MasukElina membuka lagi kelopak matanya.
Samar-samar dengan posisi yang sangat tak nyaman, Elina melihat seseorang lain baru saja turun dari motor.
Pria yang memakai jaket hitam dan helm yang menutup seluruh wajah itu berjalan cepat menghampiri dua pria yang sudah berdiri lagi dari posisinya yang tadi berjongkok di dekat Elina.
“Lebih baik kamu pergi dan jangan ikut campur!” kata salah satu pria.
“Tinggalkan dia sendiri.” Suara pria berhelm itu begitu dalam dan dingin. Sorot matanya yang terlihat dari balik kaca helm begitu tajam dan menusuk.
“Ck … sepertinya kamu mau mati juga,” timpal pria lain.
Pria yang mencoba ikut campur dengan urusan dua pria di depannya itu mengepalkan telapak tangannya kuat.
Tepat ketika satu pria melangkah mendekat untuk menyerangnya, ia langsung melayangkan pukulan dengan sangat kuat ke pipi pria itu.
Pria itu terpental ke samping, tersungkur di aspal jalanan begitu keras.
Melihat temannya tumbang, satu pria lain yang membawa belati bergerak menyerang dan menghujamkan belati ke arah perut pria berhelm.
Pria asing itu langsung bergerak miring ke samping menghindari belati yang menghujam ke arahnya, lalu dengan cepat kepalan tangannya terayun cepat ke tangan pria yang memegang belati, menghantamkan pukulannya dengan sangat kuat sampai belati di tangan pria itu terlepas.
Tak hanya itu, ia juga langsung menyikut wajah pria itu dengan sekali sentak, membuatnya meringis kesakitan lalu tersungkur di aspal.
Dua pria itu terbatuk sambil memegangi perut juga wajah, mereka saling tatap memberi isyarat lalu bergegas bangun dari aspal dan berlari bersamaan menuju mobil mereka.
Setelah memastikan dua pria itu pergi, si pria asing menoleh ke arah Elina yang masih terjebak di dalam mobil.
Samar-samar, Elina melihat pria itu melepas helm dan menghampirinya. Tangannya terasa hangat ketika menyentuh tangannya yang terkulai keluar dari jendela mobil yang pecah.
“Bertahanlah,” ucap suara bariton itu.
Pria itu kembali berdiri, dan membuka paksa pintu mobil yang sudah rusak. Setelah itu, ia buru-buru melepas seatbelt sambil menopang tubuh Elina agar kepala tidak membentur bagian bawah kabin mobil.
Elina akhirnya berhasil dikeluarkan dari mobil. Tangan pria itu melingkari pinggangnya dan menopang tubuhnya di aspal.
“Anda masih bisa mendengar suara saya?” Suaranya tegas dan dalam untuk membuat kesadaran Elina tetap terjaga.
Ia duduk di aspal sambil memangku Elina yang hampir tak sadarkan diri.
Elina berusaha membuka kelopak matanya, tapi gagal. Dia hanya mendengar suara pria yang menolongnya itu samar-samar, pandangannya kabur sampai tak bisa melihat jelas wajah pria yang tengah mendekapnya.
"Saya akan membawa Anda ke rumah sakit. Bertahanlah…."
Namun, Elina sudah terlalu lelah untuk tetap membuka mata.
**
Elina dibawa ke rumah sakit menggunakan ambulance.
Saat sampai di IGD rumah sakit, dokter dan perawat terkejut melihat keadaan Elina.
Mereka tahu siapa Elina, sehingga dokter dan perawat langsung bergerak cepat untuk menolongnya.
“Apa yang terjadi padanya?” tanya dokter pada pria yang membawanya.
“Dia mengalami kecelakaan, aku hanya menolong dan membawanya kemari.”
Tatapan dokter itu begitu cemas, dia memandang perawatnya lalu berkata, “Hubungi keluarga Alvalendra.”
Pria itu masih di sana, menatap Elina yang sedang mendapat penanganan dari dokter.
Gadis itu masih memiliki sisa kesadarannya dan mulai membuka matanya perlahan.
Bau disinfektan menyengat di hidungnya, matanya menangkap cahaya putih yang begitu menyilaukan.
Elina mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi sakit. Seluruh otot tubuhnya kaku dan begitu nyeri.
"Istirahatlah. Sebentar lagi dokter akan memindahkanmu ke ruang inap.”
Suara serak dan dalam itu menelusup masuk ke telinga Elina. Dia menggerakkan kepala ke samping, tatapannya langsung bertemu dengan sorot mata teduh pria yang berdiri di samping ranjang pesakitannya.
