Kumi berpikir, lebih baik ia menghindar, daripada telinganya mendengar kata-kata pedas dari mulut wanita itu, pikir Kumi. “Aku pergi dulu ya,” pamit Kumi. Nora menahannya. “Sebentar! Aku kenalkan kamu dengan temanku, Rhea.” “Maaf aku harus pergi,” kata Kumi, dia hendak melangkahkan kakinya. Tapi keburu Rhea melihat Kumi bersama Nora. Mata Nora mengirimkan kebencian. “Nora, lo ngapain bertemu dengan kutu busuk itu!” teriak Rhea, jaraknya 1 meter dari posisi Kumi dan Nora. “Kenapa lo berisik banget sih! Dia Kumi, teman gue. Enak aja lo bilang dia kutu busuk,” sahut Nora tak terima. “Lo kenal dengan Rhea?” tanyanya pelan ke Kumi. “Bisa ya bisa tidak. Well, gue pergi dulu. Bye!” Kumi mencium pipi Nora. Dia berjalan dan berpapasan dengan Rhea. Kumi menganggukan kepala dan tersenyum tipis padanya. Tiba-tiba. Rhea menjambak rambut Kumi dengan keras, hingga wanita itu terjatuh. Tanpa ampun Rhea menindih tubuh Kumi lalu memukul-mukul wajahnya dengan tas selempang miliknya. Kumi menj
Suara burung gereja ramai bernyanyi. Di teras rumahnya Kumi memandangi Yashi yang sedang membolak-balikkan buku mengenal hewan. Bayinya mulai tumbuh besar. “Gimana suaranya kucing Nak?” “Meong… “ “Kalau suara burung?” “Kuy… kuy.” Yashi menunjuk burung tekukur milik kakeknya. Tiap pagi Ayah suka mengajak Yashi memberi makan burung tekukurnya. “Anak Mommy memang hebat!” Kumi menciumi wajah Yashi. Tanggal 16 Januari nanti, Yashi ulang tahun yang pertama. Ia sama sekali belum ada rencana untuk merayakan hari ulang tahun anaknya itu. Sementara, jauh-jauh hari Khandra dan Ibu sudah mengingatkannya. “Kak… apa kita rayain ultah Yashi di gerai fast food saja. Kan gak ribet masaknya,” usul Khandra. Dia sudah kuliah sekarang. “Ah… gak enak itu! Kurang akrab kesannya. Lebih baik di rumah saja. Ibu yang masak, kue ultahnya tinggal pesen di Jeng Ratih.” sahut Ibu. “Biar K
“Mereka takkan berani menculik Yashi,” jawab Kumi menutupi ketakutannya. Namun semenjak itu, pikiran Kumi tidak tenang. Kumi tak terlalu bersemangat melakukan pekerjaannya. Dia banyak melamun di mejanya, sembari menatap layar laptop yang masih belum menyala, Rio memandangnya dengan tatapan ganjil. “Kumi, apa kamu sudah mendapat balasan dari Hotel Cantika?” “Sudah,” jawab Kumi pendek, matanya tetap menatap layar monitor. Rio menjadi tak sabar menghadapi sikap Kumi. Pria gemulai itu mendekati Kumi, lalu tangannya meraba dahinya. “Badan kamu tidak panas, kenapa kamu pendiam sekali hari ini?” Dia menyandarkan tubuhnya di meja. “Apa perang Rusia-Ukraina sampai ke sini? Hingga membuatmu diam membisu begitu?” “Tidak ada apa-apa?” sahut Kumi jengah. Ia ingin sendiri. “Hosh! Kantor ini sepi tanpa ceriwismu Kumi?” Rio memegang pundak Kumi. “Apa ada masalah dengan Yashi atau ex mantanmu itu?” ia menerka dengan acak.
