rumah sakit ini saja bilang kalau Agnes baru akan siuman dalam beberapa minggu. Berhentilah membual, Keparat!” hardik Joseph.

Morgan mulai kesal pada kakak iparnya ini. Dia tidak membual. Dia benar-benar bisa membuat Agnes siuman.

Selama di militer, berkat fasilitas-fasilitas dari

Jenderal Yudha, dia mempelajari ilmu medis kuno hingga tingkat paling tinggi. Dan kini, bisa dibilang, dia nyaris bisa menyembuhkan penyakit apa pun.

Membuat istrinya siuman adalah perkara mudah. Tapi dia butuh ketenangan agar dia bisa fokus pada apa yang dilakukannya.

“Bagaimana kalau kita bertaruh, Joseph? Aku akan mencoba membuat Agnes siuman, dan aku hanya butuh lima menit saja.”

Kalau aku gagal, kau boleh melakukan apa pun yang kau mau padaku. Apa pun itu.”

Tapi kalau aku berhasil, kau harus membiarkanku membawa Agnes pergi. Aku akan menyembuhkannya dan merawatnya sampai dia pulih.

Morgan mengatakan semua itu dengan tenang dan percaya diri. Hal itu justru membuat Joseph muak.

 

Tapi, di sisi lain, Joseph melihat ini sebagai peluang untuk mempermalukan Morgan dan mengusirnya.

“Kalau kau terbukti membual, kau harus meninggalkan rumah sakit ini dengan cara merangkak, dalam keadaan telanjang bulat,

dan aku akan merekamnya dengan kamera ponselku, lalu kusebarkan video itu di internet. Kau berani?” tantang Joseph.

“Tak masalah,” jawab Morgan, cepat.

Joseph memicingkan mata. “Oke, kita sepakat!” ujarnya.

Joseph pun menyingkir, memberi ruang bagi Morgan untuk maju.

“Beri aku lima menit saja. Jangan mengangguku,” kata Morgan, setelah dia berdiri di samping kiri Agnes.

Melisa tampak cemas. Dia melihat Joseph, dan Joseph mengangguk sembari menunjukkan telapak tangannya, meminta ibunya itu untuk tenang.

Dalam benaknya, Morgan benar-benar hanya sesumbar, dan itu artinya dialah yang akan memenangkan pertaruhan konyol mereka itu.

Joseph pun tersenyum meremehkan Morgan. Dia ingin tahu apa yang ingin coba dilakukan Morgan.

Morgan sendiri saat ini sedang memejamkan mata, sambil menyentuhkan telapak tangannya di dahi Agnes.

Di mata orang-orang yang melihatnya, dia hanya diam saja, padahal sebenarnya dia sedang mengalirkan energi murni kepada istrinya.

Teknik pengobatan ini adalah salah satu teknik paling kuno yang dipelajarinya selama di militer itu. Dan dia yakin, dia akan berhasil membuat istrinya siuman.

Tanpa disadari siapa pun di ruangan itu, saat ini seorang suster sedang berdiri di ambang pintu, mengamati apa yang tengah dilakukan oleh Morgan.

Si suster tampak cemas, tapi di saat yang sama penasaran.

Tadi ketika tiba di depan rumah sakit, Morgan turun dari sebuah mobil dengan motif tentara. Dan bersama mobil itu ada beberapa mobil lain, juga dengan motif yang sama.

Si suster merupakan salah satu orang yang melihat hal tersebut, sehingga dia curiga kalau Morgan sebenarnya adalah orang penting di militer.

Dan memang, dia melihat ada aura yang berbeda yang dipancarkan pria ini.

Empat menit berlalu dan

masih belum juga ada tanda-tanda sesuatu akan terjadi.

Joseph tersenyum miring. Sambil melipat kedua tangannya di dada, dia berjalan menghampiri Morgan.

“Sudahlah, Morgan. Hentikan permainan konyolmu ini. Aku tahu kau hanya membual. Tapi apa pun itu, pertaruhan tetaplah pertaruhan.”

“Kau harus memenuhi janjimu. Bersiaplah untuk merangkak keluar dari rumah sakit ini dalam keadaan telanjang bulat.”

Morgan tak merespons. Dia masih memejamkan mata, fokus pada apa yang dilakukannya.

Oh, masih mau melanjutkan permainan konyolmu ini? Ya ampun, Morgan, apa saja sih yang kau alami selama di penjara, sampai-sampai otakmu jadi rusak?

Kau sering dilecehkan napi-napi di sana, ya? sambung Joseph.

Morgan tampak terusik dengan kata-kata Joseph yang terakhir,

tapi dia tak boleh kehilangan fokus.

Tinggal sedikit lagi. Tinggal sedikit lagi dan Agnes akan siuman.

“Oh sudahlah! Muak juga aku lama-lama! Singkirkan tanganmu itu dari adikku!” bentak Joseph akhirnya, mencoba menarik tangan Morgan kuat-kuat.

Tapi anehnya, dia bahkan tak bisa membuat tangan Morgan goyah. Dan tangan Morgan terasa panas.

“Diam dan jangan menggangguku!” ucap Morgan, dingin.

Joseph terkesiap. Tiba-tiba dia merasa suhu di ruangan jadi lebih dingin.

Dan ketika dia menyadarinya, dia mendapati tangan dan kakinya gemetar.

‘A-ada apa ini? K-kenapa aku begini?’ pikir Joseph.

Dan di titik inilah, jari-jari tangan Agnes bergerak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status