Angelica pergi berlari dalam keadaan shock setelah melihat Joey menusuk bola mata salah satu preman dengan pulpen. Hingga saat ini pikiran Angelica masih terbayang-bayang aksi penyelamatannya oleh Joey yang tak biasa.
Angelica pun menepis pikirannya, ia lebih baik fokus dengan pelajarannya.
—
Berita pembunuhan misterius mulai menyebar. Dari berbagai media membahas dua laki-laki yang disangka preman telah mati di jalan gang kecil dekat mini market.
Kematian dua laki-laki itu sangat mengenaskan. Dalam berita di TV, segala media sosial membahas pembunuhan itu. Kasus dalam selidikan, tak ada sisa-sisa jejak sang pelaku pembunuhan itu.
Angelica yang mendengarnya pun terkejut tak main, di dalam jalan gang kecil dekat minimarket. Bukankah tadi malam ia ada disana. Dan itu tentu saja membuat pikiran Angelica tertuju kepada Joey. Sedangkan Joey sendiri, ia terlihat santai saja tanpa merasa bersalah sama sekali.
Hari demi hari. Semua orang melakukan aktivitas mereka seperti pada umumnya. Terlihat Joey yang baru pulang kuliahnya dan kini sedang menaiki angkutan umum.
Joey menaiki angkutan umum, karena motor bebek yang ia dapat hasil rampasannya dulu, telah dijual secara apa adanya.
Yang penting cair, sekarang adalah waktunya seperti biasa. Joey setelah pulang kuliahnya, ia akan berangkat ke tempat caffe untuk bekerja, sudah 2 minggu ia bekerja. Setelah sampai di lokasi, ia pun masuk ke dalam. Banyak karyawan caffe lainnya menyapa, Joey hanya tersenyum.
Setelah di ruang ganti, ia mengganti pakaiannya dengan seragam pelayan. Mulai lah iaa bekerja sebagai pelayan. Joey melayani semua pelanggan dengan senyuman ramah miliknya. Lalu ia menerima pesanan dari salah satu meja.
Joey dipanggil oleh salah satu teman caffe yang perempuan yang merupakan seorang koki. "Jo... bersiaplah, antarkan pesanan ini."
"Baik." sahut Joey, sambil melepas kacamata, dan membersihkannya.
Jujur ia, akui dengan tubuhnya yang sekarang ia. Ia tak suka kedua matanya yang rabun jauh. Meski ukuran minus kecil tapi tetap saja, pada dasarnya dari dulu ia tak suka memakai kacamata.
Tapi mau tak mau, ia harus memakai kacamatanya untuk membantunya memperjelas penglihatannya. Dan sekaligus menjaga image-nya agar tak mudah dicurangi oleh siapapun. Saat sedang mengelap kacamatanya, tanap disadari Joey, para karyawan memperhatikannya.
Tatapan mereka bukan tatapan risih, melainkan tak percaya melihat ketampanan milik Joey dibalik kacamatanya. Joey kembali memakai kacamatanya, makanan telah siap di nampannya ia antar. Ia mengambilnya dan mengantarnya ke arah meja seusai pesanannya.
—
Hari telah malam, jam juga telah menunjukan jam 9 malam, dan waktunya caffe tutup. Semua karyawan membersihkan caffenya sebelum pulang. Semua sudah selesai. Joey dan karyawan lainya saling berpamitan untuk pulang.
Ia memakai jaket, dan tak lupa memakai sarung tangannya. Kadang teman karyawan lainnya heran kenapa Joey selalu memakai sarung tangan, padahal tidak punya kendaraan.
Joey hanya menjawab, alergi udara dingin, karena ia bisa bersin-bersin jika terkena udara dingin, apalagi kalau hujan malam hari. Dan semua teman karyawannya percaya begitu saja. Joey berjalan kaki menuju halte.
Setelah sampai, ia duduk di kursi, dan menunggu angkutan umum datang.
Joey berbicara dalam hatinya, "Inilah kehidupan yang selama ini aku impikan, hidup dengan normal dan damai."
Joey kembali mengingat kehidupannya kehidupan sebelumnya. Sebagai Jason yang kehidupannya penuh dengan misi dan segala pembunuhan. Di kehidupan sebelumnya, ia selalu bekerja kerasnya saat menjalankan misinya sebagai anggota mafia.
