"Pernikahan kalian tidak sah!" Suara Rahmadi menggelegar di ruangan yang dipenuhi orang-orang yang baru saja mengikuti akad nikah Rima dan James.
James berdiri dan menatap tajam ke arah lelaki bertubuh tinggi, yang berdiri diambang pintu. Rambut ikal yang berantakan, bajunya lusuh dan dikenakan dengan asal-asalan, wajahnya yang terlihat tidak baik-baik saja. Seperti gemel di jalanan.
"Maksud kamu, apa?" tanya James meradang. Semua yang datang di sini, mereka menyaksikan akad kami dan mengatakan jika penikahan ini, sah! Baik secara agama, maupun secara negara!" imbuh James dengan emosi.
James terkesan memberikan penekanan pada setiap kata-kata yang dia lontarkan, kemudian lelaki itu melengkungkan sudut bibirnya. Membuat lawan bicaranya emosi dan ingin sekali meninju wajah James yang mulus.
"Kamu menipu, Rima!" tuduh Rahmadi.
Wajah Rima terlihat tegang, sejak kedatangan Rahmadi di acara pernikahannya yang sederhana.
"Aku tidak memiliki hubungan dengan wanita yang menggangguku kemarin, saat melamarmu! Cintaku hanya untukmu, Rima!" imbuh Rahmadi pada Rima dengan mata berkaca-kaca.
"Turunkan, tanganmu!" bentak James, tapi tidak dipedulikan oleh Rahmadi. "Dia itu istriku! Jangan berani-beraninya mendekati istriku apalagi ingin menyentuhnya, meskipun kamu adalah kakak sepupunya!" James langsung berdiri dan menghalangi pandangan Rahmadi pada Rima.
Ibu Raahmadi yang juga keluarga Rima, sangat malu dengan kelakuan anaknya. Dia menarik anaknya untuk menjauh dari keramaian yang mulai terusik atas kehadirannya.
"Bu, aku hanya ingin menikah dengannya. Tidak ada yang boleh menikah dengannya selain aku! Aku benar-benar mencintainya sejak dulu," teriak Rahmadi.
Rahmadi melepaskan pegangan tangan sang ibu dan mencoba mendekati Rima, ingin meraih tangan sang pujaan hati. Namun, sayangnya terhalang oleh orang-orang yang menghalanginya, jika tidak hal ini akan menjadi sesuatu yang sangat disesalinya dikemudian hari.
"Pergilah, sebelum semuanya berubah buruk!" geram James.
"Maafkan anak kami," ujar lelaki paruh baya yang sejak tadi diam dan memegangi tangan Rima dengan gemetar.
Lelaki itu, tidak lain adalah pakde dari Rima. Guratan di wajahnya menandakan pengalaman hidupnya sudah cukup banyak, matanya mulai berair menatap keponakan kesayangannya.
"Maafkan pakde, ya, Rim," pinta lelaki yang terlihat bersahaja tersebut.
"Tidak masalah, Pakde Sarno!" balas James, tapi nada suaranya seakan-akan tidak baik-baik saja.
Pakde Sarno berdiri dan langsung menarik Rahmadi dengan kasar, agar tidak melanjutkan keributan yang dibuatnya. Lelaki paruh baya itu, seakan-akan tidak memiliki muka lagi. Rasa malu begitu terlihat jelas di wjahnya yang sudah dipenuhi gurat-gurat kehidupan.
Rahmadi berusaha melepas cengkaraman tangan sang ayah, tapi dia tidak kuasa setelah ayahnya itu memberikan satu pukulan di belakan kepalanya.
"Mana rasa malu yang kami ajarkan?!" emosi Pakde Sarno mulai naik, karen ulah anaknya.
Rahmadi diam dan mengikuti langkah ayahnya dengan tenaga yang tersisa, tulang-tulang ditubuhnya seperti tidak berbentuk lagi. Hilang sudah semua harapan dan cinta yang dia abadikan untuk Rima. dalam hati kecilnya, Rahmadi menitipkan doa bagi wanita yang dia cintai sekaligus sepupu terdekatnya.
