Sebuah helikopter akan segera mendarat di markas besar militer Kota HK.
Angin bertiup kencang gara-gara baling-baling yang berputar, tapi ribuan tentara yang berbaris di situ mempertahankan sikap sempurna mereka sebagai prajurit.
Ini adalah momen istimewa bagi tentara-tentara itu. Mereka sedang menyambut kembalinya Sang Dewa Perang.
Morgan, Sang Dewa Perang, kembali ke kota kelahirannya itu setelah memenangkan perang yang begitu sulit di perbatasan di Utara.
Ini adalah perang kesekian yang dimenangkan olehnya dalam beberapa tahun ini, dan itu semakin menegaskan posisinya yang penting di militer.
Dan bukan hanya itu, rumor yang beredar mengatakan kalau Morgan pun terjun langsung ke barisan depan bersama para prajuritnya, dan dia bisa mengatasi ratusan tentara musuh seorang diri.
Terlepas dari rumor itu benar atau tidak, jenderal-jenderal senior di tubuh militer menaruh hormat kepadanya. Mereka melihatnya sebagai sosok ideal yang bisa memimpin institusi militer negeri ini di masa depan.
Salah satu jenderal tersebut adalah Yudha, sesosok jenderal bintang empat dengan kekayaan dan pengaruh yang luar biasa di negeri itu.
Berdiri beberapa meter membelakangi ribuan tentara itu, Yudha menantikan turunnya Morgan dari helikopter.
Setelah helikopter mendarat, sesosok pria menenakan kaus lengan pendek dan celana jeans turun.
Penampilannya sangat sederhana, kontras sekali dengan para tentara yang menyambutnya.
Tapi, dari aura yang memancar dari sosoknya, siapa pun tahu, dia adalah orang yang sangat istimewa.
“Hormat kepada Dewa Perang!” teriak Yudha, ketika Morgan berjalan ke arahnya.
Mengikuti Yudha, ribuan tentara di belakangnya itu memberikan hormat militer kepada Morgan.
Saking banyaknya jumlah mereka, pemandangan itu bisa membikin buluk kuduk orang yang menyaksikannya berdiri.
Morgan melangkah dengan tenang. Setelah cukup dekat dengan Yudha, dia berhenti dan membalas hormat mereka dengan santai.
Yudha dan ribuan tentara di belakangnya itu menurunkan tangan mereka. Hening sejenak, lalu Morgan tersenyum. Dia dan Yudha pun berpelukan sambil saling menepuk punggung.
“Selamat atas kemenanganmu di Utara, Morgan. Itu sungguh luar biasa. Memang hanya kau yang bisa memimpin pasukan untuk memenangkan perang yang sulit itu,” kata Yudha.
“Terima kasih,” balas Morgan, singkat.
Meski tidak lewat kata-kata, Morgan menunjukkan rasa hormatnya yang tinggi kepada Yudha lewat sorot mata dan sikap tubuhnya. Dia memang berutang budi kepada Yudha.
Tujuh tahun yang lalu, Morgan yang berstatus sebagai menantu sampah Keluarga Wistara dijebloskan ke penjara atas dua dakwaan palsu: memerkosa kakak iparnya dan mencuri perhiasan-perhiasan mahal ibu mertuanya.
Yudha menyelamatkan Morgan, memasukkannya ke militer dan merahasiakan hal ini dari publik. Siapa sangkat, karier Morgan melejit. Kini dia lebih dikenal dengan julukannya: Sang Dewa Perang.
“Seandainya masih hidup, saat ini Bobby pasti sangat bangga padamu. Dia memang tak pernah salah menilai orang,” ucap Yudha.
Bobby yang dimaksud di situ adalah Bobby Wistara, pria tua yang menikahkan Morgan yang bukan siapa-siapa dengan cucu bungsunya yang cantik jelita.
Morgan pernah menyelamatkan Bobby dari para begal yang mengancam nyawanya, dan karena merasa berutang budi kepada Morgan, Bobby pun mengatur pernikahan tersebut.
Ketika itu keputusan Bobby ditentang oleh hampir seluruh anggota Keluarga Wistara, tapi dia bersikeras.
Dan karena dialah pemimpin Keluarga Wistara ketika itu, pernikahan kontroversial itu pun dilangsungkan.
“Terima kasih, Jenderal,” lagi-lagi hanya itu yang dikatakan Morgan.
Tapi dari cara dia menatap Yudha, terlihat jelas, Morgan benar-benar berterima kasih kepada Yudha yang merupakan kawan baiknya Bobby ini.
