BAB 4 PERTEMUAN TIDAK TERDUGA
Setelah selesai mengemasi semua barang miliknya, William memperhatikan sekitar sejenak. perlahan namun pasti dia mulai memperhatikan setiap barang-barang dan foto-foto yang ada di rumah tersebut, siapa tahu ada sebuah petunjuk baru yang bisa membantunya untuk dijadikan tambahan sebagai barang bukti nantinya. Meski dia tahu orang yang menyembunyikan sesuatu yang menjadi barang bukti kejahatannya seperti Rian akan menyimpan semuanya dengan sebaik dan rapi mungkin agar tidak ada satu orang pun yang tahu, namun tidak ada yang tahu kalau ada sebuah celah yang dibuat tanpa sengaja karena keteledorannya. Sialnya baru saja beberapa menit yang lalu William memulai aksinya, dia tersentak saat mendengar suara yang sangat familiar baginya, membuatnya harus menghentikan apa yang sedang dilakukan saat itu. "Oh ada tamu yang tidak diundang ternyata di rumah ini, masih punya muka juga ternyata setelah keluar dari penjara langsung datang kesini." Rian berjalan santai menghampiri William yang saat ini berada di ruang keluarga. "Ah iya aku lupa karena Ayah saat ini sudah pergi ke kantor makanya berani datang kemari," ucap Rian dengan senyum miring dan tatapan meremehkan, yang menurut William sangat menjengkelkan saat mendengarnya. William berbalik untuk mencari keberadaan Rian." Wah adik Tiriku belum pergi ternyata, Ibu Margaret bilang semua orang sudah pada pergi ke kantor." tanganya mengepal kuat menahan emosinya. William mencoba untuk tetap tenang agar tidak terprovokasi dengan ucapan Rian, hari ini dia hanya akan fokus mengambil barang-barangnya lalu mencari sesuatu di kamar Rian siapa tahu menemukan sesuatu. Namun sialnya baru juga hendak pergi ke kamarnya Rian, sang pemilik kamar ternyata sedang ada di rumah sekarang. "Jangan pernah memanggil Ibuku dengan sebutan Ibu, dia bukan Ibu kandungmu." Rian tidak suka mendengar William memanggil Ibunya seperti itu. "Apa aku harus memanggilnya dengan sebutan Nyonya Margaret?" William terkekeh melihat raut wajah Rian yang saat ini memperlihatkan raut kesal. "Dan ingat! Ayahmu yang sekarang adalah Ayah kandungku. Jangan berharap anak tiri sepertimu ingin menggantikan posisiku sebagai anak kandungnya,"ucap William setelah mendekat kearah Rian. Jantung Rian berdebar kencang mendengar ucapan William dengan tatapan tajam yang dia berikan, matanya mengikuti gerak bibir lawan bicaranya. Namun beberapa detik kemudian dia tersenyum kecil untuk menghilangkan sedikit kegugupannya. "Dan jangan senang dulu dengan apa yang kamu dapatkan sekarang ini, bisa saja aku mengambil semua yang kamu ambil dariku akan aku ambil kembali dengan cepat atau secara perlahan seperti kamu yang menuduh dan menjebloskan aku ke penjara,"ucap William meninggalkan ruangan tanpa menoleh dengan membawa semua barangnya yang dia simpan sebelumnya di atas meja. Rian memperhatikan William yang perlahan meninggalkan rumah yang dahulu mereka tempati bersama. "Oh iya? kita lihat saja nanti. Aku akan menunggu bagaimana cara kamu melakukannya kakak tiriku," Rian tersenyum penuh makna, namun segera merubah raut wajahnya saat melihat sang Ibu datang menghampirinya. "Loh kok kamu balik lagi sayang, terus kakak kamu kemana, apa dia udah pergi? barusan ke kamarnya nggak ada. Tas dan barang-barangnya juga sudah tidak ada," Margaret sedikit terkejut ternyata anaknya ada di rumah karena sebelumnya sudah berpamitan pergi ke kantor setengah jam yang lalu tidak lama berselang dengan sang Suami. "Aku menggambil dokumen yang tertinggal dikamar Bu, makanya ada disini sekarang. Ibu membiarkannya masuk?" "Tentu saja kenapa tidak dibolehkan masuk? ini kan rumah kakakmu dan ayah sambungmu." "Aku tahu itu Ibu, hanya saja statusnya sekarang sebagai mantan napi apa tidak akan membuat Ayah marah jika tahu kalau Kakak datang kesini? bagaimana jika ada orang yang melihatnya kesini dan orang tersebut memberitahu