Share

Kemarahanku

Bagaikan besi panas yang ditancap ke ubun-ubun, otak langsung pecah. Begitulah yang kurasakan. Dengan entengnya bibir sang kekasih hati mengutarakan keraguan dari buah cinta kami. Sehina itukah diriku di matanya?

Aku menghentikan tangan yang hendak mengangkat Qairen, berbalik badan dan menyeret langkah untuk mendekati papa dari anakku itu. Dengan pasti telapak tangan yang terluka naik ke udara dan,

Plak!

Plak!

Dua tamparan dari tanganku mendarat di pipi lelaki bajingan itu dengan mulus. Ia hanya membalas dengan kekehan kecilnya lalu meludah ke lantai. Benar-benar bukan Mas Renoku.

"Biadab! Iblis! Kau sanggup mengatakan Qairen bukan anakmu, hah! ? Kau boleh menghinaku! Kau boleh menyakitiku, tapi tidak untuk anak tak berdosa itu, Reno Armasyah! Camkan itu!" ucapku pedas padanya tanpa embel-embel 'Mas' lagi karena penghormatanku sudah hilang untuknya.

Hatiku telah sakit untuk caci makinya pada diri ini. Namun, semuanya tak sebanding dengan rasa sakit dan benci yang kurasakan atas perkataannya untuk Qairenku.

"Huh, kau tak ingat apa yang kebanyakan orang katakan. Bahkan dari bibir keluarga kita sendiri jika melihat anak itu dalam gendonganku? Meskipun dalam candaan, semua orang akan mengatakan hal yang sama, Malaya, kalau tak ada kemiripan di antara kami berdua. Mungkin, itulah alasannya karena anak itu memang bukanlah darah dagingku! Anak itu hasil dari perbuatan kotormu! Benih haram yang kau besarkan bersamaku!"

"Kau memang tak punya hati Reno. Kau suami brengsek!" Aku menyerang Mas Reno dengan membabi buta. Tanganku mencakar, memukul menampar, apa pun yang dapat dijamah dari tubuh lelaki itu.

"Tak perlu memaki dan bertindak seperti itu Malaya. Tak perlu! Hehe. Jika kau memang yakin kalau Qairen itu adalah anakku, mari! Mari kita tes DNA dia. Apakah dia memang benar anakku atau bukan? Kau berani?"

Deg.

Sungguh, hanya dalam waktu satu malam saja pria yang masih berstatus suami ini mampu menghancurkan hati dan harga diriku menjadi kepingan, hingga kepingan itu berubah dan melebur menjadi abu.

"Kaauu ...!"

Aku kembali ingin menyerang Mas Reno dengan tanganku yang merah penuh noda darah mengering. Akan tetapi, sepertinya pria itu sudah membaca semua pergerakan. Mas Reno berkelit dengan lincah dari serangan lalu menangkap tangan ini dan membawanya ke udara.

"Sudah kukatakan. Buat apa marah, Malaya?" tanya pria itu sembari menghempaskan tanganku ke bawah. Senyuman mengejek ia patrikan pada bibir tipis miliknya. "Jika kau marah artinya kau takut, dan itu semakin menguatkan pemikiranku tentang ini semua kalau Qairen memang anak dari selingkuhanmu itu!"

"RENO!!!

"Amaaaa ... waaaaaa ...."

Akibat bentakan dan jeritanku, Qairen histeris lagi karena kaget. Aku lupa kalau ia sedang ngedot. Qairen malang terhuyung ke belakang karena mengantuk.

Kuredam paksa segala emosi yang masih menguasai diri. Gegas kaki melangkah menuju Qairen yang sudah telentang dengan raungan. Tapi sebelumnya, kasa yang penuh noda darah kulepas kasar dan cepat menggantinya dengan sapu tangan yang selalu ada di balik bantal si gadis kecil berambut ikal itu. Mas Reno segera berlalu keluar meninggalkan kami berdua. Aku tak memperdulikannya lagi. Putrikulah yang paling penting saat ini.

"Cup cup sayang Mama. Gendong kain ya, Nak! Ayo-ayo sayangnya Mama. Qairen mau digendong jarik, kan?"

