Share

Bab 5 ( Tidak Percaya Keberadaan Tuhan )

"Apa maksudmu, Tiara?"

Gadis itu nampak menatap wajahku dengan sorot mata penuh tanda tanya.

"Nona tenang saja, itu bukanlah hal yang perlu dipikirkan."

"Apa maksudmu, seseorang sudah kehilangan nyawanya! Dan aku…"

"Anda adalah saksi kuncinya. Jadi, saya harap anda dapat menahan diri agar tetap diam dan mengubur semua hal mengenai pria itu."

***

Keesokan harinya, aku terbangun dari tidur panjang. Saat melihat jam dinding kamar, jam telah menunjukkan pukul lima pagi. Aku bergegas untuk membersihkan diri dan mengambil air wudhu untuk bisa menunaikan shalat subuh.

Selesai menunaikan shalat subuh, akupun membereskan ranjang tempat tidurku. Sungguh, tidur di atas spring bed berukuran besar ini membuat tidurku begitu nyaman. Walaupun dulu, di rumah Mas Bagas ada kasur sebesar ini, tapi diriku tak diperbolehkan untuk menikmatinya. Aku harus bertahan tidur diatas lantai putih yang dingin itu.

***

"Apakah yang kau katakan benar, Sayang?"Imelda tersenyum penuh arti.

Bagas hanya mengangguk mengiyakan saja pertanyaan kekasihnya itu.

"Jadi, kita akan segera Menikah?"

"Tidak semudah itu, Sayang. Kakekku masih hidup, dan aku tak ingin membuat masalah baru lagi."

Imelda memanyunkan bibirnya dengan penuh rasa kesal. Duduknya segera ia geser menjauh dari Bagas.

"Jangan lupa,aku punya stok sabar sedikit!" lanjutnya tanpa mau disentuh oleh Bagas. Pria itu hanya dapat geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Imelda yang kekanak-kanakan.

***

"Maaf Nona, bolehkah saya masuk?" suara Tiara terdengar di luar pintu kamar.

"Bo, boleh…" aku menjadi sedikit gugup. Walaupun sebenarnya sudah sedikit biasa dengan suasana rumah dan keberadaan Tiara, tetap Saja raut wajah Adelard begitu mendominasi dan terasa menyeramkan bagiku.

Cklek! Pintu terbuka, dan Tiara terlihat membawa nampan berisi makanan dan juga minuman untuk sarapan pagiku.

Tiara meletakkan nampan berisi makanan dan minuman itu diatas meja yang berada di dekat ranjang.

"Silahkan, sarapan terlebih dahulu Nona." Ucap Tiara tetap dengan senyuman manis di wajahnya.

"Ini masih terlalu pagi," jawabku mengingat bahwa jam belum menunjukkan pukul tujuh tepat.

"Tapi anda harus sarapan tepat waktu, karena anda akan mulai sekolah."

"Umurku sudah dua puluh tiga tahun, kenapa harus sekolah lagi? Otakku sudah tidak sampai untuk…"

Tiara mengelus lembut lenganku.

"Makanlah terlebih dahulu, Nona. Nanti kita akan bicara lagi…"

"Tapi…"

"Percayalah padaku, Nona. Anda butuh tenaga ekstra untuk hal ini."

***

"Maaf Tuan, Sepertinya para saksi mata telah disuap dan jenazah Tuan Dilan belum juga ditemukan sampai saat ini."

Adelard memejamkan kedua matanya. Sepertinya rencana yang sudah ia susun dengan rapi telah dibaca oleh musuh.

"Bukankah tidak masuk akal, sedangkan saat itu banyak warga yang melihatnya?"

"Apa anda tidak membaca berita terbaru, Tuan?"

Adelard menggeleng cepat berusaha untuk menyembunyikan rasa penasaran dalam dirinya.

"Warga desa kelor telah pindah ke luar kota. Semua tanpa terkecuali, desa mereka akan dibangun sebuah perusahaan. Dan anehnya, tak ada perlawanan yang dilakukan warga desa. Mereka setuju saja dengan pembelian lahan."

Adelard memijat kepalanya yang mulai berdenyut sakit mendengar kabar yang telah disampaikan oleh Tristan, Sekretaris sekaligus orang Kepercayaannya.

"Apa aku terlalu gegabah dalam melakukan hal ini, Tristan?"

"Tidak Tuan, tapi sepertinya mereka memiliki mata-mata yang berada dipihak kita."

Adelard memutar kursinya dan menatap langsung ke arah Tristan.

"Apa masih ada hal seperti itu? sungguh menjijikkan!" komentar Alderd.

Tristan hanya tersenyum masam menanggapi perkataan Bosnya itu.

"Mereka sudah mengeluarkan banyak uang untuk menutupi kebenarannya. Apa tidak ada celah untuk bisa mendapatkan informasi itu?"

Belum sempat Tristan menjawab, suara ketukan pintu membuat keduanya harus menunda pembicaraan ini.

"Ini Saya, Tuan!" suara Tiara terdengar di balik pintu.

"Masuk!" titah Alderad.

Mendengar suara pria itu, membuat jantungku berdebar tak karuan. Belum juga bertemu dengan orangnya, Suaranya sudah membuat bulu kuduk berdiri semua.

Tiara memberi isyarat agar aku masuk terlebih dahulu.

Akupun segera membuka handle pintu dan terlihatlah dua orang Pria yang terlihat begitu serius saat menatap wajahku.

"Kenapa dia masih memakai daster jelek itu?"

aku memandangi daster pemberian Bibi Murti semalam. Bahkan daster ini lebih bagus daripada baju yang aku gunakan semenjak menjadi istri Mas Bagas.

"Maaf Tuan atas keteledoran saya. Tapi, ini salah satu hal yang ingin saya katakan pada anda. Nona Basyira adalah seorang Muslim,dan beliau biasa menggunakan hijab atau yang bisa anda lihat sekarang, hijab fungsinya untuk menutupi rambut sampai ke area dada. Jadi, saya harus mengkonfirmasi bahwa Nona Basyira membutuhkan pakaian berupa gamis dan jilbab. Benar begitu, Nona?"

Aku sungguh tidak menyangka bahwa Tiara begitu memperhatikan detail pakaian yang aku butuhkan.

"Kenapa harus pakai penutup rambut? Bukankah wanita lebih indah dipandang jika rambutnya terlihat?"

aku hanya bisa mendengarkan sambil memegangi ujung hijabku.

"BasYira adalah penganut agama Islam, Tuan! Dan agamanya mewajibkan setiap wanita untuk menutupi auratnya."

"Baiklah, terserah! Aku tak perduli, yang jelas kau harus membuat wanita ini kembali cantik dan bisa membuat Keluarga Kuncoro hancur."

Aku memandang wajah Alderad, mencari sesuatu yang entah mengapa terasa begitu hampa. Walaupun dirinya bukanlah seorang penganut agama Islam, tapi aku sangat yakin penganut agama lain sangat paham tentang sebuah hijab dan kegunaannya.

"Kenapa kau memandangku seperti itu?" Adelard menatap tak suka ke arahku. Belum sempat menjawab pertanyaannya, sebuah bisikan di telinga membuat diriku semakin terkejut. Ya, tentunya Tiara yang membisikkan kata-kata itu.

"Tuan Adelard tidak mempercayai adanya Tuhan!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status