“Hus! Niken, lo jangan ngaco deh. Apa lo lupa yang duduk di belakang lo siapa?” kata teman Niken. Niken tidak peduli. “Emang gue pikirin. Gue kan bicara sesuai fakta.” Rhea yang duduk di belakang Niken menoleh, dan menarik tangan Niken ke tempat yang agak sepi. “Lo jangan sembarangan ngomong ya! Asal lo tahu. Kumi itu cewek bispak.” Niken tak menggubris. Dia malah terkesan menantang Rhea. “Lho kok Ibu Rhea yang sewot. Saya hanya bicara sesuai dengan apa yang saya lihat,” balas Niken. Ia langsung pergi dan berbaur dengan staff lain. “Sialan! Awas lo ya, gue mau minta ke Arka supaya memecatnya,” gumam Rhea jengkel. Ia melihat ke sekeliling. Arka masih sibuk berbincang dengan Shaka dan Rio. Sedangkan Kumi dia menemani Nenek dan Parang makan. Rasa cemburunya semakin menjadi melihat ketelatenan Kumi melayani kedua orang itu. Rhea tak tahan lagi. Ia memutuskan untuk bergabung bersama suaminya. “Rio, gue minta lo pergi. Gue mau
Mata Rhea mendelik. “WHATTT… apa kamu bilang?” Arka mendengus. “Semua laki-laki senang diperhatikan dan dimanja. Sekarang aku tanya, apa pernah kamu memperhatikan aku?” Dia mengulangi lagi pertanyaannya. “Apa kau bilang? Aku tak pernah melayanimu?!!” Rhea berdiri menghadap ke Arka. “Iya! Karena aku mau kamu memperlakukan aku seperti mamaku, Re? Aku mau kamu mengatur rumah ini, membuatkan makanan, membuatkan minuman atau memijitiku saat aku lelah,” ungkap Arka, ia memegang belakang kepalanya yang pegal. “Aku tak memintamu menjadi istri yang sempurna, tapi setidaknya kamu mau melayani kebutuhanku.” “Aku menikah denganmu bukan mau menjadi budak seperti mamamu, Ka! Yang hanya mengurus rumah, suami dan anaknya. Aku mau berekspresi dan melakukan apa yang kumau!” balas Rhea sengit. Ia tak suka ada orang yang mengatur hidupnya. PLAK Rhea shock menerima tamparan keras Arka di pipinya. “Jahat sekali kamu Ka! Berani-beraninya kamu
Arka duduk termenung menghadap meja bar. Hingar bingar suara musik DJ tidak membuat dirinya terhibur. Ia tetap asyik menikmati kesendiriannya. Di depannya ada 10 botol soju yang sudah kosong. Ia memesan 1 lagi. “Sepertinya Anda sangat suntuk, apa mau saya panggilkan wanita untuk menemani Anda malam ini?” kata Eca – bartender yang berperawakan macho dan sudah bekerja lebih dari 10 tahun di Bar 69. Lelaki di depannya itu mulai mabuk. “Tidak.” Arka menghabiskan sojunya hingga tak tersisa. Rasa pening mulai menyerang kepalanya. Ia berusaha berdiri tegak, tapi lantai yang diinjaknya terasa bergerak. Badannya bergerak sempoyongan. “Tolong hubungi nomor ini. Dia istri saya,” pintanya sebelum ia ambruk ke lantai. Eca sudah terbiasa menangani lelaki mabuk. Dengan tenang ia memapah tubuh Arka dan menaruhnya di sofa yang terletak di sudut. Saat ia hendak menelpon nomor yang diberikan oleh Arka. Seorang perempuan menepuk bahunya. “Bi
Papa dan Mama mertuanya turun dari lantai dua. Keduanya berpakaian rapi. “Mama dan Papa mau keluar, kamu sebaiknya jaga rumah,” kata mama mertuanya ketus. Sedangkan papa mertuanya, menatapnya dengan tatapan lapar. Lelaki itu mengedipkan matanya pada Rhea. “Bagaimana tidurmu Rhea?” tanya papa mertuanya. “Nyenyak sekali Pa?” “Apa kamu menikmati permainan semalam?” Lelaki tua itu mendekatinya. “Permainan apa ya Pa?” “Kamu pikirkan saja sendiri,” kata papa mertuanya. Sontak Rhea kaget. Bau parfum lelaki khas dan berbeda dengan milik Arka-suaminya. Jangan… jangan… semalam… Rhea bergidik memikirkannya. Rhea mencium gaun tidurnya. Samar-sama ia mengendus bau asing yang bukan parfum miliknya. Ugh! Mungkinkah dia bercinta dengan papa mertuanya semalam? Pertanyaan itu terus menggelitik pikirannya. Jika Arka tidak pulang semalam. Siapa lagi lelaki yang bisa leluasa masuk ke rumah mereka? Selain papa mertuanya? Karena Karso, sopir mamanya tidak tinggal
Rinai yang tiba-tiba datang bersamaan saat ia turun dari mobil. Rinai yang tak seharusnya datang di hari yang panas serta merta membuat rambut Kumi basah. Perempuan itu dengan langkah terburu-buru memasuki Hotel Cantika, dan langsung menuju ke toilet untuk merapikan penampilannya. Hari ini dia mau bertemu dengan Chef Lukman yang akan mengajaknya mencicipi menu untuk ulang tahun Nenek minggu depan. Setelah mengeringkan rambut dengan tissue ia lalu menyisirnya dan memoleskan bedak tipis-tipis di wajahnya. Kumi melihat jam tangannya. Tinggal 8 menit lagi. Ia pun bergerak menuju kantor Chef Lukman yang berada di lantai 9. Perempuan itu berjalan dengan langkah cepat menuju pintu lift yang terbuka dan tanpa sengaja kakinya menginjak kaki seseorang. “Maaf, saya gak sengaja,” kata Kumi. Dia mendongak dan terkesiap setelah tahu kaki siapa yang dia injak. “Asem, aku tak bisa menghindar lagi.” Kata-kata itu ditelannya sendiri. Mau tak mau ia harus menghadapi makhluk yang menyebal