media," dengan tenang Rian mencoba untuk mengecoh dan memperdaya sang Ibu secara halus agar tidak terlibat interaksi lagi dengan William. "Ibu juga tahu, tapi bagaimanapun dia adalah anak kandungnya; pasti ada rasa rindu di dalam hatinya jika benar-benar bertemu secara langsung. mengingat semenjak di penjara dia tidak menjenguknya sama sekali di lapas dan Ibu sesekali melihat Ayah memperlihatkan foto kita berempat," Mendengar apa yang diucapkan sang Ibu membuat Rian semakin kesal, dari situ dia menyadari bahwa Margaret sampai sekarang masih menaruh perhatian kepada William seperti layaknya anak sendiri. Namun saat ini dia tidak bisa berbuat banyak, untuk sementara waktu biarkan saja dahulu. dia akan mengamati apa yang akan dilakukan William nantinya, jika William mulai bergerak maka dia juga akan mulai bergerak untuk menggagalkannya. "Baiklah Bu, aku akan mengambil dokumen yang tertinggal di kamar. sudah hampir terlambat," ucap Rian memperhatikan jam tangannya, lebih tepat dia mengelak karena tidak ingin mendengarkan sang Ibu menceritakan lebih lagi tentang William. Rian bergegas menuju kamarnya mengambil dokumen yang tertinggal di dalam kamarnya, dokumen yang telah dia kerjakan semalaman, setelahnya berpamitan kepada sang Ibu sebelum berangkat ke Kantor. Sebelum berangkat di dalam mobil dia menghubungi seseorang."Awasi gerak-gerik dia, kita akan bertindak lebih awal jika dia mulai bergerak!" perintah Rian kepada orang suruhannya lalu memutuskan sambungan secara sepihak. "Kita lihat siapa yang kali ini akan kalah lagi, aku akan satu bahkan lebih beberapa langkah jauh bertindak sebelum apa yang akan kamu lakukan terlaksana." Rian melirik ponselnya sambil tersenyum kecil. Apa yang akan Rian lakukan kali ini kepada William? dan dapatkah William segera menggali informasi mengenai siapa orang yang ada dibalik foto sebelumnya. Karena rencana awal mengeledah kamar Rian tidak jadi dia lakukan."Aku tidak begitu yakin soal ini," Saat berdiskusi dengan Mia, tiba-tiba terdengar dering ponsel William yang menandakan ada panggilan masuk. William melihat ternyata pengacara yang disediakan Hendery untuknya yang menghubungi."Iya ada apa?" tanya William to the point."Kamu ada dimana sekarang? aku datang ke apartemen tapi pihak disini mengatakan melihat kamu pergi keluar. Ada hal penting yang ingin aku sampaikan," sahut Ferdi sang pengacara saat ini baru saja masuk ke dalam mobilnya.Mendengar hal tersebut William menarik tas dipangkuannya dan memindahkannya ke meja, lalu bangkit dari tempat duduk untuk sedikit menjauh dari Mia."Iya katakan ada apa?""Aku mendapatkan pemberitahuan dari pihak yang berwajib, bahwa laporan yang kita ajukan saat itu tidak bisa ditindaklanjuti. karena tidak cukup barang bukti yang menunjukkan atau mengarah kepada Rian sebagai tersangka dari apa yang kita tuntut dan laporkan,""Hah kok bisa? segitu banyak lampiran yang diserahkan masih kurang juga?" Wi
"Apa aku harus percaya dengan apa yang wanita ini katanya? dan ikut membantunya untuk mencaritahu lebih dalam tentang siapa Tedi Yan sebenarnya, dengan begitu dia juga bisa membantuku mencari tahu apa anak itu benar-benar bekerja sama dengan Tedi Yan yang menghancurkan perusahaanku dan membuatku masuk penjara selama ini."William termenung sejenak, memikirkan apakah dia harus percaya dan bekerja sama dengan Mia atau tidak. satu sisi dia harus berhati-hati yang selalu mengingat ucapan Hendery bahwa harus berhati-hati siapa tahu ada orang yang akan mengecohnya agar fokus teralihkan kepada hal yang lain, dan hal tersebut bisa saja dimanfaatkan Rian maupun orang lain yang terlibat dengannya mencoba menghilangkan barang bukti yang saat ini sedang dia cari.Meski sudah tujuh tahun berlalu, tapi dia yakin bahwa barang bukti apa yang telah mereka lakukan masih ada yang tersimpan disuatu tempat. "Apa yang semua aku katakan dan semua yang ada dihadapanmu tidak membuatmu percaya kepadaku?" tany