Tujuh tahun lalu, sebelum meninggal, Bobby memberi wasiat khusus kepada Yudha, yakni bahwa dia harus melakukan apa pun yang dia bisa untuk menjaga Morgan jika sesuatu hal buruk terjadi padanya.
Bobby tahu, jika dia sudah tiada, Keluarga Wistara akan memperlakukan Morgan dengan buruk.
Dan memang itulah yang terjadi. Setiap harinya, selepas kepergian pelindungnya itu, Morgan harus menerima cacian dan makian dari Keluarga Wistara.
Bahkan dia pun dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah yang menjijikkan seperti membersihkan toilet dengan tangan kosong.
Tak jarang, Morgan ditampar dan diludahi oleh kakak-kakak iparnya, karena masalah yang sebenarnya sepele, dan belum tentu juga dia yang salah.
Puncaknya adalah saat mereka menjebaknya sehingga dia terkesan baru saja memaksa masuk ke kamar salah satu kakak iparnya dan memerkosa wanita itu.
Di hari yang sama, ibu mertuanya menuduh Morgan telah mengambil perhiasan-perhiasan mahalnya dan menjualnya di pasar gelap.
Kenapa mereka sampai berbuat sejauh itu? Itu karena, ketika itu, mereka ingin menikahkan Agnes, istrinya Morgan, dengan anak seorang konglomerat bernama Arman.
Arman menjanjikan kucuran dana triliunan rupiah untuk Wistara Group, perusahaan keluarga yang mereka kelola.
Tentu saja, untuk bisa mewujudkan itu, mereka harus menyingkirkan Morgan dulu.
Dan mereka berhasil. Morgan ditajuhi hukuman tujuh tahun penjara.
Kini Morgan tersenyum getir. Munculnya kilasan-kilasan soal masa-masa suramnya itu membuatnya teringat pada istrinya.
Di titik ini, tiba-tiba, salah satu tentara dari barisan yang rapi itu berlari ke arah mereka berdua.
Dia adalah Kris, sosok yang diminta Yudha untuk memantau situasi Keluarga Wistara sementara Morgan fokus dengan perang-perang yang dipimpinnya.
Berhenti tepat di samping Yudha, Kris melaporkan sesuatu padanya lewat bisikan.
Raut muka Yudha langsung berubah. Matanya menunjukkan amarah. Lalu dia menatap Morgan.
“Morgan, istrimu menjadi korban penculikan dan penyekapan! Wajah dan tubuhnya kini dipenuhi luka memar dan luka bakar! Saat ini dia masih dalam keadan koma di Rumah Sakit P!” ujar Yudha.
Morgan mendengarnya dengan jelas. Dan seketika itu juga, suhu tubuhnya memanas. Jantungnya berdegup cepat dan kedua tangannya mengepal.
“Apa rencanamu, Morgan? Kalau kau butuh sesuatu, Kris dan pasukannya akan membantumu,” kata Yudha.
Morgan menatap Yudha sebentar, kemudian menatap Kris.
“Bawa aku ke Rumah Sakit P sekarang juga!”
…
Di sebuah ruang inap di Rumah Sakit P, salah satu rumah sakit terbaik di Kota HK…
“Nak Arman, kau tidak akan mengurungkan niatmu untuk menikahi putriku karena insiden ini, kan?”
“Cepat atau lambat Agnes pasti akan siuman, dan dia pasti pulih. Arman, jangan sampai tragedi yang menimpanya ini membuatmu membatalkan kesepakatan bisnis kita itu.”
Yang pertama bicara adalah Melisa, ibunya Agnes. Yang bicara setelah Melisa adalah Joseph, anak keduanya Melisa.
Mereka mengatakan itu kepada Arman, si anak konglomerat yang hendak mereka jodohkan dengan Agnes.
Agnes sendiri saat ini terbaring koma di ruangan itu. Selang-selang terpasang ke tangan dan hidungnya.
Kondisinya memprihatinkan. Wajahnya yang semula putih dan mulus seperti Putih Salju, kini bagian kirinya penuh dengan luka memar dan luka bakar.
Di tangan dan kakinya, juga bagian-bagian tubuhnya lain, luka-luka tersebut juga ada.
“Tenang saja, Tante, Joseph. Aku masih berniat menikahi Agnes,” kata Arman.
Mendengar itu, Joseph dan Melisa menghela napas lega.
