“Pagi pak Bara,” sapa Ari saat Bara tiba di kantor.“Iya,” jawab Bara singkat.Ari mengikuti Bara dari belakang yang memasuki ruangannya.“Kenapa, Ri?” tanya Bara yang melihat Ari ikut duduk di depannya.“Pak Bara sakit?” tanya Ari kemudian.“Enggak.”“Kok terlihat pucat?” tanya Ari.“Sedikit pusing sih Ri kurang tidur aja,” jawab Bara.“Begadang?” tanya Ari kepo.“Akhir-akhir ini saya susah tidur,” jawab Bara pelan.“Gugup menanti anaknya lahir kali ya, Pak?” tanya Ari lagi.“Bisa jadi, karena memang sudah masuk waktunya lahir sih,” jawab Bara.“Udah lewat dari perkiraan dokter?” tanya Ari.“Belum, kalau dari hasil USG terakhir perkiraan dokter akan lahir mungkin sekitar dua atau tiga hari lagi,” jawab Bara.“Semoga semuanya berjalan lancar, sehat ibu dan anaknya ya, Pak,” ujar Ari tulus.“Aamiin, thanks Ri,” ujar Bara sambil mengangguk.Semakin mendekati hari perkiraan lahir, Salma semakin sering melamun. Bahkan kadang acuh dengan orang di sekitarnya. Dan setiap akan tidur selalu bi
Bara memperhatikan wajah teduh Salma yang sedang tertidur pulas. Bara benar-benar tidak siap untuk kehilangan seseorang, apalagi istrinya."Jaga istri hamba ya Allah," do'a Bara.Bara memilih untuk tidur di samping sang istri. Kopi yang tadi dibawa di letakkan di atas nakas dan dibiarkan dingin dengan sendirinya.Bara tidur dengan memeluk perut Salma yang membuncit.*"Sal, jika kamu sudah mulai merasa mau lahiran langsung hubungi mas ya," pesan yang rutin Bara pesankan kepada sang istri saat mau berangkat kerja."Iya, Mas," jawab Salma pelan."Gak ada keluhan, kan?" tanya Bara."Gak Mas. Tapi si adek semakin aktif, Mas," kekeh Salma."Alhamdulillah, sabar ya nak. Sebentar lagi kita akan bertemu," ujar Bara mengelus perut istrinya.Bayi yang ada didalam perut Salma kembali bergerak-gerak."Duh anak papa pintar. Ayok bang Tama kak Ikel nih mau lihatin adeknya gerak-gerak gak?" tanya Tama."Mau, Pa," jawab keduanya dengan antusias."Nih, coba pegangin perut mama adeknya lagi gerak-gerak
“Kamu kenapa?” tanya Bara sambil membingkai wajah Salma dengan kedua tangannya.“Gapapa Mas, hanya pengen menitipkan Alma aja,” jawab Salma pelan.“Jangan bilang kamu mau meninggalkan, Mas?” ujar Bara.“Tidak pernah terpikir Mas, Salma tidak pernah berpikir meninggalkan Mas,” ujar Salma menahan isak tangisnya.“Terus kenapa?” Bara.“Umur kita gak ada yang tahu Mas, entah sampai kapan,” jawab Salma.“Mas paham, mungkin kamu takut membayangkan melahirkan ya?” tanya Bara.Salma hanya mengangguk.“Berpikir positif dan semangat ya, kita membesarkan anak kita bersama. Mas selalu ada untuk kamu,” ujar Bara memeluk sang istri.“Jangan takut, kita berdo’a bersama-sama kepada Allah. Minta pertolongan dan perlindungan,” ujar Bara mengusap lembut rambut Salma sambil menahan tangisnya juga.Bara juga jadi terpikir hal yang Salma takutnya. Dan sangat takut hal itu terjadi, membayangkan anaknya dibesarkan tanpa seorang ibu.Bara menengadahkan mukanya keatas menahan tangisnya.“Udah makan yuk,” ajak
