"Bagaimana jika kita makan siang dulu?"Satria memecah hening, sejak keluar pemakaman Lala memang hanya diam menatap jalanan, berkali-kali aku coba hibur, namun dia bergeming."Ah, mama juga lapar deh om Tri, kayaknya perlu di ini juga perut ini." Aku juga ikut mencairkan suasana, meski mungkin selera makanku tak ada sekarang."Bagaimana ini, ada yang belum memberikan persetujuan nih mama Sri." Satria masih merayuLala melirik ke arah Satria, meski tak tersenyum.dia mengeser duduknya menatap ke depan."Kalau mama dan om Tri lapar, makan dulu saja, Lala nggak pengen makan apa-apa." "Mana seru, kalau nggak makan sati, berarti nggak makan semua dong." Aku melipat tangan di dada."Mama juga nggak mau makan om Tri, nggak nafsu." Aku melirik Satria yang tersenyum seakan punya seribu cara membujuk Lala."Aduduh, perut aku sakit mama Sri..." Satria memegang perutnya dengan wajah di buat-buat, jelek sekali aktingnya."Sakit om Tri?" Aku ikut saja aktingnya yang kaku, mobil Satria bahkan berg
"Ma, om Tri itu baik ya." Lala tiba-tiba saja berkata padaku begitu, kami sedang duduk di balkon kamarnya pagi ini, sejak semalam dia memang tak berhenti membicarakan Satria."Kenapa Lala bisa bilang begitu?""Waktu ayah paksa Lala di gendong, om Tri ngelindungin Lala kan ma"Alisku bertaut mendengarnya." Ngelindungin dari siapa memang?""Dari ayah ma, ayah itu suka sekali makasa kan, lala nggak suka." Ucapnya polos lalu meminum susu di dalam gelasnya."Tapi ayah itu bukan orang jahat La, ayah ya tetap ayahnya Lala kan?""Iya, tapi Lala nggak suka." Ucapnya polos."Apa Lala benci ayah?"Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Kata mama kan kita nggak boleh benci orang lain. Lala nggak benci ayah, Lala cuma nggak suka ayah maksa Lala, kayak waktu ayah ajak Lala pergi dengan tante jahat itu."Aku diam, belum hilang dari ingatan memang saat mas Fandi dan mantan istri gelapnya itu membawa Lala pergi dadi sekolahnya, aku bisa melihat Lala memang sangat terpaksa saat bercerita dulu."Memangnya
"Apa yang ingin mas bicaraka?"Aku melipat tangan di dada, menatap lelaki yang pernah bertahun-tahun hidup denganku ini dengan seksama. Wajahnya yang dulu bersih dan terawat, kini terlibat kumal dan tak se menawan dulu."Aku tak akan bosan memintaku untuk memikirkan kembali tentang perpisahan kita Sri."Aku memutar mata malas mendengar ucapannya. Kamarin kami berdebat karena masalah ini dan sekarang dia memintaku datang juga karena masalah yang sama."Apa yang sebenarnya mas mau dari hubungan kita?""Maksudnya apa Sri?""Dulu pergi dan berkhianat jadi menyenangkan untukmu mas, bahkan dengan sangat bangga kamu bandingkan aku dengan wanita yang kamu anggap sempurna itu."Mas Fandi masih diam, tentu dia akan ingat bagaimana dirinya menghina dan merendahkanku."Katakan mas, bagaimana kamu bisa memintaku kembali setelah dulu kamu bilang aku wanita kumal?""Sri_""Jangan mengiba mas, hatiku tak lagi terketuk bahkan untuk memberimu rasa kasihan.""Maafkan aku Sri...""Buat apa meminta maaf m
Tunggu, sebenarnya ada apa antara mbk Aini dan Satria, bukanlah Satria tak memiliki anak? Kenapa sekarang dia begitu mesra dengan Mesya dan Mutiara."Duduk Sri...." Ucap Satria lalu berjalan pelan duduk juga di sisiku."Bisakah kamu jelaskan sesuatu Tri, sungguh aku terlihat sangat bodoh sekarang!" Ucapku masih menuntut penjelasan."Dia mbak Aini.""Ya, aku kenal mbak Aini, bukankah aku sudah ada di sini saat kamu datang."Satria tersenyum, aku rasa dia sedang binggung." Maaf jika aku salah bicara, jadi mbak Aini ini istri kakak sepupuku.""Sejak kapan kamu punya kakak sepupu?""Sejak di adopsi Sri, keluarga angkatku punya juga keluarga yang untuh."Aku sedikit lega, ternyata mbak Aini ini kakak sepupu Satria."Tunggu Iyan, kalian saling kenal?" Mbak Aini memanggil Satria dengan nama adopsinya."Sri ini wanita yang selalu aku bicarakan mbak."Wajah mbak Aini berubah, terkejut dan senyum yang puas, aku tak dapat mengartikan apa itu"Maksudnya mbak2 Sri ini teman kecilmu itu?"Satria me
