Satria menatap ke arah Sinta, wanita yang terlihat ceria itu, kini diam menunduk."Sehati?" tanya Satria dengan nada kepo."Iya," jawab Sinta. "Sama-sama mencintai orang yang tidak mencintai kita!" imbuhnya."Kamu harus membuka hati untuk orang lain, agar tidak membuat waktumu sia-sia!" pesan Satria."Apakah kamu tidak bisa membuka hatimu untukku?" tanya Sinta dengan suara serak.Satria menghela napas panjang, dan mengatakan dirinya tidak patut dicintai, karena cintanya telah habis untuk Rima, wanita yang kini menjadi istri orang lain.***Setelah dua minggu dirawat, Sherly dan Rima sudah kembali ke rumah mereka. Akan tetapi, Sherly tidak pernah keluar dari kamar. Memilih menangis sepanjang hari dan menyesali perbuatannya, dan terkadang dia histeris. Rima hanya bisa memandang dari kejauhan, karena Sherly menolak dirawat oleh ibu sambungnya."Mas, bagaimana kelanjutan kasus Sherly?" tanya Rima."Kita akan kirim Sherly ke Surabaya, tante Celine sudah kuhubungi dan sudah mempersiapkan se
Pesan yang di kirim oleh Rima hanya di baca saja oleh ibunya, saat ini Bu Halimah sedang berpikir bagaimana harus menyikapi masalah putrinya. Saat sedang memikirkan caranya, suara pintu di ketuk, membuyarkan lamunan Bu Halimah. "Ada apa kamu ke sini? Kok tahu alam rumah ini?" tanya Bu Halimah yang pulang ke rumahnya, karena di minta oleh Rima. Satria seperti biasa, mengambil tangan Bu Halimah dan salim takzim. Meski Bu Halimah menunjukan ketidak suakaannya pada dirinya. "Saya hanya ingin menjalin silahturahmi yang sempat terputus karena kesalahpahaman," balas Satria. "Apapun itu, semua hanya masa lalu, Rima sudah bahagia dan kamiharap kamu juga bahagia," Meskipun menyimpan kekesalan, Bu Halimah tetap memberikan doa tulusnya. Satria tidak beranjak dari tempatnya berdiri, dan tidak juga bertanya ataupun berkata. Bu Halimah pun hanya diam, bingung menghadapi Satria. "Apa boleh saya duduk, Bu?" tanya Satria lembut. Bu Halimah menarik napas panjang, sebelum mempersilahkan tamunya dud
"Assalamualaikum, Bu," salam James. Bu Halima yang baru saja masuk ke dalam rumah, kini harus kembali lagi keluar untuk menemui James. "Waalaikumusalam," balas Bu Halimah, setelah membuka pintu. Terlihat wajah lesu James, yang sangat tidak sedap dipandang. Bu Halimah meminta menantunya untuk masuk dan berbicara empat mata tanpa gangguan. Bu Halimah berpamitan pada putrinya, dengan alasan pergi berbelanja kebutuhan dapur. Rima enggan ditinggal sang ibu, karena hatinya benar-benar sedang sanat terluka saat ini, akibat ucapan sang anak tiri. "Kamu harus membicarakannya dulu pada James, jika suamimu tidak menemukan jalan, maka ibu yang akan memberikan caranya," ujar Bu Halimah mencoba menenangkan sang anak. Setelah mengatakan itu, Bu Halimah mengambil dompetnya dan berlalu dari hadapan Rima. James yang mengetahui mertuanya ingin pergi, menawarkan diri untuk mengantarnya, tapi langsung ditolak oleh sang mertua. "Kalian bicarakan dulu sebaik mungkin, jangan menggunakan emosi di situas
James nampak frustasi, dia menyugar rambutnya dan menjabaknya dengan kesal. Lalu, mengusap wajahnya kasar. Rima baru melihat suaminya seperti saat ini, dia merasa keputusannya menjauh adalah kesalahan. Akan tetapi, dia belum bisa menerima hinaan anak sambungnya yang dilontarkan berkali-kali. Rasanya sangat menyakitkan. "Sherly semakin lepas kontrol, jika kamu seperti ini. Dia hanya ingin meluapkan rasa kecewanya padaku, tapi kamulah yang jadi sasaran empuknya. Aku menikahimu bukan hanya karena ingin menyalurkan hasrat saja, tapi karena aku yakin, kamulah yang terbaiak untuk keluarga kecilku. Saat ini, ada duri yang menusuk kaki kita sangat dalam, Semua tergantung kita, bagaimana cara mengambil durinya, agar semua tidak tersakiti. Pelan, tapi pasti." James tidak lagi merayu Rima, hanya mengatakan apa yang ada di benaknya. James menunduk dalam, dia benar-benar kalut. Anaknya sedang terluka dan depresi berat, istrinya sudah lelah dipernikahan mereka yang baru seumur jagung. "Aku moho