“Siapa kamu?” Bibir Elina bergerak lamban, suaranya nyaris tak terdengar.
Mata sayu Elina tertuju pada pria bertubuh tegap dengan garis rahang tegas yang kini sedang berdiri di samping ranjangnya sambil memeluk jaket hitam di dada.
“Saya yang membawa Anda ke sini.” Suara lugas itu menyelip lagi di telinga Elina lagi.
“Kenapa?” Suara lirih Elina kembali terdengar.
“Apa maksud Anda kenapa?” Kening pria itu berkerut halus, tatapannya mengisyaratkan kebingungan karena ucapan Elina.
Mata Elina berkaca-kaca dan berubah sendu. Ada kepedihan dan rasa sakit yang menyorot begitu kuat dari manik cokelat matanya.
“Kenapa kamu menolongku? Kenapa kamu tak membiarkanku mati..?” Suara tertahan itu terdengar begitu menyayat.
“Apa ada alasan khusus, yang membuat Anda tidak mau ditolong?”
Pertanyaan itu membuat Elina tersenyum hambar, lalu matanya sedikit terpejam. “Aku lelah. Mati adalah jalan terbaik.”
Elina tidak menyadari ekspresi wajah pria itu berubah dingin. Tatapan matanya menajam saat mendengar kalimat yang meluncur dari bibir Elina.
Ada sesuatu yang tak bisa dideskripsikan dari sorot matanya.
Saat itu, perawat masuk dan memberitahu kalau kamar untuk Elina sudah siap.
Pria itu bertanya-tanya dalam hati … keluarga Elina sudah dihubungi sejak setengah jam yang lalu, tapi mengapa sampai detik ini, belum ada satu pun yang datang ke rumah sakit?
Meskipun Jhonny sebenarnya tidak ingat atau belum tahu apakah benar dia sudah tidur dengan Maya, tapi tatapan panik Maya seolah menjawab segalanya.Samantha sangat syok mendengar pengakuan Jhonny. Dia langsung memukul bertubi-tubi dada suaminya itu untuk meluapkan emosinya.“Bagaimana bisa? Bagaimana bisa kamu menyelingkuhi, hah? Kamu mau mati, hah?” amuk Samantha.Jhonny awalnya diam, tapi beberapa saat kemudian dia mencekal kedua pergelangan tangan Samantha yang terus memukulinya, menghentikan aksi wanita itu, lalu dengan tatapan tajam dia memandang istrinya ini.“Kenapa aku tidak bisa? Aku sudah muak dengan kelakuanmu. Selama ini aku diam karena berpikir kamu bisa berubah, tapi ternyata sifat kekanak-kanakanmu semakin menjadi-jadi. Bahkan kekejamanmu semakin brutal, aku sudah tidak tahan denganmu.”Semua ucapan yang Jhonny katakan, seperti ujung belati yang menusuk-nusuk jantung Samantha. Dia menatap tak percaya, tapi keegoisannya menyingkirkan semua fakta ucapan suaminya.“Aku tid
Di apartemen Jhonny.Setelah tertidur sejak siang karena mabuk, Jhonny akhirnya membuka matanya di malam hari. Kepalanya begitu berat karena efek alkohol yang masih tersisa di tubuhnya, dia sampai menekan kuat kepalanya.“Jam berapa ini,” lirihnya.Saat dia mulai membuka mata perlahan, Jhonny menatap langit-langit kamarnya. Dia diam sejenak untuk mengumpulkan sisa kesadarannya sampai terkumpul semua.Dia perlahan duduk, tubuhnya terasa sangat berat, sampai dia baru menyadari satu hal. Pakaian sudah tidak melekat lagi di tubuhnya, hanya ada celana pendek yang dia pakai.“Tunggu, kenapa pakaianku terlepas?” Kepanikan mulai menguasai pikirannya.Jhonny menoleh ke kanan dan kiri, mencari pakaiannya yang dia lihat ternyata sudah ada di keranjang pakaian kotor. Jhonny diam mengingat apa yang terjadi siang tadi. Dia hanya ingat minum sangat banyak sebelum mulai hilang kesadaran.“Apa yang terjadi?”Melihat kamarnya yang rapi, Jhonny tidak mengingat sama sekali dengan apa yang sudah dilakukan