Tetangga yang hadir mulai berisik, satu dengan yang lainnya. Mereka tidak percaya dengan apa yang telah terjadi di depan mereka, Rahmadi yang dikenal kalem dan taat ibadah bisa melakukan hal seperti itu.
Suasana masih terlihat tegang, terlebih karena sikap Sherly yang tidak bersahabat, ketika diminta poto bersama dengan keluarga besarnya dan iu barunya. Menambah kecurigaan dari para tetangga penggosip. Sebuah beritapun mulai tersebar, tanpa bisa dicegah. Meskipun mereka tidak tau kebenarannya.
Rima melukai sedikit peni*s Dito, membuat remaja itu meringis kesakitan. "Baru tergores! Belum terpotong!" ancam RIma dan Dito hanya mengangguk. Rima kembali pergi, dengan membawa serta belati yang melukai Dito, sedangkan Dito memaki wanita yang tengah menyanderanya dengan kata-kata kasar. Remaja itu tidak menyangka, jika Rima bisa berbuat sejauh ini. Bahkan dirinya menjadi ciut berhadapan dengan ibu tiri dari remaja yang dia lece*hkan. "Brengsek!" teriaknya. Rima hanya tersenyum mendengar makian dari Dito, kemudian dia berjalan dengan cepat untuk keluar dari persembunyian. Kemudian dia membuka CCTV yang terhubung dengan laptopnya, menghidupkannya kembali dengan posisi semula, meski sedikit dimodifikasi. "Bu, sudah benarkan saya keluar dari sana?" tanya Bik Irah yang masih memegang alat pel. "Sempurna, Bik. Sekarang bibik masak aja, untuk sarapan kita," pinta Rima. "Besok saja membersihkannya, sehari enggak dibersihkan, enggak masalah." Rima menjawab sebelum Bik Irah bertanya, da
Pagi-pagi sekali, Rima keluar dari rumah. Menuju ke supermarket terdekat, mengambil beberapa cemilan, roti dan juga susu. Kemudian menuju kasir, untuk membayar semua yan sudah dibeli olehnya."Makasih, ya, Mbak!" ujarnya setelah sang kasir memasukkan semua belanjaan ke dalam kantong yang dibawa oleh Rima."Sudah semua, ya, bersama titipannya," balas sang kasir dengan lirih di ujung kata-katanya.Rima keluar dengan membawa kantong yang berisi penuh dengan semua aneka camilan, dan dia taahu, jika ada sepasang mata yang memperhatikannya dengan sangattajam, sembari berpura-pura memgang minuman."Kalian masih mengintaiku?" gumam Rima kesal.Ponsel Rima berbunyi, dan wanita itu langsung menerima panggilan dari ternyata dari Satria. Mantan kekasihnya itu menanyakan, apakah dirinya aman setelah menerima bingkisan darinya ataau tidak. Rima membaritahu Satria, jika dirinya aman dan sudah sampai di rumah.Semalam, Rima menanyakan tentang efek samping dari penggunaan obat itu pada Satria. Bagaima
"Bukan begitu, sayang. Aku_"Rima langsung memotong ucapan James dengan cepat."Sudahlah, Mas. Yang penting aku selalu jaga hati dan tubuhku hanya untuk kamu,"Rima langsung mengakhiri panggilan, dan meletakan ponselnya di atas meja. Mendengkus kesal, karena merasa tidak dihargai oleh suaminya sendiri."Bibik aja yang angkat!" ucap Rima malas. "Bilang saja, aku sedang tidak mau diganggu!" Rima menambahkan sedikit permintaan.Bik Irah mengangguk dan segera menerima panggilan dari James untuk kedua kalinya. Seperti dugaan Rima, Bik Irah bisa diandalkan. Rima meyakini, jika suaminya itu bertanya banyak hal pada Bik Irah. Terbukti jawaban dari wanita tua di sampingnya itu, yang kadang tersenyum dan terkadang terlihat khawatir."Siap, Pak!"Di akhir panggilannya, dan Bik Irah meletakkan ponsel Rima kembali di tempatnya semula."Apa aja yang ditanya Mas James, Bik?" Rima bertanya seperti menyelidik."Pak James hanya khawatir pada ibu, dan menanyakan apa ibu pernah pergi dalam waktu yang lam
