Aku masih bisa memaklumi jika Mama yang marah denganku dan berucap tak semestinya, tapi mendengar Ruri berkata dan berlaku kasar serta menamai diri ini, aku tersinggung. Harga diri serasa sedang diinjak-injak olehnya. Memang kami seumuran, tapi aku adalah kakak iparnya. Tidak sepantasnya ia berkata seperti itu walau seribu kali diri ini membuat kesalahan. Aku tak suka! "Ya, kau tak perlu pegang-pegang Mama, Malaya. Mama merasa jijik dengan tanganmu itu yang sudah penuh dengan dosa! Seperti tangan wanita murahan!" ucap Mama Chintya menimpali perkataan anak gadisnya. DegAku benar-benar kaget mendengar penuturan dari mulut Mama Chintya sendiri. Ia berbeda, tidak seperti Mama Chintya yang biasa kukenal. Gigi-gigiku sampai bergemelutuk menahan geram. Selama tiga tahun lebih mengenal wanita itu, ia merupakan sosok yang memiliki kepribadian yang sangat menyenangkan. Keibuan, lembut, perhatian dan penyabar menjadi ciri khasnya. Dari situ pula dapat kusimpulkan bila sifat Mas Reno menurun
"Aaaa ... aaaa ... huuuh, sakit! Hentikan perempuan kotor!" jerit dan teriak Ruri menggema. Meninggalkan rasa mendengung di telinga. Ya, tak puas menampar pipi, jari jemari lentik ini mencari celah di antara helaian rambut gadis itu. Mencengkram kuat lalu menghentakkan kepalanya berulangkali ke bawah lutut. Mau tak mau ia mengikuti irama tarikan. Jika tidak begitu kupastikan kulit kepalanya akan mudah terlepas dari tengkorak. Beruntung, aku melayangkan tamparan serta jambakan di saat Ruri masih santai berselonjoran di sofa, sehingga gadis itu tak sempat untuk melindungi diri dari serangan."Hentikan, Malaya! Kau sudah gila, ya!?" histeris Mama Chintya berusaha menarik tangan dari rambut anak gadisnya, padahal apa yang dia lakukan semakin membuat putrinya bertambah kesakitan. "Aaaah, Mama ...," rintih Ruri menyedihkan.Seperti gasing, kubawa kepala Ruri memutar. Gadis berkulit sawo matang itu hanya meraung dan menjerit tanpa melakukan perlawanan. Terkesan bodoh memang, tetapi itu su
Langkahku sesaat terhenti karena ponsel tiba-tiba terdengar nyaring. Namun, sejurus kemudian kaki kembali melangkah tak mengindahkan ponsel. Diri terlalu malas untuk menerima panggilan dari siapa pun setelah tragedi bersama mertua dan ipar barusan. Bercanda ria dan bersenang-senang bersama Qairen menjadi pilihan tepat buat saat ini.Melalui jendela kupastikan keadaan di luar, apakah mama mertua dan Ruri beneran sudah pergi atau masih berada di sana. Tak ada. Tampaknya mereka benar-benar telah meninggalkan rumahku.Setelah susu hangat berpindah ke dalam botol dot aku membawa Qairen nyantai di taman belakang dengan mendudukkannya di jogger stroller berkaki tiga. Qairen anteng bersandar dengan dot susu di mulut, sedangkan aku sesekali sibuk memeriksa apotek hidup dan warung hidup yang memenuhi taman.Ya, aku membudidayakan beberapa tanaman bermanfaat yang tersusun rapi di dalam pot. Seperti jahe, temulawak, daun sirih, kumis kucing, dan lidah buaya, sedangkan untuk urusan dapur aku menan
"Halo, Dok, ini saya, Amon ...."Atensiku teralihkan atas pembicaraan Pak Amon dengan dokter Aslan, karena pada saat yang bersamaan Mbok Lani masuk ke dalam kamar diikuti seorang wanita muda yang aku taksir berusia 19 atau 20 tahunan. Aku tak mengenal siapa wanita itu, sebab seminggu yang lalu ia belum tampak ada di rumah ini. Apa pembantu baru mama? Ah, nanti saja kutanyakan. Urusan mama jauh lebih penting dari dirinya, batinku. "Mbak, tolong jagain anak saya!" ucapku sambil menyerahkan Qairen yang masih saja menangis, walaupun tak sekencang tadi kepadanya. Wanita muda itu mengangguk lalu menerima gadis kecilku dengan takut-takut. "Susunya ada di dalam—"PlekAku menepuk dahi pelan, merutuki diri yang lupa membawa ponsel dan tas yang berisi segala keperluan Qairen dari dalam mobil saking paniknya tadi. "Saya ke mobil sebentar ambil susu," kataku melanjutkan pada wanita itu lalu meninggalkannya. Dengan langkah lebar kutuju di mana mobil terparkir. Sesekali aku berlari kecil agar s