"Enggak niat, Bu. Tadi saya ingin menanyakan masalah kelanjutan laporan mengenai kasus Sherly pada Pak James, tapi saya tunggu di luar mereka tidak keluar, meski sudah beberapa kali mengucapkan salam," bantah Satria.Bu Halimah melemparkan senyum sinis, tapi berusaha untuk tetap terlihat menghormatinya. Wanita paruh baya itu baru tahu, jika Satria memang benar-benar mencintai Rima. Hatinya pun ikut goyah saat mengetahui kebenaran dari Satria, tentang mengapa dirinya meninggalkan Rima dan baru kembali lagi. Semata-mata, untuk mengejar pendidikan, dan Satria pun sudah berusaha mencari Rima saat dia kembali."Lebih baik, kamu menanyakannya melalui telepon atau wa saja. Jangan sampai kamu jadi duri dalam daging, dan kamu akan mendapatkan fitnah!""Seperti janji saya, Bu. Saya akan menunggu Rima, cinta di hati saya untuknya tidak akan pernah usai atau hilang." jawab Satria dan dia langsung berpamitan.Bu Halimah hanya bisa menatap punggung lelaki yang hampir menjadi menantunya, akak tetapi
"Doakan hatiku kuat, Mas!" jawab Rima dengan suara berat. James langsung mengambil ke dua tangan Rima, dan duduk bersimpuh. Mengatakan doa yang tulus dari atinya, agar pernikahnya dengan Rima akan langgeng dan semua baik-baik saja. "Alhamdulillah, semoga Allah meridhoi. Jika istrimu masih mau di sini, biarkan saja, mungkin bisa menghilangkan rasa yang masih tersimpan di dadanya dan makin menguatkan tekadnya untuk terus menjadi istri dan ibu yang baik," saran Bu Halimah. James hanya mengangguk, tapi setelah Bu Halimah masuk ke dalam, lelaki berjenggot tipis itu merengek dan meminta Rima untuk pulang bersamanya. Terpaksa diiyakan oleh Rima. "Bu Rima harus pulang," pamit Rima dan Bu Halimah mencoba memahaminya. Sebagai ibu, Bu Halimah tidak ingin anaknya menjadi di umur pernikahannya yang baru. Akan tetapi, dia juga merasa kasihan pada anak semata wayangnya. *** "Mas, mampir ke super market, ya. Ada banyak yang mau aku beli, tapi kalau kamu sibuk, aku sendirian saja!" pinta Rima.
"Masa lupa dengan muridnya, Bu? Apa karena sekarang hidup enak, jadi bisa melupakan masa lalu?" ejek remaja yang ada di depannya. Rima mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, mencoba menontrol diri agar tidak kelepasan. "Tubuh Sherly sangat hangat dan aku sangat menikmati desahannya!" bisilk remaja itu. Mendengar itu, tubuh Rima menegang. Matanya mulai berembun, dadanya naik turun. meski sudah berusaha mengatur napas sebaik mungkin. "Jika ibu tidak membuat ulah, maka hal ini tidak akan terjadi! Tubuh Sherly sebagai bayarannya," Rima melayangkan tangannya untuk membungkam mulut remaja yang mulai keterlaluan menurutnya. Namun, sayang. Tanganya langsung di halangi oleh tangan remaja yang menyunggingkan senyuman smirk di wajahnya. "Bu, ibu harus meminta maaf pada kakaku yang depresi akibat ibu tinggal menikah dengan ayah Sherly!" terang remaja yang makin membuat Rima kesal. "Lepas, Sandi!" ronta Rima, mencoba melepaskan tangannya. "Aku tidak ada hubungannya dengan
"Sayang!" tegur James, yang melihat istrinya diam mematung. James menepuk pundak istrinya, saat panggilannya diabaikan. Rima yang menyadari, jika dirinya tidak lagiberbicara pada Sandi, langsung tersadar. "I-iya, Mas!" serunya dengan nada suara yang sumbang. James menanyakan kenapa dia diam mematung dan seperti ketakutan, Rima hanya membalas dengan mengajaknya pulang, tanpa memberi tahu ada apa dan kenapa. "Aku harus menemui Sandi dan keluarganya!" gumam Rima. *** Tiga hari berlalu, bagaikan tiga tahun bagi Rima. Melihat tingkah Sherly yang semakin hari, semakin tidak terkontrol dan juga dirinya selalu mengingat perkataan dari Sandi. "Apakah aku penyebab utama Sherly seperti ini, lalu aku harus bagaimana untuk membayarnya!" oceh Rima. James yang baru pulang dari kantor merasa heran dengan istrinya,yang masih sering melamun setelah pulang dari super market tempo hari. "Assalamualaikum," sapa James, tapi diabaikan oleh Rima. Lelaki bertubuh tegap itu memeluk istrinya yang namp