Amarahku tertelan sudah menjadi rasa sedih dan hancur saat menghirup aroma khas dari tubuh kecilnya. Kain jarik bermotif Parang yang tersampir tak jauh dari lemari pakaian segera kuraih lalu melilitkannya di antara bahu kanan ke pinggang bagian kiri. Selanjutnya membungkus tubuh mungil Qairen dalam balutan kain dan rengkuhanku.

Layaknya memperlakukan bayi yang baru lahir begitu juga yang kuperbuat pada Qairen. Kepalanya kutopang di atas lengan. Karet dodot sudah masuk ke mulutnya. Gadis kecil manis bermata bulat itu terus saja menyesap susu yang tinggal setengah seraya menatap mataku. Aku ikut membulatkan mata. Memandangi dengan senyum termanis seorang ibu untuk buah hatinya. Lama kelamaan mata itu kembali sayu hingga akhirnya terpejam bersama lantunkan salawat dari bibirku. Beberapa menit berlalu. Aku tersadar jika diri belum melaksanakan salat subuh. Gegas kuletak Qairen kembali di atas ranjang dengan gaya slow motion. Berharap si gadis berambut ikal tak lagi terbangun.

"Us us us us us," desisku lirih sambil menepuk-nepuk pantatnya. Merasa Qairen sudah tenang di alam mimpi, aku cepat menuju kamar mandi. Rasa mual tiba-tiba menyerang. Pasti masuk angin karena terpaksa tidur di luar rumah dalam keadaan hujan lebat. Kuputuskan untuk mandi sebentar menggunakan air hangat. Shower segera kuatur. Cairan hangat itu membuat tubuh sedikit rileks. Tak ingin berlama-lama, mandi pagi ini kuakhiri.

Dua rakaat pagi telah dituntaskan. Biasanya, Mas Reno lah yang akan menjadi imamku, berzikir dan berdoa secara bersama. Setelah selepas salat, seringnya suamiku itu akan meminta haknya di atas ranjang. Ya, Mas Reno lebih suka jika kami melakukan ibadah halal selesai salat subuh. Alasannya, suasana yang tenang dengan suhu yang sejuk membuat dirinya merasakan kenikmatan yang jauh berbeda serta mempunyai tenaga lebih sehingga sering sekali melakukan pelepasan hasrat sampai berulang di dalam sana.

Meskipun, kadang hati tak setuju dengan perulangan karena aku masih harus menyiapkan segala sesuatunya sebelum pria itu berangkat ke kantor. Namun, demi bakti seorang istri pada sang suami aku tetap melayaninya dengan ikhlas demi meraih ridho. Dalam keadaan lelah pun, dengan senang hati aku menyiapkan sarapan untuknya. Menyempatkan menyetrika pakaian kantor yang kadang belum sempat kusetrika karena terlalu sibuk dengan putri kami yang aktif. Tapi detik ini semuanya tak lagi sama.

Aku merendah meleburkan diri dalam sujud. Denting air mata kembali mengalir saat aku melangitkan doa. Meminta kepada Allah, Tuhan yang maha mengetahui segalanya agar diri diberi kekuatan dalam menghadapi segala cobaan. Meminta petunjuk atas segala kebenaran dari semua permasalahan.

Selesai bermunajat aku kembali mendatangi Qairen di atas pembaringan. Jari jemari tak tahan untuk mengelus pipi cabi nan mulus itu. Qairen menggeliat membuatku sedikit menarik bibir ke samping. Menggemaskan dan lucu sekali ciptaan Tuhan yang satu ini.

Deg

Sekali lagi kutelusuri pahatan sempurna pada diri bocah kecil itu. Dimulai dari mata, bibir, hidung, dagu dan seluruh inti wajahnya. Perkataan Mas Reno tadi seketika mengganggu dan menyentil egoku. Diri pun ter-sugesti manakala tiba-tiba teringat dengan ucapan tante beserta sepupu-sepupuku yang selalu mengatakan jika wajah Qairen tak sedikit pun menuruni wajah dari papanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status