Misi yang Jason kerjakan, selalu berhasil. Berkat itu, ia menjadi salah satu anggota yang termuda yang hebat. Dan Jason diakui oleh ketua mafianya yang pertama. Bahkan dianggap sebagai anggota emas. Sebenarnya Jason tidak berniat mencari perhatian kepada ketuanya.
Karena ia hanya menjalankan kewajibannya sebagai anggota dalam menjalani tugasnya. Tapi, semenjak ketua kelompok mafianya digantikan oleh anaknya yang bernama Bram. Kelompoknya menjadi tak terkendali. Dikelompok mafianya memang menjual obat-obatan terlarang.
Namun ia tak pernah mengkonsumsinya. Tapi semenjak Bram yang memimpin kelompok mafianya. Jason menjadi menjadi mengkonsumsinya.
Bram ternyata melakukan itu kepada Bram karena iri kepada Jason yang selalu dijadikan anak emas oleh ayahnya. Bram tak terima, itu sama saja menganggap ia sebagai ketua baru yang tak dianggap.
Segala cara paksa Bram memerintah Jason untuk meminum segala macam obat-obatan terlarang Hingga pada akhirnya. Itu membuat jiwa Jason menjadi tak normal, yang awalnya ingin menghancurkan hidup Jason dengan segala macam obat-obatan terlarang.
Tapi yang ada itu bukan membuat Jason menjadi hancur, melainkan menjadi manusia yang penuh nafsu membunuh. Melihat itu Bram memanfaatkan keadaan Jason seperti dan membuatnya menjadi senjatanya.
Jason yang terus kecanduan segala macam obat-obatan, dan pada akhirnya ia menjadi Psychopath. Jason yang sudah benar-benar Psychopath membawa nama kelompok mafia menjadi ditakuti.
Sampai-sampai polisi yang ingin menangkapnya harus membuat rencana berkali-kali. Bukannya bangga, tapi Bram tak terima, ayahnya malah membanggakan Jason meski sudah dikenal sebagai Psychopath.
Bram mulai merasa posisinya sebagai ketua, akan di geserkan. Hingga akhirnya, setelah kematian ayahnya, Bram memulai rencana untuk menjatuhkan Jason masuk ke jebakannya. Bram sengaja membuat misi menjadi gagal. Dan itu membuat Jason jadi disalahkan oleh anggota lainnya.
Pada akhirnya Jason pun mati dibakar hidup-hidup.
Joey menghela nafasnya setelah mengingat-ngingat masa lalunya di kehidupan sebelumnya. Meski sudah hidup lagi di dalam tubuh sosok laki-laki yang culun. Tapi tetap saja, sisa-sisa jiwa Psychopathnya masih terbawa.
Setidaknya tak ada keinginan untuk mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Tak ada misi, hidup normal dengan damai adalah impiannya.
Saat di tengah-tengah duduk di kursi halte, dan melamun, tiba-tiba ada seorang yang berdiri di hadapannya sambil menodongkan pisau. Joey mendongak wajahnya dan melihat siapa yang sudah berani mengganggu ketenangannya.
Ternyata hanya seorang laki-laki memakai pakaian biasa saja dan di wajahnya ditutup oleh kain hitam.
"Ikutlah denganku." ajaknya.
