Berkali-kali Satria coba menghubungi Sri, namun tetap saja panggilan darinya tak mendapat jawaban. Ia melihat kembali ke arah Lala yang masih duduk di atas ranjang rawatnya. Satria tak berani membawa Lala turun, masih banyak pemeriksaan yang harus di lewati Lala sebelum dia bisa memutuskan semua baik.Lala sedang mengambar di atas kertas yang Satria ambil dari tas lukis milik gadis itu, saat menyiapkan semuanya, Zui membawa serta peralatan lukis milik Lala dan benat saja, setalah ia sadar sejak tadi Lala tal berhenti mengambar.Satria merasa sebenarnya Lala ingin bicara banyak, tapi mungkin dia tak tau bagaimana memulainya, semoga saja mengambar lebih membuatnya nyaman."Apa ini? wah bagus sekali!" Satria mendekat, gadis itu masih membuat garis beraturan, dia hanya melukis bunga mawar dengaan kelopaknya yang jatuh berguguan.Apakah ini yang di rasakannya? Hatinya rapuh dan gugur seperti dalam gambar?Satria bergumam sendiri, ia merasa ada banyak hal yang ingin di katakan gadis itu, n
Perlahan Mobilnya masuk ke pelataran rumah, Sri terdiam di dalam mobil sebentar, melihat Satria sudah menunggu di teras saat dirinya datang. Setelah menghels napas dan mempersiapkan diri, dia turun dan berjalan mendekati suaminya.Hampir lima jam Sri pergi meninggalkan rumah, dan Satria tau istrinya tak benar-benar pergi ke pasar. Wanita berparas ayu itu menatap ke arahnya dan terlihat sempat ragu namun dirinya tetap melangkah masuk.Satria menatap Sri dengan tajam, perlahan lelaki itu turun dari rumah panggungnya dan juga mendekati sang istri."Ada yang ingin kamu jelaskan padaku?" Tatapan mata Satria memberikan rasa takut di hati Sri, belum pernah dia melihat mata bening nan teduh itu menyala seperti saat ini."A_apa maksudmu menjelaskan? Haha, kamu sedang meminta penjelasan apa yang aku belum untuk makan siang kita?" Sri tersenyum canggung."Makan siang?" Kedua alis Satria terangkat.Sri semakin canggung, dia berusaha terlihat tenang namun jantungnya serasa akan melopat lepas dari
Sri masuk ke kamar Lala setelah menyelesaikan semua pekerjaannya di dapur, gadis itu sudah bangun seperti yang suaminya katakan saat memintnya masuk menemui Lala, berusaha menahan debaran hebat di dadanya, Sri menatap ke arah Lala."Hay sayang, sudah bangun?" Sri melangkah masuk meletakkan baskom berisi air hangat ke atas meja, ia lalu menutup tirai jendela kamar putrinya dan berjalan menyalakan lampu."Apa masih terasa pusing, bagian mana yang sakit?" Sri bertanya dan menatap wajah Lala yang belum mau melihatnya, setelah apa yang di jelaskan Satria, Sri punya keberanian untuk memperbaiki hubungan mereka."Tidak apa-apa sayang, besok mama dan papa akan membawa Lala ke rumah sakit, kita mungkin akan tinggal di sana sedikit lama, jadi Lala harus semangat ya." Ucap Sri, senyumnya terus mengembang berusaha menunjukkan pada Lala dia bahagia atas kesembuhan Lala."Kita harus bersihkan tubuh Lala ya, hari ini mama membawa tiga baju yang berbeda, Lala boleh pilih ingin pakai baju yang mana."
