"Panggil tabib istana, cepat panggil tabib istana!" seru Jelita."Selir Jelita, kalau kita memanggil tabib istana, pasti Putra Mahkota akan tahu. Dia akan menuduh kita mencoba membunuh Yang Mulia. Tamatlah kita!" ujar Yasa.Kaisar tertawa terbahak-bahak. Kemudian, dia berjuang untuk berdiri dengan kaki gemetar. Tangannya yang menggenggam belati terangkat tinggi, hendak ditebaskan ke arah Jelita.Tidak ada yang akan menyangka kejadian berikutnya. Bak hilang akal, Yasa tiba-tiba mendorong Kaisar demi melindungi Jelita.Detik berikutnya, Jelita berlutut dan berkata, "Yang Mulia, saya mengaku salah. Saya nggak akan berani lagi. Saya akan segera menyiapkan sup kambing bagi Yang Mulia. Sup kambing, bagaimana?"Darah Kaisar masih bergejolak hebat. Begitu mendengar kata "sup kambing", matanya langsung fokus. Dia berseru, "Cepat siapkan!""Ba ... baik," sahut Jelita. Dia segera berdiri, lalu menarik Yasa pergi, tentu saja tidak lupa mengunci pintu.Sekujur tubuh Kaisar gemetar hebat. Dia memand
Anggi membuka mulutnya, sementara benaknya memikirkan Luis. Ketika suasana hati Anggi sedang bagi, pria itu berkata bahwa kebahagiaan Anggi juga membuatnya ikut bahagia.Terkadang, ketika suasana hati Anggi sedang buruk, Luis akan bertanya dengan lembut, apakah ada yang salah dan membuatnya tidak bahagia. Jelas, suasana hati Anggi juga memengaruhi Luis.Aska melanjutkan, "Medan energi manusia sangat aneh. Kalau kamu memancarkan energi positif pada orang-orang di sekitarmu, keberuntunganmu juga akan meningkat.""Keberuntunganku juga meningkat?" tanya Anggi."Ya. Misalnya, mengenai tujuan yang hendak dicapai Putra Mahkota. Hal itu nggak hanya membutuhkan kekuatan absolut, tapi juga keberuntungan," sahut Aska.Klak. Sebuah bidak catur jatuh ke papan, membuat suara kecil. Anggi menatap papan catur yang menjadi berantakan. Dia memikirkan kata-kata Aska. Jadi, suasana hatinya juga memengaruhi Luis? Bahkan itu juga mempengaruhi probabilitas suaminya dalam meraih kemenangan?Aska mengulum seny
"Putri Mahkota, ini jalan menuju Paviliun Pir," ujar Mina, sudah membuka payung di tangannya.Lamunan Anggi buyar. Dia baru sadar salju kembali turun. Katanya, "Ya, aku mau menemui Tuan Aska."Udara hari ini sangat dingin. Meskipun ada pemanas, Aska pasti tetap sangat kedinginan.Setibanya di sayap timur paviliun, Anggi melihat Aska sedang membaca buku, sementara Pati tengah mengaduk arang di pemanas."Salam, Putri Mahkota," ujar Pati sambil membungkuk hormat.Anggi mengibaskan tangannya, lalu berkata pada Mina, "Bukannya ada sesuatu yang ingin kamu tanyakan pada Pati?"Mina sempat merasa bingung, tetapi segera mengerti sesaat kemudian. Ambar telah meninggal dunia, suasana hati Putri Mahkota pasti sangat buruk. Lantaran Putra Mahkota tidak berada di kediaman, dia mungkin ingin mencurahkan rasa sesak di hatinya pada Aska."Kak Pati, apa kamu punya waktu?" tanya Mina. Tanpa peduli apakah Pati senggang atau tidak, dia langsung menariknya pergi.Setelah pintu ditutup, Aska meletakkan bukun
Dimas merasa apa pun yang dia katakan tidak akan bisa mengubah pikiran ayah dan saudara-saudaranya. Akhirnya, dia hanya berujar, "Aku akan pindah ke kediamanku sendiri mulai hari ini.""Dimas, apa maksudmu?" tanya Yohan."Hatiku nggak tenang," sahut Dimas, tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Intinya, dia tidak ingin terlibat dalam pertikaian antara faksi Kediaman Bangsawan Aneksasi dan faksi Kediaman Putra Mahkota."Apa kamu kira kalau Putra Mahkota menang, hidupmu akan lebih mudah?" kesal Yohan. Keluarga Suharjo memang sedang berada dalam situasi sulit.Dimas tak tahu lagi harus bagaimana menjelaskan. Dia hanya berkata, "Ada kalanya kita harus mengorbankan beberapa hal demi keselamatan.""Kaum intelektual memang merepotkan, hanya tahu cari aman. Mereka nggak tahu kalau segala sesuatu harus diperjuangkan dengan aksi nyata," cibir Bayu."Ya, ucapanmu memang masuk akal," sahut Dimas. Dia menangkupkan tinju tanda hormat, lalu pergi dari sana."Dimas ....""Dimas ...."Melihat Dimas meni
Semua orang saling berpandangan.Pratama yang sependapat pun menimpali, "Wanita memang makhluk pencemburu. Nggak aneh kalau para gadis menyukai Putra Bangsawan Satya yang begitu berbakat.""Cemburu mungkin bisa menjadi salah satu alasan, tapi jelas nggak sesederhana itu," kata Dimas."Kenyataannya memang begitu. Ayah dan Ibu selama ini cukup baik pada siapa pun. Kapan mereka pernah menyinggung orang lain?" ujar Bayu dengan tegas.Benarkah selama ini mereka berperilaku baik? Dimas rasa tidak demikian. Dia langsung menuturkan semua yang terjadi hari ini dengan detail, "Pelayan senior yang memberitahuku. Kalian pasti nggak akan menyangka kalau alasan Ibu membenci Anggi adalah karena Ibu nggak menyukai Nenek. Karena membenci ibu mertuanya sendiri, Ibu melampiaskannya pada Anggi.""Apa katamu?" seru Pratama sambil menuding Dimas. Pijakan kakinya goyah dan sekujur tubuhnya gemetar.Dimas menatap lurus ke ayahnya, tidak takut untuk mengungkapkan kebenaran. Dia melanjutkan dengan tegas, "Aku b
Angin di musim dingin seakan-akan bisa menemukan celah untuk masuk.Dimas duduk di aula utama. Meskipun sudah menyalakan perapian terbaik, hatinya tetap terasa dingin.Langit hampir gelap. Pratama dan Yohan baru pulang. Dimas menghampiri mereka, lalu berujar, "Ayah, Kak Yohan, kita bicara di ruang baca saja." "Untuk apa Anggi datang hari ini?" tanya Pratama. Ketika masuk ke rumah, pengawal penjaga pintu sudah memberitahunya."Kita bicara di ruang baca saja," sahut Dimas.Mereka bertiga menuju ke ruang baca. Pratama dan Yohan minum teh dulu. Setelah melihat keduanya duduk, Dimas baru menjelaskan, "Hari ini, Putri Mahkota datang untuk tanya apa kita ada musuh bebuyutan.""Musuh bebuyutan?" Pratama bergumam sejenak, lalu segera membantah, "Nggak ada. Kenapa dia tanya seperti itu?"Yohan bertanya, "Apa kedatangannya kali ini berarti dia bersedia berdamai dengan Keluarga Suharjo?"Dimas mendengus sinis sebelum membalas, "Mana mungkin? Dia nggak akan mungkin berdamai dengan kita.""Kalau ng