Joey mengerut dahinya, "Kemana?" "Pokoknya, kamu ikut aku. Atau kubunuh sekarang juga !!" ancamnya. Joey memasang wajah takutnya. Ia pun menuruti perkataan orang itu. Mereka berjalan berdampingan, Joey dirangkul orang itu. Orang itu membawa Joey ke tempat sepi yang letaknya di belakang gedung perhotelan. Tempatnya sepi, cukup ada 10 pohon di tempat itu. Mungkin bisa dikatakan tempat itu adalah kebun milik orang yang tak terawat, buktinya banyak sekali semak-semak yang tumbuh. Setelah membawa Joey ke tempat itu. Orang itu mendorong tubuh Joey hingga jatuh ke tanah. "Berdiri kamu!" Joey berdiri, ia menundukan kepalanya tanpa memandang orang itu. Orang itu melangkah mendekati Joey, kini mereka berdua saling berhadapan. "Jangan memandangku dengan tatapan culunmu, apa kamu lupa posisimu? Sekarang serahkan semua uangmu atau kubunuh." kata orang itu sambil menodongkan pisaunya. Joey menurutinya membuka tasnya. Saat sedang sibuk mencari-cari isi tasnya
"Sstttt, jangan keras-keras." kata Angelica. Sarah memutar bola mata karena sifat Nita yang memang seperti itu. Sarah sendiri terkejut mendengar cerita Angelica, tapi ia masih bisa menjaga sikap sesuai keadaan sekitar. "Angelica, yang benar kamu, Joey berani menusuk mata preman itu ?" tanya Sarah berbisik. Angelica mengangguk-angguk cepat kepalanya. "Beneran, aku gak bohong." "Jadi berita pembunuhan 2 minggu lalu di gang dekat minimarket, apa Joey yang membunuhnya?" tebak Nita. Angelica menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku gak tau pasti, soalnya waktu itu aku lari ketakutan melihat apa yang dilakukan Joey. "Yang jelas, yang kutahu, Joey hanya menusuk bola mata preman itu dengan pulpennya." Nita memegang dagunya. "Kayaknya mustahil kalo Joey bisa membunuh. Secara dia kan culun dan penakut." Sarah mengangguk-angguk kepalanya, ia setuju dengan perkataan Nita. Sedangkan Angelica, ia masih bingung, ingin menepis pikirannya. Tapi mana sanggup,
"Tentu saja aku ingin datang ke rumah sahabatku... Ehh, ups, sahabat? Apa kita memang bersahabat, ya?" kata Joey dengan wajah polosnya. "Berani-beraninya kau datang ke rumahku, anak culun." Sandi geram. Dan Joey mengerut dahinya. "Rumahmu? Perlu diralat kata-katamu, yang betul adalah rumah orang tuamu, dan kamu hanyalah anak dari orang tuamu, jadi bisa dianggap kamu salah satu penumpang di rumah orang tuamu." Kata Joey yang ia buat seperti layaknya guru mengajari muridnya. Sandi tertawa garing mendengarnya. Lalu ia tersenyum mengejek, "Wah... rupanya kau sudah berani ya? Kau datang kesini ingin mati?" Joey menghela nafasnya, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya seakan lelah. "Tidak, aku tidak ingin mati. Aku datang kesini karena ingin makan," ucap Joey, "BUGH!" Tiba-tiba Joey memukul Sandi dengan keras. "Argghh!" Tubuh Sandi terjatuh dan duduk di lantai. Tangannya memegang lehernya. Lehernya sakit karena mendapat pukulan mendadak yang dilancar
Keesokan Harinya. Seperti biasa, Joey berangkat ke kampusnya untuk kuliah. Semua pandangan yang melihatnya adalah hal yang sudah tak asing, dari penampilannya khas dirinya sebagai laki-laki culun. Semua mahasiswa dan mahasiswi hanya menatapnya lalu mengalihkan pandangan mereka. Semua mengabaikannya. Hal itu benar-benar sudah biasa bagi Joey. Di tempat Parkir. Rifky dan gengnya seperti biasa nongkrong di parkiran sebelum jam masuk, hanya saja Sandi belum terlihat. Rifky dan gengnya menatap mengejek saat melihat Joey sudah masuk ke kelasnya. "Anak itu, masih berani menampakan dirinya. Padahal sudah berkali-kali kita mengganggunya." ucap Richard terkekeh. Rifky mengangguk kepalanya. "Ya, aku salut keberaniannya." Rangga, dan Hendrik tertawa kecil, tapi tertawa mereka berdua hanya dibuat-buat, karena mereka masih heran dengan kelakuan Joey. Beberapa saat kemudian, sebuah mobil datang. Pintu belakang terbuka. Ternyata Sandi, yang turun dari mobil.