“Tapi, karena kondisi Agnes sekarang seperti ini, yah… aku paling hanya bisa memberi kalian seperempat dari yang kutawarkan tempo hari itu. Itu pun sebenarnya aku sudah berbaik hati,” kata Arman kemudian, tersenyum licik.
Joseph dan Melisa saling menatap, tampak kecewa sekaligus bingung. Dan mendapati reaksi mereka itu, Arman semakin melebarkan senyumnya.
Memang ini bagian dari rencananya. Dia ingin menghancurkan Keluarga Wistara karena mereka tak bisa juga memaksa Agnes untuk menerima pinangannya.
“Arman, tidak bisakah nominalnya dinaikkan lagi? Jika hanya seperempatnya, itu…”
“Tidak bisa, Joseph. Itu pun aku sudah rugi. Kalau kalian meminta lebih, aku bisa saja membatalkan semuanya,” potong Arman, menyilangkan tangan di dada dan menatap Joseph dengan angkuh.
Di mata Arman, Agnes tak ubahnya benda yang ditawarkan Keluarga Wistara kepadanya untuk sebuah kesepakatan bisnis.
Sebelumnya dia memang pernah berkata bahwa dia bersedia mengucurkan setidaknya empat triliun untuk Wistara Group jika Agnes bersedia menikah dengannya setelah suami sampahnya itu dipenjara.
Tapi dia telah menunggu terlalu lama, dan pernikahan yang diinginkannya itu masih belum juga terwujud. Dan melihat kondisi Agnes saat ini, dia tak yakin wanita itu bisa pulih menjadi secantik sebelumnya.
“Bagaimana, Tante, Joseph?”
Arman tersenyum angkuh. Dia benar-benar ingin menegaskan bahwa status sosialnya yang jauh di atas orang-orang ini.
Joseph dan Melisa kembali saling menatap. Mereka tak terlihat senang. Tapi, apakah mereka punya pilihan?
Saat ini, Wistara Group benar-benar sedang membutuhkan kucuran dana untuk bisa bangkit dari keterpurukan.
“Oke, Arman. Kami setuju. Yang penting kau tetap menikahi Agnes dan kita jadi satu keluarga,” kata Joseph.
Arman kembali tersenyum angkuh. Orang-orang ini benar-benar payah dan bisa dia setir sesuka hatinya.
“Tapi, Nak Arman, kau benar-benar akan menikahi putriku, kan? Kau akan menunggu sampai dia siuman dan pulih, kan?” tanya Melisa, khawatir.
Arman menatap wanita paruh baya itu sambil mengangkat sebelah alisnya, lalu berkata,
“Well, karena aku sudah menganggap kalian sebagai keluargaku sendiri, aku sebenarnya oke-oke saja kalaupun harus menunggu.”
“Lagipula, memang sudah dari dulu aku ingin menjadikan Agnes istriku. Sialnya, Agnes malah dinikahkan dengan si pria sampah itu.”
“Sampai detik ini aku sebenarnya masih menyimpan keinginan untuk menginjak kepalanya dan meludahi mukanya!”
“Orang miskin tak tahu diri sepertinya bahkan pantas mendapatkan yang lebih buruk lagi dari itu!”
Ketika mengatakan dua kalimat terakhir, nada bicara Arman meninggi, menunjukkan betapa marahnya dia kepada pria tersebut.
Di titik inilah, seseorang yang sejak beberapa saat yang lalu sudah berdiri di balik pintu kini mendorong pintu itu ke dalam.
Ketiga orang di ruangan itu serentak menoleh, dan seketika mata mereka membulat.
“Kau bilang kau ingin menginjak kepalaku dan meludahiku? Coba saja lakukan kalau kau berani!”