"Aku tak cemburu." Elakku saat Satria menatapku justeru dengan tatapan ragu."Betul Tri, aku tak cemburu!" Ucapku lagi menepis caranya melihatku, dia tak tau aku sedang menahan debaran sekarang."Jangan menatap begitu Tri, aku sudah bilang tak cemburu pada mbak Aini." Ucapku lalu melemparkan pandangan ke luar jendela.Teringat bagaimana wajah mbak Aini tadi, aku jadi tak yakin dengan ucapan Satria. Mungkin saja bibir mbak Aini bisa berkata rela, namun hatinya tak ada yang taukan?."Jangan marah Sri, aku hanya bercanda." Ucapnya lalu mengusap wajahku yang merona."Aku tak marah Tri, tak ada alasan bagiku untuk marah padamukan? Katakan Tri, jika keluargamu menjodohkan kamu dan mbak Aini lagi, apa kamu akan mau?"Dia tersenyum dengan kepala menggeleng. "Jangan bercanda Sri, aku dan mbak Aini tak mungkin bisa bersama.""Kenapa kamu bilang begitu?""Ya Karena aku tak mau. Jika aku tak mau, tak ada juga yang bisa memaksaku."Aku hanya tersenyum, bahagia mendengar bahwa Satria sendiri tak me
"Tante mau paksa Lala lagi?" Ucap Lala pelan dan ku lihat Fani semakin salah tingkah."Paksa? Tunggu! Apa Fani pernah melakukan sesuatu pada Lala dan aku tak tau?"Aku berbalik melihat Lala, anakku terlihat tak suka sejak bertemu tantenya, kemarin saat di pemakaman Lala juga terlihat tak mau mendekati Fani."Lala sayang, kenapa kamu bilang begitu pada tante Fani?" Aku mengusap rambutnya yang basah. Bukankah tempat ini ber-AC, kenapa Lala bisa basah begini?"La, mama sedang bertanya pada Lala, katakan sayanh, ada apa?" Satria juga berjongkok menenangkan anak gadisku."Tante Fani pernah bilang akan bawa Lala jauh dari mama jika ayah dan mama berpisah."Aku tak percaya dengan apa yang kudengar."Kapan tante bicara begitu La, jangan ngarang kamu Lala, anak kecil saja bisa berbohong begitu!" Ucapnya kesal menunjuk wajah Lala yang terlihat semakin gemetar.Aku mencengkeram tangan Fani dengan kesal, berdiri dan menatap matanya yanv terlihat berkaca sekarang." Jangan berani kamu tunjuk anakku
"Masakan Mei sangat enak." Mami satria memakan habis semangkuk sup solo yang kubuat."Mami benar, mungkin kita bisa membuka usaha baru di sini." Satria menambahkan, aku tak ingat mangkuk keberapa yang kini ada di depannya, sejak tadi dia tak berhenti mengunyah."Sup buatan mama memang juara oma, biasanya Lala makan ini di pagi hari, tapi sudah lama mama nggak masak." Aku terpaku mendengar kalimat Lala.Dulu aku begitu sering memasak ini di rumah, salah satu masakan yang paling sering Lala minta ada di meja makan. Meski tak selalu ada ayam di rumah, semangkuk kuah dengan isian wortel dan makaroni rebus sudah membuat senyum polos Lala mengembang."Kenapa mama nggak pernah masak lagi La?" Mami bertanya pada Lala."Karena sudah ada yang masak di rumah kakek." Ucap Lala polos."Nanti kalau kalian menikah, mama akan sering berkinjung kerumah kalian, mama mau di masakin ya lain ya Mei."Aku tersenyum saja mendengar kalimat Mami padaku. "Nikah? Mama sana om Tri mau nikah?"Kami saling panda
Pagi ini, aku antarkan Lala ke sekolahnya, sebelum berangkat ke kantor dan mengurus beberapa pekerjaan, aku memang selalu menyempatkan diri mengantarkan Lala ke sekolahnya."Mutiara!" Lala berteriak dari dalam mobil saat melihat sahabatnya itu berjalan ke arah gerbang.Aku memperhatikan dari dalam mobil, bahkan saat tiba-tiba mbak Ainienepis tangan Lala yang menggandeng Mutiara. Aku sampai melepaskan kacamata karena terkejut, ada apa dengan mbak Aini, apa Lala berbuat salah padanya?Aku parkiran mobilku dan mendekati Lala yang masih terpaku melihat Mutiara di ganeng ke ibunya ke dalam sekolah."Mama antar masuk sayang." Ucapku dengan senyuman hangat, meski hatiku panas melihat anakku di perlakukan seenaknya, akuasib coba manah diri untuk tak membuat Lala merasa lebih sedih."Ma, kok mama Mutiara nggak bolehin Lala sama Mutia?" Denvan polosnya gadis kecilku bertanya.Aku tersenyum mengusap rambutnya yang terikat dua."Mungkin mama Mutia sedang buru-buru, jadi mau Mutia segera masuk ke