"Apa maksudmu, Tiara?"
Gadis itu nampak menatap wajahku dengan sorot mata penuh tanda tanya."Nona tenang saja, itu bukanlah hal yang perlu dipikirkan.""Apa maksudmu, seseorang sudah kehilangan nyawanya! Dan aku…""Anda adalah saksi kuncinya. Jadi, saya harap anda dapat menahan diri agar tetap diam dan mengubur semua hal mengenai pria itu." ***Keesokan harinya, aku terbangun dari tidur panjang. Saat melihat jam dinding kamar, jam telah menunjukkan pukul lima pagi. Aku bergegas untuk membersihkan diri dan mengambil air wudhu untuk bisa menunaikan shalat subuh.Selesai menunaikan shalat subuh, akupun membereskan ranjang tempat tidurku. Sungguh, tidur di atas spring bed berukuran besar ini membuat tidurku begitu nyaman. Walaupun dulu, di rumah Mas Bagas ada kasur sebesar ini, tapi diriku tak diperbolehkan untuk menikmatinya. Aku harus bertahan tidur diatas lantai putih yang dingin itu. ***"Apakah yang kau katakan benar, Sayang?"Imelda tersenyum penuh arti.Bagas hanya mengangguk mengiyakan saja pertanyaan kekasihnya itu."Jadi, kita akan segera Menikah?""Tidak semudah itu, Sayang. Kakekku masih hidup, dan aku tak ingin membuat masalah baru lagi."Imelda memanyunkan bibirnya dengan penuh rasa kesal. Duduknya segera ia geser menjauh dari Bagas."Jangan lupa,aku punya stok sabar sedikit!" lanjutnya tanpa mau disentuh oleh Bagas. Pria itu hanya dapat geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Imelda yang kekanak-kanakan. ***"Maaf Nona, bolehkah saya masuk?" suara Tiara terdengar di luar pintu kamar."Bo, boleh…" aku menjadi sedikit gugup. Walaupun sebenarnya sudah sedikit biasa dengan suasana rumah dan keberadaan Tiara, tetap Saja raut wajah Adelard begitu mendominasi dan terasa menyeramkan bagiku.Cklek! Pintu terbuka, dan Tiara terlihat membawa nampan berisi makanan dan juga minuman untuk sarapan pagiku.Tiara meletakkan nampan berisi makanan dan minuman itu diatas meja yang berada di dekat ranjang."Silahkan, sarapan terlebih dahulu Nona." Ucap Tiara tetap dengan senyuman manis di wajahnya."Ini masih terlalu pagi," jawabku mengingat bahwa jam belum menunjukkan pukul tujuh tepat."Tapi anda harus sarapan tepat waktu, karena anda akan mulai sekolah.""Umurku sudah dua puluh tiga tahun, kenapa harus sekolah lagi? Otakku sudah tidak sampai untuk…"Tiara mengelus lembut lenganku."Makanlah terlebih dahulu, Nona. Nanti kita akan bicara lagi…""Tapi…""Percayalah padaku, Nona. Anda butuh tenaga ekstra untuk hal ini." ***"Maaf Tuan, Sepertinya para saksi mata telah disuap dan jenazah Tuan Dilan belum juga ditemukan sampai saat ini."Adelard memejamkan kedua matanya. Sepertinya rencana yang sudah ia susun dengan rapi telah dibaca oleh musuh."Bukankah tidak masuk akal, sedangkan saat itu banyak warga yang melihatnya?""Apa anda tidak membaca berita terbaru, Tuan?"Adelard menggeleng cepat berusaha untuk menyembunyikan rasa penasaran dalam dirinya."Warga desa kelor telah pindah ke luar kota. Semua tanpa terkecuali, desa mereka akan dibangun sebuah perusahaan. Dan anehnya, tak ada perlawanan yang dilakukan warga desa. Mereka setuju saja dengan pembelian lahan."Adelard memijat kepalanya yang mulai berdenyut sakit mendengar kabar yang telah disampaikan oleh Tristan, Sekretaris sekaligus orang Kepercayaannya."Apa aku terlalu gegabah dalam melakukan hal ini, Tristan?""Tidak Tuan, tapi sepertinya mereka memiliki mata-mata yang berada dipihak kita."Adelard memutar kursinya dan menatap langsung ke arah Tristan."Apa masih ada hal seperti itu? sungguh menjijikkan!" komentar Alderd.Tristan hanya tersenyum masam menanggapi perkataan Bosnya itu."Mereka sudah mengeluarkan banyak uang untuk menutupi kebenarannya. Apa tidak ada celah untuk bisa mendapatkan informasi itu?"Belum sempat Tristan menjawab, suara ketukan pintu membuat keduanya harus menunda pembicaraan ini."Ini Saya, Tuan!" suara Tiara terdengar di balik pintu."Masuk!" titah Alderad.Mendengar suara pria itu, membuat