Sekali lagi kutelusuri pahatan sempurna pada diri bocah kecil itu. Dimulai dari mata, bibir, hidung, dagu dan seluruh inti wajahnya. Perkataan Mas Reno tadi seketika mengganggu dan menyentil egoku. Diri pun ter-sugesti manakala tiba-tiba teringat dengan ucapan tante beserta sepupu-sepupuku yang selalu mengatakan jika wajah Qairen tak sedikit pun menuruni wajah dari papanya.
Tak hanya mereka, Mama Chintya—mertuaku dan Ruri—adik ipar juga sama. Jika berkunjung dan menggendong Qairen selalu membubuhi perkataan yang menyakitkan. Wajah anakku lebih mirip seperti wajah papa tetangga. Menyedihkan memang, walaupun dalam candaan. Namun, tak seharusnya mereka mengatakan itu pada cucu dan ponakan sendiri. Hanya kedua orangtuaku saja yang tak akan berkata demikian. Mereka selalu menjaga perasaanku dengan mengatakan bila wajah anak kecil masih berubah-ubah mengikuti umur. Tanggapi saja ocehan mereka sebagai candaan semata tanpa harus memasukkannya ke dalam hati. Mengingat itu semua menjadikan netra ini semakin tak puas menelusuri wajah mungil itu. Menjelajah setiap inci demi inci pahatan sempurna di sana. Bibir, mata yang terpagar oleh bulu mata lentik dan belahan di dagu Qairen semua menurun dari diriku. Kulit tubuh yang dimiliki Qairen pun lebih ke warna kulit keluarga kami, putih bersih ketimbang kulit Mas Reno dan keluarga besarnya. Hidung Qairen nurun ke mama sedangkan alisnya nurun ke papa, walaupun tak mirip-mirip sangat. Jika dilihat-lihat memang tak ada satupun dari pahatan wajah putriku ini yang menuruni wajah papanya—Mas Reno.DegAstaghfirullah. Kenapa tiba-tiba pikiranku terikut picik seperti pikiran mereka? Seolah mengaminkan diri sendiri bahwa benar telah berselingkuh. Ya, Allah ampuni aku. Maafkan mama Qairen. Seketika mata ini mengabur, menyimpan buliran bening yang sewaktu-waktu siap tumpah menyapa pipi. Semakin lama buliran itu semakin menumpuk, hingga bendungannya tak lagi mampu menahan. Akhirnya, denting tetes air asin jatuh juga dan tak sengaja mengenai hidung dan mata putri kecilku. Dalam terpejam, Qairen mengedip pelan dan menggeliat. Cepat kuseka tetesan yang mengenai dirinya dengan ujung kain jarik. Tak mau terulang lagi, aku segera menjauhkan wajah dari anak itu dengan berbaring di sampingnya. Dalam keadaan telentang kubebaskan air mata untuk tumpah ruah sebanyak-banyaknya. Belum puas menangis rasa mual kembali menggangu. Ulu hati seperti ada yang mendesak. Aku turun dari ranjang menuju dapur berniat untuk membuat minuman hangat mujarab dari geprekan jahe, serai, kayu manis dan madu. Minuman pavorit jika perut dalam keadaan begini. Tak lagi kuhiraukan apa dan bagaimana keadaan Mas Reno. Terserah dia, mau apa di pagi ini. Minuman panas telah tersaji di meja makan. Aku terus mengaduk dan mencicipinya sedikit demi sedikit dari sendok teh. Segala macam pikiran melalang buana entah kemana, tapi yang paling kupikirkan saat ini adalah tentang video itu. "Aku sudah membuat janji dengan dokter Aslan. Hari ini juga kita akan tes DNA Qairen!"Suara orang yang tak ingin didengar kembali mengusik. Ya, Mas Reno, pria itu telah rapi dengan pakaian kantornya, padahal waktu masih menunjukkan pukul enam kurang. Sakit? Jangan ditanya! Sakitnya bahkan telah mengubah hati menjadi mati rasa untuk lelaki di hadapanku ini. Aku masih ingin melayani Mas Reno dengan beradu mulut, tapi dipikir-pikir rasanya percuma. Manalagi keadaan tubuhku yang semakin dirasa tak enak saja. "Baiklah, Reno. Aku akan turuti semua kemauanmu, tapi dengan syarat!" Kuhentikan ucapan sekaligus melirik lelaki itu. Memastikan apa reaksinya dari hasil perkataanku. Tak ada! Mas Reno hanya diam. Wajah tampan yang setiap pagi selalu kutatap sebelum beranjak dari pembaringan itu, hanya memberi senyum smirk. "Apapun syarat dari kamu akan aku turuti, Malaya. Namun, aku juga punya syarat yang sama seperti dirimu. Jika kau setuju, aku pun akan setuju dengan semua persyaratan yang kau berikan," ujarnya mendekati meja makan lalu duduk bersebrangan dengan diriku. "Baik, aku setuju?" balasku pasti. "Oke! Sekarang, katakan apa persyaratan