Salma menunduk. Namun, siapa sangka perempuan tersebut malah berjalan mendekati Salma.“Salma kan?” tanya perempuan itu.Salma menggenggam tangan kiri Bara. Bara menyadari sesuatu menoleh dan memasukkan hape yang ditangan kanannya ke dalam saku celananya.“Iya bu, ada apa ya?” tanya Bara.“Ibu? Lo pikir gua ibu lo?” tanya perempuan tersebut kasar kepada Bara.“Loh yang disini kan ibu-ibu yang mau periksa kehamilan, terus salah saya dimana?” tanya Bara heran.Dan saat ini mereka menjadi pusat perhatian pasien yang sedang menunggu.“Ibu Salma,” panggil perawat jaga.Kebetulan nama Salma sudah dipanggil, dan Bara merangkul Salma dengan santai meninggalkan perempuan tersebut.Dokter memeriksa kandungan Salma, semuanya tampak baik-baik saja. Anak yang di dalam juga pertumbuhannya sangat baik pergerakannya aktif.“Ini jenis kelaminnya sudah tampak jelas ini,” ujar dokter Bella.“Dokter membuat penasaran aja, jadi apa jenis kelaminnya, dok?” tanya Bara.“Sepertinya perempuan,” jawab dokter.
“Hari ini kita periksa ke dokter, kan?” tanya Bara kepada Salma saat sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja.“Biar Salma sendiri aja, Mas,” ujar Salma sambil menyiapkan kaos kaki untuk sang suami.Bara menghentikan aktifitas tangan yang sedang mengancingkan kemejanya.“Ada apa?” tanya Bara kemudian.“Gak ada apa-apa Mas, siapa tahu Mas sibuk. Ini kan hari kerja,” jawab Salma mengalihkan pandangan saat bersitatap dengan Bara.“Biasa juga seperti itu kan, kita periksa di hari kerja. Dan apa salahnya?” tanya Bara.“Iya Salma takut mengganggu pekerjaan Mas, siapa tau Mas sibuk,” jawab Salma pura-pura sibuk dengan kaos kaki di tangannya.“Mas itu kerja di perusahaan sendiri, Sal,” jawab Bara.“Walaupun milik sendiri tapi kan gak bisa semaunya memberikan contoh yang tidak baik untuk karyawan kan, Mas?” tanya Salma.“Kamu kenapa?” tanya Bara mendekat karena Salma selalu menghindar saat tatapan mereka bertemu.“Apaan, Mas? Salma gak kenapa-napa, Mas,” jawab Salma.Bara memegang tangan Salm
“Menurut penuturan ibu kandung saya, beliau adalah ayah biologis saya. Tapi saya tidak tahu benar atau salah, karena saya tidak bisa menemukan keberadaan beliau,” ujar Bara menunduk.“Apakah anda mencarinya?’ tanya Alin.“Iya.”“Untuk apa,bukankah seharusnya dia dong yang datang kan anda sudah terkenal dan ibu anda sudah muncul di media mengakui anda adalah anaknya,” pancing Alin.“Saya berharapnya seperti itu, tapi hingga bertahun-tahun setelah kemunculan ibu saya, beliau tidak juga datang. Mungkin sudah bahagia dengan keluarganya sebab saya bukanlah anak yang diharapkan,” jawab Bara pelan.“Mungkin beliau malu, kan beliau adalah pengusaha yang hilang tak tahu rimbanya,” argument Alin.“Kenapa malu? Saya sudah tahu ceritanya,” ujar Bara.“Apakah anda akan terus mencarinya?” tanya Alin.“Iya, karena saya takut dengan keturunan saya kelak. Takutnya bertemu dengan saudara sedarah dan kita tidak menyadari itu,” ujar Bara.“Hmmm… Maaf pak, cerita kita jadi jauh melenceng dari bisnis,” uja