Spontan dengan wajah lesunya, Sandi pasrah mengangguk kepalanya. Joey tersenyum melihatnya, "Wah, tak terduga, ternyata kamu mau." Joey berjalan mendekati Sandi, dengan pisaunya ia melepaskan tali rafia yang mengikat Sandi. Tatapan mata Sandi langsung menatap Joey. Tapi Joey sudah bergerak cepat lebih dulu. Ujung pisaunya sudah didepan mata Sandi dengan jarak 1 cm. "Kamu ingin melawan?" tanya Joey dingin, tatapan kedua matanya adalah tatapan pembunuh. Terasa seperti aura membunuh yang mencengkram yang dirasakan oleh Sandi. Ia menelan salivanya. Sandi sudah terlepas dari ikatannya. Sandi masih duduk di kursi kayunya. Joey berdiri dihadapannya, ia juga telah selesai menghubungkan GPS hpnya dengan hp milik Sandi. "Besok langsung saja kerjakan tugasmu. Cari alasan jika teman-temanmu bertanya tentang kondisimu. Tapi kalau kamu berniat menceritakan semua tentang pertemuan kita ini, silahkan saja. Mungkin Rangga dan Hendrik sedikit percaya, tapi bagaimana dengan
Entah apa yang dirasakan istrinya itu, Wanita itu merasa tak asing dengan wajah Joey, dan merasa ada hubungan. Tapi apa hubungan itu? Sekilas wanita itu teringat masa lalunya, tapi ia harus menepisnya. Karena tak ingin suaminya kecewa padanya, karena telah berjanji untuk melupakan masa lalunya. Sedangkan di sisi Joey, ia dari tadi merasa tak asing dengan wanita tadi. Namun ia risih saat dirinya ditatap secara intens olehnya. "Cih, diliat-liat seperti itu, rasanya aku ingin melempar air cucian piring ke wajahnya." batin Joey. — Hari telah malam. Acara ulang tahun dari anak gadis orang kaya telah selesai. Semua pengunjung telah pulang. Semua karyawan membereskan sisa-sisa dari acara. Setelah selesai, jam juga telah menunjukan jam 11 malam. Semua karyawan telah siap untuk pulang. Mereka akan mendapat bonus saat gajian, semua kembali pulang dengan kendaraan mereka masing-masing. Joey memilih berjalan kaki, ia kini sudah duduk di kursi halte. Ia seda
Sarah menjalankan mobilnya. Sarah mengendarai mobilnya dengan kecepatan standar, hari memang sudah malam. Tiba-tiba di dari jaraknya, Sarah bisa melihat ke depan. Yang ia lihat suasana ramai, dan jalan macet. "Sepertinya jalannya macet deh." kata Sarah. "Iya, sepertinya ada kecelakaan." kata Nita. "Terus bagaimana?" tanya Angelica. "Kayaknya kita harus muter, lewat jalan yang itu." kata Sarah. "Kamu yakin, kita lewat sana, jam segini jalan sudah sepi loh." kata Nita. "Dari pada kita ikut kejebak macet." ucap Sarah. Angelica dan Nita hanya mengiyakan, karena hari sudah malam, terpaksa mereka harus lewat jalan lain. Sarah pun membalikan mobilnya ke arah jalan lain, meski jauh, tapi ia juga tak mau terjebak macet. Jalan itu tidak ramai, melainkan sepi. Tidak lewat kota, melainkan mereka akan lewat pinggir kota, dan jalannya seperti lewat hutan. — Saat ditengah perjalanan, Sarah menghentikan mobilnya. Ia melihat ada orang laki-lak
Sarah tak menjawab, ia menangis, tapi ia menurut. Sarah berdiri, Joey langsung menggenggam tangannya. Mereka berjalan mendekati Nita dan Angelica yang masih duduk di tanah. Joey menyuruh Sarah untuk duduk bersama Angelica dan Nita. Kini ketiga gadis mahadewi tengah duduk di tanah. Dan Joey tengah berdiri di hadapan mereka bertiga. Sosok Joey yang sekarang bukanlah sosok culun yang mereka kenal saat di kampus. Saat di kampus yang mereka kenal adalah laki-laki culun. Tapi sekarang, sisi lain dari laki-laki yang terkenal culun. "Kalian bertiga, bisakah jangan menundukkan wajah kalian?" kata Joey melihat ketiga gadis itu menunduk tak berani melihatnya. Ketiga gadis itu diam, tak berani menjawab, dan tak merespon kata-kata Joey. Joey pun berjongkok, "Bukankah kalian tidak tuli? Sepertinya kalian memang ingin kubuat tuli beneran ya?" Seketika mereka bertiga mendongak mendengar kata-kata Joey yang menyeramkan didengar. Kini mereka tak menunduk wajahnya. Ket