darimu," tekan Mas Reno.Pria itu memundurkan tubuh, bertopang punggung pada sandaran kursi serta melipat tangan di depan dadanya. Pose yang sangat menyebalkan, pikirku. Aku menarik napas berat dan menghembuskannya kuat lalu kembali menatap pria itu penuh penekanan. "Syarat pertama, jika Qairen terbukti memang anakmu, maka kau harus meminta maaf kepadaku di hadapan seluruh keluarga besar kita berdua. Kedua, akui jika semua foto-foto dan video menjijikkan itu adalah fitnah semata dan kita berdua akan mencari tahu kebenarannya bersama-sama. Syarat ketiga, ubah seluruh aset kita atas nama Qairen. Bagaimana? Kau setuju?" ucapku mantap dengan syarat-syarat yang kuajukan barusan. Mas Reno kembali menyunggingkan senyum mengejek. Lesung pipi yang ada semakin masuk ke dalam. Menambah ketampanan dari wajah pria itu, tapi hari ini ketampanan itu musnah berganti dengan kebencian. "Baik, aku sangat menyetujui semua persyaratan dari kamu, Malaya, dan sekarang dengarkan syarat-syarat dariku. Kau siap mendengarnya?""Tentu, katakan saja," balasku acuh dan kembali mengaduk air rempah di dalam gelas. Meneguknya hingga hampir habis. Rasa hangat menjalar di bagian ulu hati hingga perut mulai terasa melilit. Sepertinya, gas busuk yang bersarang di dalam sana dipaksa untuk keluar. "Pertama, jika Qairen terbukti benar bukan anak biologisku, maka segala sesuatu yang ada dalam surat perjanjian pra nikah kita akan berlaku."Bussh, tretttet bussh. Angin busuk tak kuasa untuk di pertahankan di dalam perut. Ia keluar begitu saja bahkan diikuti dengan suara khasnya. Aku tak peduli dengan alis Mas Reno yang saling bertaut memandangku. Kuanggap ucapan lelaki itu sama busuknya dengan bau gas perut yang baru saja meracuni lubang hidung kami berdua. Mas Reno mengibaskan satu tangan di depan hidungnya, berusaha menghalau apa yang barusan ia hirup. Mampus kau! Batinku sedikit terhibur melihat dia menderita. "Kedua," lanjut Mas Reno tak perduli lagi. "Kau akan aku talak saat itu juga dan segera pergi dari rumah ini tanpa membawa apa pun. Ketiga, aku akan menunjukkan semua foto dan video mesum itu sebagai bukti pada keluarga besarmu dan keluarga besarku. Bagaimana?""Bukankah Dokter Aslan sedang di luar kota, ya, Om?" tanyaku begitu nama dokter itu disebutkan.Bayang-bayang akan penglihatanku atas dirinya di rumah sakit tadi menghantarkan pada pikiran negatif. "Luar kota?" Om Abi membeo akan pertanyaanku. "Iya, Om tidak tau?" balasku. "Ck! Iya, mungkin Om kamu lupa. Iya, iya, Dokter Aslan udah balik dari luar kota. Baru aja. Tadi ... Tante sendiri yang memintanya untuk kemari," jelas Tante Nilam mengubah nada suaranya menjadi lebih lembut. "Oh, ya udah. Kalau begitu Malaya mau memeriksa jasad mama dulu. Mari, Om, Tante."Kusudahi membaur dengan mereka. Selanjutnya aku menuju jasad mama yang telah ditutupi lebih banyak lagi kain jarik. Kusentuh kaki membujur itu pelan-pelan. Mama ... maafkan Malaya. Karena Malaya, sampai membuat mama seperti ini. Bu Laila menatapku iba, begitu juga kedua wanita yang masih setia berada di sebelahnya. "Bu, maafkan saya, ya," ucapku pada ketua pemandi jenazah itu. Aku merasa jika sikap dan perkataanku yang men
"Oh, tadi saya lihat sama Non Syafira di taman samping, Non. Coba lihat dulu, mana tau masih di sana," jawabnya. "Baik, terima kasih, ya," ucapku lagi. "Sama-sama, Non," balasnya. Aku berpindah ke samping rumah. Kediaman mamaku memang begitu besar. Setiap sudut dipenuhi dengan berbagai aneka bunga bermacam warna. Di taman belakang tumbuh berbagai pohon buah dan pohon peneduh. Seperti pohon mangga, pohon rambutan, pohon ketapang, dan beberapa pohon lain yang aku lupa namanya. Kata mama, dulu—ia sendiri yang menanam dan merawatnya hingga sampai sesempurna ini. Ah, itu dia. Ternyata, putri kecilku memang sedang bersama tantenya—Syafira. Mereka menikmati gemercik air pancur yang diperuntukan untuk kolam ikan mas Koi kesayangan almarhum papa. Tawa dan canda terlihat dari raut dan bibir mereka. Aku berniat mendatangi keduanya melalui lorong yang menghubungkan kamar para pembantu dengan taman di mana gadis beda generasi itu berada. "Kenapa kamu ikutan bersuara di sana, Naina! Bagaimana