Perkataan Mbok Lani yang mendadak membuatku semakin susah untuk berpikir jernih. Ayo, Malaya, berpikir cepat! Ambil keputusan! Bisikku pada diri sendiri. "Mbak Hanum, kamu ikut saya! Jagain Qairen di sana!" titahku akhirnya meminta ia untuk turut serta. Wanita berkucir satu itu mengangguk dan memilih langkah besar mendekati mobilku karena Qairen ada dalam gendongannya. "Duduk di depan aja!" perintahku lagi gemes saat melihat wanita itu sedikit kebingungan antara duduk di depan atau di belakang, padahal ia jelas-jelas tahu kalau jok belakang sudah tak memungkinkan dirinya dan Qairen untuk duduk di sana. "Pak Amon dan kamu, Mas, jaga rumah!" pintaku berpindah pada dua orang pria beda generasi itu. Mereka spontan mengangguk sopan. Begitu semua penumpang sudah siap di tempatnya, aku gegas melajukan kendaraan menuju rumah sakit. Ya, beginilah jadinya. Semenjak papa meninggal, sopir pribadi di rumah ini mengundurkan diri. Mama tak membutuhkan sopir lain karena ia pun tak lagi suka beper
Om Santo terdiam. Wajahnya tiba-tiba pias. Pria itu tampak tak nyaman dengan pertanyaanku. Gestur tubuhnya menyatakan demikian. Pria yang sudah tak mengenakan jas kerjanya lagi itu memperbaiki posisi. Yang tadinya masih bersandar kini duduk tegak. Sesekali ia menelan ludah. Apa pertanyaanku sebegitu susahnya? "Hahaha. Kamu masih penasaran sama itu, Ay?" Sedikit kaget karena pertanyaanku di balas dengan gelak tawa dan juga pertanyaan balik. Sepertinya, pria dengan tinggi kurang lebih 170 senti itu ingin mencairkan suasana dengan tawa renyahnya, tapi aku sama sekali tak tertarik untuk menanggapi tawa itu.Aku hanya ingin tahu siapa wanita itu. Bisa saja itu istrinya atau ... selingkuhannya seperti cerita-cerita novel yang sering kubaca. Duh, aku benar-benar jadi tersugesti oleh hal-hal demikian. Ya, walaupun sudah setahun ini ia menjadi bagian dari keluarga, aku sama sekali tak mengenal Om Santo lebih jauh. Yang kutahu, ia hanya sebatas teman papa. Sudah pernahkah ia berumah tangga?
"Kenapa, Non?"Mbok Lani dan Mbak Hanum bertanya serempak seraya mengikuti arah pandangku. "Itu, Mbok, itu bukannya—""Uuuu ... Amaaa atoh ni. Amaaa ... atoooh."Pusatku pada sosok di depan terpecah, berganti pada Qairen yang tiba-tiba saja menangis kecil sambil menghentak-hentakkan pantatnya dalam pangkuan. Kulihat ia sebentar untuk memastikan mengapa tiba-tiba bertingkah seperti itu. Gadis kecilku menunjuk ke arah lantai, ia meringis dan masih menghentakkan badan. Ternyata, jajanan yang belum dibuka terlepas dari pegangannya dan jatuh ke bawah. Kuambil bungkusan berwarna kuning terang itu lalu membersihkannya sebentar. Begitu benda itu kuserahkan pada Qairen kemudian melihat lagi ke arah tadi, sosok itu sudah menghilang. Fokusku menyusuri area sekitar, tapi keberadaannya tetap tak terjamah oleh netraku. Ke mana dia? Kenapa cepat sekali menghilangnya? "Non? Non Malaya kenapa? Kok kayak orang Kebingungan gitu? Cari siapa sih, Non?" tanya Mbok Lani. Bahkan, sesekali wanita paruh b
"Kamu ngapain di sini, Ay?" tanyanya mendekati dan ingin menyentuh punggung tanganku. "Bukan urusanmu!" jawabku ketus langsung berbalik badan berniat meninggalkan orang tersebut. Aku gegas mengayunkan langkah kaki ke tempat tujuan. Tapi .... "Ay, tunggu!" Tanganku dicekal oleh manusia yang paling tak ingin kulihat lagi wajahnya dimuka bumi ini. Apa-apaan lagi sih ini orang. "Lepas! Kamu mau apa?" "Kenapa galak banget, sih? Aku cuma mau tanya, kamu sedang apa di sini? Siapa yang sakit? Kamu atau—""Sudah kukatakan ini bukan urusanmu, Sultan! Mau aku yang sakit, atau entah siapa pun itu, kamu nggak perlu tau! Sekarang lepaskan tangan kotormu itu dari tanganku. Kalau tidak ....""Oke-oke. Aku akan lepaskan. See ... aku—"Sebelum lelaki itu melanjutkan perkataannya aku sudah berbalik badan dan meninggalkannya di sana. Urusan mama lebih penting dari pada meladeni seseorang dari masa laluku itu. "Oom ...," panggilku pelan pada Om Santo yang terlihat kuyu. Matanya berair dan merah. Pe