Melihat pintu rumahnya yang tidak terkunci, Ben segera berbalik dan mengecek pagarnya. Seketika menyadari bahwa sedari tadi deretan kayu itu tidak berada dalam posisi tertutup rapat.
Aneh. Ben sangat yakin bahwa ia telah menutup rapat pintu rumah dan pagarnya sebelum pergi tadi. Tidak peduli seberapa terburu-burunya dirinya, ia tidak mungkin mengulang kesalahan yang sama yang telah merenggut nyawa anaknya secara tidak langsung. Kedua tangan Ben sedikit bergetar mengingat kejadian malam itu, tetapi ia segera kembali menenangkan diri sebelum melangkah masuk.
“Siapa pun kau, keluarlah! Jangan bersembunyi seperti tikus kecil!” Teriakan Ben dipantulkan kembali oleh keempat dinding rumahnya. Cat putih kusam yang mulai mengelupas menambah ketegangan suasana. Ben berjalan mengendap dengan mata melebar, mengawasi setiap sudut.
Tidak banyak perabotan yang berada di dalam rumahnya. Hanya ada sebuah karpet plastik di dekat pintu masuk. Kompor dan meja kecil berada di salah satu sudut terjauh. Dua ruangan lain yang tersisa hanyalah kamar tidur yang sempit serta kamar mandi.
Tidak ada satu pun tempat bersembunyi yang layak. Bahkan lemari miliknya tidak memiliki pintu. Dalam hitungan detik, Ben telah selesai memeriksa setiap sudut tersembunyi.
Ia tidak menemukan siapa-siapa.
Pria itu menghela napas berat. “Apa aku benar-benar lupa menutupnya?” gumamnya kepada diri sendiri. Mau tidak mau ia percaya bahwa ini adalah kesalahannya karena ia benar-benar tidak lagi mempunyai sisa tenaga untuk berpikiran buruk.
Lagipula, ia juga tidak peduli jika memang ada orang yang telah menerobos ke dalam rumahnya. Orang itu bisa melakukan apa yang mereka mau, dan apabila Ben memergokinya, Ben akan sangat senang memanfaatkan kesempatan ini untuk menyalurkan amarah yang terus ia pendam.
Sayangnya, sampai beberapa jam berikutnya pun Ben tidak mendapatkan kesempatan itu. Ia hanya terus berbaring di atas karpet plastiknya yang sedikit lengket oleh sisa tumpahan kopi. Keheningan yang terus berlanjut membuat otaknya memutar kembali kumpulan memori terburuk yang ia alami sejak satu tahun lalu.
Pertengkaran tanpa henti, perjalanan pulang pergi ke pengadilan, serta berlembar-lembar kertas yang harus dibaca dan ditandatangani terus berenang-renang di dalam pikirannya. Hingga akhirnya semua warna dan suara seolah-olah direnggut dari hidupnya. Ben merasakan sepi luar biasa setiap kali ia pulang ke rumah yang kosong.
“Thalia sudah bahagia bersama Garry. Kamu juga harus menemukan bahagiamu sendiri tanpa melibatkan kami.”
Tidak ada yang salah dengan apa yang mantan ibu mertuanya katakan. Sudah lama Ben mengetahui bahwa tidak ada lagi kesempatan untuknya memperbaiki rumah tangganya yang sudah terlanjur pecah menjadi beberapa bagian. Thalia sudah membangun kisah baru bersama Garry yang tampan, berpendidikan, juga kaya raya. Sungguh berbanding terbalik dengan Ben yang membutuhkan puluhan tahun hanya untuk sekadar memiliki rumah sendiri. Jarak antara dirinya dan Thalia tidak mampu lagi ia ukur.
Hanya kehadiran Alisya yang menjadi benang penghubung di antara mereka.
Ben cukup bersyukur Thalia bersedia mengizinkannya menghabiskan waktu bersama Alisya setiap akhir bulan. Anak gadisnya yang ceria dan baik hati selalu mampu mewarnai hari-harinya. Bahkan beberapa jam sebelum malam nahas itu, Ben mendapati dirinya selalu tersenyum setiap kali Alisya menceritakan pengalamannya di sekolah.
