Share

Tidak Sah!

James kembali ke ruangannya dengan tergesa-gesa, takut didahului Rima. Sang asisten yang baru aktif kerja setelah liburan, merasa heran dengan kelakuan bosnya, ketika berpapasan.

"Pak James, untuk mitting dengan ...," Ucapan Heru terhenti karena diabaikan.

Heru ingin mengikuti James masuk ke dalam ruangan, tapi ada pemandangan aneh. Tidak pernah dia melihat seorang staf membawa berkas, ke dalam ruangan bosnya. Rasa kepo pun muncul dalam hatinya, ingin mengintip, tapi rasa takut lebih mendominasi.

"Pak Heru, itu si bos tumben menghukum orang! Lagi ada masalah apa sih?" tanya salah satu staf yang biasa jadi biang gosip di kantor.

Heru yang tidak tahu ada masalah hanya menggelengkan kepalanya, lalu mendekat ke ruangan bosnya. Perlahan, mengetuk pintu. Setelah terdengar suara bosnya mempersilahkan masuk, Heru membuka pintu dan masuk.

"Tutup lagi!" ujar James. Heru menuruti pinta bosnya.

"Pak, jam 5 kita ada pertemuan di Palm Court Four, dengan pihak vendor yang bermasalah!" lapor Heru, dan matanya melirik Rima yang sedang fokus mengerjakan pekerjaannya di meja yang berhadapan langsung denga James.

"Batalkan saja dan atur ulang! perintah James dengan nada tinggi.

"Baik, Pak!" sahut Heru.

Merasa ada yang tidak baik, Heru segera pamit dan mengambil berkas yang diperlukan. Tidak berani lagi dia bertanya, meski rasa penasarannya sangat tinggi.

"Heru, nanti malam temui saya di rumah, ya," pinta James, saat Heru berpamitan.

Heru menjawab oke, dan pergi berlalu.

James menatap Rima yang cemberut dengan intens dari kursi kebesarannya, berpura-pura memegang map. Rasanya, ingin sekali dia menerkam Rima seperti apa yang dia dengar tadi.

Tidak terasa, jam sudah menunjukan waktu pulang kantor. Namun, pekerjaan Rima belum selesai. Rasa kantuk menyerang, membuat Rima sering menguap.

"Sudah selesai?" tanya James, merasa kasihan melihat Rima.

"Belum!" jawab Rima kesal.

Rima sebenarnya ingin pergi dari hadapan James, tapi tanggung jawabnya belum selesai. Dia merasa tidak boleh mengeluh saat ini. Namun, ketika melihat James, semua rasa bercampur menjadi satu. Tentu saja mempengaruhi konsentrasinya bekerja dan tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat.

"Pak, saya ijin lanjutkan besok!" ketus Rima.

Terdengar helaan napas panjang dari James, yang tidak rela waktu kebersamaanya berakhir. Sudah dua tahun, James jatuh hati pada Rima dan tidak berani mendekatinya. Hanya bisa melihat dari kejauhan, dan menyapa sekedarnya saja.

"Ya, sudah!" balas James pasrah.

Rima dengan cepat membereskan pekerjaannya, lalu berdiri untuk berpamitan.Namun, suara James mengejutkannya

"Siapa yang nyuruh pulang?" cegah James.

Rima mematung, perasannya mulai tidak enak. Sikap James mendadak berubah, dan dia tidak berani memandang wajah James. Padahal, jika dia berani melirik saja. Senyum di wajah duda tampan itu sangat menggoda.

"Pulang dengan saya. Mama ingin kamu menemuinya!" titahnya.

"Tapi, Pak! Hmmm ... Nanti para pegawai akan tahu masalah kita!" seru Rima panik.

James menanggapi Rima dengan tawa yang menggelegar, lalu memasang wajah serius lagi. Mengatakan, jika apa kurang dirinya sehingga Rima malu mengakui dirinya seagai calon suami.

Rima yang enggan berdebat, diam. Memikirkan bagaimana caranya menghindari lelaki yang berkuasa di perusahaannya bekerja. Satu ide muncul di kepalanya, meskipun James tidak akan menyukainya, dia tidak peduli.

"Boleh saya ke toilet dulu?" tanya Rima.

"Pakai saja toilet di ruangan saya," jawab James santai.

"Jangan, Pak. Nanti timbul fitnah!" elak Rima

James akhirnya menyerah dan memperbolehkan Rima untuk ke toilet khusus karyawan, lalu mewanti-wanti gadis pujaannya untuk tidak pulang duluan. Rima hanya mengangguk patuh, meski ingin rasanya melepaskan kekesalnya saat ini.