jantungku berdebar tak karuan. Belum juga bertemu dengan orangnya, Suaranya sudah membuat bulu kuduk berdiri semua.Tiara memberi isyarat agar aku masuk terlebih dahulu.Akupun segera membuka handle pintu dan terlihatlah dua orang Pria yang terlihat begitu serius saat menatap wajahku."Kenapa dia masih memakai daster jelek itu?"aku memandangi daster pemberian Bibi Murti semalam. Bahkan daster ini lebih bagus daripada baju yang aku gunakan semenjak menjadi istri Mas Bagas."Maaf Tuan atas keteledoran saya. Tapi, ini salah satu hal yang ingin saya katakan pada anda. Nona Basyira adalah seorang Muslim,dan beliau biasa menggunakan hijab atau yang bisa anda lihat sekarang, hijab fungsinya untuk menutupi rambut sampai ke area dada. Jadi, saya harus mengkonfirmasi bahwa Nona Basyira membutuhkan pakaian berupa gamis dan jilbab. Benar begitu, Nona?"Aku sungguh tidak menyangka bahwa Tiara begitu memperhatikan detail pakaian yang aku butuhkan."Kenapa harus pakai penutup rambut? Bukankah wanita lebih indah dipandang jika rambutnya terlihat?"aku hanya bisa mendengarkan sambil memegangi ujung hijabku."BasYira adalah penganut agama Islam, Tuan! Dan agamanya mewajibkan setiap wanita untuk menutupi auratnya.""Baiklah, terserah! Aku tak perduli, yang jelas kau harus membuat wanita ini kembali cantik dan bisa membuat Keluarga Kuncoro hancur."Aku memandang wajah Alderad, mencari sesuatu yang entah mengapa terasa begitu hampa. Walaupun dirinya bukanlah seorang penganut agama Islam, tapi aku sangat yakin penganut agama lain sangat paham tentang sebuah hijab dan kegunaannya."Kenapa kau memandangku seperti itu?" Adelard menatap tak suka ke arahku. Belum sempat menjawab pertanyaannya, sebuah bisikan di telinga membuat diriku semakin terkejut. Ya, tentunya Tiara yang membisikkan kata-kata itu."Tuan Adelard tidak mempercayai adanya Tuhan!"Aku dapat melihat dengan jelas, saat kedua alis Alderad saling bertautan. Pria itu, nampak meletakkan piring apelnya pada meja. setelah itu, kembali berjalan menuju ke arahku. Tak ingin Alderad membaca pikiranku, bahwa saat ini aku merasa tidak nyaman dengan kehadirannya. Aku memutuskan untuk tetap ditempat, tidak peduli dengan tatapan matanya yang tajam. kembali Alderad meraih daguku, agar pandangan kami kembali bertemu. "Dari awal, kau memang menyedihkan." Jawabnya, singkat tanpa memperdulikan perasaanku. "Jangan merasa menjadi korban. kaulah yang datang dan menyetujui untuk menikah dengan-" "Cukup!" aku menepis tangan Alderad, tidak ambil pusing dengan ekspresi wajah terkejut sekaligus tak suka dengan caraku menyingkirkan tangannya dari wajahku. "Kau sudah mulai berani," Alderad kian mengikis jaraknya dengan tubuhku. Tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk terjadi, aku memutuskan untuk membalikkan badan dan bersiap untuk pergi. Namun, baru selangkah, tanganku sudah ditar
"Apa Nadia masih tidur?" aku menatap wajah Tiara yang sedang terlihat menatap box bayi tempat tidur Nadia.Tiara tersenyum menanggapi pertanyaanku. Gadis itu nampak menatap diriku dengan tatapan yang tak mampu aku artikan."Kenapa menatapku, seperti itu?" tanyaku sambil mendudukkan tubuhku di pinggiran kasur. Jujur saja, aku sedikit lelah dengan semua hal yang aku lakukan, padahal Alderad hanya menyuruhku untuk memilih baju. "Nadia baru saja tidur setelah meminum satu botol ASI yang anda siapkan." Jawab Tiara.Aku mengangguk dan tersenyum penuh rasa syukur atas apa yang dilakukan gadis ini. Sebenarnya, sudah dari dulu aku penasaran. Siapa sosok Tiara sebenarnya. Gadis ini, tidak seperti para pekerja di rumah ini yang memakai baju khusus pelayan. Ia bebas memakai baju yang ia sukai, dan memiliki kamar tersendiri, berbeda dengan para pekerja yang memiliki kamar di paviliun belakang rumah Alderad.Tiara telah menempati posisi kamarnya di dalam rumah utama ini, jauh sebelum Basyira memasu