"Maaf, ibu dan bapak-bapak sekalian. Dengan tidak mengurangi rasa hormat dari pihak ahli bait, sebaiknya kita semua kembali ke depan saja. Biarkan masalah ini ditangani dan diselesaikan dulu oleh pihak keluarga. Mari semuanya!"Pak RT berinisiatif membubarkan para pelayat yang masih memenuhi ruangan. Di ujung sana, tampak Bu Laila dan kedua temannya begitu kerepotan saat menjawab tanya dari beberapa ibu-ibu pelayat. Dapat kurasakan tatapan aneh dari berpuluh pasang mata itu setelah mungkin mendapatkan jawaban dari para pemandi jenazah itu. Bisik-bisik menjadi pelengkap. Ibarat sebuah hidangan di atas meja, akulah yang dijadikan menu utamanya. "Ayo bapak dan ibu sekalian, kita menunggunya di depan saja!" ulang Pak RT memberi perintah dan ajakan pada mereka yang masih terlihat enggan untuk meninggalkan tempat asal keributan. Kemungkinan tak enak hati untuk tak mengindahkan titah orang berpengaruh di lingkungan ini, akhirnya pada pelayat berangsur-angsur beranjak. Walaupun demikian, a
"Sialan kau! Berani-beraninya ikut campur urusan ma-ji-kan! Singkirkan tanganmu itu dariku! Atau ... kau akan menyesal saat ini juga!" perintah Mas Reno dengan menekanan kata 'majikan' untuk lelaki yang juga berstelan koko itu—Norman."Saya nggak akan ikut campur, Tuan Reno, andaikan anda bisa memperlakukan Non Malaya dengan lebih manusiawi!" sahut lawan bicara dari putra kebanggaan mama Chintya itu. Ucapannya terdengar santai. Namun, tegas di telinga. "Lancang! Kau itu hanya seorang jo-ng-os di rumah ini! Tak pantas menceramahiku!"DegMas Reno, tega sekali bibirnya mengeluarkan kata-kata itu. Bagai orang tak beradab, begitu entengnya ia mencela orang lain hanya karena status pekerjaan. Hei, apa pria itu lupa dengan status yang pernah ia sandang dahulu? Ya, status yang hampir sama persis dengan lelaki yang barusan ia hina. Mas Reno benar-benar telah mengubah sifat dan perangainya. Sifat dan perangai yang dulu begitu kubanggakan di dirinya kini telah memudar. Seiring memudarnya cint
"Apa-apaan kamu ini, Malaya? Kamu udah nggak waras, ya? Permintaan kamu itu sungguh gila. Mama udah meninggal. Kenapa harus mempersulit lagi?!"Aku membalikkan badan ke aska suara. Tak tahu darimana, tiba-tiba Mas Reno muncul. Tak segan, pria itu mengataiku gila dan tak waras di tengah keramaian dengan suara keras. Namun, aku tak ambil pusing. Kuanggap ucapannya hanya sebatas angin lalu yang tak ada faedahnya. Kembali badan kubalikkan ke arah papa tiriku. "Bagaimana, Om? Om setuju, kan, kita bawa lagi mama ke rumah sakit sekarang?" ucap dan tanyaku mengulang keinginan pada lelaki yang bergelar suami kedua mamaku itu. "Kamu ini memang benar-benar sudah gila, ya!" tukas Mas Reno sambil memaksa tubuhku untuk kembali melihat ke arahnya dengan penuh amarah. Amarah yang tersulut karena aku tak mengindahkan perkataannya tadi. Mungkin! Terlihat jelas jika pria itu menolak usulanku mentah-mentah. Padahal, aku tak meminta pendapatnya sama sekali. "Ay ...."Om Santo akhirnya membuka mulut. Na
Apa putriku bersama papanya? Atau dengan Om Santo? Otakku langsung terhubung kembali pada dua nama tersebut. "Tadi sama Tuan Reno, Non. Non Qai endak mau dipegang siapa-siapa kecuali ama papanya," jawab Mbok Lani terlihat tak enak hati. Raut wajahnya menyirat rasa bersalah. Aku terdiam sebentar."Yaudah, gak papa, kok, Mbok. Saya hanya khawatir aja. Takut anak itu merengek kayak di rumah sakit tadi kalau sama orang lain. Tapi kalau sama papanya, bagus lah," timpalku berusaha bersikap sewajarnya.Entahlah. Padahal kalau boleh jujur, aku sedikit gelisah saat tahu Qairen bersama pria itu. Pria yang meragukan darah dagingnya sendiri. Terlihat tubuh mama sudah diletakkan di atas meja khusus untuk memandikan mayit. Bu Laila, yang kuketahui selaku ketua dalam seluruh proses pardu kifayah jenazah di lingkungan kami melakukan tugasnya.Dimulai dengan doa memandikan jenazah, lalu mengguyur tubuh mama dengan air wewangian beberapa kali. Dilanjutkan dengan memberi sabun. Mengguyur air kembali