…
Tak lain dan tak bukan, seseorang yang baru masuk itu adalah Morgan.Tujuh tahun mengabdi di militer membentuk Morgan menjadi sosok yang berbeda. Kini dia tampak gagah, penuh percaya diri, dan berwibawa.Kalau saja Morgan melakukan operasi plastik pada wajahnya, mereka bertiga tak akan mengenalinya.“Kau! Apa yang kau lakukan di sini, Menantu Sialan?!” serang Melisa.“Kau benar-benar tidak tahu malu dan tidak tahu diri, Morgan! Setelah hal menjijikkan yang kau lakukan tujuh tahun lalu itu, masih bisa-bisanya kau menampakkan batang hidungmu lagi di hadapan kami!” sambut Joseph.Morgan menatap kedua orang itu bergantian. Lalu dia menatap Arman.Kemarahan terpancar jelas dari matanya, dan Arman yang merasakan itu refleks mundur selangkah.Kemudian, Morgan menatap Agnes. Melihat istrinya dalam kondisi seperti itu, mendadak dadanya terasa sesak.“Apa tujuanmu datang kemari, Menantu Sialan?! Tak akan kubiarkan kau mengacaukan hidup putriku lagi!” kata Melisa, dengan cepat memosisikan diriny
“Agnes!” seru Melisa.Morgan dan Joseph sontak menatap Agnes. Dan mereka mendapati, Agnes sedang mengerjap-ngerjapkan mata. Morgan berhasil membuat istrinya itu siuman!“Agnes, kau baik-baik saja, Nak? Kau bisa mendengar suara Mama?” tanya Melisa yang kini tengah berada di samping kanan kasur.Agnes menggerakkan kepalanya, menoleh memandangi ibunya itu.“Mama…” katanya.Melisa langsung menggenggam tangan anaknya itu sambil menangis tersedu-sedu.“Syukurlah kau sudah siuman, Nak. Syukurlah,” kata Melisa kemudian. Agnes menatap mamanya itu dengan bingung. Lalu dia mengarahkan pandangannya ke sebelah kanannya, dan dia pun melihat Morgan.Morgan, yang sedari tadi menahan perasaan harunya, membalas tatapan Agnes dengan senyum terhangat yang bisa diberikannya.“Morgan… kau ada di sini?” tanya Agnes.“Iya, Sayangku. Aku sudah bebas. Sekarang aku akan selalu ada di sisimu untuk menjagamu,” kata Morgan.Melihat interaksi Agnes dan Morgan yang terbilang intim, Melisa langsung mendelik kepada
Dalam sejarah Rumah Sakit P, itu adalah kali pertama seorang dokter ditampar oleh direktur rumah sakit, di hadapan pasien dan keluarga pasien.Tentu saja Herman tak terima diperlakukan seperti itu. Sebagai seorang dokter berpengalaman yang dianggap jenius oleh dokter-dokter lainnya, ditampar di hadapan orang-orang seperti ini adalah sebuah penghinaan.Kulit muka Herman memerah. Separuh karena ditampar, separuh lagi karena amarah yang mulai meluap-luap.Dia lantas menatap Vivi dengan sorot mata penuh dendam.“Bu Direktur, kenapa Anda menampar saya? Kesalahan apa yang telah saya lakukan sampai-sampai saya harus menerima penghinaan ini?!” tanyanya.Meski nada bicaranya tak tinggi, terasa sekali emosi yang kuat di situ.“Anda bertanya kesalahan Anda apa? Anda hampir saja membuat reputasi rumah sakit ini hancur! Seharusnya Anda bersyukur karena orang terhormat yang Anda singgung tak meminta saya memecat Anda saat ini juga!” balas Vivi.“Orang terhormat? Maksud Anda… kriminal ini..?”“Dokt
Morgan tak menggubris bentakan ibu mertuanya itu. Usai merobek sedikit baju pasien yang dikenakan Agnes, dia tekankan ujung jempol kanannya di dada istrinya itu, beberapa sentimeter di bawah leher.Morgan menarik napas, dan ketika dia mengembuskannya, dia menekan ujung jempol kanannya itu sembari menariknya ke bawah, membuat sebuah garis lurus hingga ke belahan dada istrinya.Apa yang dilakukannya ini adalah sebuah teknik pengobatan kuno yang bertujuan mendorong jantung memompa darah lebih cepat, yakni dengan mengalirkan energi murni yang dipusatkannya di ujung jempolnya itu.Teknik ini telah digunakan Morgan berkali-kali untuk menyelamatkan rekan atau anak-anak buahnya saat berada di medan perang, dan selalu berhasil. Kali ini pun hasilnya tak akan jauh berbeda.Akan tetapi, di mata Melisa yang tak tahu apa-apa soal teknik pengobatan kuno tersebut, Morgan tampak sedang mencoba melakukan hal tak senonoh terhadap putrinya.Tentu saja wanita paruh-baya itu murka. Bisa-bisanya Morgan me