“Pokoknya teman sekelasku itu hampir semua tingkahnya kocak banget! Mereka ketahuan lagi rekam video tari nyeleneh di depan kelas sama guru yang baru dateng, terus bukannya kabur, malah minta guru itu buat nilai siapa yang gerakan pinggangnya lebih luwes.” Ben ingat bagaimana kedua mata Alisya benar-benar berbinar saat menceritakan itu. Meskipun Ben sama sekali tidak peduli dengan teman yang diceritakan sang gadis, tetapi tanpa sadar ia juga sempat tertawa bersama sang anak.
“Oh, iya! Terus ekskul jurnalis juga kedatangan narasumber seorang wartawan yang usianya masih cukup muda. Orangnya baik banget dan nyaman buat diajak curhat. Dia juga yang kasih aku tips buat Ayah yang pelupa!”
“Tips?” Saat itu Ben sungguh tersentuh menyadari bahwa Alisya cukup peduli kepadanya hingga membicarakannya dengan orang lain.
“Iya! Jadi, setiap kali Ayah mau ngerjain tugas sehari-hari ….”
Entah sejak kapan Ben tertidur lelap. Ingatannya tentang Alisya terpotong begitu saja seiring kesadarannya tenggelam ke dalam alam mimpi. Mimpi tentang malam yang begitu gelap, dirinya yang berjalan sempoyongan sampai sulit untuk sekadar meraih kenop pintu, hingga rasa sakit dari ujung kerikil yang menggores telapak kakinya.
Perasaan panik malam itu datang kembali dalam wujud lain di mimpinya. Cahaya lampu jauh yang menyilaukan dari sebuah mobil begitu membutakan bahkan dari posisinya yang berada di sisi jalan raya. Ben menyaksikan dengan horor bagaimana Alisya yang sedang berjalan pelan tidak terlihat memiliki kesempatan untuk menghindari mobil yang melaju kencang.
“Alisya!” Ben memanggil nama sang gadis sambil berlari kencang. Namun, bukannya semakin dekat, jarak di antara mereka malah terus bertambah hingga sosok Alisya terlihat semakin mengecil di kejauhan. “Alisya! Berhenti menjauh! Kembalilah kemari, Nak!”
Ben sudah memaksa pita suaranya untuk berteriak sekuat tenaga, telinganya bahkan berdenging mendengar suaranya sendiri. Sayangnya, Alisya sama sekali tidak mendengarnya dan terus saja berjalan dengan kepala tertunduk.
Bulu kuduk Ben berdiri, seluruh tubuhnya semakin terasa kaku oleh ketakutan yang semakin menghimpit dadanya. Pria itu hanya bisa termangu saat apa yang ia khawatirkan benar-benar terjadi. Tubuh Alisya terpental tepat setelah bagian depan mobil yang mengebut itu menabraknya.
“Tidak!”
Ben terbangun dengan napas menderu serta keringat yang mengalir deras di pelipis. Salah satu tangannya yang terulur ke depan bergetar hebat. Ia segera menarik kembali tangannya untuk mengusap wajahnya kuat-kuat.
“Baiklah,” ia bergumam seorang diri, “jika memang mimpi buruk ini akan membuatku terus mengingat kesalahanku, aku akan terima. Semoga dengan begini Alisya akan dapat memaafkanku suatu saat nanti.”
Mengucapkan harapan itu dengan lantang hanya membuat Ben semakin gelisah. Untuk beberapa saat, ia hanya terdiam sambil mengatur deru napasnya sendiri.
Saat Ben kembali membuka mata, ia melihat layar ponselnya menyala. Beberapa pemberitahuan pesan masuk terpampang di sana, sebelum cahaya layar itu kembali redup.
Ben sungguh tidak ingin melakukan apa pun saat ini, tetapi ia juga memiliki tanggung jawab pekerjaan yang harus diselesaikan. Oleh karena itu, dengan enggan ia meraih benda pipih itu.