Maya terkejut melihat Jhonny duduk di sofa dengan satu tangan menggantung di sisi pegangan sofa. Benda pecah itu sepertinya berasal dari botol yang terlepas dari genggaman tangan.Sisi sofa kini penuh dengan serpihan pecahan kaca dari botol. Maya akhirnya mendekat perlahan, mencoba menghampiri Jhonny dari sisi sofa satunya.“Tuan, Anda baik-baik saja?” tanya Maya begitu sudah berada di samping sisi sofa yang bersih dari pecahan botol.Jhonny membuka perlahan kelopak matanya saat mendengar suara Maya. Dia menatap ke wanita itu, hingga dari pandangannya sekarang, wajah Eliz lah yang Jhonny lihat.“Eliz, kamu datang,” lirih Jhonny sambil melebarkan senyumnya. Matanya begitu sayu, kedua pipinya merah karena pengaruh alkohol yang dikonsumsinya.Maya terkejut mendengar nama yang Jhonny sebutkan. Lalu bibirnya tersenyum tipis, dalam kondisi mabuk begini, pasti lebih mudah menjebak Jhonny.Namun, Maya tidak bisa bertindak gegabah, dia harus benar-benar memastikan kalau Jhonny memang mabuk dan
Suara tembakan terdengar beberapa kali di ruangan itu. Elina memegang senjata api dengan kedua tangannya, tatapannya lurus tertuju ke papan target yang ada di depannya.Dia terus berlatih sambil menunggu perkembangan rencana yang sedang dijalankan Darren. Dia harus mengasah kemampuannya sebelum menghadapi Samantha.Darren benar, Samantha tidak mungkin lepas dari perlindungan para pengawal, sehingga Elina harus lihai memainkan senjata dan bela diri, sebelum menghadapi wanita itu.Mengarahkan kembali mata pistol ke arah papan target, Elina kembali menarik pelatuk, melesatkan peluru yang kemudian menembus papan target.“Eli.”Suara Darren mengalihkan fokus Elina. Dia menoleh ke arah suara Darren, tatapannya kini tertuju ke arah Darren yang sedang berjalan ke arahnya.Elina melepas penutup kedua telinganya lalu meletakkan penutup telinga bersamaan senjata yang dipegangnya ke meja yang ada di sampingnya.“Apa ada informasi terbaru?” tanya Elina.Darren sudah berdiri di depan Elina. Dia men
Samantha mengepalkan telapak tangannya saat mendengar pertanyaan Jhonny. Apa yang diucapkan suaminya ini, seperti sebuah kalimat menantang dirinya.“Apa yang aku inginkan?” kata Samantha dijeda, “yang aku inginkan adalah, jika kamu berani mengkhianatiku lagi, maka akan kuambil semua yang ada di sini. Semua ini, yang ada di perusahaan ini adalah milikku!” Samantha bicara dengan nada penuh penekanan.Jhonny menatap datar pada Samantha yang sekali lagi mengancamnya. Dia akui, semua yang didapatnya tak luput dari bantuan yang keluarga Samantha berikan. Namun, sekarang dia tidak mau dikekang lagi.Jhonny berdiri dari duduknya, menatap pada Samantha yang terus memberikan tatapan tajam padanya, lalu berucap, “Kalau begitu ambillah.”Samantha membulatkan bola mata lebar mendengar ucapan Jhonny. Dia sangat syok, tidak menyangka Jhonny akan menantangnya seperti ini.“Kamu menantangku? Kamu pikir aku akan main-main?” amuk Samantha.“Aku tahu kamu tidak main-main, kuberikan semuanya. Bukankah den
Tiga hari berlalu. Di rumah Samantha, wanita itu benar-benar frustasi karena tidak bisa menangkap Elina, lalu sekarang Jhonny benar-benar tidak pulang dan mengabaikan panggilan darinya.Eleanor menatap Samantha yang tak memakan sarapannya sama sekali. Dia tahu kalau Samantha sedang memikirkan ayahnya juga Elina yang masih bebas di luar sana.“Apa aku perlu membujuk Papa agar mau pulang, atau mungkin sekadar membalas pesan Mama?” tanya Eleanor.Samantha mengalihkan tatapannya ke Eleanor, lalu dia mengembuskan napas kasar. “Tidak perlu.”Setelah membalas ucapan Eleanor, Samantha akhirnya mau menyentuh makanannya lagi. Kembali diam bergelut dengan pikirannya, Samantha menatap pada Eleanor yang sedang makan.“Jika papamu masih mengabaikan Mama, maka lihat saja apa yang bisa Mama lakukan untuk membuatnya tunduk!” geram Samantha.Eleanor tidak terlalu banyak bertanya, dia memilih diam dan membiarkan apa pun yang ingin sang mama lakukan.**Di apartemen Jhonny.Maya–wanita yang Jhonny tolon