William hendak menjawab panggilan tersebut, namun sepersekian detik kemudian panggilan itu terputus. selang beberapa saat tiba-tiba ada pesan masuk, William pun langsung membuka pesan itu dan mulai membaca isi pesan itu dengan seksama. "Apa ini dengan William Argantara? ada yang ingin saya bicarakan. saya orang yang sebelumnya mengirim foto kepada anda beberapa hari yang lalu," "Jika berkenan datanglah ke alamat ini," Pesan selanjutnya orang tersebut mengirim alamat tempat mereka akan bertemu. "Apa benar dia orang yang mengirim foto sebelumnya?" gumam William saat membaca pesan tersebut. "Apa aku harus pergi ke alamat itu sekarang? siapa tahu dia tahu orang di foto itu siapa dan memiliki bukti untuk bisa lebih menjerat anak itu," jari telunjuknya mengetuk-ngetuk pada ponsel beberapa kali, berfikir sejenak. William berpikir sejenak sebelum membalas pesan tersebut, setelah memantapkan diri dia me
"Udah ngocehnya? udah kaya emak-emak yang lagi marahin anaknya, nyerocos cepet kaya kereta cepat." William jengah dengan tingkah Hendery yang mengomeli dan menasehatinya sejak tadi seraya mengobatinya dengan telaten. "Udah diem! masih mending mau aku obatin, ngapapin aja sih sampe kaya gini," ucap Hendery yang fokus mengobati luka di wajah William. Hendery sudah seperti sang Ibu yang selalu mengomelinya jika anaknya terluka, membuat William terkadang jengkel dengan sahabatnya tersebut karena terlalu berlebihan menurutnya dan ingin melakukan sesuatu kepada sahabatnya itu agar tidak terlalu cerewet. "Udah tua juga, masih banyak tingkah aku lihat." Hendery tetap mengomeli setelah selesai mengobati luka di wajah William semampunya. Dia sudah terbiasa mengobati William sejak bangku Sekolah Menengah Atas, karena dimasa itu William tidak jarang mendapatkan tindakan bullying dari kakak kelasnya. William bukan tidak b
BAB 6 AMARAH YANG SELAMA INI DIPENDAMRian yang melihat William ditampar oleh Ayah kandungnya sendiri cukup puas, dia tidak perlu melakukannya dengan tangannya sendiri.Hanya dengan bicara dan memutarbalikkan fakta kepada Candra, dia tidak perlu turun langsung untuk memberikan pelajaran kepada William untuk sekarang ini.“Dasar anak kurang dan tidak tahu terima kasih.”“Berterima kasih untuk apa? Semenjak Ibu meninggal aku hanya sendirian. Sedangkan Ayah sibuk dengan keluarga baru,” William terkekeh seraya memegangi pipinya.Chandra yang semakin tersulut emosi bergegas menuju tas di sudut ruangan yang berisi stik golf.“Coba katakan sekali lagi!”Chandra sudah bersiap dengan Stik golf di tangannya“Apa? Ayah akan memukulku? apa yang aku katakan bukannya benar dan bukankah Ayah sendiri yang memutuskan hubungan antara Ayah dan Anak?” tanya William dengan pandangan tajam menusuk serta tersenyum miring.“Apa yang sebenarnya kamu inginkan Kak Liam? Apa aku punya salah kepadamu? Aku akan lak
BAB 5 RINDU YANG MENDALAMWilliam mendatangi tempat yang menjual berbagai jenis bunga sebelum pergi ke makam sang Ibu, dia langsung memesan bunga Lili dengan berbagai warna. bunga yang disukai sang Ibu selama hidupnya, bahkan sang Ibu bercerita jika dia hamil lagi dan melahirkan anak perempuan, dia akan menamainya Lili saking kecintaannya kepada bunga tersebut.Selesai melakukan pembayaran, William melanjutkan perjalanannya menuju makam sang Ibu untuk yang pertama kali setelah tujuh tahun berlalu. William meletakkan bunga yang dia beli di salah satu batu nisan yang bernama Aletha Wijaya."Bu...Liam datang, maaf baru datang lagi setelah sekian lama." William mengusap nisan sang Ibu perlahan memandang lekat-lekat tanpa berkedip, tanpa disadari kini kedua matanya mulai berembun.Dadanya terasa sesak, Ia menggigit bibir bawah pelan seolah menahan tangis."Bagaimana kabar Ibu, semoga selalu damai disana. Liam baik-baik saja saat ini jadi Ibu tidak perlu khawatir," ucap Liam suaranya serak