Sesuai dugaan, beberapa pesan awal berasal dari para pelanggannya yang menanyakan ketidakhadirannya pagi ini. Ben memang sudah mempercayakan tugasnya kepada para pegawainya yang tidak berjumlah banyak, tetapi seharusnya ia masih turun tangan dalam menyelesaikan pekerjaan yang memiliki skala lebih besar. Beberapa pemilik restoran tampak mencoba meneleponnya, tetapi menyerah setelah Ben tidak kunjung mengangkatnya.
Ben berniat untuk kembali bekerja besok pagi sambil terus memeriksa kotak pesannya. Ia baru saja akan meletakkan ponselnya kembali saat sebuah pesan menarik perhatiannya.
Matanya melebar melihat nama Thalia berada di bagian nama pengirim pesan.
“Maafkan aku atas sikapku tadi. Jika ada waktu, mari kita bertemu lagi. Hanya kita berdua. Tentukan saja waktu dan tempatnya. Garry sudah memberi izin.”
Ben membaca pesan itu di dalam hati dan berkali-kali membacanya ulang hingga kepalanya pusing dan matanya terasa kering. Ia akhirnya memilih untuk kembali berbaring, kali ini menghadap ke arah jendela kecil yang berada di samping pintu masuk.
Kepalanya pasti benar-benar pening karena ia sempat berpikir bahwa ada seseorang yang baru saja mengintip dari jendela. Ben mengabaikannya dan kembali memejamkan mata.
Sayup-sayup, telinganya menangkap suara seorang perempuan yang berbisik.
“Ketemu.”
***
Pertanyaan Thalia terus terngiang di benak Ben bahkan setelah hari berganti. Ben merasa tidak terlalu terganggu akan hal itu, tetapi ia tetap memikirkannya karena masih ada hal kecil yang mengganjal. Apakah Ashana juga bertanya-tanya seperti Thalia? Mereka berdua bukan lagi remaja yang menomorsatukan perasaan di atas semuanya. Mereka tetap bersama murni karena mereka cukup cocok satu sama lain. Keberadaan Ashana membuat Ben tidak terlalu tenggelam dalam kesibukan, menyeimbangkan antara waktu istirahat dengan waktu bekerja. Sebaliknya, dengan hadirnya Ben di kehidupan Ashana, gadis itu dapat menjadi sedikit lebih serius dalam menjalani hidup, berhati-hati dalam mengambil keputusan, serta menghargai setiap kejadian baik yang datang kepadanya. Ben merasa cukup dengan semua itu, tidak ada lagi yang ia harapkan. Rasanya tidak perlu melabeli hubungan mereka berdua dengan sebuah nama. “Oke. Segitu dulu untuk hari ini.” Ashana yang sedari tadi berkutat dengan laptopnya berseru. Ia lalu men
Ben sulit memercayai apa yang sedang dilihatnya.Garry, pria yang mulanya bertubuh tinggi semampai, terlihat tegap dan menawan ke mana pun ia berjalan, kini terduduk lesu di atas kursi roda berjok hitam. Kedua kakinya terlihat cukup kurus di balik celana kain coklat tua, kemeja di tubuhnya terlihat sangat longgar, hingga bagian lengannya harus digulung ke atas. Ketampanan di wajahnya luntur, hampir tidak bersisa, bersamaan dengan kantung mata yang menebal, serta kulit yang kusam. Pipi pria itu juga terlihat tirus, membuat rahangnya menonjol dengan aneh.Sebelumnya Ben benar-benar percaya bahwa Garry adalah seorang model profesional yang sedang menyamar jadi orang biasa, tetapi sekarang pria itu bahkan tidak terlihat seperti pria dewasa yang sehat. Apa orang di hadapannya ini benar-benar Garry yang Ben kenal? Ben sulit memproses kenyataan ini.