Joseph melangkah sambil tersenyum miring, merasa dia telah memenangkan pertarungan. Lebih dari tiga puluh polisi berpakaian preman telah dikerahkannya ke tempat ini. Sekuat apa pun Morgan sekarang, mestilah dia tak akan bisa apa-apa. Joseph telah memberi lampu hijau kepada anak-anak buahnya itu unuk menggunakan senjata api apabila diperlukan. “Kapten!” salah satu polisi berpakaian preman memberi hormat kepada Joseph. Joseph membalasnya dengan malas, lalu berkata, “Lakukan sesuai rencana. Aku tak peduli cara apa yang kalian pilih, yang jelas jangan sampai orang-orang curiga kalau dalang di balik aksi pengeroyokan ini adalah polisi. Paham?!” “Siap, Kapten! Laksanakan!” jawab bawahannya Joseph. Joseph kemudian memberi isyarat dengan kepalanya agar mereka kembali melangkah. Polisi-polisi preman itu pun mendekati mobil plat merahnya Joseph. Sambil menaruh ponselnya di telinga, Joseph sekilas menoleh untuk memastikan bahwa Morgan masih terkunci di mobilnya itu. ‘Mampus kau, Morgan! I
“Jangan bertindak bodoh! Buang senjata dan angkat tangan kalian kalau kalian masih ingin hidup!” Kalimat bernada mengancam itu dilontarkan oleh Kris. Dia dan pasukannya bergerak serempak mendekati orang-orangnya Joseph. Tentu saja, para polisi berpangkat rendah itu tak menduga mereka akan berurusan dengan tentara. Bukankah mereka hanya menjalankan tugas yang diberikan oleh atasan mereka? Dan kenapa juga puluhan tentara ini bisa ada di situ, menodongkan senjata kepada mereka seolah-olah mereka telah melakukan sesuatu hal buruk yang menyinggung institusi militer? Situasi ini tak masuk akal, kecuali…. ‘Jangan-jangan… apakah orang yang kamu keroyok ini… sebenarnya… seorang jenderal?’ gumam si polisi yang tadi beberapa kali berteriak itu. Dia langsung menoleh ke mobil, menatap Morgan dengan mata membulat. Tiba-tiba saja sosok Morgan yang duduk tenang di mobil itu kini membuatnya ketakutan. Dan saat dia melihat Morgan menyeringai, dia merasakan sesuatu seperti baru saja menancap di j
Di mata Morgan, apa yang dikatakan si suster sangat tak masuk akal. Tak jadi dipindahkan? Bagaimana bisa? Bukankah tawaran untuk memindahkan istrinya ke ruang rawat inap VVVIP datang dari direktur rumah sakit sendiri? Dan apa maksudnya pula istrinya itu dibawa pulang? Siapa pun yang melihat Agnes akan tahu kalau wanita itu kondisinya masih sangat lemah. “Apa maksudnya ini? Jelaskan padaku!” pinta Morgan. Si suster pun mulai menuturkan apa yang diketahuinya. Jadi, alasan kenapa Keluarga Wistara memaksa membawa Agnes pulan adalah karena mereka tak mau mengeluarkan biaya lebih untuk pengobatan dan perawatan Agnes. Karena Agnes sudah siuman, mereka berpikir bisa melanjutkan pengobatan di rumah saja. Dan rupanya ide ini datang dari Herman. Tadi si suster sempat melihat Herman menemui keluarga pasien dan bicara panjang lebar dengan mereka. “Dokter Herman meyakinkan keluarga pasien bahwa dia akan lanjut mengobati dan merawat pasien meski pasien telah berada di rumah. Keluarga pasien m
Henry dan kedua anak lelakinya berjalan menuju halaman depan. “Apa maksudnya ini? Bukankah tadi kau bilang kau sudah menyingkirkannya, Joseph? Ataukah itu hanya bualanmu?” tanya Henry. Joseph bingung harus menjawabnya seperti apa. Jujur saja, dia pun terkejut dengan kedatangan Morgan ini. “Aku sudah memerintahkan anak-anak buahku untuk menghabisinya, Pa. Mestinya mereka membuang mayatnya ke hutan atau ke—” “Faktanya dia ke sini! Si sampah itu ke sini!” Henry memotong penjelasan Joseph. Jelas sekali, suasana hati Henry sedang sangat buruk, dan Joseph hanya membuatnya lebih parah. Robert, yang lebih cerdik dari adiknya, memilih untuk tak mengatakan apa pun dulu. Dia sibuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi saat anak-anak buahnya Joseph itu menghajar Morgan. … Sementara itu di luar, di halaman depan rumah Keluarga Wistara, Morgan berdiri layaknya tokoh utama di sebuah film laga. Di sekitarnya pria-pria bepakaian serbahitam terbaring dan meringis kesakitan. Mereka adalah par