"Turunlah, apa kau tuli?" kembali Alderad menyadarkan ku untuk segera turun dari mobil. Tak ingin menambah daftar panjang Omelan pria itu, aku bergegas untuk turun dari mobil. Sebuah butik baju yang lumayan besar. Entah apa tujuannya mengajakku datang ke tempat ini, tapi aku rasa Alderad memiliki sebuah rencana.Tanpa mengatakan apa-apa, Alderad melangkahkan kakinya menuju ke dalam butik. Aku pun melakukan hal yang sama tanpa menunggu ucapan Alderad."Pilihlah pakaian yang kau suka. Tapi, kau harus tahu batasannya. Mulai sekarang, kau adalah wanita yang memiliki derajat sama denganku. Jadi, kau harus tahu apa yang sebaiknya kau pilih." Pria itu terlihat tak memperdulikan diriku yang sebenarnya masih sedikit kebingungan atas permintaan yang diucapkannya. Baru saja ingin bertanya, kedua mataku kembali menangkap siluet tubuh wanita yang tadi keluar dari kamar Alderad. Keduanya nampak begitu akrab, duduk berdampingan di Sofa yang telah tersedia di tempat ini. Tak ingin terlihat bodoh, aku
"Tidak bisa, kita harus secepatnya menikah." Ucap Imelda saat berada di rumah Bagas. Wanita itu terus mendesak agar Bagas menikahinya setelah mengetahui pria itu menceraikan dan mengusir Basyira dari rumah.Bagas mengabaikan perkataan Imelda, Ia masih berusaha untuk meyakinkan beberapa investor agar kembali menyuntikkan dana pada perusahaannya."Mas, apa kau tidak mendengarkan ucapanku?" Imelda merasa kesal dengan sikap acuh Bagas. Pria itu tampak begitu serius menatap layar laptopnya."Aku akan menikahimu, setelah aku mendapatkan investor agar kembali-""Jangan khawatir," potong Imelda dengan tatapan liciknya."Aku bisa membantumu untuk bisa mendapatkan Investor baru, asalkan kau menikahi diriku."Bagas menatap wajah sang kekasihnya, memperhatikan gerak-gerik Imelda yang begitu percaya diri dengan ucapannya.***Menjadi partner kerja seorang Alderad bukanlah hal yang mudah. Aku harus memastikan bahwa diriku layak mendapatkan gelar setara dengan dirinya, seorang CEO Hotel berbintang y
Alderad memperhatikan wanita yang saat ini masih berdiri di ruangannya. Alderad sengaja tidak memberikan jawaban atas apa yang baru saja diucapkan wanita yang telah melahirkan anak Bagas itu.Ia tidak ingin langsung menyetujui permintaan Basyira, walaupun dalam hatinya Ia senang dengan keputusan Basyira.Uji"Apa yang kudapatkan dari permintaan yang baru saja kau ucapkan?"Mendapati pertanyaan Alderad, aku tidak bisa menahan Senyum."Kenapa kau tersenyum?""Simbiosis mutualisme. Bukankah begitu?"Alderad bungkam. Pria itu nampak kesal dan membuang pandangannya ke arah lain. Sepertinya ucapanku membuat harga dirinya sedikit tersakiti."Sudahlah, lebih baik kau pergi saja. Besok, kita akan bicara lagi." Aku mengangguk mengiyakan dan segera keluar dari kamar Alderad. Satu ruangan bersama pria itu, membuat suhu ruangan menjadi lebih dingin. Aura yang dipancarkan oleh Alderad sangatlah tidak baik. "Bagaimana?" tanya Tiara saat diriku telah kembali ke kamar."Belum menjawab, tapi sepertiny
Tiara tidak melanjutkan perkataannya. Gadis itu terburu-buru untuk meletakkan nampan tersebut di atas meja kamarku. Kedua matanya menginstruksikan kepada diriku agar memasuki kamar dan segera makan makanan yang telah ia sajikan."Apa anda tidak bisa mengubah keputusan yang anda katakan pada Tuan?""Soal pernikahan itu?" Tiara mengangguk mengiyakan. Tatapannya penuh dengan sebuah harapan."Agamaku melarang untuk melakukan hal tersebut. Terlebih, Tuanmu itu tidak beragama, Seperti yang kau katakan sebelumnya."Tiara menghembuskan nafas panjang, Seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya."Lalu, bagaimana caranya Tuan membalaskan dendam atas kematian saudaranya?"aku mengelus lembut lengan Tiara, menyalurkan rasa nyaman agar Ia merasa sedikit tenang."Ada cara lain." Jawabku sambil tersenyum menatap manik Coklat milik Tiara."Apa itu?""Akan aku ceritakan setelah aku makan. Jujur, aku sangatlah lapar."Tiara tersipu malu karena merasa dirinya terus-menerus mengajakku mengobrol ta