“Padahal kamu tidak perlu ikut,” ujar Ben ketika ia berjalan menyusuri pemakaman bersama Ashana di sampingnya. “Kamu pasti sibuk. Pergi saja. Nanti kuhubungi.”Ashana merengut. “Apa maksudmu aku tidak perlu ikut? Aku mungkin tidak punya kesempatan untuk lebih mengenal Alisya, tetapi aku sempat cukup dekat dengan Rossa. Tanpamu pun aku tetap akan datang kemari.”“Tapi ayahmu ….”“Ayahku akan baik-baik saja.” Senyum Ashana terlihat begitu lebar dan ceria meski suasana di sekitar mereka terasa sedikit sendu. “Dia sudah jauh berubah lebih baik, apalagi setelah Ibu lebih banyak memperhatikannya. Aslam juga sekarang bersikap lebih perhatian. Akhirnya keluargaku terasa utuh sekarang.”Ben mendengarka
Harum semerbak bunga berwarna putih, krem, dan coklat lembut membelai indra penciuman siapa pun yang datang. Ruangan dengan penerangan yang cukup terang tetap terasa hangat dengan adanya kain-kain yang disusun sedemikian rupa di setiap dinding. Tidak lupa dekorasi yang menyerupai gambaran surga juga memanjakan mata ke mana pun melihat. Pajangan angsa putih serta kue tar besar dan bertingkat yang ditempatkan di tengah-tengah ruangan menjadi pusat perhatian kedua setelah altar besar yang dibangun dengan kayu-kayu eksotik. Suasananya memukau sekaligus syahdu. Sedikitnya tamu yang datang menambah kesan intim dari acara yang akan diadakan hari ini. Namun, Ben sendiri belum melihat secara langsung ruangan besar itu, sebab ia masih berada di ruangan lain yang jauh lebih kecil untuk mempersiapkan diri. Ia berbalik ke kanan dan kiri di depan cermin besar di hadapannya. Kedua tangannya terus membetulkan letak dasi kupu-kupu coklat yang melengkapi kemeja krem serta jas hitamnya. “Kamu terlihat
Denver merapikan pakaian yang dikenakannya sambil terus berjalan penuh percaya diri. Panas terik matahari membuat hampir sekujur tubuhnya basah oleh keringat, tetapi ia sama sekali tidak berniat untuk melepas jas luar apalagi berganti baju dengan yang lebih nyaman. Baju kantoran ini telah menjadi kebanggaannya selama beberapa bulan terakhir. Perlambang keberhasilannya mendapat pekerjaan setelah empat tahun lamanya mengejar ketertinggalan dalam pendidikan.Waktu begitu cepat berlalu. Denver yang dulu mungkin akan berkeluh kesah karena tidak ingin dirinya dan orang di sekitarnya cepat menua. Akan tetapi, semua perubahan yang terjadi beberapa tahun belakangan ini sungguh luar biasa, membuat Denver justru tidak sabar untuk melihat masa depan seperti apa lagi yang tengah menantinya.“Pagi, Pak!” sapa pemuda itu kepada seorang pria berseragam yang berjaga
“Aku terus berkelana, mencari petunjuk. Ternyata semuanya lebih mudah sekaligus lebih sulit dari yang kubayangkan,” ucap Denver sambil menunduk. Kini ia telah duduk di samping makam ayahnya. Keberadaan Ben yang juga duduk berhadapan dengannya membuatnya sedikit lebih berani untuk menghadap sang ayah. “Ternyata banyak keluarga yang juga menjadi korban Elina di desa kami. Aku tidak perlu mencari terlalu jauh, tapi mereka juga tidak tahu banyak. Bahkan kebanyakan di antara mereka masih percaya kalau anak gadis mereka sedang bekerja di suatu kantor yang layak. Beberapa kali aku diusir karena mencoba mengatakan kebenarannya.”Ben mengangguk dalam diam. Entah bagaimana situasi saat ini berubah menjadi lebih menyesakkan dari sebelumnya. Dadanya terasa sempit seolah-olah semua yang Denver beberkan adalah kisahnya sendiri. Ia sungguh sulit percaya bahwa remaja di bawah umur seperti Denver te