Satu jam berlalu, Rima tidak kunjung kembali ke ruangan James. Rasa khawatir mulai menyelimuti James, ingin mencari, tapi tidak mungkin. Diambilnya ponsel, lalu mulai mencari nama Rima dan menghubunginya. Bertanya di mana dan mengapa tidak menemuinya lagi, dan dengan santainya Rima menjawab bahwa dirinya lupa dan saat ini dia hampir sampai di rumahnya. Rasa geli dan gemas bercampur menjadi satu, tapi James santai.

[Di rumah kamu enggak ada orang! Ibu tadi di jemput mama, makanya saya minta kamu ikut saya!]

Send

James tersenyum puas, ketika mengirimkan pesan untuk Rima.

Di tempat lain, Rima melongok saat membaca pesan masuk. Dia tetap tidak percaya, tapi hatinya ragu. Mana mungkin lelaki itu bercanda soal ibunya. Rima langsung menelepon ibunya. dan benar apa isi pesan James. Dengan terpaksa, Rima kembali ke kantornya untuk menemui James. 

[Pak, tolong tunggu saya.]

Send

James tersenyum, melihat pesan balasan dari Rima. Sebenarnya, dia sudah menduga, jika Rima akan menolak dengan caranya. Sehingga James ada waktu untuk menyelesaikan sedikit pekerjaannya yang tertunda, karena memandangi wajah Rima.

[Pak, saya sudah ada di parkiran. Tolong jemput saya,]

Send

Rima gelisah, pesannya tidak ada yang di balas oleh James. Ingin dia pergi sendiri menjemput ibunya, sayangnya dia tidak mengetahui di mana rumah ibu James berada.

"Saya sudah menunggu kamu cukup lama!" tegur James mengejutkan Rima.

"Pak James sejak kapan di sana?" tanya Rima ketika James menepuk pundaknya.

Tanpa menjawab, James mengajak Rima masuk ke dalam mobilnya. Setelah seatbelt terpasang, mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Menerobos keheningan di antara mereka, dan menghindari detak jantung yang kian bertalu. James lupa cara menerkam yang sudah dia susun sejak tadi.

***

Setelah kejadian hari itu, Bu Halimah sering sekali dijemput oleh Bu Rina. Dengan alasan agar semakin dekat. Rima yang mulai pasrah dengan keadaan menerima semuanya perlahaan. Lagi pula, memang seharusnya dia sudah menikah di usianya sekarang.

"Pak, jika kita menikah. Ibu akan tinggal dengan siapa?" tanya Rima ketika mereka makan siang di luar kantor. 

James sangat senang membahas masa depan dengan Rima, meski terkadang tidak di tanggapi oleh wanita pujaannya. James menjawab dengan pasti, jika ibu mereka akan tinggal bersama. Menghabiskan masa tua, bermain dengan cucu mereka.

Mendengar hal itu, Rima merasa lega. Benar apa yang ibunya pikirkan, jika James lelaki yang baik dan bertanggung jawab.

"Apa kamu masih ragu menikah dengan saya?" tanya James serius,

"Saya tidak ragu, Pak. Bapak mungkin yang ragu dengan saya!" jawab Rima.

"Bagai mana jika kita menikah bulan depan? Kamu bisa risegn mulai sekarang!" ujar James, sembari mengunyah makan siangnya.

Rima hanya mengangguk patuh. Sebenarnya Rima tidak asal menerima tawaran James, istikharahnya beberapa minggu ini mengarah ke lelaki idaman wanita yang memandangnya dan juga nasehat-nasehat ibunya yang takut jika Rahmadi akan terus berusaha mendekatinya.

***

Persiapan dilakukakan dengan cepat, setelah ke dua ibu mendengar berita yang di bawa oleh James. Bu Halimah yang paling bahagia, ketika putrinya mendengar semua nasehatnya.

"Saya terima nikah dan kawinnya, Rima binti Ardi Yusman dengan mas kawin sepetak tanah dan emas seberat !5gram, dibayar tunai!" ucap James tegas, setelah di pandu oleh penghulu.

Sah! Sah! Sah!

Suara saling menyahut terdengar menyentuh hati. Kebahagian terpancar dari semua wajah yang hadir, tapi tidak dengan para staf-staf wanita yang sangat memuja James.

Tiba-tiba, kebahagian itu harus terjeda,

"Pernikahan ini tidak sah!" teriak seseorang dari kejauhan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status