Apriyanto meremas rambut hitamnya yang sudah terlihat lebih panjang. Beberapa bulan tidak bertemu muka dengan Rita membuat dirinya tak begitu memperhatikan penampilannya. Seketika ia teringat jika istrinya itu tidak senang dengan rambut pria yang gondrong apalagi jika rambut kurusnya menjuntai mengenai alis.dan kerah kemeja. Namun kali ini ia bisa meremasnya karena jengkel. Yuda dengan lancang telah datang dan mengambil semua benda yang dibeli oleh Rita tanpa terkecuali. Ia menatap ponselnya yang hancur. Apriyanto membantingnya bertepatan dengan Yuda yang pergi membawa semua barang dan dirinya yang tidak bisa menghubungi Rita. Sudah lima hari dan wanita itu tidak bisa dihubungi.
“Kamu harus minta kembali semuanya,” ujar Rakmi dingin dengan mata merah. Ia kembali mengedarkan pandangan di sisi rumahnya yang awalnya ditempati oleh Apriyanto dan Rita. Rumahnya sangat luas jadi Yusuf Suhardiman membagi menjadi lima bagian dengan sebagai pusat adalah bangunan tempat Rakmi tinggal sekaDaya sedang merapikan tas jinjingnya saat Andre, putra sulungnya menghampiri. "Sudah ada kabar dari Rita, Ma?""Belum. Biarkan saja dulu, yang penting kita sudah tahu jika dia keluar dari rumah itu.""Sudah satu minggu, Ma.""Nggak usah khawatir. Mama sudah siapkan dia tempat tinggal.""Rita mau?"Daya terkekeh. "Tidak. Kau seperti tidak tahu adikmu saja.""Lalu di mana dia tinggal?""Dekat tempat kerjanya.""Aku sudah menyuruhnya untuk keluar dan membantu saja di restoran tetapi dia nggak mau.""Dasar keras kepala. Tapi, dia mau 'kan cerai dengan Apri?""Jelas dong. Gila apa anak Mama nggak mau cerai sama cecunguk seperti itu. Persis dengan ….""Hayo … cecunguk yang Mama maksud ada tuh di luar," tunjuk Andre dengan menelengkan kepalanya."Ngapain dia ke sini?"Andre mengedikkan bahunya. "Mau pamer kali. Anaknya sudah merebut menantu Mama.""Ih, ngaco. Tukang pungut sampah ya begitu.""Lah, Mama dulu nikahin dia."
"Kapan kamu akan segera mengurus penyelesaian perceraian dengan Apri?" tanya Daya melalui panggilan telepon.Rita mendesah panjang sebagai reaksi pertanyaan mamanya itu hingga terdengar dari seberang sambungan telepon tersebut. Saat ini Rita baru saja selesai mandi di kediaman barunya di kota dan dirinya masih menolak untuk bertemu dengan mama dan siapapun kecuali Eli dan Yuda yang tinggal bersamanya.“RITA …. Jangan mengulur waktu, selesaikan urusan dirimu dengan Apri,” ujar Daya gemas.“Segera Ma. Ada hal yang harus Rita urus dahulu.”“Urusan apa lagi yang lebih penting dari perceraian?!” sergah Daya terdengar sangat tidak sabar. “Jangan bilang kamu sekarang ragu menceraikan suamimu itu dan rela di poligami?” Sambungnya lagi.‘Tidak Ma. Mereka saja sudah menginjak-injak harga diri Rita, hingga menyebarkan gossip.”“Nah, itu dah paham. Jangan membuang waktu segera selesaikan hal itu.” Ada jeda dan kemudian Daya menambahkan, “maafkan Mama tidak bisa mencegah Asmi masuk kembali dalam h
Rita memarkirkan kendaraannya dan segera menuju lobby lewat pintu samping. Langkahnya terhenti saat melihat keberadaan pria jangkung yang sedang berbicara dengan atasannya itu. Tak disangka seolah memiliki sinyal tertentu pria yang ia tatap menoleh ke arahnya. Satu alis pria itu terangkat dan kemudian meninggalkan lawan bicara dan mendekatinya.Drew, sedang berbincang dengan Arka saat merasa ada yang memperhatikan dirinya dan segera menoleh. Tebakannya benar, wanita yang sedari tadi ia sudah tunggu muncul juga. Nostalgia masa lalu, melihatnya tampak anggun dan sehat saja sudah cukup bagi Drew yang sesungguhnya merasa penasaran dengan penampakan Rita saat ini. Wanita dewasa yang cantik dan sangat mandiri. Drew tidak mungkin salah dalam penilaiannya. Hanya sepertinya ada yang sedang dipendam oleh wanita di depannya ini. Drew akan mencari tahu nanti jika sudah ada kesempatan.Rita mengerutkan dahinya tak menyangka jika Arka lebih memilih mengacuhkan dirinya yang kini berhadapan dengan Dr
"Sepertinya aku tadi melihat pak Apri," kata Evi seraya memanjangkan leher dan melihat ke arah belakang Rita.Rita yang sedang mengunyah nasi spontan tersedak dan menyemburkan sebagian nasinya ke arah Evi dengan mata membelalak."RITA .... Jorok ih. Udah jomlo kenapa jadi slebor gini sih?!" protes Evi seraya mengelap ceceran nasi yang hampir saja mengenai tubuh dan wajahnya. Untung saja dirinya sudah selesai makan.Rita tersedak dan cepat-cepat menegak air minumnya banyak-banyak. Siska yang duduk tepat di sebelahnya lantas mengusap-usap punggungnya dan membalas Evi. "Ih .... Mbak Evi nih. Kasihan Mbak Rita sampai kaget gitu. Bahas si mantan nanti 'kan bisa."Drew yang sedari tadi diam dan hanya menatap lekat-lekat ke arah Rita akhirnya angkat bicara. "Mantan. Kamu sudah bercerai dengan suamimu?"Rita yang sedang mengusap mulut dengan tisu menghentikan kegiatannya dan membalas tatapan Drew. "Belum." Jawabnya datar."Akan. Segera, ya 'kan Rit?!" ucap Evi menegaskan."Yup. Aku harus mela