Rima terlihat marah pada Satria, yang menyangkal tentang keterlibatan Sandi dalam kasus anak sambungnya. "Aku mendengar sendiri, jika dia menggauli Sherly dan mengatakan hal tidak senonoh padaku!" bantah Rima. "Tidak, yang aku tahu, dia tidak ikut dalam pencab*lan itu!" Satria masih kukuh pada ucapannya. "Dan kamu sudah tahu siapa saja yang melakukan hal bejad itu, kan?" tanya Satria kemudian. "Pergila, aku hanya meyakini apa yang memang terjadi dan kuketahui!" Rima pun tidak merubah keputusannya. "Jangan gegabah, nanti kamu salah sasaran!" ketus Satria. Lelaki itu, lalu berpamitan dan meninggalkan Rima yang masih yakin dengan apa yang akan direncanakannya. Sedangkan Satria menghela napas panjang, terlalu sulit untuk membuktikannya sekarang. Rima duduk di kursinya dan kembali menyesap teh lemon buatannya, Menatap jauh ke depan dengan pandangan kosong. "Bu, saya melihat diary milik non Sherly," bisik Bik Irah. Perhatian Rima teralihkan, meminta Bik Irah untuk mengambilnya. Wanit
Ayah Dito langsung memperintahkan anak buahnya untuk mengeledah seisi rumah dan melihat CCTV yang terpasang di rumah Rima. Sedangkan Rima dan Bik Irah duduk dengan santai di meja makan, bahkan Rima menyedu teh lemon hangat dan menyesapnya perlahan. Setengah jam mereka mencari dan berputar-putar dengan sangat teliti, tapi tidak menemukan apa yang mereka cari, dengan kesal ayah Dito mendekati Rima. Mengacungkan senjata dan mengancam wanita yang pura-pura lemah itu. "Cepat, katakan di mana anakku?" tanyanya dengan menekan ujung pist*lnya di pelipis Rima. Satria yang melihat itu tentu saja sangat geram, tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk saat ini, karena baju yang sedang dia kenakan. "Saya sudah mengijinkan bapak untuk mencari anak bapak di sini, dan apakah saya mengijinkan bapak untuk mengancam saya?" tanya Rima yang makin membuat emosi lelaki di depannya memuncak. "Kamu tidak tau siapa saya?" tanyanya dengan membentak Rima, dan matanya melotot sempurna. Sehingga memperlihatkan am
Rima langsung mengakhiri panggilan dan menatap remaja yang mulai sadar akan keberadaannya yang menyedihkan."Tante, Lepasin aku!" teriak Dito dan hanya ditangapi dengan senyum hina dari Rima.Dito terus memaki, ingin rasanya Rima membalasnya. Akan tetapi disadarkan oleh Bik Irah yang menanyakan tentang makanan yang dia bawa tadi.Rima berjalan ke meja, lalu mendekati Dito yang masih terus menhardiknya. Tatapan Rima, sebenarnya membuat nyali Dito sedikti ciut, tapi dia tidak mau kalah dari wanita yang dia anggap tidak ada apanya."Kamu butuh asupan untuk terus menghardikku, jika tidak kamu akan kelapan dan tidak ada yang bisa menolongmu. Bahkan harta orang tuamu yang sangat banyak itu! Ingat, kamu belum membuatku merasakan kenikmatan yang kamu tawarkan," ujar Rima dengan nada penuh penekanan.Dito diam, setelah mendengar penuturan Rima, mungkin dia berpikir, benar apa yang dikatakan Rima. Dirinya tidak akan bisa keluar dengan selamat, jika dirinya tidak memiliki tenaga.Rima meminta Bi