Aini berlari dari arah meja makan saat mendengar berita pembuhunan dua orang yang tak asing baginya, dia terduduk di lantai rumahnya, menatap berita dari layar televisi membuat dirinya susah menelan makanan yang baru saja masuk ke dalam mulut. Setelah baru kemarin seorang yang dia kenal di makamkan dengan tragis, kini dua lagi dari mereka menyusul dengan kisah yang nyaris tak masuk akal.Tangannya gemetar melihat jasad di dalam kantung kuning itu diarak masuk ke dalam ambulan."Ini gila!" Ucapnya mulai tak tau bagaimana harus menerima ini semua masuk dalam logika kepalanya."Bagaimana bisa tiga orang yang terlibat dalam satu kejahatan yang sama, mati dalam waktu berurutan? Aku nggak bisa memikirkan hal lain selain ini adalah balas dendam!"Aini mulai berpikir liar, setiap kali ia mengingat pagi tadi dirinya terbangun di tengah kolam setelah semalaman dia di teror habis oleh hantu gadis kecil itu."Apa hantu gadis itu benar-benar ada?" Dia mulai berpikir tak masuk akal."Ma_""Ark! Apa
"Pastikan semua tirai tertutup, jendela terkunci jangan buka pintu untuk siapapun!"Aini menatap tajam pengasuh anak-anaknya, ada hal lain yang ingin dia lakukan sekarang dan tak bisa membawa dua anaknya bersamanya."Baik bu, akan saya ingat." Ucap pengasih anak itu sembari mengantarkan majikan wanitanya keluar dari rumah."Jangan hanya di ingat, tapi di lakukan, kamu ingat untuk menjaga anak-anakku baik-baik!" Aini bicara sambil berjalan keluar dari rumahnya.Ia masuk ke dalam mobil setelah pengasuh wanita itu membukakan gerbang untuknya, dia mengeliarkan mobilnya dan segera meninggalkan kawasan rumah tempatnya tinggal.Mobilnya melaju membelah jalan namun tiba-tiba harus di rem saat sebuah mobil lain keluar dari jalur dan berhenti tepat di depannya.Hampir saja mereka bertabrakan, bahkan kening Aini terbentur setir dengan keras. Wanita itu murka dan keluar dari mobilnya, berjalan tak sabar menghampiri kendaraan yang hampir membuat dirinya juga dalam bahaya."Buka!" Teriaknya menget
Mobil Aini memasuki pelataran milik Yuan, anak buah Yuan sudah menunggu di depan dan membuka kan pintu untuk Aini."Terimakasih, apa tuan Yuan sudah menunggu lama?" Aini bertanya sembari merapikan riasannya, wajahnya yang bersih kini nampak semakin cerah dengan bibir merah merona yang baru saja ia poles."Tuan sedang ada tamu, jadi tunggu lah di luar." Ucap seorang lelaki pada Aini."Begitu, baiklah aku akan masuk saja ke kamar biasa." Aini berjalan mendekati rumah, namun tangannya di tarik untuk menjauh."Tidak ada yang boleh masuk sampai Tuan Yuan memberi perintah."Aini berkacak pinggang, seperti nyonya besar matanya membelalak menatap para pengawal Yuan."Aku ini Aini, wanita yang selalu di inginkan tuan kalian, apa aku harus menunggu di sini seperti jalang murahan?"Pengawal berambut cepak itu mencibir dengan jelas." Apa bedanya kamu dengan perempuan murah lain yang datang kemari? Tuan Yuan bukan hanya menidurimu, ada banyak wanita datang dan pergi setiap hari, kamu hanya salah s
Entah kenapa amarah Sri tak juga reda, setiap kali dia ingat apa yang sudah di lakukan Aini dan Fandi pada putrinya, Sri tak pernah bisa meredakan gejolak di dadanya sendiri."Mau mandikan Lala?" Erica melihat menantunya menuang rebusan air dalam baskom yang sudah berisi air dingin."Ya ma, tadi masih tidur saat Mei lihat, mungkin sekarang sudah bangun." Ucapnya sembari meletakkan panci kosong ke dalam tempat pencucian."Ya, semalam dia bicara banyak dengan Bapakmu, mungkin itu membuatnya lelah."Sri hanya tersenyum mengiyakan. "Mei ke kamat dulu mam." Ucapnya lalu meninggalkan dapur menuju kamar Lala.Semalam Sri masih ingat jelas bagaimana bapaknya meminta dirinya untuk tak lagi memikirkan balas dendam, bagi lelaki berpengaruh itu hidup Lala jauh lebih bernilai sekarang. Sri tak dapat membantah semalamnamun juga tak bisa begitu saja menerima, sulit baginya memaafkan semua yang sudah membuat gadis kecilnya yang ceria menanggung sendiri semua lara."La, kita mandi dulu sayang."Sri ma
Apakah demensia itu berbahaya?"Sri bertanya dengan cemas, tangannya meremas seperti tak sabar menunggu penjelasan suaminya."Beberapa kasus akan membaik, namun ada juga yang membuat penderitanya terus mengalami gangguan ingatan yang lebih serius." Satria menatap lekat manik mata istrinya."Kamu lihat ini?" Satria menunjuk satu bagian dari gambar otak di layar."Ini bagian di mana Lala mengalami pendarahan dan di sekitarnya adalah jaringan yang mengalami peradangan serta penurunan fungsi.""Kita tak bisa membawa Lala pulang sayang, dia harus di sini untuk pemeriksaan berkala, ini serius." Ucap Satria dan membuat Sri kembali merasa Sri menatap layar dengan seksama, mendengarkan penjelasan Satria yang lebih mudah dia terima meski akhirnya membuat hatinya kembali terasa lebih sakit dan kecewa."Apakah ini bisa sembuh sayang, mengingat Lala masih muda pasti besar kemungkinan dia bisa segera pulih kembalikan?" Sri menatap dua manik mata Satria namun hanya helaan napas yang di dengar."Kit