Share

4. Mimpi Buruk

Melihat pintu rumahnya yang tidak terkunci, Ben segera berbalik dan mengecek pagarnya. Seketika menyadari bahwa sedari tadi deretan kayu itu tidak berada dalam posisi tertutup rapat.

Aneh. Ben sangat yakin bahwa ia telah menutup rapat pintu rumah dan pagarnya sebelum pergi tadi. Tidak peduli seberapa terburu-burunya dirinya, ia tidak mungkin mengulang kesalahan yang sama yang telah merenggut nyawa anaknya secara tidak langsung. Kedua tangan Ben sedikit bergetar mengingat kejadian malam itu, tetapi ia segera kembali menenangkan diri sebelum melangkah masuk.

“Siapa pun kau, keluarlah! Jangan bersembunyi seperti tikus kecil!” Teriakan Ben dipantulkan kembali oleh keempat dinding rumahnya. Cat putih kusam yang mulai mengelupas menambah ketegangan suasana. Ben berjalan mengendap dengan mata melebar, mengawasi setiap sudut.

Tidak banyak perabotan yang berada di dalam rumahnya. Hanya ada sebuah karpet plastik di dekat pintu masuk. Kompor dan meja kecil berada di salah satu sudut terjauh. Dua ruangan lain yang tersisa hanyalah kamar tidur yang sempit serta kamar mandi.

Tidak ada satu pun tempat bersembunyi yang layak. Bahkan lemari miliknya tidak memiliki pintu. Dalam hitungan detik, Ben telah selesai memeriksa setiap sudut tersembunyi.

Ia tidak menemukan siapa-siapa.

Pria itu menghela napas berat. “Apa aku benar-benar lupa menutupnya?” gumamnya kepada diri sendiri. Mau tidak mau ia percaya bahwa ini adalah kesalahannya karena ia benar-benar tidak lagi mempunyai sisa tenaga untuk berpikiran buruk.

Lagipula, ia juga tidak peduli jika memang ada orang yang telah menerobos ke dalam rumahnya. Orang itu bisa melakukan apa yang mereka mau, dan apabila Ben memergokinya, Ben akan sangat senang memanfaatkan kesempatan ini untuk menyalurkan amarah yang terus ia pendam.

Sayangnya, sampai beberapa jam berikutnya pun Ben tidak mendapatkan kesempatan itu. Ia hanya terus berbaring di atas karpet plastiknya yang sedikit lengket oleh sisa tumpahan kopi. Keheningan yang terus berlanjut membuat otaknya memutar kembali kumpulan memori terburuk yang ia alami sejak satu tahun lalu.

Pertengkaran tanpa henti, perjalanan pulang pergi ke pengadilan, serta berlembar-lembar kertas yang harus dibaca dan ditandatangani terus berenang-renang di dalam pikirannya. Hingga akhirnya semua warna dan suara seolah-olah direnggut dari hidupnya. Ben merasakan sepi luar biasa setiap kali ia pulang ke rumah yang kosong.

“Thalia sudah bahagia bersama Garry. Kamu juga harus menemukan bahagiamu sendiri tanpa melibatkan kami.”

Tidak ada yang salah dengan apa yang mantan ibu mertuanya katakan. Sudah lama Ben mengetahui bahwa tidak ada lagi kesempatan untuknya memperbaiki rumah tangganya yang sudah terlanjur pecah menjadi beberapa bagian. Thalia sudah membangun kisah baru bersama Garry yang tampan, berpendidikan, juga kaya raya. Sungguh berbanding terbalik dengan Ben yang membutuhkan puluhan tahun hanya untuk sekadar memiliki rumah sendiri. Jarak antara dirinya dan Thalia tidak mampu lagi ia ukur.

Hanya kehadiran Alisya yang menjadi benang penghubung di antara mereka.

Ben cukup bersyukur Thalia bersedia mengizinkannya menghabiskan waktu bersama Alisya setiap akhir bulan. Anak gadisnya yang ceria dan baik hati selalu mampu mewarnai hari-harinya. Bahkan beberapa jam sebelum malam nahas itu, Ben mendapati dirinya selalu tersenyum setiap kali Alisya menceritakan pengalamannya di sekolah.

“Pokoknya teman sekelasku itu hampir semua tingkahnya kocak banget! Mereka ketahuan lagi rekam video tari nyeleneh di depan kelas sama guru yang baru dateng, terus bukannya kabur, malah minta guru itu buat nilai siapa yang gerakan pinggangnya lebih luwes.” Ben ingat bagaimana kedua mata Alisya benar-benar berbinar saat menceritakan itu. Meskipun Ben sama sekali tidak peduli dengan teman yang diceritakan sang gadis, tetapi tanpa sadar ia juga sempat tertawa bersama sang anak.