"Eshan akan liburan, dia ingin bertemu denganmu. Kamu nggak kasihan sudah dua tahun anak itu tidak pernah bertemu denganmu?""Aku membayarmu untuk mengurusnya, apa gunanya lagi jika dia masih merindukan aku?!" ketus jawaban dari Asmi.Helaan napas panjang terdengar dari seberang sana. "Kamu ibunya, bagaimana mungkin dia tidak kangen denganmu.""Aku tidak peduli. Tunggu lagi tiga tahun saat dia sudah lulus SD.""Apa kamu sudah mengatakan pada suamimu tentang Eshan?""Itu bukan urusanmu." Asmi lantas memutuskan sambungan telepon dan menelepon Narto."Yah. Bagaimana sudah bertemu Rita? ""Belum.""Ck, Ayah harus segera menemukannya. Aku tidak bisa memenuhi perjanjian dengan Apri jika dia tidak kembali.""Ayah dengar, dia akan segera menggugat cerai Apri.""Apa? Tidak ... tidak, tidak. Jangan sampai hal itu terjadi. Ayah harus menghentikannya.""Aku masih ingin melihat dia menderita di sini. Aku bahkan belum melakukan apapun dan dia sudah pergi begitu saja.""Ayah harus bagaimana?""Bujuk
Hampir dua Minggu berlalu. Selama ini pula, Arka tampak tidak seperti saat hari itu. Pria itu mengajaknya bicara hanya untuk membahas tentang pekerjaan dan hari ini atasannya tersebut tidak masuk ke kantor. Sebagai seorang sekretaris tentu saja Rita kebingungan. Memang hari ini tidak ada jadwal yang mendesak hanya saja, tidak mengetahui keberadaan pria itu rasanya asing baginya. Rita memperhatikan ponselnya yang sedari tadi tergeletak di samping laptopnya. Lantas kepalanya mendongak saat ada langkah berat mendekat dan ia mendapati bahwa bukan Arka yang datang melainkan Bisma Chandara. "Selamat pagi, Pak," sapa Rita seraya sedikit membungkuk memberi hormat."Pagi, dua hari ke depan saya yang akan berada di sini. Kamu bisa cuti juga."Rita terperangah sekaligus bertanya-tanya dengan maksud dari atasannya ini."Saya tidak membutuhkanmu di sini. Asisten saya yang akan menggantikan tempatmu. Kamu bisa pulang sekarang dan masuk lagi setelah Arka kembali.""Kok, begitu Pak?""Ya begitu." T
Awan kelabu menggelayut semakin pekat ditambah dengan gemuruhnya guntur dan petir yang saling bersahutan. Angin berhembus kencang menerbangkan daun-daun yang berguguran. Namun semua itu tidak tidak membuat tiga lelaki dewasa menghentikan kegiatan mereka membersihkan sebuah makam dan menggantinya dengan nisan batu berbahan marmer dengan bertuliskan nama Angelica Princess Chandara. Tubuh mungil janin perempuan terkubur di bawah sana, tertutup rumput gajah yang tingginya hampir menyamai pria gagah dengan pakaian santai itu. Arka mengenakan celana pendek selutut berwarna khaki dan kaos polos hitam membantu dua orang pekerjanya mencabut habis rumput-rumput itu dan memasang nisan di atasnya. Setelah semuanya usai, kedua orang lainnya mengundurkan diri untuk berteduh di sebuah gazebo yang terletak tidak jauh dari sana sementara Arka menggunakan jas hujan berwarna hitam tetap berada di sana menabur air mawar dan bunga untuk putrinya."Kau tahu, Sayang. Mulai saat ini dan seterusnya kamu akan
Rita menoleh ke belakang tubuh saat mendengar keributan kecil waktu menunggu antrian lift bersama dengan pegawai yang lain. Ia kemudian menelan saliva-nya kasar melihat Arka dengan senyum lebarnya membalas hampir semua sapaan pegawai perempuan di gedung ini. Namun dahinya mengernyit saat melihat Arka bukannya mengenakan pakaian kerja dengan jas rapi tetapi hanya menggunakan baju kaos berkerah warna biru muda dan celana kain berwarna hitam."Ayo bergabung denganku di lift satunya," ajak Arka tanpa benar-benar berhenti di depan Rita dan hanya melihatnya sekilas. Rita mengikuti pria itu dalam diam dan sampai berada di lift yang hanya berisi mereka berdua pun, Arka masih terlihat santai namun juga tidak memulai percakapan. Entah hanya sekedar basa-basi atau apalah. Sungguh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pria itu saat mereka berada di villa. Tak terasa hal itu membuat Rita merindu walau, rasa bersalah menyeruak mungkin sikapnya yang ketus pada pria itu dan menyuruhnya untuk tidak