“Oh, iya! Terus ekskul jurnalis juga kedatangan narasumber seorang wartawan yang usianya masih cukup muda. Orangnya baik banget dan nyaman buat diajak curhat. Dia juga yang kasih aku tips buat Ayah yang pelupa!”

“Tips?” Saat itu Ben sungguh tersentuh menyadari bahwa Alisya cukup peduli kepadanya hingga membicarakannya dengan orang lain.

“Iya! Jadi, setiap kali Ayah mau ngerjain tugas sehari-hari ….”

Entah sejak kapan Ben tertidur lelap. Ingatannya tentang Alisya terpotong begitu saja seiring kesadarannya tenggelam ke dalam alam mimpi. Mimpi tentang malam yang begitu gelap, dirinya yang berjalan sempoyongan sampai sulit untuk sekadar meraih kenop pintu, hingga rasa sakit dari ujung kerikil yang menggores telapak kakinya.

Perasaan panik malam itu datang kembali dalam wujud lain di mimpinya. Cahaya lampu jauh yang menyilaukan dari sebuah mobil begitu membutakan bahkan dari posisinya yang berada di sisi jalan raya. Ben menyaksikan dengan horor bagaimana Alisya yang sedang berjalan pelan tidak terlihat memiliki kesempatan untuk menghindari mobil yang melaju kencang.

“Alisya!” Ben memanggil nama sang gadis sambil berlari kencang. Namun, bukannya semakin dekat, jarak di antara mereka malah terus bertambah hingga sosok Alisya terlihat semakin mengecil di kejauhan. “Alisya! Berhenti menjauh! Kembalilah kemari, Nak!”

Ben sudah memaksa pita suaranya untuk berteriak sekuat tenaga, telinganya bahkan berdenging mendengar suaranya sendiri. Sayangnya, Alisya sama sekali tidak mendengarnya dan terus saja berjalan dengan kepala tertunduk.

Bulu kuduk Ben berdiri, seluruh tubuhnya semakin terasa kaku oleh ketakutan yang semakin menghimpit dadanya. Pria itu hanya bisa termangu saat apa yang ia khawatirkan benar-benar terjadi. Tubuh Alisya terpental tepat setelah bagian depan mobil yang mengebut itu menabraknya.

“Tidak!”

Ben terbangun dengan napas menderu serta keringat yang mengalir deras di pelipis. Salah satu tangannya yang terulur ke depan bergetar hebat. Ia segera menarik kembali tangannya untuk mengusap wajahnya kuat-kuat.

“Baiklah,” ia bergumam seorang diri, “jika memang mimpi buruk ini akan membuatku terus mengingat kesalahanku, aku akan terima. Semoga dengan begini Alisya akan dapat memaafkanku suatu saat nanti.”

Mengucapkan harapan itu dengan lantang hanya membuat Ben semakin gelisah. Untuk beberapa saat, ia hanya terdiam sambil mengatur deru napasnya sendiri.

Saat Ben kembali membuka mata, ia melihat layar ponselnya menyala. Beberapa pemberitahuan pesan masuk terpampang di sana, sebelum cahaya layar itu kembali redup.

Ben sungguh tidak ingin melakukan apa pun saat ini, tetapi ia juga memiliki tanggung jawab pekerjaan yang harus diselesaikan. Oleh karena itu, dengan enggan ia meraih benda pipih itu.

Sesuai dugaan, beberapa pesan awal berasal dari para pelanggannya yang menanyakan ketidakhadirannya pagi ini. Ben memang sudah mempercayakan tugasnya kepada para pegawainya yang tidak berjumlah banyak, tetapi seharusnya ia masih turun tangan dalam menyelesaikan pekerjaan yang memiliki skala lebih besar. Beberapa pemilik restoran tampak mencoba meneleponnya, tetapi menyerah setelah Ben tidak kunjung mengangkatnya.

Ben berniat untuk kembali bekerja besok pagi sambil terus memeriksa kotak pesannya. Ia baru saja akan meletakkan ponselnya kembali saat sebuah pesan menarik perhatiannya.

Matanya melebar melihat nama Thalia berada di bagian nama pengirim pesan.

“Maafkan aku atas sikapku tadi. Jika ada waktu, mari kita bertemu lagi. Hanya kita berdua. Tentukan saja waktu dan tempatnya. Garry sudah memberi izin.”

Ben membaca pesan itu di dalam hati dan berkali-kali membacanya ulang hingga kepalanya pusing dan matanya terasa kering. Ia akhirnya memilih untuk kembali berbaring, kali ini menghadap ke arah jendela kecil yang berada di samping pintu masuk.

Kepalanya pasti benar-benar pening karena ia sempat berpikir bahwa ada seseorang yang baru saja mengintip dari jendela. Ben mengabaikannya dan kembali memejamkan mata.

Sayup-sayup, telinganya menangkap suara seorang perempuan yang berbisik.

“Ketemu.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status